11 April 2015

Air Mata Ibu Mega


“Voting itu bukan budaya kita, tetapi budaya Barat yang diimpor yang dibawa ke tempat kita” — Megawati Soekarnopoetri, Ketua Umum PDIP, 1999-2020.

Dengan berlinang airmata, Ibu Mega membuka Kongres PDIP IV di Bali yang dengan aklamasi memilih diri beliau menjadi Ketua Umum (lagi). Jika dunia belum kiamat pada 2020, insya Allah Ibu Mega, tetap anggun dan teduh di sana.

“Kini perhatian bangsa Indonesia tertuju ke Bali karena apa yang dihasilkan dalam kongres akan menjadi tonggak baru perjalanan perjuangan bangsa dan partai,” seru Ibu Mega di atas mimbar setelah mengucap Merdeka! Merdeka! Merdeka!


Iya, Ibu, tonggak baru yang Ibu maksud itu semua komponen bangsa ini tahu. Semua-muanya, Ibu. Terutama sekali Pak Aburizal Bakrie dan PSSI yang sedang bingung.

Tonggak baru yang pasti itu adalah Ibu Mega jadi Ketua Umum (lagi). Tonggak lain, kader elite ibu ditangkap komisioner di arena kongres di mana Ibu juga di situ. Dan itu belum pernah ada dalam sejarah partai politik. 

Belum pernah ada, seperti belum pernah ada perempuan yang menjadi ketua umum partai berdekade-dekade selain Ibu. Tonggak? Iya. Dalam tonggak itu ada kebenaran. Paling tidak ada 4 kebenaran dalam sejarah partai politik di Republik Indonesia—setelah Ibu Mega tanpa saingan  menjadi Ketua Umum partai (lagi).

Kebenaran 1: Ibu Mega adalah batu akik lokal yang mahal.

Sebagaimana dalam dunia ekosistem, Ibu Mega termasuk dalam family politisi keras hati dengan gabungan bakat alam dan genetika. Ia bukan politisi yang pikirannya dipenuhi teori dari diktat buluk universitas (lokal atau manca; STAN atau Harvard), tapi gagap kakinya menginjak lapangan politik. Juga bukan bandar judi parpol dan bola yang berzirah partai.

Kebenaran 2: Ibu Mega adalah rujukan buku partai politik yang teduh.

Dengan mulusnya Ibu Mega menjadi ketua partai (lagi), pandangan saya yang miring-miring dan penuh syak wasangka berubah semuanya tentang Ibu Mega di kesempatan pertama. Ibarat buku, jelas Ibu Mega adalah buku dengan cerita dingin dan plot yang terjaga sejak halaman tengah. Di bab-bab awal saja pembaca dibikin mual-mual, disuguhi horor tanpa teman, dan turbulensi yang menghilangkan nalar (1993-1996). Selebihnya adalah kisah yang teduh berularan.

Bandingkan dengan buku politik “bikin partai untuk menjadi pemimpin bangsat” bernama Amien Rais, Yusril Ihza Mahendra, Wiranto, Prabowo Subianto, Surya Paloh, bahkan Bapak Harry Tanoe yang sejak sebulan lalu habis-habisan menjajakan dirinya di televisinya sendiri untuk kepentingan bangsa(t) 2019.

Semua nama-nama itu tumbang. Semunya membusuk dimakan impiannya sendiri. Dalam ekosistem batu akik, nama-nama yang saya sebut itu adalah batu akik karena situasi, karena digoreng tangan pasar tak tampak; bukan alamiah yang bertarung berabad-abad dalam tempaan musim dan cercaan cuaca.

Kebenaran 3: Ibu Mega adalah sumur manajemen.

Begini, jika Anda ingin mendapatkan tips bagaimana supaya komunitas Anda panjang umur sepanjang-panjangnya, pakai Manajemen Ibu Mega. Gampangnya, sebut saja manajemen ini dengan Mentega.

Nilai dasar mentega adalah efisien, serbaguna, gak tumpah, dan awet. Mentega bisa menjadi minyak goreng, pengudar rasa roti, bahkan bisa juga menemani Anda ngudap camilan pisang goreng.

Pendeknya, ngurus organisasi gak usah ndakik-dakik, berdebat suntuk, berkelahi di forum-forum komunitas untuk mendapatkan perhatian dan jabatan sekjen. Apalagi jadi ketua umum. Atau bahkan demi demokrasi dan asas, mesti baku desak masuk keluar pengadilan.

Inti utama Mentega itu “juru kunci”. Komunitas Anda panjang umur jika ada seorang “juru kunci”. Dan praktik Mentega ala Ibu Mega, “juru kunci” adalah ketua seumur hidup.

Dalam diri “juru kunci” ada kepastian alamat rujukan, loyalitas tanpa pamrih, sikap keras kepala, dan tak pernah meninggalkan ruang yang dalam kawasan kuncinya. Jika ada yang berkelahi, berkelahilah di dalam ruang dan bukannya ujug-ujug berlari keluar pagar, berteriak-teriak untuk didengarkan orang banyak (orba). Itu tidak baik. Itu perbuatan impor.

Terkadang logika “juru kunci” ini sering kita tak pahami. Dan memang, si “juru kunci” bukan untuk dipahami–apalagi dirundung–melainkan diikuti. Seperti nilai kurs ekspor-impor “voting” yang diungkapkan Ibu Mega dari podium agung dan kemudian Anda rundung tiada tara karena barangkali tingkat pendidikan Anda lebih tinggi dan asyik, padahal mengurus diri Anda sendiri saja Anda tidak becus.

Bagaimana jika “juru kunci” dikubur usia, mati dong komunitasnya? gugat Anda. Jawabku: Astaghfirullah, cilaka, Anda tidak sedang mendoakan Ibu Mega tidak panjang umur dan sehat walafiat kan? Anda sadis. Anda bagian dari #SayaBerulangKaliDitusuk.

Jadi begini, kalau pun komunitas mati setelah berumur 20 tahun terus mau apa. Tak perlu ditangisi. Jangankan komunitas Anda, warung makan Anda, partai Anda saja yang dijaga sekian ribu orang bisa nyemplung, kesebelasan Anda yang ditopang suporter melimpah ruah bisa nyungsep. Bahkan negara-bangsa saja bisa bubar. Dan bahkan Anda sendiri tak pernah bisa menjaga tubuh Anda dari ancaman qoit kapan-kapan.

Kebenaran 4: Ibu Mega adalah Ibu dari airmata keharuan.

Hati Ibu Mega itu tipis. Ia bisa haru dalam amarah. Ia memaki pengkhianat. Ia berteriak pada penusuk yang doyan main dari belakang. Karena ditusuk berkali-kali lewat belakang itu sakitnya tiada tara.

Lantaran tipisnya hati Ibu Mega, ia mudah menangis ketika membuka Kongres Partai. Pipi Ibu Mega tiba-tiba bersimbah airmata di atas podium. Suara Ibu Mega sekonyong-konyong lirih dan punggung tangan kanan beliau menyapu buliran airmata di hadapan kamera televisi saat talkshow agung ditayangkan secara live.

Hati Ibu Mega yang tipis itu, menurut saya, sangat dibutuhkan generasi marhaen dalam kota. Mereka anak-anak marhaen yang pintar mencari uang, tapi jiwanya mudah retak. Putus cinta saja bisa membuat anak-anak marhaen baru kaya dengan pendidikan tinggi ini mudah ambil keputusan terjun dari mall. Nggak dapat jodoh saja bisa merajuk ke presiden lewat petisi daring.

Tapi hati Ibu Mega yang tipis, yang mudah lirih dan haru bukan untuk ibu-ibu dari Rembang yang mengangkat alu dari desa yang jauh di Istana Negara untuk mengadukan haknya.

Tapi hati Ibu Mega juga bukan untuk ibu-ibu yang tiap hari Kamis mengemiskan “keadilan minimum” untuk keluarga dan anak-anaknya yang hilang di depan Istana Negara, di DKI Jakarta, yang tak jauh-jauh amat dari Menteng tempat Ibu Mega tiap hari sepanjang tahun bercermin.

Panjang umur untuk Ibu Mega dengan segala kebenarannya.

Dipublikasikan pertama kali di web mojok.co, 11 April 2015

No comments: