30 July 2007

Pelacur Brontak!

::indrian koto

Kalau lagi kesal dan kepala lagi bekerja setegang begini, kelamin tidak bernafsu. Vagina mati rasa.

Aku yakin kau sudah membaca penggalan dari novel lelaki ini yang berjudul Jalan Sunyi Seorang Penulis yang sebelumnya berjudul Aku, Buku dan Sepotong Sajak Cinta itu. Yup, dialah laki-laki yang konon darahnya halal engkau minum karena karyanya yang kontraversi itu. Tuhan, Izinkan Aku Menjadi Pelacur dan Kabar Buruk dari Langit, itulah judul novelnya yang membuat dia ‘dihajar’ banyak pihak sekaligus melambungkan namanya.

Tidak, aku tidak akan bicara novel tersebut. Aku tak mau latah. Aku juga tidak akan bersoal tentang kebencian Taufik Ismail pada sastra Mazhab Selangkang (SMS) yang konon Muhidin M. Dahlan (nama penulis ini) termasuk di dalamnya. Sebuah karya sastra yang bercerita persoalan selangkang, birahi, dan wilayah ‘lendir’ lainnya sebagaimana Ayu Utami, Djenar Maesa Ayu, atau Binhad Nurrohmat.

Entahlah. Saya tidak tahu apa-apa. Saya bodoh kawan. Hei, jangan paksa saya berbicara perihal yang ‘mengerikan’ itu. No comment istilahnya.

Dia begitu ‘jauh’ rasanya. Ketika saya pertama kali berada di Yogyakarta tahun 2004, bukunya Pelacur-pelacur tadi sudah diributkan orang seiring dengan berkali-kalinya naik cetak. Novel itu salah satu dari sekian buku yang menjadi ‘teman wajibku’ setiap pagi dan sore hari di Rumahlebah. Saya harus membaca buku, setiap hari, sepanjang hari, mengejar banyak ketidaktahuanku pada dunia buku. Kau tahu, aku tinggal jauh di perkampungan terpencil, di mana orang-orangnya hidup nyaris tanpa buku bacaan. Tidak juga sebenarnya, ada Fredy S. Dan novel-novel sejenis bertebaran di mana-mana, yang dibaca bergiliran oleh kawan-kawan menjelang tidur di sudur kamar sambil berebut onani. Dan aku sudah lama bosan dengan bacaan ‘remeh’ semacam itu. Seperti film-filmnya Ineke Koesherawati, Sally Marcelina, setiap bab cerita berujung pada ‘kelamin’.

Bukan sok bijak. Aku sudah membaca eniaraw ketika kelas enam SD, jauh melampaui teman-teman seangkatan. Aku punya teman yang sepuluhtahunan lebih tua dariku yang hampir di setiap dompet mereka ada kartu remi bergambar orang setubuh. Aku menonton laser disk yang menayangkan gambar orang telanjang ketika duduk di bangku SLTP kelas satu akhir? Prestasi? Tentu saja, teman-teman seangkatanku mulai menontonnya lama setelah VCD player bertebaran di setiap rumah di kampungku, ketika aku sudah SMA.

Ah, aku sampai di mana? Ya, Muhidin M. Dahlan, tentang novelnya Tuhan, Izinkan Aku Menjadi Pelacur. Seleraku aneh barangkali, ketika aku membaca keseluruhan cerita Nidah Kirani itu, aku merasa biasa-biasa saja. Tak ada birahi, tak ada nafsu atau sesuatu yang mengharuskan darahnya halal diminum. Aku berpikir, ini pasti memang cara bacaku yang buruk. Seburuk kabar dari langit, novel berikutnya dari Muhidin.

Bukan! Bukan karena aku tak lagi birahi karena bacaan dan film-film jorok tadi. Aku merasa Nidah Kirani berhak memperlakukan dirinya jadi apa. Aku tak menemukan geliat birahi, gerakan naik turun laki-laki di atas tubuhnya, keluar masuk, beradunya alat kelamin, kecipak airnya, lenguhan nikmat dan kata-kata jorok penuh birahi. Atau karena aku alpa halaman demi halaman yang kubaca. Sudahlah, kau tak usah bertanya ini lagi dan aku tidak akan berbicara sesuatu yang tidak kuketahui pasti.

* * *



Aku pertama kali melihat dirinya pada sebuah foto hitam-putih, sebuah photo close up yang sangat resmi di samping esai panjangnya yang dimuat di sebuah majalah kampus. Tulisan yang panjang dan rumit untuk saya waktu itu. Bukan, bukan lagi soal tulisan. Itulah pertama kali saya melihat sosoknya, sosok Muhidin M. Dahlan, lewat sebuah fotonya.

“Masa orang kayak begini diributkan? Tampangnya biasa aja tuh,” pikirku waktu itu dan kemudian mencoba melupakan dan menguburkannya dalam ingatanku. Masa bodoh dengan polemiknya di mana-mana, aku tak peduli soal darahnya yang kelak akan halal diminum. Toh segalanya ada resikonya kan? Dan dia memilih jalan itu.

Kau tahu, sejak itu dia mulai samar-samar dan menghilang dalam diri saya setelahnya. Dia sudah bolak-balik Yogya dan Jakarta, begitu cerita-cerita sepintas yang pernah kudengar. Dia sibuk di Rumah Bunga, kata yang lain. Tapi aku merasa masa bodoh, tak berniat sedikit pun ingin tahu apa itu rumah bunga. Bukannya aku merasa angkuh atau sombong, tapi bukankah seorang Muhidin begitu tenarnya saat itu? Dan apalah artinya seorang saya di matanya. Seorang bocah yang tak mengerti banyak hal, yang tak paham masalah penerbitan dan selangkangan.

Sampai kemudian bukunya yang entah keberapa terbit lagi, berjudul Adam Hawa aku sempat lagi membacanya. Soal kisah Adam dan Hawa. Memang agak keterlaluan fikirku. Tapi kemudian aku pikir haknya dia menulis buku yang kurus ini mau bicara apa saja. Bodoh amat. Tidak ada masalah buatku. Lalu aku berkata, “Berani sekali ini orang!” Sungguh, aku tidak tahu bicara dalam posisi apa. Benci? Apa urusanku dengan tulisan dia?

Kawanku Muchlis bercerita dia tinggal di Krapyak, dekat dengan Pondok Pesantren (Menulis) Hasyim Asy’ari yang lebih dikenal dengan Kutub yang waktu kukunjungi hampir tiap hari. “Kapan-kapan kau akan kuajak ke sana,” katanya.

Wah.. aku deg-degan. Sumpah jika bertemu dengannya. Tentulah wajahnya sangat menakutkan dnegan kulit legam, gemuk pendek dengan suara bariton. Tentu dia akan bicara satu-satu dan pendek-pendek saja mengingat dia penulis yang sedang banyak dibicarakan.

“Kapan-kapan ajalah...,” kataku mengelak.

Beberapa hari kemudian bukunya dibedah di Kutub. Karena di Kutub ini konon dia pernah pula berguru pada Gus Zainal Arifin Thoha “Dia tak datang, lagi di Jakarta (sombong sekali! pikir saya. Atau sibukkah dia?),” kata Ridwan teman saya yang sama-sama ikut membantu menjual bukunya di emperan kampus, ketika saya semester awal di perkuliahan. Ha, kau tahu aku kuliah sambil berjualan buku, kawan. Tapi itu dulu....

Setelah itu manusia ini hilang lagi. Lenyap begitu saja. Tak pula ada keinginanku untuk mengenalnya lagi karena dia orang sibuk, kawannya Pram dan bolak-balik Yogya-Jakarta. Gila....

* * * *



Siapa Berani Beli Cinta Dalam Karung? Sialan, novel Puthut EA yang rada konyol itu mengantarkan saya lagi pada orang ini. Dalam cerita itu tokoh-tokohnya nyata dan ada, dan si Muhidin termasuk salah satunya. Di sana diceritakan bagaimana dia meledek si Aku dan menantangnya menulis novel dalam beberapa waktu. Dia berani mempertaruhkan laptopnya. Gila... orang kaya juga dia... sampai akhirnya si Aku berhasil bikin novel dan si Muhidin dihadapkan pada kenyataan, menyerahkan laptopnya. Tapi dasar Puthut di novel itu baik hati, dia hanya menyuruh si Muhidin minum bir. Dan dia terpaksa meminumnya dengan sambil memejamkan mata dan diledek teman-temannya.

Kau bayangkan, dia terpaksa minum bir. Hanya bir, dan dia harus menelan bagai obat. Ah, bukankah orang ini menulis banyak soal selangkang, kenapa dengan minuman saja takut. Sebab aku ingat pesan Bang Aji “Perempuan mendekatkanmu pada minuman dan judi.” Nah... wah payah... ledekku.

Suatu hari kawanku bertanya, “Muhidin sudah mati ya?" aku kaget dan berkata inalillahi... O kenapa? “Kau baca aja novelnya. Kayaknya itu novel terakhirnya.” Aku lihat bukunya berjudul Aku, Buku, dan Sepotong Sajak Cinta. Masa dia mati? Barusan aku baca tulisannya di Media Indonesia tentang kisah seorang ngg.. sifi (kali) yang jatuh cinta pada seorang calon biarawati yang dimuat entah kapan.

Asu!! Makiku. Dia ternyata menipu dan kawanku tertipu. Dasar penulis. "Ini taktik agar bukunya laku," kataku kepada sang kawan. “Maksudmu?” tanyanya. “Dia sengaja bikin pengantar seperti ini agar pembaca percaya dia sudah mati dan orang-orang akan berebut membeli bukunya,” kataku dengan dongkol.

Setelah itu dia kembali hilang. Sampai kemudian Simbah AN Ismanto asu itu menceritakan soal dan pengalamannya di Jakarta dengan Muhidin aku makin penasaran dengan sosok ini. Kayak apa sih dia? Apalagi si Jejen keple itu berbuih-buih mengisahkan si Gus Muh (panggilan yang kemudian akrab dengannya, dan aku memanggil demikian) seolah tanpa ada endingnya. Wahh...!! soal buku dan kerja di Jakarta segala.

Suatu hari di tengah keinginan yang berlebihan bisa bertemu dan bersitatap dengan manusia ‘samar-samar’ ini (dia jarang ada di acara diskusi. Alasannya? Entahlah. Diskusi aku gak mau, sekilas itulah jawabannya dalam buku Jalan Sunyi Seorang Penulis tanpa memberi penjelasan apa-apa) tiba-tiba Ismanto (pake An, kawan) dan Ahmad Muchlish Amrin mengatakan Muhidin mau mengajak saya menggarap dongeng. Saya? Muhidin? Dongeng? Aduh, apa pula ini?

