06 September 2011

#3 Klaten (Bag 2): Api di Pematang

29 Agustus 2011 | Bayat | Km 40 | Pkl 6.37

“Kabupaten Klaten mulai saya rasakan sebagai kampung kedua saya” – JJ Kusni, Di Tengah Pergolakan: Turba Lekra di Klaten, 2005: 321

Salah satu drama terkemuka diciptakan JJ Kusni atawa Kusni Sulang adalah "Api di Pematang". Drama dua babak yang pernah dimuat di Harian Rakjat itu diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa dengan dua judul: "Sadumuk Batuk Senyari Bumi" dan "Sabuk Galeng Tepung Gelang".

Drama itu ditulis setelah Kusni berbulan-bulan menyaksikan dan hidup dalam masyarakat Tani Klaten dalam periode ketika Aksi Sefihak naik pasang. Kusni sendiri oleh penyair dan pimpinan teras Lekra HR Bandaharo disebut sebagai “penyair kebangkitan petani” lantaran usaha Turba-nya yang mengikuti aksi sepihak dari awal hingga akhir. Jalan kaki dari satu desa ke desa yang lain. Dari sawah hingga ke pengadilan ketika patriot-patriot Aksef dibui.


Drama "Api di Pematang" adalah tafsir kenyataan Aksi Sefihak petani Klaten dengan nyaris seluruhnya diperankan oleh warga dan petani Klaten yang tergabung dalam Lembaga Seni Drama (Lesdra) Cabang Klaten dan grup ansambel tari-nyanyi Lembah Merapi Klaten. Penulis lakon Kusni Sulang dan sutradara berasal dari aktor Asdrafi Yogyakarta Arifin (Ady Bremono????).

Drama yang dipentaskan di Klaten, Yogyakarta, Semarang, dan Jakarta itu mengisahkan kehidupan gadis petani yang terpaksa menyambung hidup dan membantu keluarganya dengan bekerja sebagai pembantu di rumah seorang penguasa tanah. Ketua Aidit bahkan memujinya.

Saya lampirkan cuplikan tinjauan atas pertunjukan itu. Langsung dari Harian Rakjat.

Drama ,,Api Dipematang"
Tjatatan SIS

Ditengah-tengah KSSR, kita menjaksikan pemanggungan drama ,,Api Dipematang", tulisan Kusni Sulang. Apa jang diabadikan oleh drama itu adalah sesuatu jg. sesuai benar, dengan tuntutan revolusi Indonesia sekarang ini, jaitu meletakkan kaum tani sebagai sokoguru revolusi, untuk pelaksanaan UUPA dan UUPBH.


,,Api Dipematang" adalah pengungkapan tentang aksi melaksanakan UUPA dan UUPBH. Saja tertarik betul dengan tanggapan kawan Ketua Aidit setelah melihat drama itu: ,,Saja suka drama itu, lepas dari kelemahan2 tehniknja maupun kelemahan pemanggunganja, karena ia menurut saja tjukup mengharukan. Dan drama itu mengabadikan suatu peristiwa revolusioner masa kini".


Mengabadikan perdjuangan kaum tani memang peristiwa besar, dia adalah sebagian dari revolusi agraria.


,,Api Dipematang" adalah penggambaran aksi kaum tani di Klaten belakangan ini, aksi kaum tani menuntut pelaksanaan UUPA dan UUPBH.


Tentang repertoarnja, saja berpendapat bahwa penulisan itu adalah sesuatu jang baru dalam arti temanja - sebab tema tentang pergolakan tema tani jang pergolakan dalam bentuk drama belum banjak. Kalau mau dihubungkan dengan Saidjah dan Adinda" (saduran Bakri Siregar) ,,Api Dipematang" ini lebih kompleks persoalannja. Ia hasil aksi penulisnja sendiri. Bukan sadja persiapan pikiran telah dilakukan namun sekaligus bentuk partisipasi sangat membatu pelukisan jang djelas. Sudah tentu bukan berarti bahwa ,,Saidjah dan Adinda" kurang djelas dibanding dengan ,,Api Dipematang". Sebab proses kreasi bisa melalui dua djurusan, pertama observasi tidak langsung, bisa hanja dengan persiapan pikiran jang klaar dan kemudian mendengar dari manusia jang mengalami derita dan pergulatannja. Dan jang kedua, kreasi lahir dari hasil partisipasi konkrit si penulisnja.


,,Api Dipematang" lahir sebagai reportoar drama jang pertama kali dari penulisnja. Penulisnja adalah seorang penjair, wadjar kalau dramanja pertama ini banjak dimasuki kepenjairannja. Ungkapan2 puitis terkadang kurang membantu wadjarnja suatu pelukisan. Misalnja, apakah petani2 dalam mengemukakan derita, sendu, marah, dsb dalam pertjakapannja menggunakan kata2 perbandingan? Pada hemat saja mereka lebih kerap berterusterang. Apakah ,,sedjuta permata" sebagai ungkapan tepat untuk mewakili naluri keberanian dan kebahagiaan petani.


