Showing posts with label Lekra Tak Membakar Buku. Show all posts
Showing posts with label Lekra Tak Membakar Buku. Show all posts

02 May 2013

Martin Aleida (5)

::gus muh

Di bagian ketiga tulisan ini saya sudah singgung sekilas sosok prosais cum jurnalis Martin Aleida ini: tubuh jangkung, atletis, senang memakai oblong tapi lebih sering kemeja lengan pendek di forum diskusi sastra dan budaya, dan ke mana-mana memakai sepatu kets. Penampilannya dandy. Wajahnya selalu sumringah seperti laki-laki berusia 40-an tahun. Kalau tidak mengubek-ubek google, orang akan terkecoh bahwa sosok yang bernama Nurlan a.k.a Martin Aleida ini sudah berusia 70 tahun.

Gaya hidup macam apa dijalani prosais dan mantan jurnalis Harian Rakjat dan Zaman Baru ini sehingga ia masih bugar menghadapi titian stigma puluhan tahun di udara Jakarta yang makin lama makin memburuk?

Informasi yang mula-mula saya terima atas pemilik nama Nurlan a.k.a Martin Aleida ini dari beberapa kawan di Jakarta adalah bahwa Martin jika ke kantor tempatnya bekerja, TEMPO, selalu lari, lari, dan lari. Jarak tempuhnya saya tak bisa hitung dengan presisi: Depok - Senen.

Martin Aleida (4)

::gus muh

Saat bercerita tentang Pramoedya Ananta Toer, Martin Aleida tahu Pram punya "jimat", terutama ketika cerita menyisir lini masa revolusi 1945. Jimat bertuliskan aksara Arab itu diberikan seorang dukun itu "berjasa" menyelamatkan diri Pram saat diberondong pasukan Inggris di Kranji dan saat digerebek marinir Inggris di Kemayoran.

Sebagaimana Pram, Martin Aleida juga punya "jimat". Dua malahan. Satu, surat wasiat dari kedua orangtua dengan kapal laut selama tiga bulan untuk menunaikan ibadah haji. Jimat kedua, surat-surat cinta pacarnya yang kemudian menjadi istri Martin hingga kini. Karena kedua "jimat" itu, cerita Martin Aleida (hlm 212), ia tidak sampai setahun dikerangkeng di kamp konsentrasi Operasi Kalong Kodim 0501, Jl Budi Kemuliaan, Jakarta Pusat. Sungguh, "jimat" itu yang "membebaskan" Martin Aleida dari Cipinang atau Salemba dan batal jadi penghuni Buru belasan tahun.

Namun ada satu lagi "jimat" bagi Martin Aleida sehingga ia menemukan kembali dunia yang digelutinya: jurnalis cum penulis. Jimat itu bernama "GM".

01 May 2013

Martin Aleida (3)

::gus muh

Bayangkan Martin Aleida datang ke sebuah diskusi buku atau obrolan budaya. Tubuh jangkung. Atletis. Kadang memakai oblong. Lebih sering kemeja lengan pendek. Dan hampir pasti keduanya dimasukkan ke dalam celana panjang yang--umumnya--warna krem. Kacamatanya tebal, namun bukan model kacamata intelektual-intelektual macam Kuntowijoyo ataupun Soedjatmoko. Tampilannya dandy, tapi sederhana. Dan, hampir pasti ia memakai sepatu kets. Di bagian kelima tulisan ini dibahas soal gaya hidup ini.

Bayangkan Martin Aleida datang ke sebuah diskusi. Datang saat diskusi hampir dimulai. Dan lenyap saat diskusi nyaris selesai yang membuatnya "tak punya kesempatan" duduk/berdiri bergerombol sesama pengunjung diskusi untuk hal-hal di luar topik diskusi. Martin, oleh karena itu, seorang yang efektif dan efisien. Tak mau bertele-tele. Jarang basa-basi. Ia langsung ke pokok persoalan.

Membayangkan Martin Aleida datang ke setiap diskusi adalah cara saya membaca 28 esainya dalam "Langit Kedua" di buku terbarunya Langit Pertama Langit Kedua (2013) yang diterbitkan secara mandiri (sebelumnya buku-bukunya diterbitkan oleh penerbit-penerbit major seperti Penerbit Buku Kompas).

Ke-28 esainya mencakup banyak hal, seperti surat (5), kritik buku (9) dan film (3), serta sehimpun perdebatan (12). 

30 March 2013

Film Indonesia Minus Kiri

::gus muh

 Budiarto Danujaya menyumbang artikel "Hari-Hari yang Paling Riuh" di buku yang dieditori Haris Jauhari, Layar Perak 90 Tahun Bioskop di Indonesia (1992: 66-84). Di akhir tulisannya ia menyimpulkan: periode 1962-1965 sungguh masa-masa yang berat bagi dunia film dan bioskop kita. Bangunan film rusak secara menyeluruh.

Rusak oleh siapa? Danujaya menulisnya di paragraf tujuh: unsur-unsur PKI, yakni Lekra. "Mereka (Lekra, PKI) bukanlah orang-orang yang bersungguh-sungguh memajukan dunia bioskop dan film... cuma ingin mempolitisir dunia bisnis hiburan ini untuk memperluas kepentingannya dalam bidang kebudayaan." (Danujaya, 1992: 68)

29 January 2010

Mengapa Mereka Dibungkam?

Yang namanya pelarangan penerbitan buku atau bredel sejak jaman orde lama, orde baru hingga reformasi di tanah air sebenarnya masih terus berlangsung. Hanya saja cara dan modusnya agak sedikit berbeda. Ketika era orde lama dan orde baru pemerintah langsung dengan terang-terangan melarang terbit buku yang dianggap bisa meresahkan masyarakat atau berbau SARA. Namun pada era reformasi yang katanya “terbuka” pelarangan atau pembredelan buku toh masih banyak dijumpai. Walau aturannya agak longgar, buku memang bisa beredar, namun secara tiba-tiba buku menghilang dari rak-rak toko buku. Tentu saja kejadian ini banyak menimbulkan rumor dan spekulasi.

Yang unik adalah ternyata pemerintah sampai sekarang masih “trauma” atau sedikit “paranoid” pada setiap bentuk penerbitan buku yang berbau haluan kiri alias komunis. Apa saja yang ada nuansa komunis walau itu hanya berbentuk simbol atau gambar tak ada ampun, buku itu langsung dilarang beredar.

Ini seperti yang dialami dua orang penulis dari Yogyakarta, Rhoma Aria Dwi Yuliantri dan Muhidin M Dahlan. Kedua penulis itu terpaksa gigit jari akibat bukunya yang berjudul “Lekra Tak Membakar Buku”pada 2009 lalu dilarang beredar. Selidik punya selidik, buku itu dilarang karena di sampulnya terdapat gambar palu dan arit sebuah simbol partai komunis. “Saya langsung mencabut gambar itu dan menutupinya dengan sampul putih. Namun demikian upaya itu tidak menolong. Buku kami tetap dilarang,”ujar Rhoma getir.

Satu lagi buku yang dianggap bernuansa komunis adalah tulisan John Rossa yang berjudul Dalih Pembunuhan Massal : Gerakan 30 September dan kudeta Suharto. Buku yang berdasarkan riset dan analisis insiden ini mengungkap kekacauan dan pembunuhan terhadap warga yang dituding sebagai anggota PKI. Menurut buku ini, orang-orang sipil yang melakukan pembantaian adalah orang yang terlatih dan mendapat perlindungan dari aparat. Tentu saja buku ini adalah sebuah hasil riset yang mencengangkan dan bisa menjadi tambahan koleksi buku-buku sejarah kita.

Selain “trauma” atau “paranoid” terhadap buku-buku yang bernuansa komunis ternyata pemerintah Indonesia juga sangat anti dengan buku-buku yang bertema separatis dan ajaran agama. Dari Papua dilaporkan buku-buku tulisan Socrates Sofyan Yoman dari tujuh yang diterbitkan, dua diantaranya dilarang beredar. Kedua buku yang dilarang itu adalah Suara Gereja Umat Tertindas :Penderitaan, Tetesan Darah dan Cucuran Air Mata Umat Tuhan di Papua Barat harus Diakhiri dan Pemusnahan Etnis Melanesia : Memecah Kebisuan Sejarah Kekerasan di Papua Barat.

Kedua buku itu secara implisit mengungkapkan pandangan, harapan serta kritikan kepada pemerintah Indonesia terhadap warga Papua.

Pelarangan terbit buku di era reformasi yang hampir mirip karya George Junus Aditjontro (Membongkar Gurita Cikeas) juga dialami Boni Hargens. Buku Boni yang berjudul “10 Dosa Politik SBY-JK” pernah tiba-tiba hilang di rak-rak toko buku. Setelah beberapa lama, buku itu tiba-tiba muncul, tetapi bersamaan dengan buku yang dianggap tandingannya. Banyak kalangan menilai cara seperti ini sama dengan pembredelan atau pelarangan buku walau dilakukan secara halus.”Dengan cara seperti ini tentu saja yang diuntungan adalah penulis, karena bukunya menjadi populer dan banyak dicari masyarakat”, ujar Boni Hargens. Dari segi politis, kata Boni pemerintah rugi, karena banyak menimbulkan rumor dan spekulasi.

Pelarangan atau pembredelan penerbitan buku menurut beberapa kalangan adalah bentuk ketakutan atau kegamangan dari pemerintah itu sendiri yang seharusnya tidak perlu terjadi. Harusnya dengan buku bisa dijadikan sebagai sumber informasi atau bahan kritik dalam menjalankan roda pemerintahan. Ketakutan yang dianggap mengganggu ketertiban umum adalah suatu hal yang berlebihan. Bukankah masyarakat kita sudah semakin dewasa dalam hal menyikapi sesuatu ? (end)

Sumber: kickandy.com

01 January 2009

Mitos Lekra Tak Membakar Buku

::aditya n. widiadi

Provokatif dan Agitatif. Itulah kata yang pas untuk menilai judul buku ini. Namun, justru disinilah letak kekuatan buku ini untuk menarik mata pembaca agar memelototi kata demi kata dalam setiap halaman, dengan pertanyaan yang senantiasa membebani kepala “benarkah lekra tak pernah membakar buku?”

Terlebih, tema bakar-membakar buku adalah trend kekinian bagi pihak-pihak yang merasa berkuasa untuk melenyapkan buku-buku yang dianggap mengganggu “ketertiban umum” dan kelanggengan kekuasaan. Pembakaran, atau minimal pelarangan buku bukanlah dominasi kebijakan orde lama, orde baru, ataupun masa reformasi sekarang. Hampir di sepanjang sejarah umat manusia sejak mengenal budaya tulis, selalu terdapat pihak yang keblinger untuk membakar “puncak-puncak peradaban” demi melanggengkan posisinya dalam panggung sejarah. Dan apapun alasannya, membakar buku adalah “dosa besar.”

Buku ini disusun dengan menggunakan sumber tunggal dari Harian Rakjat, sebuah surat kabar harian yang pertama kali terbit 31 Januari 1951 dan menjadi corong Partai Komunis Indonesia (PKI). Harian yang terakhir terbit pada 3 Oktober 1965 ini, memiliki edisi khusus hari minggu yang dinamakan Lembar Kebudayaan. Melalui wadah inilah para budayawan Lembaga Kebudajaan Rakjat (Lekra) menuangkan berbagai kerja budayanya dalam bentuk cerita pendek, sajak, dan sebagainya.

Penulis bekerja dengan memanfaatkan data-data yang terdapat dalam edisi Harian Rakjat yang selamat dari “pembantaian massal,” namun “terpenjara” dalam ruang khusus perpustakaan yang berlabel “bacaan terlarang” dan telah menjadi santapan lezat rayap selama 30 tahun lebih. Hanya dengan ketekunan, penulis bisa merekam hampir seluruh artikel berita kebudayaan yang menjadi konsens Lekra. Hasilnya tidak mengecewakan, selain menghasilkan buku ini, mereka juga menyusun dan menyunting buku “Gugur Merah” yang merupakan himpunan 450 puisi dari 111 penyair Lekra, serta buku “Laporan dari Bawah” berisi 100 cerita pendek yang termuat dalam lembar kebudayaan Harian Rakyat dalam kurun 15 tahun. Maka buku ini sangat tepat dikatakan sebagai trilogi tuntas mengenai sejarah dan hasil karya Lekra sebelum lembaga ini disemayamkan secara paksa dalam liang sejarah.

Meski mengandalkan satu sumber utama, dua orang penulis muda ini mampu menyajikan seluk beluk Lekra secara lengkap. Lekra sebagai organisasi dikupas tuntas dari sudut ideologi, genesis, asas, karya, dan geraknya dalam sejarah. Organisasi yang lahir 17 Agustus 1950 ini menyatukan “seniman2 pedjuang” atau “pedjuang2 seniman” dalam satu keyakinan saat berkarya, bahwa politik sebagai panglima. Ruang kerja Lekra meliputi bidang susastra, film, senirupa, seni pertunjukan, seni tari, musik, dan perbukuan yang kesemuanya diabdikan untuk tujuan politik. “Politik tanpa kebudayaan masih bisa jalan, tapi kebudayaan tanpa politik tidak bisa sama sekali.”

Sempurna bukan berarti tanpa celah. Kelemahan yang nampak pada buku ini, meski bukan dikategorikan sebagai kesalahan metodologi, adalah keputusan penulis untuk menggunakan sumber tunggal utama yang berasal dari Harian Rakjat. Sartono Kartodirdjo, sudah sejak lama mengingatkan agar penggunaan surat kabar sebagai sumber sejarah dilakukan secara kritis. Peringatan ini terkait dengan unsur subjektivitas, kekurangtelitian, ketergesahan, kedangkalan, dan kecenderungan pemuatan sensasi dalam pemberitaan surat kabar. Lebih-lebih telah jelas sikap Harian Rakjat sebagai corong politik PKI. Maka penggunaan sumber ini hanya bisa disiasati dengan kritis melalui penggunaan sumber-sumber lain sehingga bisa memperlebar pandangan dalam melihat masa lalu.

Keputusan penulis untuk tidak memanfaatkan para budayawan Lekra yang masih hidup sebagai sumber data juga patut disesalkan. Dengan apologi penulis bahwa tokoh-tokoh Lekra yang masih hidup “boleh jadi ingatan mereka sudah tak terlalu bersih-jernih” dan “dicuci oleh penyiksaan,” maka mereka tidak dijadikan informan. Padahal para pelaku sejarah ini lebih tahu banyak segala tentang Lekra, karena mereka adalah pelaku yang hidup sejaman dan merasakan langsung menjadi anggota Lekra.

Penulis mungkin memang telah menyelamatkan berbagai data dan informasi penting dalam lembaran koran tua Harian Rakjat yang dimakan rayap. Sayang sekali penulis tidak berminat menyelamatkan data dan informasi penting dalam ingatan para pelaku, yang boleh jadi segera dimakan waktu. Koran langka mungkin bisa diselamatkan dengan cetak ulang, tapi pelaku sejarah tidak akan pernah bisa dicetak ulang!

Lantas, benarkah Lekra tak pernah membakar buku? Pertanyaan yang senantiasa terngiang dalam telinga sejak membaca judul buku, baru terjawab pada bagian akhir buku ini. Secara tertulis, memang tidak terdapat bukti—setidaknya berdasar informasi yang termuat dalam Harian Rakjat—bahwa Lekra pernah menginstuksikan untuk membakar buku lawan-lawanya, seperti karya Manifes Kebudayaan (Manikebu).

Secara organisasi, mungkin Lekra tidak pernah menginstruksikan untuk membakar buku. Tapi secara perseorangan, mungkin ada anggota-anggota Lekra yang membakar buku. Membakar buku dan semua karya mereka sendiri yang bisa dijadikan bukti untuk mengeksekusi penulisnya. Untuk yang satu ini, membakar buku tidak dikategorikan dosa besar!

Judul Buku : Lekra Tak Membakar Buku: Suara Senyap Lembar Kebudayaan Harian Rakjat 1950-1965
Penulis: Rhoma Dwi Aria Yuliantri & Muhidin M Dahlan
Penerbit: Merakesumba, Yogyakarta
Cetakan: Pertama, September 2008
Tebal: 580 halaman

13 December 2008

Warna Kesumba Seni Lekra

::bagja hidayat

Buku yang merekam gempita kesenian Lembaga Kebudayaan Rakyat. Dokumentasi penting, tak ada wawancara.

Laporan dari Bawah (Sehimpun Cerita Pendek Harian Rakjat 1950-1965)
Tebal: 558 halaman

Lekra Tak Membakar Buku (Suara Senyap Lembar Kebudayaan Harian Rakjat 1950-1965)
Tebal: 582 halaman

Gugur Merah (Sehimpun Puisi Harian Rakjat 1950-1965)
Tebal: 966 halaman
Penulis: Rhoma Dwi Aria Yuliantri dan Muhidin M. Dahlan
Penerbit: Merakesumba Yogyakarta

JIKA Fuad Hassan menyebut cerita pendek Indonesia pada akhir 1960-an penuh warna ungu karena mengeksplorasi renungan, kesedihan, dan rasa frustrasi, bolehlah disebut jika sastra satu dekade sebelumnya menggelorakan warna kesumba. Tiga buku ini merekam bagaimana seniman yang tergabung dalam Lembaga Kebudayaan Rakyat merayakan ”realitas sepersis kenyataan”.

Pada Lekra Tak Membakar Buku, kita bisa merasakan bagaimana para seniman ”kiri” itu mencoba merumuskan definisi ”sastra Indonesia” berdasarkan filsafat realisme-sosialis. Buku ini ditulis berdasarkan 15 ribu artikel yang terbit di Harian Rakjat pada 1950-1965. Dari sana kita tahu bagaimana Lekra didirikan, Harian Rakjat diterbitkan, sampai hal-hal sederhana tapi asyik: petinggi Partai Komunis Indonesia macam Aidit-Njoto-Lukman menjajakan sendiri koran mereka di stasiun dan pelabuhan.

Sayangnya, dokumentasi penting ini tak dilengkapi wawancara seniman-seniman yang masih hidup, yang namanya menggelanggang, untuk memberikan konteks. Sebab, di Lekra juga ada penulis nonkomunis, yang menganggap integrasi politik dan seni sangat susah diterapkan. Alhasil, penyusun buku ini merayakan asumsi mereka sendiri ketika memberikan komentar dan kesimpulan atas pidato, reportase, dan laporan-laporan wartawan Harian Rakjat tentang kesenian pada kurun itu.

Barangkali itu karena buku-buku ini diterbitkan dengan tujuan ”memberi panggung kepada mereka yang dibungkam”. Kita tahu, sejak peristiwa G30S, berita dan karya sastra seniman ”kiri” tak lagi punya tempat. Maka konteks tak perlu lagi karena sumber tunggal itu sudah menjadi ”kebenaran” sendiri. Tumpukan 15 ribu artikel itu ditemukan di sebuah perpustakaan di Yogyakarta yang terkunci di sebuah ruangan terlarang, menguning, dan aus dimakan rayap.

Sebagai dokumentasi, tiga buku ini menjadi penting karena memberikan gambaran utuh bagaimana seniman Lekra melahirkan karya-karyanya. Kedua penulis terasa ingin meyakinkan bahwa seniman Lekra dan kesenian kiri tak senajis dan sedangkal yang dikira orang. Tak semua puisi menyajikan kebanalan realitas. Ini tampak antara lain pada beberapa puisi Agam Wispi dan H.R. Bandaharo.

Kita pun paham mengapa, misalnya, terjadi perdebatan sengit kubu Lekra dengan seniman yang berhimpun dalam Manifes Kebudayaan. Dari buku Gugur Merah (menyajikan 425 puisi dari 111 penyair) dan buku Laporan dari Bawah (menghimpun 97 cerita pendek dari 61 penulis), kita mengerti mengapa seniman Manifes menolak seni kesumba macam itu: puisi hanya alat memuji Rakyat, cerita hanya reportase yang tak mengejutkan ketimbang sebuah liputan di koran. Realitas pun kehilangan ketajaman dan misterinya. Setiap puisi atau cerita nyaris tak bisa dibedakan tema, gaya, dan penulisnya.

Amarzan Ismail Hamid, yang 15 puisi dan tiga ceritanya dimuat di buku ini, mengatakan pada zaman itu para penulis tak memiliki bahan bacaan yang melimpah sebagai referensi. Bahkan karya-karya realisme-sosialis dari Uni Soviet yang menjadi kiblat penulis Lekra tak tersedia di toko buku. ”Apalagi sastra Eropa Timur itu susah dipahami,” katanya. ”Para penulis ingin menjadi Marxis tapi tak membaca dan tak memahami ideologinya.”

Buku Nikolai Chernishevsky, Hubungan Seni dan Realitet, memang sampai ke sini pada 1962 lewat terjemahan Oey Hay Djoen. Sayangnya, kata Amarzan, pandangan Chernishevsky yang menempatkan realitas lebih sempurna ketimbang karya seni justru sedang dikritik di Soviet ketika paham ini mulai diserap di Indonesia.

Hal lainnya: penyusun buku ini agaknya lupa mendefinisikan Rakyat yang selalu ditulis dengan ”R” itu. Rakyat macam apa yang memenuhi benak para penulis itu ketika menulis puisi atau cerita, atau bagi pelukis ketika melukis? Rakyat di buku ini sesosok makhluk gaib yang tak jelas rupa dan bentuknya. Rakyat hanya disebut dalam jargon rumusan ideologi kesenian.

Apa pun itu, seperti terbaca di halaman pengantar, penyusun buku ini hanya menghimpun dan memberikan tempat kepada sastra 1960-an yang pernah mengharubirukan sastra Indonesia. Bukan telaah sastra dari dua sisi.

07 December 2008

Menyingkap yang Dulu Dilarang

::muhammad muhibbuddin

Dalam perjalanannya sebagai bangsa, Indonesia diwarnai oleh peristiwa-peristiwa besar, heorik dan dramatis. Namun sayang, oleh kepentingan politik, sebagian dari peristiwa-peristiwa besar itu banyak yang ditutup-tutupi, ditelikung, dimisterikan dan bahkan dihilangkan jejak-jejaknya.

Inilah barangkali ketidakjujuran para pembuat sejarah. Jiwa tidak jujur terhadap sejarah semacam ini telah lama menjadi langgam dan gaya kekuasaan rezim ORBA. Selama 32 tahun ORBA bercokol, banyak fakta sejarah diputar balikkan, dinihilkan dan dimatikan demi melanggengkan kekuasaan.

Fakta sejarah utama yang menjadi target pembrangusan politik ORBA adalah sejarah yang berkaitan dengan gerakan kiri. Hampir seluruh gerakan kiri, mulai dari gerakan kebudayaan, intelektual, politik dan kemasyarakatan oleh ORBA dianggap sebagai ancaman bagi stabilitas keamanan negara sehingga harus dimusnahkan.

Seluruh fakta, data dan realitas sejarah yang pernah ditancapkan oleh kaum kiri tidak boleh disingkap apalagi dibaca dan dipelajari oleh generasi anak bangsa selanjutnya. Semuanya itu harus tertutup dari akses publik.

Lekra sebagai lembaga kebudayaan yang pernah bergandengan tangan dengan PKI adalah salah satu korban dari pelarangan itu. Sebagai institusi kebudayaan yang mengusung tema-tema kerakyatan dan kemanusiaan, dalam perjalanan sejarahnya, sedikit banyak, Lekra telah menorehkan catatan emas dalam lembar sejarah pengabdian kepada bangsa dan negara.

Namun semua itu seolah kosong, nihil dan tak berbekas sama sekali karena jejak-jejak sejarah Lekra telah dikubur sedemikian dalam oleh rezim ORBA. Inilah mengapa buku seperti Lekra Tak Membakar Buku hasil karya Rhoma Dwi Aria Yuliantri dan Muhidin M.Dahlan yang sekarang ini baru terbit perlu diapresiasi. Buku-buku semacam ini mencoba membongkar unsur sejarah kiri yang coba di hapus dari ingatan bangsa Indonesia, tertmasuk sejarah Lekra.

“Jasad sejarah” Lekra yang hampir hancur dan tinggal penggalan-penggalan rangkanya itu oleh penulisnya mulai digali dan coba dirangkai dan ditampilkan kembali. Buku itu sejatinya difungsikan sebagai arena panggung untuk mendemonstrasikan rangkaian jasad Lekra itu kepada publik.

Karena memang sudah berada dalam timbunan “bungker sejarah” yang lama, data-data sejarah Lekra yang masih bisa diselamatkan itu hanya sebagian dan dari satu sumber, koran Harian Rakjat. Di dalam koran itu diterangkan bahwa peran para aktivis Lekra sangat bergemuruh terjadi pada tahun 1950-1965. Untungnya masih ada Harian Rakjat yang mampu merekam dan menyelamatkan kiprah dan gemuruhnya para aktivis Lekra tersebut meskipun secara fisik koran itu sudah mulai dijadikan santapan empuk oleh rayap.

Dari buku ini kita disosdori oleh sebuah fakta bahwa meskipun telah dipersepsikan sebagai organisasi terlarang oleh ORBA, ternyata Lekra juga mempunyai cita-cita dan kiprah yang luhur terhadap eksistensi negara Indoensia. Perjuangan Lekra diilhami oleh semangat revolusi untuk melawan segala macam bentuk imperialisme dan kolonialisme.

Lekra sendiri didirikan tepat 5 tahun sesudah revolusi Agustus pecah, di saat revolusi tertahan oleh rintangan hebat yang berujud pada persetudjuan KMB. Pada saat ini revolusi Indonesia mulai mengalami dekadensi. Lekra muncul untuk mencegah kemrosotan revolusi itu ke arah yang lebih parah.

Sikap Lekra dalam dunia kebudayaan sudah jelas yakni membela dan memperjuangkan kehidupan rakyat dari penindasan kaum imperialis. Konsepsi Nasional kebudayaan menurut Lekra sama sekali bukan bersandar pada kesatuan pandangan hidup dan keyakinan aliran seni. Sebab, mustahil hal itu mewujud. Konsepsi kebudayaan nasional memberikan kebebasan yang sepenuh-penuhnya kepada setiap pandangan hidup dan keyakinan seni dengan syarat mendahulukan kepentingan nasional, kepentingan rakyat banyak.

Pada Mukaddimah yang direvisi pada tahun 1959, tugas dan kedudukan rakyat dipertegas, “bahwa Rakjat adalah satu2nja pentjipta kebudayaan, dan bahwa pembangunan kebudayaan Indonesia baru hanja dapat dilakukan oleh Rakjat…..Lekra berpendapat bahwa setjara tegas berpihak pada Rakjat, adalah satu2nja djalan bagi seniman, sardjana2 maupun pekerdja kebudayaan lainnya untuk mencapai hasil2 yang tahan udji dan tahan waktu.”


Asas dan Metode lekra dan kombinasi1-5-1

Karena sebagai organisasi kebudayaan, maka Lekra juga mempunyai asas dan startegi perjuangan untuk mencapai tujuan dan impian-impiannya. 1-5-1 adalah simbol dari sikap berkesenian yang dikembangkan oleh Lekra yang menempatkan “Rakjat sebagai satu2nja pentjipta Kebudayaan”. Gerakan 1-5-1 menjadi jangkar tengah dan sekaligus rujukan visi bagi seluruh pekerjaan kreatif yang ditempuh. Di sana ada politik, idiologi, filsafat, seni , arah kepemimpinan, serta metode kerja dalam mencipta karya-karya kreatif di bidang kebudayaan. (h 25)

Angka satu di depan adalah arti bahwa perjuangan Lekra menempatkan politik sebagai panglima. Kemudian 5 di tengah adalah dasar kerja dan perjuangan Lekra: meluas dan meninggi, tinggi mutu idiologi dan tinggi mutu artistik atau 2 mutu, tradisi baik dan kekinian revolusioner, kreativitas individual dan kearfian massa, realisme sosial dan romantik revolusioner. Untuk melakukan lima hal itu dibutuhkan metode: turun ke bawah. Metode Turba ini disimbolkan dengan angka satu di akhir.

Prinsip politik sebagai panglima ini disetujui Lekra dengan alasan bahwa politik adalah obor agar sebelum melakukan penggarapan seni seseorang harus mengkajinya terlebih dahulu dari perspektif politik.

Menurut Lekra kesalahan politik membawa madharat jauh lebih besar daripada kesalahan artistik. Inilah yang diingatkan oleh pentolan lekra, Njoto yang menyatakan bahwa “Djika kita menghindarkannja, kita akan digilas olehnja…”Bagi Njoto, seniman yang berpolitik itu ibarat pelajar yang menuntut ilmu sambil berolahraga. Politik tak ubahnya sebuah olahraga, negoisasi hak dan kewajiban berkesenian, bangkit dan turut bangsa dan rakyatnya jika diserobot bangsa lewat jalan perusakan. Dalam kaitannya dengan politik ini, secara politis, orientasi gerak Lekra lebih mendukung konsep Soekarno tentang Manipol/Usdek.

Buku ini memang hanya terangkat dari satu sumber suratkabar. Namun satu pelajaran yang bisa ditarik dari terbitnya buku ini adalah bahwa sudah saatnya sekarang kita bersikap berani, terbuka dan jujur terhadap sejarah. Sebenarnya masih banyak fakta yang dulunya dinyatakan terlarang oleh rezim tertentu masih tertimbun dalam bungker sejarah Indonesia.

Dan saatnya sekarang itu kita gali dan kita tunjukkan apa adanya ke publik. Buku ini sudah mempelopori untuk berani menggali dan mengungkap timbunan fakta sejarah yang dulunya dilarang itu dan sudah barang tentu ditunggu usaha-usaha sejenisnya agar kita tidak selamanya tersesat dalam kegelapan sejarah kita sendiri.Berani?!

* Penulis adalah pecinta buku tinggal di Yogya, aktif dalam komunitas BACA PPM.Hasyim Asy’ari Yogyakarta.

06 December 2008

Orang-orang Lekra itu Cendekiawan Organik yang Dihilangkan Paksa dalam Gerakan Intelektual Indonesia

::asep sambodja

Wawancara Asep Sambodja dengan penyusun buku Lekra Tak Membakar Buku, Rhoma Dwi Aria Yuliantri dan Muhidin M. Dahlan.


Apa yang melatarbelakangi Muhidin dan Rhoma melakukan penelitian dan kemudian menyusun buku Lekra Tak Membakar Buku?

“Lekra tak Membakar Buku” kami susun setelah melalui riset panjang tentang pers-pers yang hadir di Indonesia dari tahun 1908-2007. Dari riset ini kami temukan banyak hal yang unik dan menarik dari koran-koran Indonesia itu. Salah satunya kami bertemu dengan begitu banyak koran-koran kiri yang tumbuh dan tumbang dari masa ke masa. Salah satu koran yang kemudian cukup akrab dengan kami adalah Harian Rakjat. Koran milik Partai Komunis Indonesia ini cukup menarik dan unik dengan menyuguhkan banyak hal tentang budaya dan sastra, puisi/cerpen setiap terbitannya, film, senirakyat dan kegiatan yang dilakukan oleh Lembaga Kebudayaan Rakyat (LEKRA) difasilitasi dengan sangat mewah oleh Harian Rakyat. Keunikan inilah yang kemudian menarik-narik kami untuk meriset lembar budaya yang dimiliki Harian Rakjat.

Berapa lama Anda melakukan penelitian dan menyusun buku itu?

Ini sebetulnya buku sampingan. Karena secara bersamaan kami mengerjakan banyak sekali program penulisan/riset sejarah secara kolektif. Jadi selama 1 tahun kami melakukan riset Seabad Pers Kebangsaan 1907-2007, Tanah Air Bahasa: Seratus Tokoh Pers Indonesia, Kronik Seabad Kebangkitan Indonesia 1908-2008 (berisi catatan tentang peristiwa hari ke hari yang tebalnya 1,7 meter), Almanak Abad Partai Indonesia, DIA.RI Partai Politik: Seratus Jalan Parlementer, dan Seabad Pers Perempuan 1908-2008. Selingan dari semua riset itu adalah trilogi Lekra Tak Membakar Buku, Gugur Merah, dan Laporan dari Bawah. Kalau dikalkulasi dalam hitungan matematis dari proses pencarian data, penulisan, edit dan cetak kira-kira memakan waktu 3,5 bulan (April-Agustus 2008).


Bisa diceritakan suka dukanya?

Proses penulisannya barangkali cukup unik. Muhidin awalnya sejak 3 tahun lalu berangan-angan ingin menulis tentang pembakaran buku Lekra yang ia ragukan bagaimana Lekra dan terutama sekali Pram yang berpikir sangat didaktik ihwal buku bisa melakukan pembakaran buku secara terbuka dan penuh sorak. Salah satu esainya DIBALIK BUKU Jawa Pos (“Lekra Membakar Buku?”) untuk memperingati 58 Tahun Lekra, ditanggapi dengan serius Taufiq Ismail yang menegaskan bahwa kabar Lekra membakari buku bukan soal remang-remang lagi, tapi terang-benderang, walau tak pernah bisa membuktikan seperti apa posisi Lekra dalam kobaran api itu. Tiga tahun berselang, bertemulah Muhidin dengan Rhoma Aria dalam tim Seabad Pers Indonesia yang memang Rhoma Aria bertugas mereview biografi koran-koran kiri/komunis yang terpilih dalam tabulasi riset. Termasuk Harian Rakjat. Nah dari diskusi yang ndak serius entah siapa yang mengawali keduanya kemudian bersepakat menulis tentang lembar kebudayaan Harian Rakjat dan Pembakaran Buku. Tahap pengumpulan data inilah tahap yang paling berat, tidak mudah dan gampang untuk meriset koran-koran kiri. Kami mesti izin sana sini dan waktu yang diberikan cukup sempit, korannya pun dalam kondisi tak tertata dan dimakan rayap, bahkan dihiasi kotoran tikus yang aduhai baunya. Dalam waktu 3 hari (kira-kira waktu yang diberikan sebelum koran itu diangkut dan dipindah entah ke mana) kami bisa mengakses Harian Rakjat. Tiga hari tiga malam bekerja tanpa henti. Pada hari ke-2 Muhidin tumbang di bawah kutukan cacar air. Karena korannya ndak lengkap kami harus mengumpulkan dari berbagai tempat dan lokasi. Setelah diverikasi barulah kami menulis. Proses inilah yang memakan energi cukup besar kurang lebih 18 jam setiap hari kami harus menulis, maklum karena buku ini ditulis oleh dua otak maka wajarlah ada sedikit-sedikit bumbu beda pendapat. Karena buku ini adalah proyek pribadi, maka tahap-tahap berikutnya kami lakukan sendiri. Karena anggaran yang kami kumpulkan dari gaji kecil-kecilan itu hanya cukup untuk biaya layouter kami edit buku ini sendiri dan alhasil masih banyak salah sana sini. Untuk membuat sampul pun kami akhirnya meminta tolong pada salah satu teman kami dengan sebungkus rokok.

Kenapa Anda tertarik meneliti Harian Rakjat?

Sebetulnya kami tertarik dengan banyak media bukan hanya Harian Rakjat saja. Alasan utama sebetulnya pada posisi Harian Rakjat. Ia adalah koran politik terbesar untuk masanya, tapi juga sangat getol menyiarkan nyaris seluruh ekspresi budaya rakyat sehingga koran ini hampir saja “dikutuk” menjadi koran budaya. Setelah menyigi dan membandingkan dengan koran Bintang Timur milik Partai Rakjat Nasional, Harian Rakjat lebih menonjol dalam soal pemberian ruang isu-isu kebudayaan. Terutama sekali para pekerja budaya yang bernaung di bawah Lekra.


Bagaimana dengan surat kabar atau majalah yang berafiliasi dengan PKI lainnya?

Banyak kok SK yang berbau kiri Selompret Masjarakat, Bintang Timur, Nyala, Mowo dsb. Bintang Timur sendiri, misalnya, sewaktu Kongres Lekra I, tak banyak tuh berita Lekra. Baru intensif kemudian pada Oktober 1962 sewaktu Pram masuk dalam barisan dan memunculkan lembar budaya "Lentera".

Kenapa Anda memberi judul buku Lekra Tak Membakar Buku?

Mungkin ini soal minat. Kami berdua aktif di Indonesia Buku yang ideologinya adalah memang buku. Hahahaahahaha. Lagipula bab Pembakaran Buku inilah yang ditulis pertama kali. Bagian ini semacam lokomotif yang menarik bab-bab lainnya yang berturut-turut ditulis: seni musik, film, seni rupa, sastra, seni pertunjukan, mukadimah, seni tari, dan khotimah. Kalau bukan karena bab ini, barangkali tak ada buku ini. Jadi untuk memberi “penghormatan”, maka majulah bab ini menjadi judul buku yang diikuti judul kecilnya: Suara Senyap Lembar Kebudayaan Harian Rakjat.

Apakah itu tidak terlalu provokatif?

Masalah judul buku yang dipikirkan waktu itu adalah buat semenarik mungkin, dan buat orang ingin tahu isinya. Ndak ada niatan provokasi sama sekali.

Kenapa tidak menggunakan judul lain? Misalnya, Lekra dan Warga Sastra Dunia yang kesannya lebih netral?

Subbab “Warga Sastra Dunia” pun ditulis paling belakangan sebagai tambahan ketika melihat peran serta Lekra dalam Konferensi Sastrwan Asia-Afrika dalam dua kali event. Dan kali ketiga sebagai tamu pertemuan eksekutif KSAA di Bali. Dan soal netral, Lekra tak mengenal kata netral. Yang dia kenal adalah Politik adalah Panglima.

Apa reaksi Anda setelah mengetahui Gramedia tidak bersedia mendistribusikan atau menjual buku Anda?

Kaget saja sih. Tapi sudah terlatih ditolak (buku Muhidin M Dahlan Tuhan Izinkan Aku Menjadi Pelacur selama 2 tahun ditolak oleh Gramedia setelah muncul reaksi negatif dari sebagian kalangan organ Muslim. Tapi setelah reda mereka baru terima lagi). Ya, anggap saja, Gramedia kan juragan buku. Di mana-mana saudagar buku tak mau usahanya digropyok oleh masayarakat lantaran benturan ideologi. Dari dulu.

Alasan apa yang membuat Gramedia melakukan hal itu?

Menurut distributor kami, Gramedia menolak karena ada “logo palu arit” dan alasan kedua SARA seperti yang tertera dalam surat perjanjian baku Gramedia dan suplier. Di mana ada unsur SARA-nya kami juga nggak tahu.


Kenapa Anda tidak bersedia mengganti gambar palu arit?

Kami sudah menutupi “palu-arit”nya dengan kertas yang dilakban. Jadi inilah edisi “Palu Arit yang Diperban”. Jelek sekali cover itu sekarang. Tapi paling tidak sebagai dokumentasi sejarah (buku), bahwa ada sebuah buku yang sampulnya babak-belur dipukuli saudagar buku….. hahahahah.


Pelajaran apa yang Anda dapati dari peristiwa ini?

Di mana-mana bahwa saudagar tetaplah saudagar. Walau pun itu saudagar buku. Jangan harap ada pemihakan ideologis. Ia akan membela sebuah kaum jika kaum itu bisa membikinnya kaya raya. Jika tidak, ya memang begitu watak saudagar.


Apa yang bisa dibanggakan dari sastrawan-sastrawan Lekra?

Orang-orang Lekra ini mewariskan kepada kita bagaimana harus berorganisasi yang kukuh. Semuanya dijalankan dengan mesin organisasi. Acuannya tentu saja bahwa dengan bersekutu dalam organisasi kita lebih kuat. Apalagi ancaman untuk situasi masa itu memang terang-benderang. Amerika menginvasi di mana-mana, termasuk Vietnam. Beberapa petinggi negara Asia-Afrika terbunuh di depan mata PBB seperti yang dialami Patricia Lumumba (Konggo). Hal lain adalah, jalan yang ditempuh oleh Lekra bukan jalan para pemabuk, orang-orang salon yang berjalan dan berkeliaran dalam masyarakat dengan langkah gontai nggak keruan. Garis kerja mereka ketat dan diputuskan lewat sebuah aturan main yang juga sangat ketat: konggres, konferensi nasional, pleno. Seluruh perkembangan kerja kolektif dievaluasi dalam pertemuan-pertemuan itu. Garis strategi ideologi kebudayaannya pun dirumuskan dengan jelas yang kemudian terangkum dalam kode: 1-5-1. Termasuk metode kerja seluruh bidang budaya yang digeluti yang kemudian menginsipirasi banyak insitusi sesudahnya untuk menirunya: Turba (turun ke bawah). Ada program Kuliah Kerja Njata, ABRI Masuk Desa…. Dan sebagainya. Bahkan di organisasi Pelajar Islam Indonesia (PII) ada istilah Turba untuk menggambarkan pengurus besarnya mengunjungi pengurus-pengurus wilayah.

Barangkali orang-orang Lekra inilah potret nyata cendekiawan organik yang dihilangkan paksa dalam raut gerakan intelektual Indonesia.

Begitu saja dulu. Terimakasih.

Citayam, 30 November 2008

01 December 2008

Menguak Semangat Revolusi

::peranita sagala

Apa yang kuuraikan tentang buku ini, takkan cukup mewakili curahan isi kepalaku setelah membacanya.

Lekra tidak membakar buku.

Entah karena daya ingatku yang memang pas-pasan, entah karena minatku pada sejarah kala SMA dulu lebih terpesona pada kisah-kisah kerajaan yang terekam bagai dongeng cinderela ala Indonesia di memoriku. Aku nyaris tak punya ingatan sedikitpun dengan adanya LEKRA di negara ini, apa lagi geliatnya dalam : Rakyat, Revolusi dan Indonesia.

Buku ini seolah membawa potongan sejarah yang pernah di paksa hapus dari pelajaran sejarah bangsa Indonesia. Merekam sejarah pada masa demokrasi terpimpin, yang identik oleh "gempa politik" pemberontakan G 30 s PKI.

Ada semangat yang sangat kental di masa ini, yang mungkin sudah amat langka di negeri ini. Semangat memperjuangkan rakyat, semangat untuk membangun karakter rakyat Indonesia.

Kalau pro kontra RUU Pornografi yang kemudian di telah di sahkan di semangati oleh upaya penyelamatan generasi penerus, Lekra ternyata telah jauh mendahului kerja-kerja DPR meski tak berfikir bahwa persoalan pornografi perlu di jawab dengan Undang-undang.

Lekra menggali budaya Indonesia. Langkah pertama pendiriannya pada kongres I Lekra jusru mengumpulkan karya cipta budaya di seluruh Indonesia. Seni Tari, dongeng, seni lukis. Di perkenalkan sebagai warisan negeri yang mesti di jaga.

Seni mestilah berpihak pada rakyat, karena seni lahir dari kehidupan.
Seni jenis ini lah yang kian hilang dari peredaran masa kini, di ganti kisah cinta-cintaan bertema kekerasan, perebutan harta dan iri hati.

Lekra memposisikan Sastra dan sebagai alat yang penting dalam revolusi yang membentuk karakter bangsa. oleh karenanya setiap karya yang tidak memberikan kontribusi pada tujuan tersebut layak di hujat.

26 November 2008

Baik-Buruk Wajah Lekra

::h tanzil

Jika kita mendengar kata Lekra, maka yang langsung terpikirkan oleh kita adalah sebuah lembaga kebudayaan bentukan PKI yang pernah membikin ricuh panggung budaya Indonesia di era Demokrasi Terpimpin (1950-1965), tukang ganyang, pembuat onar, pemicu konflik tak berkesudahan dengan para sastrawan Manifes Kebudayaan (Manikebu), dan telibat pembakaran buku-buku di depan Kantor USIS (Pusat Informasi Amerika).

Stigma negatif yang ditempelkan pada Lekra ini terus melekat dalam benak kita dan keterlibatan Lekra dalam pembakaran buku yang sebenarnya tak terbuktikan itu telah menjadi mitos abadi karena hal ini terus ditulis di berbagai media dan dikisahkan oleh para sastrawan-sastrawan senior penandatangan Manifestasi Kebudayaan ketika menggambarkan situasi politik dan budaya Indonesia di tahun 50-60an.

Mitos tersebut seolah tak terbantahkan karena suara-suara mantan aktifis Lekra yang menyangkalnya telah dibungkam ketika penguasa orde baru ‘menjahit’ mulut para lawan-lawan politiknya. Tak hanya itu, secara sengaja sejarah dan kiprah Lekra di ranah budaya Indonesia dikerdilkan hingga yang tercatat sekedar pertarungan antara dua kubu dalam isu kesusasteraan nasional : Lekra vs Manikebu.

Lalu apa dan bagaimana sesungguhnya Lekra ? Apa saja yang telah dikerjakannya selama lembaga kebudayaan ini menguasai panggung budaya Indonesia selama lima belas tahun (1950-1965)?. Tak banyak yang mengetahuinya karena tak satu bukupun yang secara komprehensif pernah menulis tentang Lekra hingga akhirnya terbitlah buku bertajuk “Lekra Tak Membakar Buku” karya Muhidin M Dahlan dan Rhoma Dwi Aria Yuliantri.

Buku ini bisa dikatakan buku yang paling komprhensif mengenai Lekra yang disusun secara sistematis dalam sepuluh bab plus daftar singkatan /akronim, lampiran, dan indeks. Dimulai dari bab Mukadimah yang mencatat situasi menjelang Kongres I Lekra (1959) ketika seluruh aspek kehidupan masyarakat Indonesia harus segaris dengan Manifestasi Politik (Manipol)-nya Soekarno. Demikian pula dengan sikap berkebudayaan yang arahnya sudah jelas : “Seni untuk Rakyat” dan “politik adalah panglima kebudayaan”. Dalam Konggres-nya inilah Lekra mencoba merumuskan berbagai aksi nyata di lapangan kebudayaan yang memihak Rakyat, anti imperialis, dan anti feodal!

Masih dalam bab yang sama, diungkapkan pula kelahiran dan peran Lekra secara umum sebelum dibahas secara detail di bab-bab berikutnya. Satu hal yang menarik adalah terungkapnya bahwa Lekra bukanlah salah satu organ PKI seperti yang selama ini banyak diasumsikan orang. Hal ini tampak saat diselenggarakannya Konferensi Sastra dan Seni Revolusioner (KSSR) yang sepenuhnya dilakukan oleh PKI. Memang dalam kenyatannya banyak seniman-seniman Lekra ikut terlibat , namun kapasitas mereka sebagai seniman “progresif revolusioner” dan bukan sebagai Lekra secara institusi. Jika Lekra memang organ resmi PKI tentu saja konferensi ini akan dilaksanakan oleh Lekra sebagai lembaga kebudayaan yang paling siap dan kompeten untuk menyelenggarakannya, atau setidaknya nama Lekra akan selalu disebut-sebut. Pada kenyataannya hingga resolusi KSSR diumumkan, Lekra tak pernah disebutkan sebagai bagian dari PKI.

Karena itulah buku ini menyebutkan secara gamblang bahwa: “ Lekra tak pernah menjadi underbow PKI. Lekra adalah organisasi merdeka yang tak masuk dalam kendali komando PKI…Walau tak bisa dipungkiri bahwa banyak pekerja budaya komunis yang menjadi anggota Lekra di pucuk-pucuk pimpinannya. “ (hal 61).

“Menyebut Lekra bersih sama sekali dari pengaruh PKI adalah kesalahan fatal, tetapi menyebutnya menginduk kepada PKI juga keliru. Lebih tepat hubungan itu adalah hubungan kekeluargaan ideologi..(hal 63)

Selain itu terungkap pula bahwa Pramoedya Ananta Toer bukanlah komunis. Hal ini terungkap ketika PKI hendak melakukan “pemerahan total” pada Lekra melalui konggres KSSR . “..bahkan Nyoto yang pendiri Lekra pun menolak “pemerahan total“ Lekra dengan pertimbangan hengkangnya tenaga-tenaga potensial Lekra yang non-Komunis seperti Pramoedya Ananta Toer, Utuy Tatang Sontani, dan sebagainya.” (hal 62)

Setelah bab Mukadimah, buku ini membahas mengenai Riwayat Harian Rakjat yang merupakan terompet PKI dan Koran politik nasional terbesar pada masanya, dan tempat dimana sastrawan-sastrawan Lekra mengisi secara penuh lembar-lembar kebudayaannya yang merupakan sumber utama dari lahirnya buku ini.

Kemudian mulailah buku ini membahas semua kerja Lekra dan pemikiran-pemikiran seniman Lekra diberbagai bidang kebudayaan yang dibagi secara bab per bab mulai dari sastra, film, seni rupa, seni pertunjukan, seni tari, musik, dan buku. Dari berbagai bahasan dalam buku ini akan terlihat bahwa para Lekra sangat militan dalam melaksanakan kerja budaya yang segaris dengan prinsip Manipol yang menentang kebudayaan imperialis dan sepenuhnya memihak sekaligus memberdayakan kebudayaan Rakyat. Di tangan Lekra beberapa seni dan kebudayaan rakyat yang telah terkurung dalam kebudayaan feodal (wayang, tari-tarian keraton, dll) yang tadinya hanya dipentaskan di kalangan dan tempat-tempat tertentu, kini dikembalikan pada rakyat sehingga semua rakyat bisa menikmati dan mengembangkannya.

Lekra juga membabat habis semua bacaan-bacaan, film, musik yang tidak sesuai dengan garis kebijakan Manipol termasuk karya-karya sastrawan Manikebu. Sebagai gantinya, Lekra menumbuhkembangkan bacaan, film, dan musik yang sesuai dengan jiwa revolusioner. Dalam berbagai simposium kebudayaannya Lekra mencatat dan menginventarisir semua kesenian-kesenian rakyat dan mengurus hak ciptanya. Kalau saja apa yang dikerjakan Lekra tak terkubur oleh sebuah prahara politik di tahun 65 mungkin kini tak ada ceritanya kalau kesenian reog ponorogo, dan beberapa lagu daerah diklaim sebagai milik budaya negara tetangga kita.

Dalam bidang musik, selain mengecam musik ngak-ngik-ngok yang dianggap tidak sesuai dengan kepribadian nasional, Lekra juga sangat prihatin terhadap perilaku anak-anak kecil yang menyanyikan lagu-lagu dewasa yang liriknya cengeng dan cinta-cintaan. Karenanya Lekra membahasnya secara khusus dalam Konferensi Lembaga Musik Indonesia (LMI/Lekra). Kondisi ini tampaknya tak jauh berbeda dengan keadaan sekarang dimana anak-anak tak memiliki lagu-lagu yang sesuai dengan usia mereka sehingga tak heran kalau kita mendengar anak-anak menyanyikan lagu –lagu cinta orang dewasa.

Di bidang buku, kita akan melihat bagaimana saat itu pameran-pameran buku tak sekedar ajang bisnis semata, melainkan menjadi ajang propaganda politik melalui buku-buku yang dipamerkan. Secara menarik kita akan diajak melihat siapa-siapa saja yang ikut dalam pemeran buku yang saat itu bernama “Gelanggang Buku” dan buku-buku apa saja yang dipamerkan. Hal ini mungkin bisa berguna bagi penyelenggara pameran buku di masa kini yang umumnya hanya memindahkan aktifitas toko buku ke dalam pameran.

Kemudian dibahas pula politik sebagai panglima buku, politik buku pelajaran, lembaga penerbitan buku Lekra, dan bab khusus “Lekra tak membakar buku” yang berisi fakta-fakta bahwa Lekra tak pernah membakar buku dan melarang peredaran buku-buku yang notabene adalah wewenang Kejaksaan Agung. Berdasarkan guntingan-guntingan Koran Harian Rakjat yang menjadi dasar buku ini, kedua penulis buku ini sampai pada kesimpulan bahwa “tak satupun individu yang menyebutkan bahwa Lekra secara keorganisasian maupun individu-individu ikut serta dalam pembakaran buku” (hal 476)

Masih banyak sepak terjang Lekra yang akan kita dapat di buku ini. Pada intinya buku ini memang mengupas habis kerja-kerja kreatif yang dihasilkan Lekra selama 15 tahun (1950-1965) di bidang kebudayaan sebelum lembaga ini dibekukan dan seluruh kegiatannya dihapus dari memori dan sejarah bangsa Indonesia.

Kini kita patut bersyukur, karena kiprah Lekra yang telah dengan sengaja dihilangkan dari sejarah bangsa ini kembali terkuak dan dapat dibaca oleh semua orang. Ini semua berkat ‘kegilaan’ dua penulis muda yang dengan tekun menyelisik sekitar 15 ribu artikel kebudayaan di Harian Rakjat selama 1.5 tahun yang tersimpan dalam ruang terlarang untuk dibaca di sebuah perpustakaan di Jogya. Artikel-arttikel itu terpaksa mereka salin karena lembar koran yang sudah usang sebagian besar sudah tak memungkinkan lagi untuk di foto copy.

Dari ribuan artikel yang mereka baca dan salin inilah mereka dan menyusunnya sehingga menjadi sebuah buku utuh yang enak dibaca, . “Kami hanya mengatur tempo dan menggilir siapa yang naik panggung duluan dan siapa yang kena giliran berikutnya. Untuk memberi suasana dan raut wajah dan suara semasa, maka kami sebanyak mungkin mengiringi kembali seluruh bahasan dengan kutipan langsung dari potongan-potongan berita braksen ejaan lama itu?” (hal 6).

Tampaknya kegilaan ide dan ketekunan kerja yang dilakukan Muhidin dan Rhoma Dwi Aria tak sia-sia. Buku yang awalnya diprediksi oleh kedua penulisnya hanya akan setebal duaratusan halaman ternyata menggelembung menjadi hampir 600 halaman karena semakin meluasnya temuan-temuan baru yang mereka temukan untuk diungkapkan. Jangan menciut melihat ketebalannya, karena walaupun tebal dan bersumber dari ribuan artikel-artikel yang berdiri sendiri namun kedua penulis berhasil merangkainya menjadi sebuah buku yang sistematis, runut, tak bertele-tele, dan enak dibaca. Lampiran-lampiran risalah rapat, hasil komunike, struktur organisasi, dan sebagainya merupakan bonus bagi mereka yang berniat meneliti lebih dalam mengenai Lekra.

