05 December 2016

PINDAH RUMAH

Blog "akubuku" ini didirikan sejak 2007. Rupa-rupa cerita di dalamnya. Merekam serangkaian perjalanan penulisan. Ada masa ketika sangat produksi mengisinya. Terkadang pula berbulan-bulan ditinggalkan. 

Kini, setelah satu dekade saya resmi pindah. Teman, berkunjung ke rumah baru:


03 December 2016

Menonton Kenangan, Mengingat Persipal Palu

Saya mengingat kembali Persipal Palu karena laki-laki bernama Neni Muhidin ini sering mengubernya secara paruh waktu di lama Facebook. Bahkan, pada akhirnya Persipal Palu makbedundu muncul di Yogyakarta untuk menjalani laga final turnamen Liga Nusantara 2016 yang memang dipusatkan di Provinsi Jawa Tengah dan DIY, juga atas informasi yang dibagi lelaki yang tinggal di Jl Tururuka Palu sambil menunggui perpustakaan minionnya bernama Nemu Buku.

Sampai akhirnya saya memutuskan untuk menonton Persipal Palu di pertandingan kedua mereka di babak penyisihan Grup H berhadapan dengan Gama FC (Yogyakarta). Bertanding di Stadion Sultan Agung, Pacar, Bantul, DIY turut membantu lantaran hanya tujuh menit waktu tempuh dari rumah tinggal di Kecamatan Kasihan.

29 November 2016

GURU L. JENTONG. "Kepala Sekolah Penuh Dedikasi"

"Sekolahkan hingga setinggi-tingginya "anak kita" itu. Dia punya potensi besar." -- Guru L. Jentong kepada Ambo Muhammad Dahlan, 1993

Saya menghadap pusara sang kepala sekolah di pemakaman desa kala pulang kampung di pengujung tahun 2013 seusai acara Hari Nusantara Nasional yang dipusatkan di Kota Palu, Sulawesi Tengah. 

Pekuburan ini nyaris tak pernah berubah sejak saya meninggalkan kampung ini untuk tinggal di Yogyakarta sejak 1996; kecuali makin meluas, makin padat. Artinya, ada satu generasi yang ketika dari kanak hingga remaja yang sudah hilang berpindah rumah di pekuburan yang tak jauh dari sungai besar Desa Tondo, Kecamatan Sirenja, Kabupaten Donggala ini.

Nama di nisan itu L. Jentong. Jika Anda mencarinya di bilah pencarian tentu tak menemui seutas pun link yang mengarah pada riwayat tentangnya. Dan, memang tak ada yang menuliskannya--atau saya tak menemukannya di blog mana pun. Nama ini agak "aneh", L. Jentong. Seumur-umur hingga sekarang saya tak pernah mengetahui aksara "L" itu akronim dari apa. Apalagi nama "Jentong" yang di internet kita diarahkan ke web seni rupa dan komik "jentong.com".

25 November 2016

Petani Mulai Banyak Digusur, Mahasiswa Pertanian Ngapain?

Ketika para petani berjibaku mempertahankan sawah dan ladangnya dari eksploitasi tambang dan pembangunan infrastruktur pesawat udara, di mana suara mahasiswa pertanian?

Ketika lahan-lahan pertanian makin menyempit dan keluarga petani Indonesia makin susut dari tahun ke tahun, di manakah sikap mahasiswa pertanian?

Ketika atas nama pembangunan ketahanan pangan pemerintah membangun industri pertanian dengan mengundang fabrikasi bibit multinasional beroperasi di dalamnya, di mana pamflet kritis mahasiswa pertanian ditempelkan?

Ketika petani dibunuh dan disiksa demi tanahnya, di mana advokasi dan aksi "bela-pati" mahasiswa pertanian?

13 November 2016

In Memoriam Hasmi “Gundala” Suraminata (1946-2016): Ketika Sains Memanggil, Asmara Menepi

Awan tebal menaungi pemakaman seniman Giri Sapto, Imogiri, Bantul, Jogjakarta, 7 November, saat jasad Hasmi Suraminata diturunkan ke liang lahat. Ia dimakamkan di sisi kiri Teras III bersebelahan dengan nisan maestro seni grafis Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta, Sun Ardi. Gumpalan awan di pemakaman yang lebih kurang 123 meter jaraknya dari makam para raja Jawa itu serupa awan gelap yang menjadi musabab lahirnya Gundala yang menjadikan nama Hasmi masuk dalam deretan maestro komik Indonesia.

