29 March 2016

Kita Butuh UU Buku, bukan Perpus DPR

Kita selalu memberi apresiasi kepada semua kalangan untuk memajukan dunia literasi di Indonesia. Termasuk anggota parlemen dengan impian spektakuler: membangun perpustakaan DPR termegah se-Asia Tenggara.

Saya selalu memuji website dpr.go.id, terutama saat mereka mengunggah edisi daring seluruh produk staatsblad sejak Indonesia Merdeka (1945) hingga kini. Ini pekerjaan luar biasa maju. Rupanya, membangun dokumen raksasa via daring tak cukup bagi legislator pengesah anggaran apa pun dari eksekutif ini.

Jika angan-angan punya gedung sendiri sejak satu dekade silam selalu mentok karena ditolak rakyat banyak, kini DPR meniti jalan memutar dan terkesan mulia: bangun perpustakaan termegah.



Sudah tersedia siteplan?

Itu tak terlalu penting, namun angan-angan memiliki infrastruktur bangunan-baru saya catat sebagai impian laten DPR. Dengan mengendarai buku dan bangunan sucinya, mereka berharap masyarakat berbondong-bondong memberi dukungan. Hasil akhir: citrawi DPR bisa terkerek.

Sampai di sini, DPR alih-alih mendapatkan simpati, malah melakukan blunder. Apalagi alasan yang diberikan salah satu pimpinan legislator Fahri Hamzah menggelikan, bahwa perpustakaan DPR sebagai upaya mengembalikan anak-anak remaja dari gajet ke buku. Padahal, mereka yang tiap hari muncul di televisi tak satu pun yang mengepit buku, hatta seeksemplar novel pop.

Blunder itu makin terlihat saat kita memperhadapkan impian “termegah” itu dengan Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (PNRI). Mestinya, jika DPR mau, mereka mendorong secara maksimal sesuai kewenangannya “mengintervensi” anggaran PNRI untuk menjadi perpustakaan terlengkap, termegah, ternyaman, terkreatif se-Asia. PNRI adalah representasi terdepan bagaimana negara menghormati buku dan kultur merawatnya.

Mestinya DPR kembali ke fungsi utamanya, jika memang ngotot “bermain” di dunia buku. Sebagai penggodok dan pengesah staatsblad, mestinya insan-insan DPR kolektor buku semacam Fadli Zon mendorong lahirnya UU Perbukuan Nasional. Mestinya mereka juga tahu sudah satu dekade lebih undang-undang ini mangkrak sebagai draf. Godoklah undang-undang buku yang mampu mengawal dan mengantisipasi perubahan zaman hingga satu abad ke depan.

Jika pun ngotot memiliki perpustakaan, buatlah pusat data daring raksasa untuk menampung seluruh database kegiatan parlemen sehingga mudah dan cepat diakses masyarakat. Jika hanya soal ini, mudah. Tak perlu infrastruktur miliaran rupiah dihabiskan. Yang diperlukan adalah server tanpa batas. Untuk menyimpan server, tak perlu juga sok bangun gedung bertingkat-tingkat lantainya. Pasrahkan saja di gedung siber atau server kepunyaan negara yang dijaga secara ketat ahli siber.

Soalnya memang menjadi lain jika infrastruktur yang menjadi incaran DPR untuk direalisasikan di kompleks Senayan. Namun lagi-lagi infrastruktur perpustakaan itu irelevan. Sebab yang mendesak diperjuangkan DPR hingga tetes keringat dan urat malu penghabisan adalah sebuah gedung baru yang representatif. Sebab gedung yang mereka tempati saat ini pembentukan awalnya bukan untuk parlemen, melainkan untuk kegiatan olahraga, untuk sport, untuk Ganefo.

Yang lebih masuk akal adalah membuat banyak taman bermain jika ada kunjungan anak-anak TK dan siswa SD, serta ruang olahraga yang terbuka maupun tertutup. Banyak duduk, terpapar udara pendingin, tapi jarang sport bisa membikin tubuh menjadi layu. Tubuh yang layu dan darah yang mampat tak baik untuk modal bersidang dan bersitegang.

Kita berharap, DPR melepas secepatnya mencopot mimpi mulianya itu. Biarlah mimpi perpustakaan terlengkap, termegah, ternyaman, terkreatif se-Asia menjadi domain PNRI yang merupakan representasi Perpustakaan Negara dan kebanggaan rakyat Indonesia.

Jika DPR tetap keukeuh kerjaan mereka dilihat dan dibaca hingga tiga milenia ke depan, join saja dengan PNRI atau Arsip Nasional untuk membuat satu ruang tersendiri yang terdiri dari ribuan loker nama-nama anggota DPR dan dokumentasi kerja mereka di pelbagai media dalam bentuk teks berita, video, foto, pin, plakat.

Untuk bisa demikian, komisi terkait cukup memanggil Ketua PNRI. Tanyakan berapa dana yang dibutuhkan untuk menjadi terlengkap, termegah, ternyaman, terkreatif se-Asia! Sungguh, PNRI butuh DPR untuk mewujudkan itu.

Sederhana sekali, bukan!? [Muhidin M. Dahlan]
* Versi cetak dimuat di Harian Jawa Pos, 30 Maret 2016