Melihat lengkapnya bahasan dalam buku ini tampaknya inilah buku tentang Lekra yang paling komprehensif yang pernah diterbitkan di Indonesia semenjak Lekra berdiri hingga kini. Namun demikian ada yang mengkritik buku ini karena hanya bersumber dari guntingan-guntingan artikel lembar kebudayaan Harian Rakjat tanpa mencari sumber lain berupa wawancara terhadap pelaku sejarah yang masih hidup atau sumber-sumber kepustakaan lain.

Selain itu, ketika saya selesai menamatkan buku ini, saya bertanya-tanya mengapa judul bukunya “Lekra tak Membakar Buku”, padahal yang dibahas lebih dari sekedar jawaban atas pernyataan tersebut. Menurut saya judul tersebut mengecilkan luasnya cakupan yang dibahas dalam buku ini.

Ketika kedua hal tersebut saya tanyakan pada salah seorang penulisnya (Muhidin M Dahlan), ia mengatakan bahwa tak adanya narasumber dari para tokoh sejarah dalam menyusun buku ini sudah disadarinya sejak awal, “Itulah kelemahan sekaligus kekuatan buku ini”, ungkapnya. Wawancara terhadap tokoh-tokoh Lekra yang masih hidup dilakukan hanya sebatas konfirmasi nama, tak bisa lebih dari itu, faktor usia tampaknya menjadi kendala karena mungkin ingatan mereka sudah tak jernih lagi.

Sedangkan untuk judul, Muhiddin menjelaskan bahwa dalam proses kreatifnya ia cenderung mengambil judul bab yang paling kuat. Selain itu bab “Lekra tak Membakar Buku” adalah yang ditulis paling awal ketika buku ini dikerjakan, dan dari bab inilah maka pembahasannya menjadi semakin berkembang. “Tidak ada bab itu sebagai pemicunya , maka tidak akan ada buku Lekra.”, demikian imbuhnya.

Kritik lainnya untuk buku ini adalah hurufnya yang terlalu kecil dan beberapa kesalahan cetak sehingga mengganggu kenyamanan membaca. Untuk ukuran huruf mungkin ini salah satu cara untuk menyiasati agar buku ini tidak bertambah ‘gemuk’ yang tentunya akan mengakibatkan harganya menjadi mahal dan sulit dijangkau oleh khalayak ramai.

Terlepas dari baik buruknya buku ini, saya berani mengatakan bahwa buku ini buku merupakan karya monumental yang mendokumentasikan penggalan sejarah berkebudayaan di Indonesia. Karenanya buku ini wajib dimiliki dan dibaca oleh para pecinta sejarah, pemerhati, dan pelaku gerakan kebudayan Indonesia. Kiprah Lekra selama lima belas tahun tampil apa adanya dalam buku ini. Ada yang buruk, ada pula yang baik. Yang buruk bisa menjadi pelajaran agar hal serupa tak terulang kembali. Sedangkan apa yang baik dari kerja kreatif Lekra setidaknya dapat menjadi inspirasi dan bisa dijadikan contoh dalam mengembangkan kebudayaan kita saat ini.

Yang pasti buku ini akan membuka mata kita bahwa sejarah Lekra tak sekedar berisi polemik tak berkesudahan dengan pengusung Manifes Kebudayaan. Lekra bukan hanya diisi oleh orang-orang yang haus kuasa, tukang boikot, tukang cela, dan pembuat onar panggung kebudayaan, tapi Lekra adalah sebuah lembaga kebudayaan yang telah memberi warna dan sumbangsih yang luar biasa bagi kebudayaan Indonesia sebelum tragedi nasional menumbuk dan menghancurkan semua hasil kerja keras yang dipupuk selama 15 tahun tanpa henti itu.

Cover yang Dipermasalahkan

Baru saja sehari terpajang di toko-toko buku, tiba-tiba Toko Buku Gramedia menarik seluruh buku Tilogi Lekra Tak Membakar Buku dan mengembalikan pada penerbitnya tanpa pemberitahuan terlebih dahulu. Usut punya usut ternyata mereka khawatir dengan cover buku “Lekra Tak Membakar Buku” yang memuat gambar ‘palu arit’ yang merupakan lambang PKI. Mereka tampaknya khawatir karena pelarangan logo PKI hingga kini belum dicabut oleh pemerintah. Karenanya TB Gramedia bersikukuh tak mau memajang buku ini jika covernya belum diganti.

Sebenarnya lambang PKI pada buku ini tak terlalu kentara karena hanya berupa gambar timbul (embossed) tanpa bingkai dan warna, nyaris tak terlihat terutama dari jarak jauh. Sehingga sekilas yang terlihat hanyalah cover putih polos dengan judul buku berwarna merah di bagian bawahnya.

Sebenarnya desain cover seperti ini menggambarkan keberadaan Lekra dengan PKI. Lekra bukanlah salah satu organ PKI, tapi tokoh-tokoh Lekra adalah orang-orang yang juga tergabung dalam PKI. Jadi dibilang PKI bukan, dibilang bukan PKI juga salah.

Awalnya penerbit maupun penulisnya tetap ingin mempertahankan cover tersebut, namun tampaknya daripada buku ini tersendat peredaraannya dan di sweeping oleh pihak-pihak tertentu sehingga kesempatan masyarakat untuk membaca buku ini menjadi terhalang, akhirnya diambil jalan kompromi. Daripada membuang-buang waktu dan dana untuk mengganti cover baru, maka ditutuplah lambang palu aritnya dengan kertas putih.
Akhirnya buku monumental ini kini tersaji dengan wajah yang tambal sulam, hal yang buruk dan tak memenuhi kaidah estetika sebuah buku….

@h_tanzil

04 November 2008

PALU ARIT

::nurdiana

Kapitalis buncah krisis Wallstreet,
Gramedia takut buku berpalu-arit.
Das Kapital laris menyusul bursa saham krisis,
Marx muncul ditampilkan banyak penulis.

Di negeri begini jelita,
Di kala nama LEKRA kembali mengemuka,
Palu Arit jadi perkara,
Hiruk sastrawan angkat suara.

Pak Djoko Moeljono pun menggelitik,
kenapa Gramedia takut Palu Arit,
Heri Latief kacian pada yang takut
buku LEKRA ber-Palu Arit.

Arbhi tak terkejut Gramedia kecut,
hantu orba dibantu tuyul masih melotot,
mendirikan bulu kuduk,
maka Gramedia=Gramofon orba.

Bisai menilai:
penolakan Gramedia jadi iklan gratis
LEKRA Tidak Membakar Buku,
kan dicari orang jadi bestseller laris.

Ari Condro berseloroh,
Gramedia takut Palu Arit,
Trilogi LEKRA
jual undergriund saja.

Chalik Hamid ikut berkisah:
Palu Arit bukan hantu lagi,
di Eropa hiasan pakaian,
di pasar bebas berkibaran,
bersama gambar Marx, Che Guevara,
Gramedia kok ketakutan,
lalu bertanya: kita sudah masuh jaman Orba jilid dua?

Tentu saja jawabnya:
ya, iya; tandanya orba masih kuasa.

Asep Sambodja bersuara pula:
menilai penting Trilogi LEKRA
yang menghantui Gramedia,
anjurkan para pengajar sastra,
dan pada para guru,
membaca LEKRA Tidak Membakar Buku.

Setengah abad Perang Dingin,
CIA menggerayangi dunia;
penjajah membangun banyak penjara,
Nusa Kambangan, Digul, dan pembuangan;
sepertiga abad orba kuasa,
para intel dan baju hijau,
membantai membunuh musnah,
membasmi sak cindil abange,
tak lenyap dan tak juga punah,
pemuja Palu Arit bermunculan lagi.

Panji merah ber-Palu Arit,
berkibar megah di negeri Naga,
berpenduduk seperlima dunia,
kini tengah mempesona.

Partai berlambang Palu Arit,
memimpin pembebasan rakyat Nepal,
menggulingkan kerajaan feodal,
mendirikan negara demokratis federal.

Di kala umat lah buka mata,
mulut terrajut mulai menganga,
bebas menulis dan bersuara,
nama LEKRA mulai mengemuka,
DR Tjaniago bersajak pula,
mengangkat Marx, Lenin, Liu Shaoqi,
guru dan sobat Mao Zedong;
dan Heri Latief sering menyanjung,
Darsono, Semaun, Musso, Tan Malaka,
jelas semua pemuja Palu Arit.

Palu Arit bersejarah lama,
palu lambang rakyat pekerja,
arit lambangkan kaum tani,
tanpa buruh dan tani,
mana umat bisa hidup di bumi,
Palu Arit mulia tiada tara.

Palu Arit ditakuti dan dimusuhi,
kaum penghisap dan lintah darat,
antek penghasut Perang Dingin,
dan penerus fasis rezim orba.

Palu Arit dipuja rakyat pekerja,
lambang kekuatan,
senjata perjuangan,
demi kebebasan dari penghisapan.


30 Oktober 2008.
(diundung dari milis 'sastrapembebasan')

03 November 2008

Gerakan Perbukuan Kaum Muda

::eri irawan

Mereka mewarnai koran-koran dengan kata yang menghipnotis, bukan melabur jalan dengan darah yang amis.

Ini tentang semangat itu. Semangat anak-anak muda di dunia perbukuan. Semangat yang nyaris tak pernah redup, meski jalan makin pejal.

Jumat lalu (24/10), aku menghadiri peluncuran trilogi buku soal Lekra. Disusun oleh dua anak muda perkasa, Muhidin M. Dahlan dan Rhoma Dwi Aria Y.

Di tengah gegap-gempita diskursus "capres muda, politisi muda, et cetera", ada baiknya, kukira, republik ini berpaling pada gerakan perbukuan kaum muda. Singkirkan dulu perdebatan soal capres muda. Politik sudah terlalu pongah. Ia dibangun tanpa ilmu pengetahuan, karena hasrat kuasa mengaliri setiap inci jiwanya. Ia dibangun tanpa etik. Politik bukan lagi perjuangan ideologis. Politik adalah hal yang bengis.

Mungkin, kini tepat kita bicara soal gerakan perbukuan kaum muda. Bukan hanya karena Oktober ini ada momen Sumpah Pemuda, tapi lebih jauh dari itu, republik ini perlu suntikan semangat perbukuan yang lebih "gila".

Kisah "kegilaan" anak-anak Indonesia Buku (Iboekoe) mungkin bisa dijadikan contoh. Selain itu, juga ada komunitas Forum Lingkar Pena yang melesat kencang, Rumah Dunia-nya Gola Gong, Alpen Prosa, dan beberapa lagi komunitas penulis muda. Meski berderet, kalau kita bicara statistika, jumlah mereka mungkin hanya 5 persen dari total kaum muda republik ini, tempat di mana harapan masa depan keindonesiaan digantungkan.

Kisah anak-anak muda itu dalam bergelut dengan dunia buku sungguh luar biasa. "Ini sebuah dunia yang senyap," kata Muhidin kepadaku lewat telepon, Juni lalu.

Secuil kisah anak-anak muda di Iboekoe itu sebenarnya sudah pernah kuturunkan di koran tempatku bekerja. Tapi, sejujurnya, aku tak kenal mereka secara pribadi. Hanya pernah beberapa kali saling berkirim SMS. Bahkan, aku baru bertatap muka dengan Muhidin dan Rhoma Aria, dua sumber utama dalam tulisan yang pernah kuturunkan di koran tempatku bekerja, Jumat (24/10) malam lalu, kala peluncuran buku di sebuah ruang senyap tak jauh dari Masjid Istiqlal.

Dan, aku kembali merasa gerakan perbukuan kaum muda mesti terus diluapkan. Republik ini jelas dibangun oleh kaum muda yang gila buku. Sejarah mencatat di banyak buku tentang bagaimana perjalanan intelektual Tan Malaka, Bung Karno, Bung Hatta, Semaoen, Sjahrir, Natsir, dan sederet nama lainnya. Namun, kini, seperti kita tahu, lebih banyak kaum muda kita yang sibuk bersolek daripada mendaras buku. Lebih banyak yang fasih bicara model baju terbaru daripada bicara kapitalisme, sosialisme, marxisme, et cetera. Lebih banyak yang datang ke pesta daripada klub-klub diskusi buku.

Tapi, sebuah angka memang bukan statistika yang beku. Meski sedikit, gerakan perbukuan kaum muda ini masih lantang meninju langit, menantang apa pun hadangan. Bergelut dengan cerca dan dilema di sebuah koleseum besar; menuju peradaban atau kebiadaban.

Siapa yang tak bergetar membaca kisah soal jatuh-bangunnya FLP? Siapa yang tak angkat topi melihat aksi Gola Gong? Dan, siapa yang tak salut melihat kegilaan dua anak muda penulis Lekra Tak Membakar Buku itu?

Aku tak bicara adanya garis ideologis di antara kelompok-kelompok anak muda. Ideologi benar atau tidak itu nomor kesekian. Yang terpenting, mereka semua menyemai ilmu pengetahuan, membangun peradaban dengan caranya sendiri. Sebuah cara yang kian hilang: menghikmati buku dan dunianya.

Mungkin, salah satu indikasi menonjol makin hilangnya semangat menghikmati buku dan dunianya adalah meriahnya kekerasan untuk menyelesaikan polemik. Contoh mutakhir adalah saling serang kelompok FPI dan AKKBB.

Padahal, perjalanan republik ini dibangun dengan polemik. Tapi, polemik itu dibingkai dengan dunianya, caranya sendiri. Dua kubu yang berpolemik saling beradu argumen, bukan bertukar pukulan. Mereka saling menyerang lewat tulisan, bukan main pentungan. Mereka mewarnai koran-koran dengan kata yang menghipnotis, bukan melabur jalan dengan darah yang amis.

Sejarah mencatat banyak polemik di negeri ini yang dilalui dengan perdebatan ideologi dan argumentatif di ruang-ruang publik, macam koran, majalah, hingga stensilan. Satu polemik yang membuat republik ini kian kaya adalah ketika lembaran waktunya dilaburi polemik hebat antara kubu Manikebu dan seniman-seniman "kiri". Mereka saling adu tulisan; urusan benar-salah, saya memihak siapa, itu urusan nomor buncit. Dan tentu, masih banyak lagi polemik hebat yang mengagumkan, menguras pikiran, menyentuh mata-batin manusia. Kudengar, ada sekira 100-an polemik yang pernah ada di republik ini yang coba disusun oleh teman-teman Iboekoe.

Kembali lagi, siapa yang tak bergetar mendengar kisah mereka, kaum muda di dunia perbukuan kontemporer? "Dalam sehari, selama 15-18 jam kami menulis hasil riset. Tiga hari tiga malam kami pernah tiada henti berkutat dengan Harian Rakjat," cerita Muhidin saat peluncuran bukunya kemarin.

Sebuah semangat yang nekat, nyaris luput dari kewarasan otak manusia. "(Saking minimnya biaya), sampai-sampai editor pun nggak ada. Percetakannya pun sudah lama kami kenal, jadi ngutangnya mudah," cerita Muhidin soal proses kelahiran bukunya.

Dan Gola Gong berujar mantap, "Rumahku rumah dunia, kubangun dengan kata-kata." Maka, ia pun merelakan tanah luas di belakang rumahnya sebagai tempat sekolah. Bukan sekolah formal dengan seragam dan harus hormat bendera tiap hari Senin, tapi sekolah kehidupan soal bagaimana pikir diasah dan rasa dipertajam. Hingga, keduanya, pikir dan rasa itu, bisa menyatu menggapai sebuah makna: bahwa hidup itu harus berguna bagi sesama.

Banyak anak muda datang ke Rumah Dunia-nya Gola Gong. Mereka mempelajari teater, menggambar, membaca apa pun, dan tentu saja menulis.

Inilah mungkin kredo baru tentang bagaimana keindonesiaan di masa depan harus dibangun: bahwa buku adalah kunci, lentera yang membawa benderang. Maka, jangan ada lagi buku yang dibakar, buku yang dilarang hanya karena beda pendapat.

02 November 2008

Jawaban Paling Serius dari Prahara Budaya

::diana sasa

"Sejarah senyap adalah sebuah metode dan usaha menggali kuburan ingatan kolektif dari persemayaman yang dipaksakan; sebuah ikhtiar mencabuti kembali patok-patok nisan tanpa nama dan mendengarkan tutur dari alam kubur kebudayaan Indonesia tentang apa yang sesungguhnya terjadi"

Emboss palu-arit tercetak samar di kertas putih bersih itu menghadirkan kembali rasa getir trauma masa lalu. Judul dengan warna merah menyala di samping logo penerbit bak darah mengalir, mengingatkan pada betapa banyak darah tertumpah yang menjadi tumbal gambar itu.

Desain sampul Lekra Tak Membakar Buku: Suara Senyap Lembar Kebudayaan Harian Rakjat 1950-1965 yang disusun Rhoma Dwi Aria Yuliantri dan Muhidin M Dahlan ini dibuat jelas bukan tanpa alasan. Selain peraturan pelarangan gambar itu masih belum dicabut, Lekra (Lembaga kebudayaan Rakyat) dalam sejarah memang selalu berada dalam bayang-bayang partai berlambang dua benda tajam senjata kaum tani itu, PKI (Partai Komunis Indonesia). Jika Lekra maka PKI, karena PKI maka (pasti) jahat, kejam, sadis, dan layak digorok. Sebuah peng-gebyah uyahan-yang keblinger berpuluh tahun.

Rhoma dan Muhidin adalah dua orang muda yang usianya belum juga genap 30, tapi kepeduliannya pada dokumentasi sejarah bangsa begitu besar. Rhoma adalah periset muda yang telah melahirkan pelbagai karya sejarah seperti Seabad Pers Kebangsaan (1907-2007), Seabad Pers Perempuan (1908-2008), Almanak Partai Politik Indonesia, dan Kronik Seabad Kebangkitan Indonesia (1908-2008). Muhidin adalah penulis muda yang namanya wira-wiri di media nasional dan telah melahirkan berpuluh buku sastra maupun esai. Dialah pemimpin riset Kronik Seabad Kebangkitan Indonesia yg ditulis 25 penulis muda yang usianya masih di bawah 25 tahun. Mereka berdua ini selama 17 bulan dengan getih menyusuri kembali lembar demi lembar Harian Rakjat dalam lembab almari perpustakaan sunyi di pusat kota Jogjakarta dengan satu semangat: selamatkan aset sejarah sebelum kalah dengan rayap!

Sebanyak 15 ribu artikel budaya Harian Rakjat dalam ejaan lawas dan tulisan kecil-kecil mereka baca dengan tekun, mereka catat bagian-bagian pentingnya (karena tidak boleh menggunting apa lagi menfotokopi karena merusak kertas yang sudah rapuh itu), untuk kemudian menuliskannya kembali dengan beberapa tambahan intepretasi. Mereka menyuguhkan dengan apa adanya peristiwa-peristiwa kebudayaan yang terjadi sepanjang rentang waktu revolusi 1950-1965. Fakta demi fakta diuraikan.
Dan hasilnya: Lekra tak hanya mengurusi soal sastra yang selalu diperdebatkan dengan Manikebu, tapi juga film, musik, seni tari, seni pertunjukan (ketoprak, wayang, ludruk, drama, reog), buku, pers, dan kebudayaan secara umum.

Buku ini, meski disebut sebagai “buku putih”, tapi bukanlah sebuah pledoi buta terhadap Lekra. Ia adalah ikhtiar memberi kesempatan bagi mereka untuk berbicara apa sesungguhnya yang telah mereka lakukan semasa kurun 15 tahun yang bergemuruh itu.

Jika boleh disandingkan, buku ini adalah jawaban paling serius dari Prahara Budaya: Kilas Balik Ofensif Lekra/PKI yang disusun DS Moeljanto (DSM) dan Taufik Ismail (TI) sekira tahun 1995 silam.

TI dalam pengantarnya mengatakan bahwa Prahara Budaya disusun dengan ketulusan hati ingin meluruskan sejarah. Buku itu ditujukan bagi pembaca muda yang tak mengalami peristiwa tersebut. Sementara Muhidin dan Rhoma dalam pengantarnya mengatakan bahwa Lekra Tak Membakar Buku ditujukan untuk mengingat kembali peran Lekra dalam kebudayaan Indonesia pada masa itu dengan apa adanya agar generasi yang tak mengalami peristiwa tersebut memperoleh informasi sejarah yang berimbang.

Jika Prahara Budaya bersampul “merah” itu disusun oleh dua budayawan lanjut usia (baca: tua) yang sangat antipati terhadap Lekra, maka buku ini disusun dua orang muda enerjik dari masa yang sudah sangat jauh berbeda tatkala Lekra berdiri kukuh. Meski ketebalan hanya berbeda kurang dari 60 halaman, tapi perbedaan di antara keduanya terlihat prinsipil.

Dalam Prahara Budaya, tak jelas disebutkan posisi DSM dan TI sebagai apa selain nama mereka tercantum disampul—mungkin lebih tepat jika disebut editor jika bukan kolektor—dari kliping koran, majalah, dan makalah kebudayaan di seputar tahun 60-an. Dokumen-dokumen itu disajikan mentah, sedikit pengantar dan komentar di bawah, yang kadang tak ada kaitannya dengan bahasan di atasnya, dan perubahan judul (tanpa penjelasan mengapa diubah dari aslinya) di sana sini.

Tulisan pengantar yang dibuat TI pun lebih banyak mengungkap ketaksetujuannya atas dasar iman dan pengalaman subjektif; tak terungkap argumen yang sifatnya ilmiah. Sistematika penyusunan dan kronologi peristiwanya juga tak tertata dengan baik. Sehingga buku ini sangat jauh dari ilmiah—lebih tepat disebut buku pembunuhan telak Lekra. Lebih banyak menyajikan konflik, saling tuduh, saling tuding, dan maki bak prahara seperti judulnya. Hasilnya: Lekra adalah organ kebudayaan kaum preman yang tak berotak, tukang keroyok, dan pembuat onar panggung kebudayaan.

Sementara Lekra Tak Membakar Buku, dihadirkan dengan sistematika dan kronologi yang runtut. Mulai dari apa dan bagaimana Lekra, riwayat Harian Rakjat, dan satu demi satu diuraikan bagaimana kerja Lekra dalam sastra, film, senirupa, seni pertunjukan, seni tari, musik, buku dan penerbitan. Melalui riset mendalam (seperti yang selalu diajarkan seniman organik Lekra), sepak-terjang seniman dan pekerja budaya Lekra menghalau serangan imperialisme budaya dan modal yang bersekutu dengan kekuatan feodalisme lokal diulas ulang. Sambil sesekali memasukkan kutipan-kutipan dari sumber asli disertai catatan rujukannya. Juga dilampirkan keterangan akronim, berikut data-data hasil rapat, susunan pengurus, anggota pimpinan pusat, pengumuman, dan keputusan-keputusan penting Lekra dari rapat-rapatnya.

Dalam “panggung” Lekra Tak membakar Buku ini, terungkap banyak realitas menarik yang banyak tak diketahui publik. Di antaranya adalah instruksi pada semua utusan Kongres I Lekra dari seluruh cabang di Indonesia pada Januari 1959 agar tak hanya membawa bahan untuk diperdebatkan, tetapi juga membawa alat musik, mainan anak-anak, kerajinan tangan, pakaian daerah, cerita-cerita, ornamen-ornamen, penerbitan, dan lagu-lagu daerah masing-masing. Semua itu digelar dalam sebuah bazar besar sehari sebelum hingga kongres berakhir. Pengunjung pameran mencapai 15000/malam; sebuah jumlah yang tak kecil pada masa itu.

Tak sekadar memajangnya, mereka juga mematok program untuk menginventariasi kekayaan-kekayaan cipta budaya Nusantara yang terserak ribuan jumlahnya itu sehingga tak dicaplok bangsa lain seperti kasus lagu Rasa Sayange beberapa waktu lalu.

Seniman-seniman Lekra juga giat menyerukan agar pemerintah memperkeras sikap dengan gambar-gambar dan lukisan cabul dalam bentuk dan kegunaan apa pun seperti ilustrasi, poster, dekor, ornamen, tekstil, dan sebagainya. Kita tak perlu ribut dengan kontroversi RUU pornografi hari ini jika saja mendengarakan apa kata seniman Lekra puluhan tahun silam.

Lekra tak membiarkan anggotanya menempuh jalan kebudayaan dengan ugal-ugalan. Setiap seniman mesti bertanggung jawab pada rakyat yang menjadi basis dayaciptanya. Lekra juga menekankan agar dalam proses mencipta (seperti sastra) selalu melalui riset ilmiah bukan ongkang-ongkang kaki sambil merokok dan menenggak alkohol. Sikap Lekra Jelas di sini bagaimana Lekra berpihak dalam peran budayanya dengan memundaki tiga asas: bekerja baik, belajar baik, dan bermoral baik.

Lekra Tak Membakar Buku adalah sebuah pembelaan atas tuduhan yang sering dilontarkan “lawan” budayanya pada masa itu. Salah satunya adalah bahwa Lekra organ budaya pembakar buku. Buku ini bersikap jelas dan tegas: TIDAK! Lekra percaya bahwa buku mampu mengubah dunia, tapi tidak sembarang buku. Buku yang mampu “mengubah” adalah buku yang isinya digali langsung dari perikehidupan rakyat melalui gerakan turun ke bawah dan bukan mimpi-mimpi kosong yang melulu menjual kepalsuan hidup dari kamar salon. Lekra memang melakukan “teror” atas buku-buku penandatangan Manikebu dan juga pentolan-pentolan Masjumi dan PSI yang terlarang. Tapi Rhoma dan Muhidin ini memberi dalih bahwa tak ada bukti Lekra mengorganisasi pembakaran buku yang mereka tak sukai yang kemudian menjadi judul bagi buku ini.

Terlepas dari beberapa kesalahan ketik di sana sini, buku ini adalah dokumen sejarah yang disusun anak muda generasi sekarang dengan “semangat ilmu pengetahuan” dan keseriusan di atas rata-rata. Muhidin dan Rhoma menasbihkan buku ini sebagai sebuah dokumen sejarah kebudayaan kita yang hilang dan terputus atas nama dendam politik yang terus diwariskan pada generasi muda.

01 November 2008

Tak Ada yang Perlu Dikhawatirkan

::h tanzil

Saya kebetulan sedang membaca buku ini. Memang di cover depan buku ini terdapat gambar palu arit, namun tidak berwarna, hanya berupa gambar timbul (embossed ) saja, sehingga kalau dilihat dari kejauhan yang terlihat hanyalah cover putih polos dan
dibawahnya terdapat judul "LEKRA TAK MEMBAKAR BUKU".



Sebetulnya tak ada yang perlu dikhawatirkan oleh Gramedia, sejauh yang telah saya baca hingga setengahnya buku itu membeberkan fakta-fakta akan apa yang diperjuangkan oleh LEKRA selama periode 1950-1960an.

Dan sejauh yang saya baca, LEKRA itu bukan organisasi kebudayaan resmi dibawah naungan PKI, hanya saja memang petinggi-petinggi LEKRA banyak yang merupakan anggota PKI yang saat itu merupakan parpol resmi.

Saya bisa memahami mengapa kedua penulis tak mau mengganti covernya, karena menurut penuturan salah seorang penulisnya, cover itu menggambarkan hubungan LEKRA dengan PKI. Dibilang organisasi bentukan PKI ya tidak, dibilang tidak ada hubungan dengan PKI juga keliru. Jadi hubungan antara PKI dan LEKRA menjadi tidak jelas seperti yang divisualisasikan di buku tsb.

Demikian, yang pasti saya ikut prihatin jika buku ini tidak terdistribusikan dengan baik karena gara-gara covernya. Sejauh yang telah saya baca di buku ini, saya menyimpulkan bahwa dibawah cengkeraman LEKRA, sastra dan kebudayaan indonesia saat itu tampak begitu powerfull dan bagaimana LEKRA sangat menghargai kebudayaan Indonesia.

itu saja dulu...

salam,
tanzil
http://bukuygkubaca.blogspot.com

Ada di Rak Kesehatan

::homerian

Pertama kali liat buku ini di togamas. Langsung beli karena insting gw mengatakan gak lama buku ini akan ditarik. Hari ini di togamas sih masih ada, ditaruh di rak kesehatan. Padahal baru seminggu lalu posisinya di rak buku baru datang. Sisa 6 buku. Laris berarti.

homerian

bookshop and library
jl. kompol bambang suprapto no. 38a
baciro, yogyakarta
0274-6506653

Gramedia Tarik "Trilogi Lekra Tidak Membakar Buku"

Jakarta, myRMnews. Tanpa alasan yang jelas dan tanpa pemberitahuan resmi seluruh gerai Toko Buku Gramedia di seluruh Indonesia meretur atau menarik dari display "Trilogi Lekra Tidak Membakar Buku".

Buku karya penulis muda Rhoma Dwi Aria Yuliantri dan Muhidin M Dahlan tersebut hanya satu hari mejeng di rak Toko Buku Gramedia. Hari berikutnya, sudah masuk gudang seperti di Gramedia Matraman, Jakarta Timur.

Buku tersebut berjudul "Lekra Tidak Membakar Buku", Gugur Merah Sehimpun Puisi Lekra" dan "Laporan dari Bawah" berupa kumpulan cerita pendek di rubrik kebudayaan Harian Rakjat.

"Hari ini buku sudah dikembalikan semua kepada kami," kata Rhoma Dwi Aria Yulianthttp://www.blogger.com/img/blank.gifri saat dimintai konfirmasi myRMnews, Selasa (28/10).

Rhoma tidak mendapatkan penjelasan atas penarikan buku-bukunya yang diriset selama 1,6 tahun ini dan diluncurkan di Newseum, Jalan Veteran, Jakarta Pusat, Jumat (24/10).

Dalam peluncuran buku yang dipandu budayawan Taufik Rahzen ini tampil pembicara tokoh Lekra Amarzan Loebis dan sejarawan Anhar Gonggong.

Hadir dalam diskusi tersebut sejumlah wartawan media nasional dan tokoh Lekra seperti Martin Aleida. [yat/selasa, 28 Oktober 2008, 14:43:59 WIB]

Sumber: myrmnews.com

Gramedia Minta Lambang Palu Arit Dicabut

::yayat r cipasang

Jakarta, myRMnews. Sebab penarikan buku "Trilogi Lekra Tidak Membakar Buku" yang dilakukan manajemen Gramedia di seluruh Indonesia sudah jelas.

Pihak Gramedia baru akan memajang dan menjual buku karangan penulis muda Rhoma Dwi Aria Yuliantri dan Muhidin M. Dahlan ini, bila lambang PKI dalam sampul buku tersebut diganti.

"Tapi kami tidak mau," kata Rhoma kepada myRMnews, Selasa sore (28/10).

Dalam sampul aslinya, lambang palu arit itu dicetak menonjol dalam dasar putih. Sekilas bila kurang jeli, sampul buku tersebut terlihat putih polos.

Sementara itu Toko Buku Gunung Agung, kata Rhoma, sampai saat ini belum memberikan respons atas tawaran untuk menjual buku "Trilogi Lekra Tidak Membakar Buku".

"Kami sampai saat ini dicuekin Toko Gunung Agung, kata mahasiswa program S-2 Sejarah Universitas Negeri Jakarta ini sambil terkekeh.

Rhoma dan Muhidin adalah bagian dari sejumlah penggiat di I:BOEKOE yang bermarkas di Jalan Veteran, Jakarta Pusat. Kegiatan mereka ini mendapat supervisi dari budayawan Taufik Rahzen. [yat/selasa, 28 oktober 2008, 15:10:13 WIB]

20 October 2008

Buku Lekra Paling Komprehensif

::h tanzil

Jika kita mendengar kata Lekra, maka yang langsung terpikirkan oleh kita adalah sebuah lembaga kebudayaan bentukan PKI yang pernah membikin ricuh panggung budaya Indonesia di era Demokrasi Terpimpin (1950-1965).

Mereka adalah tukang ganyang, pembuat onar, pemicu konflik tak berkesudahan dengan para sastrawan Manifes Kebudayaan (Manikebu), dan telibat pembakaran buku-buku di depan Kantor USIS (Pusat Informasi Amerika)

Stigma negatif yang ditempelkan pada Lekra ini terus melekat dalam benak kita dan keterlibatan Lekra dalam pembakaran buku yang sebenarnya tak terbuktikan itu telah menjadi mitos abadi.

Itu terjadi lantaran hal ini terus ditulis di berbagai media dan dikisahkan oleh para sastrawan-sastrawan senior penandatangan Manifestasi Kebudayaan ketika menggambarkan situasi politik dan budaya Indonesia di tahun 50-60an.


Mitos tersebut seolah tak terbantahkan karena suara-suara mantan aktifis Lekra yang menyangkalnya telah dibungkam ketika penguasa orde baru ‘menjahit’ mulut para lawan-lawan politiknya.

Tak hanya itu, secara sengaja sejarah dan kiprah Lekra di ranah budaya Indonesia dikerdilkan hingga yang tercatat sekedar pertarungan antara dua kubu dalam isu kesusasteraan nasional: Lekra vs Manikebu.

Lalu apa dan bagaimana sesungguhnya Lekra ? Apa saja yang telah dikerjakannya selama lembaga kebudayaan ini menguasai panggung budaya Indonesia selama lima belas tahun (1950-1965)?

Tak banyak yang mengetahuinya karena tak satu buku pun yang secara komprehensif pernah menulis tentang Lekra hingga akhirnya terbitlah buku bertajuk “Lekra Tak Membakar Buku” karya Muhidin M Dahlan dan Rhoma Dwi Aria Yuliantri.

Buku ini bisa dikatakan buku yang paling komprhensif mengenai Lekra yang disusun secara sistematis dalam sepuluh bab plus daftar singkatan /akronim, lampiran, dan indeks.

Dimulai dari bab Mukadimah yang mencatat situasi menjelang Kongres I Lekra (1959) ketika seluruh aspek kehidupan masyarakat Indonesia harus segaris dengan Manifestasi Politik (Manipol)-nya Soekarno.

Demikian pula dengan sikap berkebudayaan yang arahnya sudah jelas : “Seni untuk Rakyat” dan “politik adalah panglima kebudayaan”. Dalam Konggres-nya inilah Lekra mencoba merumuskan berbagai aksi nyata di lapangan kebudayaan yang memihak Rakyat, anti imperialis, dan anti feodal!

Masih dalam bab yang sama, diungkapkan pula kelahiran dan peran Lekra secara umum sebelum dibahas secara detail di bab-bab berikutnya.

Satu hal yang menarik adalah terungkapnya bahwa Lekra bukanlah salah satu organ PKI seperti yang selama ini banyak diasumsikan orang. Hal ini tampak saat diselenggarakannya Konferensi Sastra dan Seni Revolusioner (KSSR) yang sepenuhnya dilakukan oleh PKI.

Memang dalam kenyatannya banyak seniman-seniman Lekra ikut terlibat, namun kapasitas mereka sebagai seniman “progresif revolusioner” dan bukan sebagai Lekra secara institusi.

Jika Lekra memang organ resmi PKI tentu saja konferensi ini akan dilaksanakan oleh Lekra sebagai lembaga kebudayaan yang paling siap dan kompeten untuk menyelenggarakannya, atau setidaknya nama Lekra akan selalu disebut-sebut.

Pada kenyataannya hingga resolusi KSSR diumumkan, Lekra tak pernah disebutkan sebagai bagian dari PKI.

Karena itulah buku ini menyebutkan secara gamblang bahwa: “ Lekra tak pernah menjadi underbow PKI. Lekra adalah organisasi merdeka yang tak masuk dalam kendali komando PKI…Walau tak bisa dipungkiri bahwa banyak pekerja budaya komunis yang menjadi anggota Lekra di pucuk-pucuk pimpinannya. “ (hal 61)

“Menyebut Lekra bersih sama sekali dari pengaruh PKI adalah kesalahan fatal, tetapi menyebutnya menginduk kepada PKI juga keliru. Lebih tepat hubungan itu adalah hubungan kekeluargaan ideologi.(hal 63)

Selain itu terungkap pula bahwa Pramoedya Ananta Toer bukanlah komunis. Hal ini terungkap ketika PKI hendak melakukan “pemerahan total” pada Lekra melalui konggres KSSR.

“..bahkan Nyoto yang pendiri Lekra pun menolak 'pemerahan total' Lekra dengan pertimbangan hengkangnya tenaga-tenaga potensial Lekra yang non-Komunis seperti Pramoedya Ananta Toer, Utuy Tatang Sontani, dan sebagainya.” (hal 62)

Setelah bab Mukadimah, buku ini membahas mengenai Riwayat Harian Rakjat yang merupakan terompet PKI dan Koran politik nasional terbesar pada masanya, dan tempat dimana sastrawan-sastrawan Lekra mengisi secara penuh lembar-lembar kebudayaannya yang merupakan sumber utama dari lahirnya buku ini.

Kemudian mulailah buku ini membahas semua kerja Lekra dan pemikiran-pemikiran seniman Lekra diberbagai bidang kebudayaan yang dibagi secara bab per bab mulai dari sastra, film, seni rupa, seni pertunjukan, seni tari, musik, dan buku.

Dari berbagai bahasan dalam buku ini akan terlihat bahwa para Lekra sangat militan dalam melaksanakan kerja budaya yang segaris dengan prinsip Manipol yang menentang kebudayaan imperialis dan sepenuhnya memihak sekaligus memberdayakan kebudayaan Rakyat.

Di tangan Lekra beberapa seni dan kebudayaan rakyat yang telah terkurung dalam kebudayaan feodal (wayang, tari-tarian keraton, dll) yang tadinya hanya dipentaskan di kalangan dan tempat-tempat tertentu, kini dikembalikan pada rakyat sehingga semua rakyat bisa menikmati dan mengembangkannya.

Lekra juga membabat habis semua bacaan-bacaan, film, musik yang tidak sesuai dengan garis kebijakan Manipol termasuk karya-karya sastrawan Manikebu. Sebagai gantinya, Lekra menumbuh kembangkan bacaan, film, dan musik yang sesuai dengan jiwa revolusioner.

Dalam berbagai simposium kebudayaannya Lekra mencatat dan menginventarisir semua kesenian-kesenian rakyat dan mengurus hak ciptanya. Kalau saja apa yang dikerjakan Lekra tak terkubur oleh sebuah prahara politik di tahun 65 mungkin kini tak ada ceritanya kalau kesenian reog ponorogo, dan beberapa lagu daerah diklaim sebagai milik budaya negara tetangga kita.

Dalam bidang musik, selain mengecam musik ngak-ngik-ngok yang dianggap tidak sesuai dengan kepribadian nasional, Lekra juga sangat prihatin terhadap perilaku anak-anak kecil yang menyanyikan lagu-lagu dewasa yang liriknya cengeng dan cinta-cintaan.

Karenanya Lekra membahasnya secara khusus dalam Konferensi Lembaga Musik Indonesia (LMI/Lekra).

Kondisi ini tampaknya tak jauh berbeda dengan keadaan sekarang dimana anak-anak tak memiliki lagu-lagu yang sesuai dengan usia mereka sehingga tak heran kalau kita mendengar anak-anak menyanyikan lagu –lagu cinta orang dewasa.

Di bidang buku, kita akan melihat bagaimana saat itu pameran-pameran buku tak sekedar ajang bisnis semata, melainkan menjadi ajang propaganda politik melalui buku-buku yang dipamerkan.

Secara menarik kita akan diajak melihat siapa-siapa saja yang ikut dalam pemeran buku yang saat itu bernama “Gelanggang Buku” dan buku-buku apa saja yang dipamerkan.

Hal ini mungkin bisa berguna bagi penyelenggara pameran buku di masa kini yang umumnya hanya memindahkan aktifitas toko buku ke dalam pameran.

Kemudian dibahas pula politik sebagai panglima buku, politik buku pelajaran, lembaga penerbitan buku Lekra, dan bab khusus “Lekra tak membakar buku” yang berisi fakta-fakta bahwa Lekra tak pernah membakar buku dan melarang peredaran buku-buku yang notabene adalah wewenang Kejaksaan Agung.

Berdasarkan guntingan-guntingan Koran Harian Rakjat yang menjadi dasar buku ini, kedua penulis buku ini sampai pada kesimpulan bahwa “tak satupun individu yang menyebutkan bahwa Lekra secara keorganisasian maupun individu-individu ikut serta dalam pembakaran buku”. (hal 476)

Masih banyak sepak terjang Lekra yang akan kita dapat di buku ini. Pada intinya buku ini memang mengupas habis kerja-kerja kreatif yang dihasilkan Lekra selama 15 tahun (1950-1965) di bidang kebudayaan sebelum lembaga ini dibekukan dan seluruh kegiatannya dihapus dari memori dan sejarah bangsa Indonesia.

Kini kita patut bersyukur, karena kiprah Lekra yang telah dengan sengaja dihilangkan dari sejarah bangsa ini kembali terkuak dan dapat dibaca oleh semua orang. Ini semua berkat ‘kegilaan’ dua penulis muda yang dengan tekun menyelisik sekitar 15 ribu artikel kebudayaan di Harian Rakjat selama 1.5 tahun yang tersimpan dalam ruang terlarang untuk dibaca di sebuah perpustakaan di Jogya.

Artikel-arttikel itu terpaksa mereka salin karena lembar koran yang sudah usang sebagian besar sudah tak memungkinkan lagi untuk di foto copy.

Dari ribuan artikel yang mereka baca dan salin inilah mereka dan menyusunnya sehingga menjadi sebuah buku utuh yang enak dibaca, .

“Kami hanya mengatur tempo dan menggilir siapa yang naik panggung duluan dan siapa yang kena giliran berikutnya. Untuk memberi suasana dan raut wajah dan suara semasa, maka kami sebanyak mungkin mengiringi kembali seluruh bahasan dengan kutipan langsung dari potongan-potongan berita braksen ejaan lama itu?” (hal 6).

Tampaknya kegilaan ide dan ketekunan kerja yang dilakukan Muhidin dan Rhoma Dwi Aria tak sia-sia.

Buku yang awalnya diprediksi oleh kedua penulisnya hanya akan setebal duaratusan halaman ternyata menggelembung menjadi hampir 600 halaman karena semakin meluasnya temuan-temuan baru yang mereka temukan untuk diungkapkan.

Jangan menciut melihat ketebalannya, karena walaupun tebal dan bersumber dari ribuan artikel-artikel yang berdiri sendiri namun kedua penulis berhasil merangkainya menjadi sebuah buku yang sistematis, runut, tak bertele-tele, dan enak dibaca.

Lampiran-lampiran risalah rapat, hasil komunike, struktur organisasi, dan sebagainya merupakan bonus bagi mereka yang berniat meneliti lebih dalam mengenai Lekra.

Melihat lengkapnya bahasan dalam buku ini tampaknya inilah buku tentang Lekra yang paling komprehensif yang pernah diterbitkan di Indonesia semenjak Lekra berdiri hingga kini.

Namun demikian ada yang mengkritik buku ini karena hanya bersumber dari guntingan-guntingan artikel lembar kebudayaan Harian Rakjat tanpa mencari sumber lain berupa wawancara terhadap pelaku sejarah yang masih hidup atau sumber-sumber kepustakaan lain.

Selain itu, ketika saya selesai menamatkan buku ini, saya bertanya-tanya mengapa judul bukunya “Lekra tak Membakar Buku”, padahal yang dibahas lebih dari sekedar jawaban atas pernyataan tersebut. Menurut saya judul tersebut mengecilkan luasnya cakupan yang dibahas dalam buku ini.

Ketika kedua hal tersebut saya tanyakan pada salah seorang penulisnya (Muhidin M Dahlan), ia mengatakan bahwa tak adanya narasumber dari para tokoh sejarah dalam menyusun buku ini sudah disadarinya sejak awal, “Itulah kelemahan sekaligus kekuatan buku ini”, ungkapnya.

Wawancara terhadap tokoh-tokoh Lekra yang masih hidup dilakukan hanya sebatas konfirmasi nama, tak bisa lebih dari itu, faktor usia tampaknya menjadi kendala karena mungkin ingatan mereka sudah tak jernih lagi.

Sedangkan untuk judul, Muhiddin menjelaskan bahwa dalam proses kreatifnya ia cenderung mengambil judul bab yang paling kuat. Selain itu bab “Lekra tak Membakar Buku” adalah yang ditulis paling awal ketika buku ini dikerjakan, dan dari bab inilah maka pembahasannya menjadi semakin berkembang.

“Tidak ada bab itu sebagai pemicunya , maka tidak akan ada buku Lekra,” demikian imbuhnya.

Kritik lainnya untuk buku ini adalah hurufnya yang terlalu kecil dan beberapa kesalahan cetak sehingga mengganggu kenyamanan membaca.

Untuk ukuran huruf mungkin ini salah satu cara untuk menyiasati agar buku ini tidak bertambah ‘gemuk’ yang tentunya akan mengakibatkan harganya menjadi mahal dan sulit dijangkau oleh khalayak ramai.

Terlepas dari baik buruknya buku ini, saya berani mengatakan bahwa buku ini buku merupakan karya monumental yang mendokumentasikan penggalan sejarah berkebudayaan di Indonesia.

Karenanya buku ini wajib dimiliki dan dibaca oleh para pecinta sejarah, pemerhati, dan pelaku gerakan kebudayan Indonesia. Kiprah Lekra selama lima belas tahun tampil apa adanya dalam buku ini. Ada yang buruk, ada pula yang baik.

Yang buruk bisa menjadi pelajaran agar hal serupa tak terulang kembali. Sedangkan apa yang baik dari kerja kreatif Lekra setidaknya dapat menjadi inspirasi dan bisa dijadikan contoh dalam mengembangkan kebudayaan kita saat ini.

Yang pasti buku ini akan membuka mata kita bahwa sejarah Lekra tak sekedar berisi polemik tak berkesudahan dengan pengusung Manifes Kebudayaan.

Lekra bukan hanya diisi oleh orang-orang yang haus kuasa, tukang boikot, tukang cela, dan pembuat onar panggung kebudayaan, tapi Lekra adalah sebuah lembaga kebudayaan yang telah memberi warna dan sumbangsih yang luar biasa bagi kebudayaan Indonesia sebelum tragedi nasional menumbuk dan menghancurkan semua hasil kerja keras yang dipupuk selama 15 tahun tanpa henti itu.

Cover yang dipermasalahkan

Baru saja sehari terpajang di toko-toko buku, tiba-tiba Toko Buku Gramedia menarik seluruh buku Tilogi Lekra Tak Membakar Buku dan mengembalikan pada penerbitnya tanpa pemberitahuan terlebih dahulu.

Usut punya usut ternyata mereka khawatir dengan cover buku “Lekra Tak Membakar Buku” yang memuat gambar ‘palu arit’ yang merupakan lambang PKI.

Mereka tampaknya khawatir karena pelarangan logo PKI hingga kini belum dicabut oleh pemerintah. Karenanya TB Gramedia bersikukuh tak mau memajang buku ini jika covernya belum diganti.

Sebenarnya lambang PKI pada buku ini tak terlalu kentara karena hanya berupa gambar timbul (embossed) tanpa bingkai dan warna, nyaris tak terlihat terutama dari jarak jauh.

Sehingga sekilas yang terlihat hanyalah cover putih polos dengan judul buku berwarna merah di bagian bawahnya.

Sebenarnya desain cover seperti ini menggambarkan keberadaan Lekra dengan PKI. Lekra bukanlah salah satu organ PKI, tapi tokoh-tokoh Lekra adalah orang-orang yang juga tergabung dalam PKI. Jadi dibilang PKI bukan, dibilang bukan PKI juga salah.

Awalnya penerbit maupun penulisnya tetap ingin mempertahankan cover tersebut, namun tampaknya daripada buku ini tersendat peredaraannya dan di sweeping oleh pihak-pihak tertentu sehingga kesempatan masyarakat untuk membaca buku ini menjadi terhalang, akhirnya diambil jalan kompromi.

Daripada membuang-buang waktu dan dana untuk mengganti cover baru, maka ditutuplah lambang palu aritnya dengan kertas putih.

Akhirnya buku monumental ini kini tersaji dengan wajah yang tambal sulam, hal yang buruk dan tak memenuhi kaidah estetika sebuah buku….

Judul: Lekra Tak Membakar Buku
(Suara Senyap Lembar Kebudayaan Harian Rakjat 1950-1965)
Penulis: Rhoma Dwi Aria Yuliantri & Muhidin M Dahlan
Penerbit: Merakesumba
Cetakan: I, Sept 2008
Tebal: 584 hlm ; 15x24 cm

16 October 2008

Selamat Datang Kreasi Monumental, Selamat Jalan Lekra

::a kohar ibrahim

*
Tantang keheningan
Dengan hujaman lantang meradang
Dan kuasai kegundahgelisahan
Sembari minum di atas makam kepedihan
(Garcia Lorca)
*

AKU sitir Lorca dalam menyimak makna serangkum naskah sekitar penyair besar Spanyol yang tewas dibantai pasukan fasis, sekaitan dengan sitiran penyair Jasmineflame, nyaris bareng dengan datangnya berita akbar dari Nusantara. Berita yang menggelora sekaligus mengharukan jiwa. Berita terbitan buku Trilogi Lekra Tak Membakar Buku Oleh Rhoma Dwi Aria Yulianti dan Muhidin M Dahlan (Penerbit Merekesumba, Jogjakarta, Oktober 2008).

Berita itu sangat pas dalam suasana kejiwaanku yang secara kenabian terlukis oleh baris-baris kata puitis "Braver le silence" (Tantangan Keheningan) Garcia Lorca. Tantangan keheningan kaum yang terhina, terfitnah, terbungkam, terpinggirkan, terkalahkan, termusnahkan oleh arogansi kekuasaan selama sekian dasawarsa lamanya. Semenjak 1 Oktober 1965 hingga detik kutulis catatan ini. Meski dalam batas-batas tertentu, kaum yang terbungkam dibungkam mulai bisa kembali bicara, mengekspresikan diri, sekuat bisa. Bukan tanpa bayangan pedang atau bayonet mengancam jiwa dan raga.

Namun, siapakah yang lebih memahami dari pada kaum yang terbungkam akan kebenaran betapa kuat perkasa teriak keheningan itu. Pasalnya yang hakiki tak lain bahwa ia menyimpan kebenaran dan keadilan yang oleh arogansi kekuasaan dibenam-bungkamkan secara sewenang-wenang. Kesewenangan yang berkepanjangan sampai pada pengabaian atas penegakan hukum meski negara berazaskan hukum. Pengabaian yang berdampak pada pelanggengan stigma bagi pendosa sekalian yang tanpa dosa; pelanggengan cap dijidat bagi kaum yang dilaknat.

Tetapi, di luar obrolan, sebutan, hujatan, pencapan macam-macam apa siapa sih sebenarnya kaum yang terlaknat itu ? Tegasnya, apa yang telah dilakukan mereka ? Apa yang telah dilakukan kaum pekerja kebudayaan rakyat yang ragam-macam itu selama keberadaannya dari awal mula tegak berdirinya Lekra sampai titik akhirnya?

Kata orang: di depan hasil kreasinya seniman telanjang bulat. Memang benar, jika dimaknai bahwa hasil aktivitas-kreativitas itulah yang jadi ukuran utamanya.

Justeru, dalam hal upaya tolak-ukur yang terutama itulah betapa penting lagi besarnya upaya riset sekaligus penerbitan buku Trilogi: Lekra Tak Membakar Buku ini. Penerbitan yang ditinjau dari isi maupun makna kesejarahannya merupakan karya monumental dari suatu gerakan kebudayaan rakyat bersifat nasional berwadahkan organisasi bernama Lembaga Kebudayaan Rakyat atau Lekra. Sejak berdirinya pada tanggal 17 Agustus 1950 sampai akhirnya dibantai kaum militeris penegak Orde Baru.

Penerbitan buku trilogi tentang Lekra ini, dengan isinya yang begitu kaya ragamnya, mencakup beratus-ratus makalah, esai, puisi dan cerpen mengingatkan saya pada pepatah Perancis: La parole s’envole l’écrit reste. Omongan mabur tulisan tetap. Dalam kaitan ini, selintas pintas, saya terkenang bagaimana aktivitas-kreativitas kami sebagai pekerja dapur Harian Rakyat dan HRM (Harian Rakyat Minggu). Baik di ruang sempit gedung tua yang bau apek dan timah zetter Percetakan Rakyat di bawah pimpinan Bung Samosir di Pintu Besar Utara, maupun ketika pindah ke gedung yang baru di Jalan Pintu Air II. Masih terbayang dengan jelas wajah-wajah para pemimpin redaksi maupun anggota redaksi dan para jurnalisnya – baik yang senior seperti Naibaho, Dahono, Nyoto maupun yang yunior macam Amarzan, Tikno, Nurlan dan saya sendiri. Di samping sebagai reporter, juga merangkap pengelolaan HR Minggu yang dipimpin oleh penyair HR Bandaharo, bersama Zubir AA dan juga Bambang Sukowati Dewantara.

Maka, dari dapur-dapur redaktur Jalan Pintu Besar Utara dan Pintu Air II sanalah tersiarnya karya tulis yang tercetak hingga bisa dilacak dan tersajikan kepada para pemerhati, penyelidik yang cerdik dan akhirnya sampai kepada pembaca yang berkenan.

Semoga penerbitan buku ini menjadi tambahan bahan pertimbangan yang penting dan berharga baik bagi pemerhati, pekerja kebudayaan, pencinta kebudayaan dan kesenian serta kalangan masyarakat umumnya. Terutama sekali kaum muda dan mereka yang merasa terjebak oleh ajaran sejarah yang cekak dan direkayasa penguasa OrBa.

Sebagai salah seorang saksimata sekaligus pelaku baik dalam gerakan kebudayaan dengan wadah organisasi Lekra, maupun sebagai mantan penulis-jurnalis HR/HRM, izinkan saya untuk mengucap terimakasih tak berhingga pada segenap team penyunting Trilogi: Lekra Tak Membakar Buku yang monumental ini.

Akhirnya, saya berterima kasih bisa menerima bahan-bahan seperti tertera di bawah ini. Selain berisi keterangan mengenai isi ketiga buku tersebut, juga tercantum para sosok tokoh yang menyatakan testimoni-nya yang bernas. Pun bisa menyimak nukilan dari Bab Penutup Lekra Tak Membakar Buku berjudul: "Selamat Jalan Lekra!" yang tak urung membuat saya terenyuh dalam ketabahan berbaur kemasygulan. Seraya berbisik di dalam hati:
"Iyalah. Iya : Selamat Jalan, Lekra. Ibarat macan yang telah meninggalkan belang."

15 Oktober 2008.