Suatu sore di sebuah cafe ... demikian balon di panel pertama serial kesatu Gundala Putera Petir yang diterbitkan Pentastana Production tahun 1969. Dua belas halaman pertama, Hasmi memperlihatkan ketegangan antara panggilan asmara Minarti dan ketakjuban Sancaka pada sains; antara keriuhan kafe dan kesunyian dalam laboratorium; antara godaan pesta ulang tahun dan keterpesonaan pada ilmu pengetahuan. Hasmi menabrakkan dua situasi yang saling membelit itu dan berakhir runyam dalam gulungan awan tebal Kota Jogjakarta. Minarti dan Sancaka putus asmara; percobaan Sancaka mencari serum anoda anti petir untuk menyelamatkan masyarakat dari sambaran petir juga turut berantakan.
Pada saat remuk asmara dan gagalnya percobaan sains itulah Sancaka disantap petir di sebuah lapangan di luar kota. Sekaligus peristiwa ini oleh Hasmi dituliskan di lembar ke-12 sebagai: “pangkal dari ceritera ... Gundala Putera Petir”.

25 October 2016

Zen RS: Keple von Karangmalang

Di antara puluhan ribu kader HMI MPO di seluruh Indonesia yang berusia di antara 20 hingga 40 tahun, barangkali Zen RS adalah penulis esai terbaik. Tanpa tanding!

Anda tak salah, Zen RS memang kader organ hi-hi (hijau-hitam) dalam pengertiannya yang sesungguh-sungguhnya. Ia adalah kader milenial. Memasuki gerbang perjuangan umat di awal tahun 2000 di Kampus Karangmalang a.k.a IKIP atawa Universitas Negeri Yogyakarta.

23 October 2016

Memoar dan Sketsa Gregorius Soeharsojo Goenito: Para “Pahlawan Repelita” Orde Harto


"Penggembala dan domba / Di bawah kokangan meriam dan kaliber / Ayo jalan, area sawah dekat / Di sini kuserahkan untuk masa depan" ~ Gregorius Soeharsojo, “Pelita 1969”, Tiada Jalan, hlm. 72

Kesaksian tentang Buru sudah kerap diekspresikan oleh mereka yang kena gebuk dan merasakan satu sekade berada dalam kerja di bawah popor bedil, bentakan, dan sepakan lars yang bikin ciut nyali. Ekspresi itu beberapa sudah dibukukan, dan beberapa lagi masih dalam kepala para tahanan politik (tapol) yang usianya makin menuju titik akhir cerita.

17 October 2016

Petani, Partai, Puisi

desa ditumpas
traktor meremuk palawidja
pembesar mana akan berkabung?

Agam Wispi, “Latini”, Matinja Seorang Petani (Badan Penerbitan Lembaga Kebudajaan Rakjat, 1962, hlm 8)

Akhirnya, setelah bertarung habis-habisan selama bertahun-tahun di sawah, di jalan, dan di pengadilan, petani yang mengekalkan hidup dalam koloni Pegunungan Kendeng, Rembang, Jawa Tengah, keluar sebagai pemenang.

Mahkamah Agung pada 5 Oktober 2016 memenangkan gugatan perkara yang mereka ajukan lewat jalan Peninjauan Kembali (PK) setelah kalah di Pengadilan Negeri Semarang. Segala hal yang heroik yang dibayangkan orang dalam “negara-damai” sudah mereka lakukan: melawan tentara sewaan korporasi semen berbulan-bulan dalam tenda, melakukan long march ke pengadilan di Kota Semarang dan sekaligus memperlihatkan caping perlawanan kepada gubernur dari partai (baca PDIP) dengan ideologi marhaen yang makin ke sini makin aneh. Bahkan, di depan Istana Negara yang dihuni presiden dari partai yang menjadikan petani sebagai jualan ideologinya, sembilan perempuan petani ini menggelar “atraksi pertunjukan” dengan, ya Allah, mengikat kaki dengan cor semen.

09 October 2016

Setelah 200 Tahun Centhini: Asmara dan Erotika Para Leluhur

"Ketika malam ketujuh tiba, Tambangraras duduk bersimpuh di haluan ranjang, cukup jauh dari Amongraga hingga tidak cemas terhadap ketelanjangannya, namun cukup dekat agar dapat menjinakan lingganya" ~ Tembang 78, Serat Centhini saduran Elizabeth D. Inandiak

Secara mengejutkan dan tepat Halilintar Lathief memperoleh Sang Hyang Kamahayanikan Award 2016. Ia menerima penghargaan kehormatan dan dedikasi hidup pada jalan kebudayaan dan teks-teks Nusantara dari Borobudur Writer and Culturan Festival 2016 bersama Karkono Partokusumo Kamajaya (w. 2003).

Jika Karkono adalah pengalih aksara Serat Centhini dari aksara Jawa ke Latin yang memungkinkan publik secara luas mengenal Centhini dalam 12 jilid lewat Yayasan Centhini yang didirikannya; maka, Halil adalah sosok yang dengan konsisten dan panjang merawat eksistensi Bissu dalam kosmologi budaya Bugis. Jika Anda mengingat pementasan akbar I La Galigo ke panggung-panggung kota di dunia, prosesnya dimulai dari sosok Halil yang membawa keluar para Bissu dari Makassar ke Bali untuk berjumpa sutradara Robert Wilson. Makassar, kata Halil, terlalu sensistif untuk eksistensi kelamin-ketiga. Dan, La Galigo pun mendunia lewat panggung pertunjukan akbar.

08 October 2016

Rumah Kertas - Carlos Maria Dominguez

Bukuku TakdirkuSejak kalimat pembuk, novel ini menjanjikan untuk dibaca cepat dan menjadi teman duduk yang asyik.

"Pada musim semi 1998, Bluma Lennon membeli satu eksemplar buku puisi Emily Dikinson, Poems, di sebuah toko buku di Soho, dan saat menyusuri puisi kedua di tikungan jalan pertama, ia ditabrak mobil dan meninggal." (hlm. 1)

Masalah pun langsung dijeratkan kepada pembaca, seperti dua ruas belokan: Bu Dosen Bluma meninggal karena ditabrak mobil atau Bu Dosen Bluma tewas karena buku puisi.
Ini "memoar" menggugah tentang buku dan pemanggul-pemanggulnya yang setia. Tentang mereka yang takdirnya tumbuh dan tumpas bersama buku. Tentang cinta dan ketaklukkan pada pesona yang diuarkan buku. Dan juga soal kutukan buku yang tanpa kabar mengantarkan pembaca ke sebuah dunia bibliografi dengan ketakjuban yang tak putus-putus.

Carlos Maria Dominguez (CMD) lewat novelet ini berambisi meletakkan buku sebagai nubuat hidup-mati dan kegilaan yang aneh ketimbang sekadar dunia niaga dalam pelbagai pasar raya buku. Terutama dalam sebuah masyarakat yang percaya magis lebih dari apa pun sebagaimana masyarakat di seantero Amerika Latin dan negeri bekas jajahan lainnya di Asia dan Afrika.

18 September 2016

Jong Madioner: Bela si Jawa Miskin, Lawan Penjilat Pantat Priyayi (Bagian 02)

Madioner. Frase itu aneh untuk nama samaran penulis di tahun 1914. Kata itu mirip Newyorker untuk menyebut orang-orang New York (Amerika Serikat), Londoner untuk warga kota London (Inggeris), dan Parisian untuk penduduk kota Paris (Perancis). Terkesan ada keinginan menjadikan orang Madiun sebagai kota masa depan yang khas, kosmopolit. Tak usah terlalu wah seperti Newyorker atau Londoner, cukup setara saja dengan Bataviasche, untuk menyebut orang-orang Batavia. Kota Batavia yang kini menjadi ibukota RI, selain sebagai pusat dagang VOC dan pemerintahan kolonial, juga menjadi kota yang diangankan serupa Manhattan di Amerika Serikat.

“Madioner" adalah nama yang diciptakan koran mingguan Doenia Bergerak yang dihelat Mas Marco Kartodikromo dari Surakarta. Nama ini nyaris setiap edisi muncul di Doenia Bergerak bertarikh 1914. Artikel-artikel si Madioner ini umumnya menyangkut hubungan asimetris antara orang Jawa kecil dengan para penjabat pemerintahan, baik penjabat berdarah pribumi maupun kolonial. Tulisannya juga khas "laporan daerah" di seputar Karesidenan Madiun, termasuk Kedu dan bahkan hingga Denpasar dan Malang.

17 September 2016

Madiun, Kota di Pedalaman Jawa yang Berlumur Kutukan (Bagian 01)

18 September 1948. 18 September 2016.

Esai #SyawalMerah dan sekaligus mengenang #68TahunMadiun ini saya susuri dengan melewati rute dari arah timur. Tepatnya dari Kediri. Setelah lolos dari Perlimaan Braan, Jombang, Jawa Timur, yang menjadi simpul kendaraan arah Surabaya, Kediri, Madiun, kendaraan merah saya pacu sekuatnya, semampunya, melewati jalanan lurus Baron-Nganjuk-Caruban. Diiringi kerekan matari pagi dan lagu-lagu dengan nada berderap, saya memasuki Kota Madiun.

Yang menari di kepala saya ketika melakukan perjalanan dari Kediri ke Madiun adalah ingatan turne Mayor S. Mustofa pada 1948 setelah dikalahkan detasemen STD Kediri pimpinan Letkol Suhud. Di Kediri, Mustofa yang memegang simpul pasukan Pesindo dari Brigade ke-29 TNI Masyarakat. Tidak seperti saya yang biasa menempuh jalur arus balik "Syawal Merah", sebagaimana kerap saya lakukan saban bulan Syawal, Mayor Mustofa tur ke Madiun karena dipaksa keadaan: Kiri-Yang-Terdesak, Kiri-Yang-Kuldesak. Dan Madiun, oh kota ini, adalah pangkalan kiri yang masih solid setelah Solo (di)porak-poranda(kan), (di)lemah(kan) oleh Yogyakarta yang menjadi Ibu Kota RI pasca Renville.

13 September 2016

Garuda September: Tari, Politik, dan Angkara

Alunan musik instrumen yang cepat khas Republik Ceko menjadi penanda masuknya sang garuda dan sang dalang di Malam Musik Antarbangsa di Bangka Culture Wave 2016.

Bukan, sama sekali bukan! Mereka tak membawa anak-anak wayang yang biasa Anda saksikan di pementasan wayang umumnya. Sebab, wayang yang dimainkan adalah lima wayang yang dibentuk berdasarkan struktur lima Kepulauan Nusantara terbesar: Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua. Wayang rupa ciptaan pengelola Rumah Garuda yang masyhur di Yogyakarta ini, Nanang R. Hidayat, dimainkan dan digerakkan tiga orang yang berlainan bangsa dan negara, berbeda bahasa, namun disatukan oleh simbol negara yang sama: elang. Atau dalam konteks Indonesia disebut garuda atau "raja-wali".

06 September 2016

Mas'ud Chasan: Dari Buku dengan Dengkul

Gerai-gerai toko besar Social Agency Baru ada di setiap jalan besar menuju kota Yogyakarta. Di barat, selatan, timur, utara, dan dua dalam kota. Mirip desa mengepung kota ala Mao Zedong. Atau yang lebih dekat dengan kultur Jogja ilustrasi keberadaan SAB di beberapa ruas jalan pentibg itu mirip dengan masjid patok negara yang menjadi pasak Keraton. Masjid-masjid itu berada di sudut-sudut wilayah Jogja sebagai penyanggah nilai Keraton yang ada di tengah yang berdampingan dengab masjid utama (Gede).

SAB adalah penguasa lokal toko buku di Yogyakarta. Dan semua cerita kebesaran itu dimulai dari sebuah los di antara kios penjual sayur di Shoping Center, di belakang Benteng Vredeburg, KM 0, Yogyakarta.

Pendirinya adalah Mas'ud Chasan, sosok yang saya kenal sejak kios buku Social Agency Baru masih di antara para penjual sayur. Banyak orang menyebutnya Cak Ud. Tapi saya kerap memanggilnya Pak Ud. Di Shoping Center, ia menurut saya yang tersukses. Bukan hanya sebagai saudagar buku, melainkan juga penerbit buku. Social Agency Baru dan Penerbit Pustaka Pelajar adalah aset kota Jogja yang dibangun dari dengkul Pak Ud.

17 August 2016

Obituari Den Mojo

Saat detik-detik Proklamasi berlangsung secara LIVE di semua saluran televisi dan akun-akun media sosial menayangkan komentar-komentar terbaik, terkritis, terharu, terbajingan, ternyinyir di saluran media sosial, Den Mojo (tak memilih) mati!


Tanpa iringan kokok sebagaimana tentara yang tak pernah menang perang itu lakukan saat seorang serdadu mati, Den Mojo terpojok dalam kandangnya dalam posisi tertelungkup. Sendiri. Kesepian. Proses penyerahan dirinya dari sukma kehidupan duniawi jauh dari heroisma, misalnya lewat sebuah pertarungan paling berdarah dalam gelanggang sabung. Ia hanyalah pejantan yang sehari-harinya hidup bersama alam ayam; jika berahi, gelisah; jika alam malam menunjuk pukul 23.00, 01.45, 03.15, dan 04.00, ia berkokok seperti toa di masjid-masjid. Masya Allah.

14 August 2016

Wajah Indonesia dan Seni (di) Airport

Bingkai judul media daring (dalam jaringan) yang menjadi viral sepanjang Jumat (12/8) atau sepekan sebelum Republik Indonesia merayakan ulang tahun ke-71 memang bikin bulu kuduk meremang: D.N. Aidit hadir di Terminal 3 Ultimate Bandara Soekarno-Hatta, Cengkareng, Banten.

Bayangkan, di terminal penumpang yang baru dibuka 9 Agustus itu hadir –dalam bahasa intelijen kita, ”poster”– wajah Aidit. Saya pertegas, supaya bikin merinding warga ibu kota, di beranda depan Republik Indonesia hadir ”momok” yang melahirkan sebuah rezim bernama Orde Baru. Momok itu adalah Aidit, hantu itu adalah PKI. 

Munculnya pun bukan di hutan-hutan sawit di Sumatera atau Sulawesi Barat, melainkan di paras depan Indonesia. Saya mempersalahkan media daring yang menjadi penyambung histeria dangkal itu? Tidak! Sebab, itu adalah gambaran watak umum bagaimana republik ini mendaras sejarah Indonesia. Dan di Terminal 3 Ultimate itu kita dihadapkan kepada sejarah Indonesia dalam medium visual bernama lukisan. 

Lukisan, Bapak Polisi, bukan poster! Bukan pula selebaran gelap! 

D.N. Aidit adalah Wajah Tokoh ke-35 dari 400-an Tokoh yang Dilukis Galam Zulkifli dalam "The Indonesian Idea" yang Dicopot dari Bandara Soekarno Hatta, Cengkareng, Banten

Dari 400-an wajah tokoh yang dilukis secara manual (tanpa teknologi sablon atau pun proyektor) dengan cermat dan presisi, justru wajah D.N. Aidit yang berukuran "kecil" itu yang menyebabkan lukisan berjudul "The Indonesia Idea" (ID) itu diturunkan secara paksa dari dinding Terminal 3 Ultimate Bandar Udara Soekarno Hatta, Cengkareng, Banten, (Jumat, 12 Agustus 2016).

Dalam susunan tokoh yang dilukis, D.N. Aidit adalah wajah ke-35 yang dilukis Galam Zulkifli setelah Mas Marco Kartodikromo. Wajah pertama yang ada di kanvas adalah H.O.S. Tjokroaminoto, disusul Sutan Sjahrir, Hasyim Asy'ari, Achmad Dahlan, dan Tan Malaka. Sementara wajah tokoh paling terakhir adalah Kak Seto Mulyadi.

Berikut croping susunan wajah yang dilukis Galam Zulkifli yang saya ambil dari video proses lahirnya lukisan "The Indonesian Idea" yang berdurasi 58 menit, 18 detik. (Muhidin M. Dahlan)
H.O.S. Tjokroaminoto (Wajah Tokoh ke-1)

Sutan Sjahrir (Wajah Tokoh ke-2)

K.H. Hasjim Asj'ari (Wajah Tokoh ke-3)

K.H. Achmad Dahlan (Wajah Tokoh ke-4)

Tan Malaka (Wajah Tokoh ke-5)

D.N. Aidit (Wajah ke-35)

Kak Seto (Wajah Tokoh Terakhir)

Baca ulasan khusus lukisan yang menggegerkan ini: "Sejarah Indonesia dan Seni (di) Airport" oleh Muhidin M. Dahlan. 




26 July 2016

Karl Marx: Demi Cewek, Ia tak Segan Berduel hingga Alis Matanya Terluka

Apa lagi yang Anda harapkan dari seorang pemuda usia 19 tahun. Pemburu cewek, anggur, dan menyanyi. Belum genap 20 tahun itu telah mengumumkan dirinya sebagai seorang ateis dan subversif.

Kutipan ini menunjukkan bahwa Marx bukan hantu. Ia adalah seperti remaja dengin desir darah seumumnya. Mabuk juga. Pemburu cewek juga. Nyanyi juga.

Seperti halnya remaja badung pada umumnya, tentu saja ia emoh ke gereja dan mulailah disandangnya tudingan: Subversif. Di usia berapa? Di usia 20 tahun!


24 July 2016

Sukarno dan Olimpiade: Sumbangan Kiri Indonesia untuk Dunia

Tak ada gelora apa-apa saat atlet-atlet Indonesia berangkat atas nama negara ke gelanggang Olimpiade Rio de Jeneiro, Brasil. Berlaga di pentas olahraga internasional yang menjadi induk dari seluruh arena adalah sebuah kebanggaan. Bukan hanya atlet dengan target mendapatkan panggung dan medali, tapi juga memundaki kehormatan bangsa dan negara. Olimpiade adalah perjumpaan seluruh bangsa yang mendiami planet bumi dalam satu momentum bersama yang bernama olahraga.

Memang, menjadi aneh ketika ingar-bingar dan harapan mencucuk langit tak pernah lagi kita temui saat atlet-atlet terbaik nasional di pelbagai cabang olahraga keluar dari pintu keberangkatan bandar udara Soekarno-Hatta untuk mengambil peran di panggung olimpiade. Ketiadaan prestasi dan olahraga yang dimaknai sebagai rutinitas belaka sebagai bangsa menjadikan keberangkatan ke olimpiade tak ubahnya sekadar menggugurkan hak berpartisipasi.

Di gelanggang olimpiade, bukan saja minim prestasi, tapi kita tunasemangat sebagai bangsa besar yang pernah mengagendakan sebagai negara yang disegani di bidang keolahragaan, sejajar dengan Tiongkok, Korea, Rusia, hingga Amerika Serikat.
Izinkan saya "mendongengkan" sebuah masa di mana Indonesia, tak hanya menebal-nebalkan mimpi dengan memperpanjang tidur di gelanggang olahraga dunia, tapi juga menyusun langkah-langkah taktis dan mendasar yang dimulai dari mental yang disebut Presiden Sukarno "sport-minded".

21 July 2016

Kumis Turki

Kudeta Turki di Jumat keramat pekan ketiga di bulan Juli memang sudah gagal. Faktanya: Presiden Recep Tayyip Erdogan kembali ke tampuk kekuasaannya yang diikuti penangkapan, pemenjaraan, dan pembunuhan terorganisasi atas semua lawan politiknya. 

Dan, warga negara Indonesia--juga dunia--kaget dan gaduh atas malapetaka politik di Turki.

Saya tak terlalu kaget ketika warga (Muslim) Indonesia kaget, ribut, riwil, atau entah apalah sebutannya saat berhadapan dengan frase "Turki". Sebab secara historiografi, Indonesia memiliki memori yang unik atas negara perbatasan Eropa dan Asia ini. Keunikan posisi Turki ini dalam memori (orang) Indonesia bisa disandingkan dengan relasi kulturalnya yang harmonis dengan negara perbatasan benua lainnya (Asia dan Afrika), Mesir.


Apa yang disumbang Turki untuk aksi pro kemerdekaan Indonesia? Tentu saja gagasan pan-islamisme yang disadur pemikir cum pelaku pergerakan nasional awal. Tirto Adhi Soerjo, bapak dari para bapak bangsa, di Pembrita Betawi sejak awal abad sudah berteriak untuk berkiblat ke Turki. Koran bertarikh 16 April 1902 itu memuat kronik yang disusun Tirto betapa Turki dengan gagasan besar pan-islamisme bisa menjadi ilham bagaimana membangun pangkal konsolidasi kekuatan pribumi lewat cara baru yang berbeda sama sekali dengan jalan Diponegoro yang melahirkan Java Oorlog.