Memang petani, kususnja petani2 Djawa suka akan ibarat, misalnja dalam wangsalan, sindiran2 parikan, dsb, tapi sebagai dialog dalam kehidupan sehari-hari hal itu djarang dilakukan, jang begitu hanja akan diutjapkan dalam nasehat, tembang, pantun parikan dsb.


Babak pertama struktur pentjeritaannja lebih lemah, dibanding babak kedua. Klimaks2 ketjil jang timbul disana sini, belum terseleksi dan tatkala klimaks besar berlangsung ternjata kurang djelas kontinuitet kontradiksi2 dalam peristiwa itu. Sehingga resolusi2 jang timbul atas klimaks itu kurang terutjapkan setjara baik.

Omong2 petani jang dilakukan ketika selesai penguburan agak kurang realis, dipandang dari kenjataan kesedihan jang sedang berlangsung.

Babak kedua mengasjikan, klimaksnja terpusat pada saat konklusi; konstinuitet terasa.

Kemudian ingin saja sampai pada pemanggungannja, satu hal jang menurut saja tjukup menggembirakan. Memang ada hal2 ketjil jang belum terpenuhi oleh mereka dan sesuai dengan kemauan kita. Namun ini bukanlah handikap jang besar, bahwa hal2 serupa itu akan dan pasti ditemukan melalui proses jang terus menerus, tidak kenal lelah dan tekun. Hadirnja sedjumlah besar pemain jang terdiri dari kaum tani jang ikut aksi di Klaten membantah semua pendapat jang mengatakan bahwa kaum tani itu bodoh, tidak mengerti kesenian - seperti dikatakan oleh sebagian orang. Pemain2 ,,Api Dipematang" adalah pemain2 jang baik. Bahkan kalau kita mau teliti, merekalah pemain2 jang partisipan dalam peristiwanja itu sendiri. Sehingga gerak2, mimik, dan akting jang mereka bawakan dipanggung tak ubahnja dengan tindak laku keseharian mereka.

Dibabak pertama penguasaan blocking relatif kurang dibanding pada babak kedua, padahal pemain pada babak pertama tidak banjak. Pada babak kedua, ketika sedjumlah petani berkerumun dikelurahan malah panggung dikuasai setjara baik. Masih banjak teks jang kurang dikuasai, tapi ini kekurangan jang bisa diperbaiki lainkali.


Tuantanah jang dibawakan oleh Agus. S, tjukup baik mewakili tokoh tuantanah, pintarnja membudjuk, kasarnja wataknja jang ,,batuk klimis", semua dalam batas tertentu bisa diungkapkan dalam akting, expresi dan mimik.


Lurah tokoh jang bersekongkol dengan tuantanah bisa disampaikan sebagai manusia pembimbang, ragu akan kedudukannja sebagai pengajoman. Tokoh ini didukung oleh Sarono, Sih Sunarti dipasang sebagai mbok Sastro; karena volume suaranja besar sehingga tokoh tua jang dibawakannja tidak sampai diketemukan dan djuga karena utjapan2nja tjepat, tempo kurang, sehingga diksi tua hilang. Kamti, anak lurah jang kesadarannja dibentuk dalam proses jang terlalu tjepat. Pada pendapat saja pahlawan, anak feodal ini ketjepatan masaknja tidak sepadan dengan proses jang dialaminja.


Boleh djadi penuangan dalam drama itu belum terseleksi betul2, mungkin apa jang diketengahkan belum mewakili keadaan sebenarnja. Oleh pemain Adijati peranan ini dibawakannja dengan baik; keharuannja didatangkan dari lubuk hatinja. Pilang dibawakan oleh Suhardjio Pudjonadi, pelukis dan pentjukil kaju muda. Gerak laku kesehariannja masih dibawanja dipanggung, sebagai kader tani revolusiner ia terasa agak menggurui. Tjaranja mejakinkan petani2 lainnja seperti kepada kader2 jang sama kedudukannja. Jang lain-lain bermain biasa.


Keseluruhan pemanggungan itu baik.


Musik kurang membantu suasana, kerap ketinggalan dengan adegan jang ada. Djuga tata lampu ketinggalan dengan adegannja. Drama jang berdjalan dalam tiga situasi - malam, siang dan pagi tidak dibantu oleh lighting.


Penjutradaraan agak lemah, tidak membikin kordinasi pemainnja. Penjutradaraan dikerdjakan oleh Ady Bremono. Pengutjapan sadjak oleh mbok Sastro, saja pikir akan lebih baik berupa illustrasi dibelakang. Tapi semua jang saja sebut belakangan ini, saja sebut sebagai suatu jang saja tanggapi, agar tema besar lainkali didukung kekuatan jang lebih besar. Kepada kawan2 Klaten kita sampaikan utjapan selamat atas usaha mereka mengungkapkan aksi besar ini kedalam bentuk pengutjapan drama. (Sumber: Harian Rakjat, 13 September 1964)


Demikian kisah Aksi Sefihak Klaten yang disusuri penggerak kebudayaan Lekra, Kusni Sulang dan dituangkan dalam sebuah drama dua babak.

* Serial catatan mudik #syawalitumerah

No comments: