23 May 2015

Hari Buku Nasional

Sandaran penentuan Hari Buku Nasional sama dengan pers, melekat pada organisasi pegiatnya. 


Sudah lazim diketahui, peringatan Hari Buku Nasional 17 Mei bersandar pada dua “aliran” yang berbeda. Yang pertama menautkannya pada hari jadi orgaan penerbit IKAPI (Ikatan Penerbit Indonesia), 17 Mei 1950.

Pendapat kedua menautkan Hari Buku Nasional diambil pada kronik peresmian gedung Perpustakaan Nasional RI di Jl Salemba Jakarta Pusat, 17 Mei 1980. Pendirian gedung ini diinisiasi Ibu Tien Soeharto yang sekaligus menghibahkan tanah 16,000 meter persegi dan gedung berlantai sembilan dari Yayasan Harapan Kita yang dipimpinnya.


Oleh karena itu, di lantai dasar PNRI itu kita bisa membaca litografi Ibu Tien. Litografi itu menandaskan sebesar apa peran Ibu Tien dalam penentuan Hari Buku Nasional.

Mengikuti lintasan kronik, saya lebih meyakini pada aliran kedua, bahwa Hari Buku diperingati mengikuti pembukaan Perpustakaan Nasional RI di Salemba pada medio 1980, dan tidak terkait pada hari jadi IKAPI. Di masa Orde Baru, peringatan buku nasional digelar tiap tahun setelah pencanangan pemakaian gedung baru PNRI itu.

Di luar soal IKAPI dan PNRI itu, yang menarik adalah sandaran Hari Buku Nasional melekat pada induk organisasi yang mengurusi buku. Termasuk perpustakaan (PNRI) atau penerbit (IKAPI), dan bahkan toko buku.

Di era Sukarno, Hari Buku Nasional dicanangkan setiap tanggal 21 Mei mengikuti hari lahir Persatuan Toko Buku Indonesia (PTBI) dengan generator utama Toko Buku Gunung Agung. Maka jangan diherankan betapa eratnya hubungan Sukarno dengan pendiri Toko Buku GA ini. Bahkan, buku utama Sukarno dipercayakan kepada Gunung Agung menerbitkannya, seperti Sukarno: An Autobiography as told to Cindy Adams (1965).

PTBI dengan mandat besar menentukan jalan nasib buku nasional ini pula yang menggerakkan magnituda pameran buku di Jakarta. Pameran yang bernama “Gelanggang Buku” itu pertama kali dihelat pada Juli 1958 hingga diambil-oper seluruhnya oleh IKAPI pada 17 Agustus 1965.

Sebagai penulis pidato-pidato Sukarno, Njoto pernah bikin usulan agar pencanangan Hari Buku Nasional itu tidak bersandar pada PTBI yang terlampau sibuk mengurus perniagaan buku tiap tahun, melainkan bertumpu pada buku yang memberikan perubahan besar bagi perjalanan revolusi Indonesia.

Karena itu, Njoto pada tahun 1962 mengusulkan Hari Buku seyogyanya diperingati bertepatan dengan hari lahirnya Mencapai Indonesia Merdeka. Pleidoi Sukarno yang di kemudian hari lebih dikenal dengan Indonesia Menggugat itu, kata Njoto, memberi sumbangan cukup besar pada perjuangan kemerdekaan bangsa.

Usulan Njoto tentang buku apa yang layak dijadikan tonggak Hari Buku Nasional itu tentu masih diperdebatkan dengan seabrek argumen. Namun gagasan Njoto “membebaskan” Hari Buku Nasional dari menempel di orgaan buku mengembalikan kita pada penghormatan atas buku; bukan sebagai organisasi dengan aturan keanggotaan yang ketat dan khas, melainkan buku sebagai organisme yang bisa hidup di lingkup lebih luas.

Karena nyaris menjadi luka dalam kegiatan kemasyarakatan kita bagaimana organisasi yang hari jadinya ditransformasikan sebagai hari bersama nasional kerap mengidap penyakit: “menyingkirkan yang tak sepaham”. Bagaimana kita bisa mengajak si paria yang kalah ikut serta merayakan hari buku nasional di saat yang sama tidak diakui sebagai warga khusus di organisasi itu.

Usulan Njoto di tahun 1962 itu kita baca sebagai usaha mentransendensikan buku dari sekadar kegiatan niaga tahunan PTBI. Tapi di tahun 1980, rezim yang berbeda mengikuti secara persis pola penentuan Hari Buku. Kali ini menautkannya di rumah buku bernama perpustakaan nasional.

Warisan Ibu Tien dari Salemba itulah yang kita terus hidup-hidupkan hingga sekarang. Di sini.



wikipedia
* Dipublikasikan pertama kali Harian Koran Tempo, 23 Mei 2015