Soal garapan selesai. Tapi bertemu Muhidin? Aduh? Seperti apa ya orangnya? Sangarkah? Ganaskah? Tenangkah? Pendiam? Tak suka tersenyum dan tertawa apalagi berkata-kata? Jangan-jangan dia hanya main tunjuk dan berbahasa isyarat dengan tatapan mata jalang dan tentu aku tak akan berkutik lagi dengannya.

Asuuuuu!! Semuanya salah. Tidak kutemukan ketakutan itu sama sekali. Dan kau tahu, dia yang semula begitu samar, menakutkan, menjijikan, dan bukan urusan saya kini menjadi begitu penting. Tak tahu sebabnya. Tapi setidaknya dialah yang mengajarkan saya memperbaiki blog ini sehingga kau bisa membaca tulisan ini.

Dan Gus Muh, selamat jalan... semoga engkau sampai di rumah dengan selamat. Percayalah Dipa akan memaafkan keterlambatanmu malam ini. Sebuah tugas, engkau bisa beralasan, Oom koto yang ganteng itu minta waktu untuk mengajarkan, eh diajarkan memperbaiki templete blog.

27 July 2007

Gw Sempat Step Membacanya

::lia mustika


Sekitar tiga tahun yg lalu gw membaca sebuah buku berjudul: Tuhan, Izinkan Aku Menjadi Pelacur! karya Muhidin M. Dahlan terbit tahun 2003. Waktu itu gw sempat step setelah selesai membacanya. Betapa gak? Buku itu bercerita tentang seorang jilbaber, aktivis salah satu organisasi Islam yang akhirnya memutuskan menjadi pelacur karena kecewa melihat kenyataan yang ada sangat berbeda jauh dg idealismenya...

Buku ini menurut sang penulis adalah kisah nyata yang diperoleh dari 'curhatan' salah seorang jilbaber (Nidah Kirani-nama dalam novel) yang akhirnya memutuskan menjadi pelacur.

Dialog2, hujatan, gugatan dan sumpah serapah seorang Nidah Kirani terhadap Tuhan benar2 bikin merinding. Muhidin M. Dahlan adalah seorang penulis yang sangat berani cendrung nekad menurut gw 'mengobok-obok' wilayah ketuhanan...

Jujur, waktu itu gw sempat mengalami 'kebimbangan' seolah hujatan2 seorang Nidah Kirani itu terlihat 'ada benarnya juga'. Tapi syukurlah walau gw bukan seorang muslimah yang memahami Islam secara mendalam tapi bagi gw soal akidah dan keyakinan adalah urusan nomor satu.

Makanya ketika, adik2 di kost2an mo minjam buku ini gw wanti2 dulu agar jangan sampai 'tergelincir'..^_^.. Bukan apa-apa sih..tapi menurut gw bisa keblinger juga baca buku ini kalo gak kuat2 iman.

Kenapa gw tiba2 teringat menulis tentang ini, karena dalam blog_walking tadi tanpa sengaja gw terdampar di blognya Muhidin M. Dahlan..Nama blognya Blog Neraka. Ternyata gak hanya buku Tuhan, Izinkan Aku Menjadi Pelacur! saja buku seorang Muhidin menuai kontroversi tapi juga bukunya berjudul Kabar Buruk Dari Langit (2004) dan Adam dan Hawa (2005). Bahkan buku Adam dan Hawa dipermasalahkan oleh Majelis Mujahidin Indonesia..

Well, menurut gw simpel aja sih ngapain harus 'mengobok-obok' wilayah (Ketuhanan) yang bukan wilayah kita? Memaknai hukum agama dan Al-Quran secara sempit.

Mau menghujat Tuhan? Mau menggugat agama dan semua hukum2 Allah yang dianggap sebagai doktrin? Sepintar dan sehebat apa sih manusia itu sampai sebegitu beraninya?

Kalo ada permintaan kpd Tuhan: Izinkan aku menjadi pelacur, ga tertutup kemungkinan juga kan, Izinkan aku menjadi maling, menjadi pembunuh, menjadi koruptor, menjadi pezina, menjadi pemabuk dll..

So, kalau minta izin dilegalkan segala hal yang ingin dilakukan, mo bertindak se-enak udel.. untuk apa hukum agama, norma2 sosial dsb?

Hidup di Zaman Batu aja kali yee..Ato Zaman Purba gitu, dimana manusia belum tersentuh peradaban?

Ah, ada-ada aja..

NB : Katanya Zaman Reformasi makanya siapapun bebas menulis apa saja yang ingin mereka tulis. So, gw pikir siapapun jg boleh berkomentar semaunya kan?.. dan itulah komentar gw thd buku itu ^_^

Posted by: Lia |March 12, 2007

KOMENTAR

Posted by: sonny | March 15, 2007 01:12 AM
ada yg gelisah, bertanya & menemukan..
ada yg gelisah, bertanya & tersesat di rimba tanya. Itu lumrah, tersesat atau menemukan adalah opsi bukan pasti. Dalam konteks ini, Muhidin boleh kan dibilang tersesat :)

tapi satu yang pasti ketika dicabut dari jasad, ruh tak pernah tersesat mencapai Tuhan Yang Satu. Tak ada Tuhan yang lain. Ke tuhan yang mana Muhiddin meminta izin ? Hehehe..

Tidakkah kami beri mereka 2 mata, 1 lidah, & sepasang bibir? Dan kami tunjukkan padanya 2 jalan? (Qur'an)



Posted by: Lia | March 15, 2007 02:49 AM
kalo tersesat sendiri seh, biarain aja dia nanggung sendiri, tapi kalo tersesat dan berupaya tuk juga 'menyesatkan' orang lain gimana dwonk?!
Ini lain perkara kan?


* Di copy-paste dari Friendster Lia Mustika

23 July 2007

Kalian Mau Jadi Penulis atau Pengeluh?

::muhidin m dahlan

Ada seorang profesor berkata kepada seorang penulis partikelir: “Semua sudah pernah ditulis, dan ditulis dengan lebih baik daripada kamu bisa melakukannya. Jika kamu berniat menulis tentang cinta, tragedi, dan petualangan... lupakan saja, karena semua itu sudah dilakukan Shakespeare, Dickens, Tolstoy, Flaubert. Kecuali jika kamu mempunyai sesuatu yang benar-benar baru untuk dikatakan, jangan jadi penulis. Pelajarilah akuntansi!”

Atas komentar seperti ini, sastrawan kelahiran Chicago, Irving Wallace (1916-1990), gusar dan membentak: “Kata-kata ini konyol, benar-benar bodoh. Bukankah setiap emosi tak pernah persis sama. Bukankah tak pernah ada yang melihat cinta atau merasakan benci persis seperti kau melihatnya.”

Kisah itu adalah salah satu semangat pembangkit energi menulis yang tersaji dalam buku Chicken Soup for The Writer’s Soul. Buku yang disusun Jack Canfield, Mark V Hansen, dan Bud Gardner ini saya dapatkan dari Toga Mas Jogja pada 22 Juli 2007. Terus terang, saya belum pernah membaca buku Chicken Soup. Tapi membaca buku ini persepsi saya tentang menulis jadi bertambah dan kegairahan pun kembali menyala.

Di sini ada 42 kisah yang coba membekap energi negatif yang menghalangi seseorang menjadikan menulis sebagai profesinya. Ditulis bergaya esai pendek dan dengan bahasa yang menggugah. Mungkin pembaca Indonesia tak terlalu akrab dengan nama-nama di dalamnya dan buku-buku mereka, tapi semangat mereka menjadikan menulis sebagai profesi adalah semangat para ksatria di medan tempur dan patut ditauladani.

Sedari awal saya sudah haqqul yaqin bahwa sebagai sebuah profesi jelas menulis bukan jalan main-main. Diperlukan sabuk pengaman yang ketat agar tak terhempas terbuang. Betapa banyak penulis yang hanya berkoar-koar ingin ingin dan ingin menulis. Tapi lebih banyak lagi yang terantuk sedikit saja terus meringis cengeng. Mereka mengeluh tak bisa menulis karena kesibukan ini dan keruwetan itu.

Salahkah mengeluh? Tentu saja tidak jika diartikan bahwa keluhan dan kesengengan itu hanya sebuah usaha menghilangkan katarsis atau ketertekanan diri oleh virus block writing. Tapi ada juga yang kerap menjadikan mengeluh sebagai pekerjaan utama. Dia lebih banyak mengeluhnya daripada terus menerobos kesulitan menulis. Nah, jika kesibukan mengeluh itu yang membuat mereka depresi lalu lumpuh, itu namanya penyakit. Dan pastilah menulis lebih banyak berhenti pada angan-angan.

Nah, tipe manusia seperti ini yang membuat masygul Carmel Bird, penulis buku Dear Writer: The Classic Guide to Writing Fiction. Dia tak habis pikir, bagaimana bisa menulis itu perkara gampang-gampang saja. Bagi Bird, menulis itu memang menyenangkan. Namun bukannya tanpa risiko. Bahkan bisa dibilang menulis adalah ritual antikeluarga dan antisegalanya. Untuk itu, penulis kelahiran Tasmania itu menekankan lajur keberanian untuk tetap bisa menulis dan ngotot mengesampingkan pekerjaan rumah tangga, kehidupan sosial, mengesampingkan hal-hal yang menghambat dalam menulis. “Jika Anda ingin aman dan terbebas dari bahaya dan gangguan, jangan menulis...,” tegas Bird.

Nyaris saja Cristine Clifford bunuh diri setelah tahu bahwa semua keluarganya terserang kanker. Tapi impiannya menjadi penulis komik terkenal yang kemudian menyelamatkan kesuraman hidupnya. Di tengah derai kesedihan yang menyayat hati dan maut menguntit raga, dia pindah dari satu toko buku ke toko buku lainnya hanya untuk mengejar mukjizat. Dia juga dikatai gila oleh penjaga toko ketika menanyakan buku komedi tentang kanker. Dia ingin mencari tahu barangkali ada selapis tipis lelucon dalam kesakitan kanker itu. Usaha yang melelahkan itu berbuah hasil. Kedua bukunya yang ditujukan untuk anak-anak—Not Now... I’m Having a No Hair Day! dan Our Family Has Cancer, Too!—memenangkan penghargaan dan mendapat sambutan internasional.

Mungkin kalian tak mengenal nama Alexander Murphy Palmer Haley (1921-1992). Tapi kalau disebutkan judul buku The Autobiography of Malcomm X, pastilah kenal. Alex-lah penulis buku masyhur itu. Tapi buku Roots yang justru melambungkan namanya dan diganjar Pulitzer Prize pada 1977. Tapi nyaris tak banyak yang tahu bagaimana Alex memulai semua itu sebagai putera imigran Tennesse yang jadi budak di geladak kapal, sesekali membantu para pelaut menuliskan surat cinta mereka buat perempuan-perempuan di darat, dan dihinakan karena berkulit gelap. Tapi dia tak tertekuk walau dipanggil oleh tentara neo-Nazi sebagai simpanse dalam sesi wawancara untuk majalah Playboy. Buku Roots dikerjakannya selama 12 tahun untuk meriset genealogi leluhurnya, Kunta Kinte, dan ditolak oleh banyak penerbit sebelum sukses dan dia menjadi pembicara paling ditunggu. Ketenarannya mungkin setara dengan Oprah Winfrey saat ini.

Nyatalah bahwa menulis berarti sebuah laku ketekunan. Bahkan untuk menulis tentang koboi saja, penulis prolifik yang telah menulis 300 buku fiksi, Chet Cunningham, mesti ke toko buku dan memborong 25 novel koboi. Dari novel-novel itu dia mencatat kata-kata dan berbagai frase yang lazim dipakai di era dan dunia koboi, seperti permainan senjata api koboi kuno. Dengan cara itulah Cunningham menciptakan tokoh dan karakter yang unik di novelnya Bushwhacker on the Circle K.

Adalah Patricia Lorenz pada September 1992 nekad meninggalkan pekerjaannya yang telah memberinya gaji yang pantas selama bertahun-tahun. Awalnya dia nyaris gila karena menulis ternyata tak seromantik yang dia bayangkan sebelum kunci itu ditemukannya. Bahwa, walaupun bekerja di rumah, menulis juga butuh disiplin dan keberanian untuk jangan nonton TV. Dia menyusun jadwal hariannya dan disiplin melaksanakannya: 8 kilometer naik sepeda selama lima hari, setiap hari minum lima gelas air, lima menit membaca kitab suci, lima artikel dibaca setiap hari, dan lima artikel diposkan setiap minggu.

Pada akhirnya dengan ketekunanlah dan bukan tabiat lebih suka mengeluh ketimbang memaksakan diri bekerja sampai titik keringat penghabisan, profesi menulis bisa menjadi sandaran utama kehidupan.

Di Indonesia, menyandarkan hidup dari menulis mungkin masih barang asing dan pilihan yang terkesan nekad. Tapi buku ini sudah menunaikan tugasnya untuk memancing kita merancang kerja kepenulisan sebagai sebuah karier yang menantang dan sekaligus menakjubkan.

14 July 2007

Buku Favorit, Ini, Itu, Dll

::muhidin m dahlan

MASALAH:
(1) bagi seorang penulis ataupun seorang pembaca, buku apa sih yang paling baik?
(2) apa pentingnya pengkritik buat penulis?

BAGIAN I
Inilah jawaban saya: buku yang baik adalah buku yang mampu mengungkap, menggelitik alam bawah sadarnya, dan mendorongnya untuk bertindak atau merenungkan hidup.

Mungkin bagi sebagian orang, buku itu tampak ecek2, kampungan, katrok, tapi bagaimana kalau buku itu bisa mengubah hidupnya, merevolusi cara pandangnya.

Bagi kalian, buku2 pemenang nobel itu atau pemenang2 hadiah sastra itu luar biasa. Kalian memujinya setinggi langit. Tapi kalau buku itu tak memberi rasa sentuhan kepada saya, apalah guna semua pujian itu. Semua akan lewat tak teringat tak berjejak.

Kalau kalian berkata bahwa buku La Tahzan itu luar biasa, bagaimana kalau saya lebih tersentuh dan merinding ketika membaca berulang2 buku Haji ali syari'ati. Lalu mana yang lebih baik: buku La Tahzen atau buku Haji.

Maka dari itu bagi saya membaca adalah sebuah pengalaman personal.

Tak bisa kalian membanding-bandingkan derajat buku jika sebuah buku punya pembacanya masing-masing. Apa kalian kira seorang penulis tidak memikirkan buat siapa buku itu. Bahkan penulis paling pemula pun di bawah sadarnya dia sudah terpacak bayangan untuk siapa. Dan paling minim adalah pembaca yang dibayangkannya adalah pribadi-pribadi yang punya karakter seperti dirinya.

Dan apa sih salahnya buku yang terjual banyak?

Saya adalah salah satu pendorong bagi kawan2 saya yang baru saja memasuki gelanggang kepenulisan untuk menulis terus, jangan takut nggak dibaca, tapi kalau bisa pikirkan siapa dan seperti apa pembacamu. Kalau pembaca yang kamu pikirkan adalah sangat terbatas, ya itulah pencapaian karyamu. Lakukan itu, kejar itu. Kalau kalian menulis dengan menembus pembaca dengan cara terlebih dahulu menembus benteng selera para juri lomba, tempuhlah jalan itu. Ambil hadiahnya, dan semoga dari sana pembaca yang banyak bisa kalian raih.

Dengan kejelian membaca pasar buku atau pasar pembaca, tidak lantas bahwa prilaku sang penulis itu semata mencari keuntungan finansial. Itu hanya timbal dari kecerdikan menentukan target pembaca dan tentu saja kecerdikan membaca ruang gagasan yang lowong. Bukankah menulis adalah kata kerja dan setiap kerja layak diberi imbalan. Yang kurang terpuji adalah menjadi peminta-minta.

Kembali ke selera bacaan.

Mungkin kalian akan bilang bahwa selera saya katrok, ndeso, dan menjijikkan. Dan akan saya bilang, biarin. Toh saya membaca buku yang kemudian saya sukai itu karena memiliki implikasi etis dan intelektual dalam diri saya.

Karena itu jika kalian bertanya kepada orang, maka kalian akan terkaget2, betapa nyaris semua orang berbeda buku favoritnya.

Jika kalian bilang: hei gus muh, buku apa yang kausukai sejatinya. Maka jawaban saya ada tiga. (1) buku Haji yang membuat saya tergetar dan mengarahkan pelan2 pandangan saya bagaimana gerak fisik setiap ibadah adalah langkah2 revolusi. Dri buku ini, maka saya tergerak ke kiri, saya terdorong untuk menyelenggarakan pesantren sosialisme religius, dan tak gegabah menghinakan kaum komunis. (2) buku Pram yang membuat saya terguncang dan mau mencintai dan sekaligus belajar membuat novel di mana sebelumnya karya sastra adalah buku haram dan tak senonoh untuk dipegang. Mungkin kalian mengatakan buku Pak Budi Dharma itu luar biasa. Saya menghargai itu. Tapi jangan kalian paksa saya turut mencintainya. Sebab sudah dua buku Pak Budi saya tamatkan, saya tak terlalu banyak mendapatkan greget dan karena itu buku itu tak bisa mengubah jalan hidup saya. (3) buku Ayat-ayat Setan (The Satanic Verse) Salman Rushdie yang mungkin bagi kalian itu buku tak bagus, jelek di semua lini, tapi kalau saya menyukainya terus mau apa.

Mungkin kalian bilang buku2 katrok dan tak senonoh dan tak mungkinlah mendapat banyak penghargaan diajang perlombaan gampang dibuat... mungkin, tapi saya percaya satu hal, buku sesederhana apa pun itu membutuhkan cucuran keringat yang tak sedikit untuk membuatnya, membutuhkan berlapis kesabaran untuk tak tergoda meninggalkan embrio yang sedang tumbuh di kepala, membutuhkan ketegaran untuk bergabung barang sebentar dengan telaga sepi, dan tentu saja butuh disiplin yang mengekang diri untuk menyelesaikannya hingga huruf terakhir.

Karena itu saya menghargai sepenuh2nya buku, suka atau tidak. Saya menyukai penulis (buku atau blog) yang menulis dengan kesabaran yang intens, ketahanan berada di tepi sepi, dan kesungguhan menerapkan disiplin. Kalau pun karya yang dihasilkannya bermutu rendah, itu tak jadi soal. Kalian boleh mengutuknya, kalian boleh memakinya, kalian boleh mendinakannya, tapi jangan paksa saya melakukan hal serupa seperti yang kalian lakukan.

Dan terakhir, sebuah buku akan mencari pembacanya yang sehati lewat prosedur pasar yang berkelok-kelok, penuh intrik, saling merintang dan membalok, tapi dilakukan dengan kadar kegairahan yang meluap2.


BAGIAN II
Saya menghargai kritik. Saya sepakat sepenuhnya bahwa dalam masyarakat teks ada selapis orang yang berprofesi pengkritik. Dan itu baik buat penulis dan baik pula buat pembaca.

Pengkritik apa sih yang berguna bagi penulis. Semua berguna, namun yang saya maksudkan adalah tingkat gradasinya.

Kalau ada yang hanya mencela dan memaki dan bahkan ia melakukan itu dengan bahkan tak pernah membaca langsung buku itu, sorry, lupakan saja. Mereka baru bangun tidur. Mereka terlahir bukan sebagai pembaca yang utuh, mereka pembaca setengah. Dan orang yang setengah2 ini yang paling menakutkan. Dan sekaligus membuat perkara kebingungan dua penjaga gerbang akhirat: neraka dan surga. Ini org mau dimasukkan ke mana ya... dia jahat tapi baik juga; dia baik tapi jahat juga...

Pembaca yang utuh adalah pembaca yang memang membaca buku sampai selesai...(dan tak merepotkan para malaikat). Tentu tak mesti membaca buku itu dari lembar pertama sampai yang terakhir, karena ada orang yang maqom membacanya sudah tinggi... hanya melihat beberapa halaman saja sudah memberikan komentar dan komentar itu tepat, cerdas, dan kritik yang menghunjam tajam.

Pengkritik apa yang dibutuhkan penulis? Tentu saja kritik yang sungguh2. Kritik yang mengelupas setiap kulit makna dalam buku itu. Dan saya sangat menghargai kritik yang demikian itu.

Lantas bagaimana sikap penulis menanggapi kritik2 itu. Tanggapan terbaik adalah kembali ke kamar, atur daftar bab, meriset bahan, dan kembali menulis... terlalu lama ikut serta dalam kerumunan debat, saya khawatir dia akan salin profesi mengerikan: turut menjadi pemaki, tukang sinis, dan lupa mencipta.

Jika kalian coba2 mengkasifikasi seorang penulis dengan penulis berselera rendah dan penulis berselera tinggi (karena itu berpengaruh dengan klasifikasi: buku rendah dan buku tinggi), kalian belum keluar dari perdebatan zaman dahulu kala. Apakah itu salah? Tidak tentu saja, walau belum tentu benar. Saya punya klasifikasi sendiri atas jenis pembaca, atas jenis penulis, dan pada akhirnya atas jenis sebuah buku.

Dan simpulan saya sederhana saja:

(1) PEMBACA YANG MALAS DAN PEMBACA YANG RAJIN. Pembaca yang malas akan menghasilkan dua hal: ekstrim memaki atau royal memuji. Pembaca yang rajin tampak akan bijak; bukan karena keengganan atas sosok penulis (karena teman karena senior karena dosen sendiri), tapi karena dia tahu mana bumbu yang kurang pas dan mana bumbu yang lebih, serta mana bumbu yang lupa ditaruh.

(2) PENULIS YANG MALAS DAN PENULIS YANG RAJIN. Penulis yang malas adalah penulis yang tidak mau meluangkan waktu untuk melakukan riset atas tulisannya dan ketekunan membaca. Bahkan karangan paling imajinatif dan surealisme paling liar sekalipun butuh riset. Penulis yang rajin adalah penulis yang sebaliknya dari penulis yang malas...

Dan paling pungkas, seperti halnya penulis dan pembaca, cuma ada dua jenis blogger: blogger yang rajin mengupload dan blogger angin-anginan. Tabik!

09 July 2007

Lekra dan Tangisan Ismail

::muhidin m dahlan

Hudan Hidayat menulis esai “Nabi tanpa Wahyu” (JP 1/7/2007) sebagai tanggapan atas esai Taufik Ismail (“HH dan Gerakan Syahwat Merdeka”, JP 17/6/2007) yang menanggapi tulisan Hudan Hidayat sebelumnya (“Sastra yang Hendak Menjauh dari Tuhannya”, JP 6/5/2007) di Harian Jawa Pos. Di Pada saat yang sama di Harian Republika muncul esai Viddy AD Daery “Gerakan Sastra Anti Neoliberalisme” yang menyindir halaman budaya Media Indonesia sebagai koran bersekutu nilai dengan Komunitas Teater Utan Kayu (TUK) sekaligus mengobarkan semangat negasi TUK. Terutama soal yang menjadi keprihatinan sastrawan Taufik Ismail: neoliberalisme dan syahwat.

Saya sedang menonton film pemenang Berlin International Film Festival 2004 untuk Sutradara Terbaik, A Horny of Samaria (Samaritan Girl), saat membaca potongan-potongan kliping perdebatan itu.

#1

Dua anak SMU di Korea Selatan. Kulit pualam dan daging-daging tubuh masih liat pejal. Keduanya mengejar impian ke suatu tempat yang jauh. Dan diam-diam keduanya menyiapkan sejumlah uang.

Dan, “Astaghfirullah,” suara parau Taufik Ismail tertahan di kerongkongan membaca esai Hudan Hidayat “Sastra yang Hendak Menjauhi Tuhannya”. Lalu ia tak ambil peduli. Taufik mengambil pisau dapur dan mengiris bawang merah. Ia mulai melantur tentang praktik bejat sastrawan yang disebutnya Fiksi Alat Kelamin.

#2

Keduanya, cewek ingusan ini, sebagaimana galibnya dua pelacur profesional, membagi tugas. Jae-Young yang tampil feminin bertugas tidur dengan lelaki, sementara rekan dan sahabat karibnya, Yeo-Jin ambil tugas sebagai germo, manejer, dan sekaligus kasir dari semua keringat yang diperas Jae-Young. Satu lagi tugas Yeo-Jin: mencatat dalam diari mereka berdua kapan dan dengan lelaki yang mana Jae-Young melacur hari ini. Mereka pun mengincar motel. Jae-Young di kamar lantai tiga. Yeo-Jin di selasar untuk mengintai aparat keamanan yang selalu datang merazia transaksi seks yang dilakukan makhluk-makhluk di bawah umur.

Seperti polisi moral dunia akhirat, Taufik Ismail meneteskan airmata. Orang ini memang terkenal dengan mewekannya. Seakan-akan, sosoknyalah nabi baru yang menyelamatkan Indonesia ini dari kebrutalan Fiksi Alat Kelamin. Di usianya yang sudah magriban ia tampak gagah, tapi sekaligus cengeng. Ia sangat tahu bahwa tangisnya adalah modalnya untuk menaklukan hati siapa saja untuk bergerak melarang. Kalau sastrawan-satrawan Lekra dulu melarang semua yang tercela dari garis revolusi dengan suara lantang-lantang serak, kini Taufik Ismail melakukannya dengan menghamburkan airmata dan dengan suara serak-trenyuh menghiba-hiba belas kasih. Seorang diri maju tak gentar mengganyang sastra yang tak diridoinya. Ck. Ck. Ck.

#3

Beberapa kali memang Jae-Young dan Yeo-Jin bebas dari razia di motel itu. Namun rupanya dua petugas keamanan sudah mencium praktik itu. Praktik banal itu digerebek. Tapi Jae-Young cepat turun tangga belakang motel dan berlari bersama Yeo-Jin melintasi pasar yang ramai. Jae-Young hanya memakai beha berlari-lari di pasar kelontong itu.

Dulu, sebelum Taufik menjadi--dalam istilah Hudan Hidayat--nabi tanpa wahyu, adalah pengecam keras praktik-praktik kejam yang dilakukan sastrawan-sastrawan Lekra dan tanpa penjelasan yang njlimet melekatkan kepada Lekra stigma seratus prosen Partai Komunis Indonesia. Di mata Taufik, nyaris tak ada yang baik yang dilakukan sastrawan Lekra. Bacalah buku yang disusunnya, Prahara Budaya, niscaya Anda akan berkesimpulan: Lekra tak lain adalah segerombol algojo haus darah. Padahal, apa yang ia kampanyekan hari ini sudah dilakukan Lekra 52 tahun lalu. Bacalah Harian Rakyat di bundel Fabruari 1955 bagaimana Lekra Jogja mengumumkan jihad akbar terhadap pakaian-pakaian seronok dan sebangsanya di hadapan umum.

Baca pula artikel Iecha Akulara di lembar “Lentera” Bintang Timoer edisi Jum'at 2 Nopember 1962 yang diasuh Pramoedya Ananta Toer. Di sana Rendra dikecam habis-habisan karena menulis sajak-sajak kelamin. Setelah mengulas 6 sajak Rendra, artikel “Puisi Erotik: Bingkisan Ulangtahun Rendra” itu dikhatami dengan paragraf: “Tapi kita masih bisa merasa beruntung, karena erotika tak tumbuh subur dalam sastra Indonesia. Erotika jang berlebih2an hanja merugikan moralite bangsa kita, jang sedang sibuk dalam taraf pembangunan semesta berentjana. Dan sebaiknja dalam hal ini kita mengikuti pendirian dr. K. Heeroma, jang mengatakan bahwa puisi erotis adalah puisi hina. Sastra jang sematjam inilah jang mesti segera dibabat!”

Rupanya Taufik Ismail tak mau mengutip guntingan artikel itu supaya suatu saat akan dipraktikannya secara leluasa tanpa ada yang tahu. Generasi saya yang hadir belakangan betul-betul terkelabui. Sialan.

#4

Jae-Yung bernasib baik dan selalu bisa kabur dari razia yang pada akhirnya bunuh diri pada penggerebekan ke sekian kalinya. Bukan lantaran aparat ia meloncat dari lantai tiga, melainkan karena Yeo-Jin tak ingin dia mencintai teman kencannya. Yeo-Jin cemburu. Lantas karena itu Jae-Yung memilih mati. Tapi kematiannya adalah perubahan jalan hidup Yeo-Jin. Dia adalah anak aparat polisi moral Seoul. Seusai diasupi ayahnya setiap pagi dengan masakan kesukaan almarhum ibunya, dia segera berangkat ke sekolah lalu melacur. Dia hubungi semua teman kencan Jae-Young untuk menidurinya di lantai tiga motel. Usai bercinta, dia ucapkan terimakasih dan uang pemberian lelaki kepada Jae-Yung dikembalikannya.

Ayahnya resah setelah tahu bahwa anaknya lonte. Dibunuhnya satu per satu lelaki yang meniduri anaknya. Kalau Yeo-Jin melacur untuk nazar membersihkan rasa bersalahnya melarang Jae-Young jatuh cinta, maka ayahnya membunuh semua lelaki girang itu karena martabat sebagai seorang ayah dan polisi. Selanjutnya film ini tak banyak bicara. Semuanya berjalan dingin dan tak mudah ditebak ujung emosi dan hubungan ayah dan anak ini. Yeo-Jin memang menyelesaikan nazarnya dan mencoret nama terakhir yang mengencani Jae-Young dan ayahnya juga mengakhiri pembataiannya atas lelaki terakhir dalam buku diari itu dengan cambukan borgol dan hentakan batu bata yang menghamburkan seisi kepala lelaki bejat itu. Yeo-Jin tersedu di kaki gunung. Ayahnya dengan tatapan kosong meninggalkan Yeo-Jin di gigir sungai yang teduh menuju penjara dengan dakwaan pembunuhan.


Di dapur rumahnya, Taufik Ismail terus berlatih menangis. Ia bawa juga tangisnya di ruang sidang DPR dan tangis itu berbuah kata “PKI” kembali masuk kurikulum pelajaran sejarah SMP-SMU setelah sebelumnya sempat raib (kurikulum 2004). Ia tumpahkan pula tangis itu di ujung-ujung mikrofon atas nama pidato kebudayaan; audiens terharu dan ia berharap dukungan membabat 13 aliansi Sastra Syahwat Merdeka. Tangisnya itu pula yang ia sebar di halaman-halaman koran dan huruf-huruf di koran pun luntur.

Politik tangis itu pula yang membuat saya iba hingga saya terkadang tak lagi mengenali siapa sejatinya Taufik Ismail ini. Masihkah ia seorang Humanis Universal atau Humanis Unilever. Masihkah ia seorang penyair yang melahirkan puisi pamflet Tirani dan Benteng, walau gaya realis itu sudah menjadi makanan sehari-hari penyair-penyair Lekra yang dia kutuk hingga ke liang lahat selama bertahun-tahun lamanya.

Saya berharap mewekan Taufik Ismail di atas hanya fiksi belaka dan salah satu adegan persiapan syuting film Ratapan Anak Tiri 3 yang penuh hujan airmata. Sebab jika terjadi di panggung kebudayaan yang sebenar-benarnya, Taufik Ismail hanyalah epigon dari salah satu projek Lembaga Kebudayaan Rakyat yang sudah teralpa: buang ke tong sampah majalah Playboy, singkirkan sastra yang mengabuti moralitas revolusi, pria berkeluarga haram hukumnya selingkuh dengan perempuan lain, dan perempuan berbikini dilarang berlenggak-lenggok di ruang publik karena merusak jalannya revolusi.

*Dipublikasikan Harian Media Indonesia Ahad 8 Juli 2007

* Untuk membaca secara keseluruhan Pidato Kebudayaan DR Honoris Causa Dokter Hewan Taufik Ismail, silakan baca di sini!