Showing posts with label Terbaca/Tertulis. Show all posts
Showing posts with label Terbaca/Tertulis. Show all posts

08 October 2016

Rumah Kertas - Carlos Maria Dominguez

Bukuku TakdirkuSejak kalimat pembuk, novel ini menjanjikan untuk dibaca cepat dan menjadi teman duduk yang asyik.

"Pada musim semi 1998, Bluma Lennon membeli satu eksemplar buku puisi Emily Dikinson, Poems, di sebuah toko buku di Soho, dan saat menyusuri puisi kedua di tikungan jalan pertama, ia ditabrak mobil dan meninggal." (hlm. 1)

Masalah pun langsung dijeratkan kepada pembaca, seperti dua ruas belokan: Bu Dosen Bluma meninggal karena ditabrak mobil atau Bu Dosen Bluma tewas karena buku puisi.
Ini "memoar" menggugah tentang buku dan pemanggul-pemanggulnya yang setia. Tentang mereka yang takdirnya tumbuh dan tumpas bersama buku. Tentang cinta dan ketaklukkan pada pesona yang diuarkan buku. Dan juga soal kutukan buku yang tanpa kabar mengantarkan pembaca ke sebuah dunia bibliografi dengan ketakjuban yang tak putus-putus.

Carlos Maria Dominguez (CMD) lewat novelet ini berambisi meletakkan buku sebagai nubuat hidup-mati dan kegilaan yang aneh ketimbang sekadar dunia niaga dalam pelbagai pasar raya buku. Terutama dalam sebuah masyarakat yang percaya magis lebih dari apa pun sebagaimana masyarakat di seantero Amerika Latin dan negeri bekas jajahan lainnya di Asia dan Afrika.

14 June 2015

Belajar Bandel Temukan Rahmat Pusaka

Buku Habis Galau Terbitlah Move On (HGTM) J Sumardianta--kerap dipanggil Pak Guru--berisi 40 tulisan yang terbagi dalam dalam 10 bagian! Dan ke-40 tulisan yang terserak ini dipayungi satu semangat: kerja tulus untuk meraih kebahagiaan! 

Klise memang terdengar. Namun ketulusan dan hidup penuh syukur itu diulas dengan cara yang tak biasa. Sebagaimana enigma frase "tulus" itu sendiri dalam tindakan hidup sosial. “Tulus itu dicaci tidak tumbang; dipuji tidak terbang,” kata Anies Baswedan. (h 294)

Tulus adalah kristalisasi dari proses energi “Angkatan Kelima” yang memenangkan persaingan karakter-dalam dari ringkusan hidup harian yang keras. Prinsip dasar semangat "Angkatan Kelima" adalah melihat hidup bukan melulu deret ukur masalah, melainkan misteri yang terus-menerus disingkap oleh jiwa penerabas.

06 April 2014

Dunia Bebas, Dunia Gratis

:: gusmuh

Di abad 20, soal hak cipta (right) bagi penemu dan industri adalah masalah hidup-mati. Serupa hak sejengkal tanah bagi seorang petani. Namun di era digital, perbincangan right nyaris mengalami antiklimaks. Ada tiga buku yang menyoroti sejarah panjang dunia hak cipta, kultur bebas, dan terbuka luasnya budaya gratis di masa depan. Yakni, Dunia Tanpa Hak Cipta (DTHC) karya Joost Smiers dan Marieke van Schijndel; Budaya Bebas (BB) karya Lawrence Lessig; dan Gratis: Harga Radikal yang Mengubah Masa Depan (G) karya Chris Anderson.

22 February 2014

Mas Marco Kartodikromo - Student Hidjo 5

Roman Student Hidjo berlatar kejadian di tahun 1912-1913 saat arus pergerakan dijalankan dengan perkumpulan modern (sarekat) dan medium jurnalistik dan literasi sebagai model penggalangan “opini umum”. 

Di masa ini frase “merdeka” masih sangat samar, namun bibitnya mulai ditanam dalam ikhtiar menyuarakan kesetaraan. Bahwa Bangsa Hindia dan Bangsa Eropa pada hakikatnya adalah sederajat. Politik kolonial yang buaslah yang membuatnya menjadi timpang. 

Hidjo cepat-cepat kembali ke tanah Jawa tanpa menyelesaikan studinya di Delft, Belanda adalah keputusan Marco bahwa yang terpenting bukan soal menjadi ingeniuer, sinyor, melainkan bagaimana menggerakkan “Anak Hindia” untuk menggenggam api dan berkata bersama, “Anak Hindia Sudah Berapi”.

Mas Marco Kartodikromo - Student Hidjo 4

Perempuan Jawa bukanlah budak seks bagi kolonial. Mereka bukanlah makhluk lemah yang secara sewenang-wenang dijadikan gundik pejabat-pejabat pemerintah Belanda dan kemudian dibuang begitu saja setelah bosan memakainya. Perempuan Jawa dan Hindia memiliki martabat sebagai manusia yang sama yang mesti diberi tempat selayaknya dalam pergaulan kemasyarakatan.
 

Suara-suara perempuan Hindia di Student Hidjo adalah suara perempuan yang pikirannya ingin didengarkan. Sosok Biroe dan Woengoe adalah suara perempuan Hindia yang ingin maju. Walaupun jodoh masih dipilihkan, toh pilihan orangtua mereka masih padu dengan keinginan hati mereka. Hidjo mulanya ditunangkan dengan Biroe yang kemudian karena waktu berjalan disepakati Hidjo menikah dengan Woengoe. Adapun Biroe berkenan berpasangan dengan kakak sulung Wongoe, Raden Mas Wardojo.

Mas Marco Kartodikromo - Student Hidjo 3

Diskriminasi ras adalah soal gawat bagi Marco. Terutama ras dalam konteks politik kewarganegaraan. Marco, sebagaimana juga guru jurnalistiknya, Tirto Adhi Soerjo, bersikap bahwa sistem kewarganegaraan yang dibuat pemerintah kolonial bersifat rasis dan mestilah dilawan.
 

“Indische Staatsblad Regering” adalah konstitusi kewarganegaraan kolonial yang dibuat pada 1825. Konstitusi yang kemudian direvisi pada 1854 menjadi “Regering Reglement” ini membagi stratifikasi masyarakat berdasarkan ras. Yang menarik adalah tafsir Dhaniel Dhakidae (2005) atas stratifikasi konstitusi kewarganegaraan ini. Penguasa kolonial mengabaikan sama sekali bahwa "buitenlander" atau "buitenstaander" merupakan antonim dari frasa "inlander".

Mas Marco Kartodikromo - Student Hidjo 2

Dari judulnya saja, Student Hidjo, kita langsung tahu Marco mendaku tokoh ciptaannya sebagai kaum terpelajar. Hidjo adalah seorang student. Dan tak tanggung-tanggung, sebagaimana terbaca pada bab awal, pembaca langsung diperkenalkan dengan “rencana” kedua orangtua Hidjo, Raden Potronojo dan Raden Nganten, untuk menyekolahkan anak semata wayang itu ke Delft, Belanda, selama 7 tahun. Hidjo digadang dan diharap bisa menjadi ingeniuer.

“Tidak adinda. Jangan berkecil hati!” kata suaminya yang juga turut sedih demi melihat istrinya. “Saya ini hanya seorang saudagar. Kamu tahu sendiri. Waktu ini, orang seperti saya masih dipandang rendah oleh orang-orang yang menjadi pegawai Gouvernement. Kadang-kadang saudara kita sendiri, yang juga turut pegawai Gouvernement, dia tidak mau kumpul dengan kita. Sebab dia pikir derajatnya lebih tinggi daripada kita yang hanya menjadi saudagar atau petani. Maksud saya mengirimkan Hidjo ke Negeri Belanda itu, tidak lain supaya orang-orang yang merendahkan kita bisa mengerti bahwa manusia itu sama saja. Buktinya anak kita bisa belajar seperti regent-regent dan pangeran-pangeran.” (SH, 5)
 

Modal Hidjo menempuh pendidikan elite itu sudah terlihat dari keseharian Hidjo di Solo. Ia bergelut dengan buku dan itu sudah lebih dari cukup menjadi penanda seorang yang dikarunia bakat sebagai terpelajar. Buku bagi peneguh budi di masa pergerakan adalah aksesori penting untuk naik sebagai “bangsawan fikiran”. Lihatlah Hidjo, sebagaimana dikatakan Biroe, tunangannya sebelum berangkat ke Delft untuk menempuh studi sinyor itu: “Kalau di rumah, tidak pernah meninggalkan bukunya. Saya khawatir kalau dia besok gila sebab terlalu banyak belajar.”

Mas Marco Kartodikromo - Student Hidjo 1

Mas Marco Kartodikromo yang lahir di Cepu, Blora, sepertinya hadir di kancah pergerakan dan pers sebagai pembangkang sejati. Benar, bahwa Marco secara jenjang pendidikan hanya lulus dari sekolah Ongko Loro, namun kapasitas intelegensinya seperti spon. Ia adalah pribadi yang menyerap dengan cepat pelajaran dan perkembangan sosial.
 

Manajemen jurnalistik Marco pelajari dua tahun langsung dari Tirto Adhi Soerjo di Bandung. Di Medan Prijaji Marco adalah anak bawang Tirto bersama Martodharsono dan Goenawan. Marco juga menjadikan guru dua dari tiga pentolan De Expres dan sekaligus lulusan STOVIA: Soewardi Soerjadiningrat dan dr Tjipto Mangoenkoesoemo.

26 January 2014

Ketika Laut Menjadi Pekarangan Belakang

:: gusmuh

laut terbakar
tiada alamat melego jangkar

Tak banyak penyair muda yang menjadikan laut sebagai basis utama proses kreatifnya. Dan di antara yang sedikit itu saya menemukan nama Dino Umahuk. Penyair Halmahera yang mendapuk diri sebagai “lelaki laut” ini telah menerbitkan enam buku puisi ihwal laut. Dua dari enam buku itu adalah: Panggilan Laut Halmahera (PLH) dan Sebelum Laut Merebutku Sepi (SLMS).

Laut macam apa yang disuntuki Dino Umahuk ini ketika kini laut hanya gagah dalam retorika tapi cuang-caing dalam kebijakan ekonomi-politik? 

Dalam dua buku puisi ini, laut adalah igauan orang-orang pelupa. Dan mereka, orang yang lupa laut itu, digambarkan Dino seperti “malam menduakan kelam” (SLMS, 21). Lupa itu yang memerosokkan laut sebagai kenyataan hidup yang menakutkan, di mana “ombak-ombak yang tumpah ruah, puting beliung, layar-layar beterbangan perahu karam/ tak ada nelayan, tak ada sayang, tak ada …” (PLH, 34).

08 September 2013

Penghancuran Buku (Fernando Baez)

:: gus muh

Jangan pernah membayangkan pelaku penghancur buku adalah jenis manusia kerdil dan tak terdidik. Justru sebaliknya penghancur buku terbesar dalam sejarah adalah kaum biblioklas. 

Siapa biblioklas? 

Kaum ini adalah "orang yang berpendidikan, berbudaya, perfeksionis, dengan bakat intelektual yang tak biasa dan cenderung depresif, tidak mampu menolerir kritik, egois, mitomania, dan cenderung berada dalam lembaga yang mewakili kekuatan yang sedang berkuasa, karismatik, dengan fanatisme berlebihan pada agama dan paham tertentu."

Kesimpulan Fernando Baez di buku Penghancuran Buku dari Masa ke Masa bahwa kaum biblioklas adalah pelaku utama teater pemusnahan buku sebetulnya tak terlalu mengagetkan. Yang membuat kita tercengang adalah karena kesimpulan itu disandarkannya pada sebuah lini masa yang terentang sangat jauh tentang budaya pemusnahan literasi.

02 May 2013

Martin Aleida (5)

::gus muh

Di bagian ketiga tulisan ini saya sudah singgung sekilas sosok prosais cum jurnalis Martin Aleida ini: tubuh jangkung, atletis, senang memakai oblong tapi lebih sering kemeja lengan pendek di forum diskusi sastra dan budaya, dan ke mana-mana memakai sepatu kets. Penampilannya dandy. Wajahnya selalu sumringah seperti laki-laki berusia 40-an tahun. Kalau tidak mengubek-ubek google, orang akan terkecoh bahwa sosok yang bernama Nurlan a.k.a Martin Aleida ini sudah berusia 70 tahun.

Gaya hidup macam apa dijalani prosais dan mantan jurnalis Harian Rakjat dan Zaman Baru ini sehingga ia masih bugar menghadapi titian stigma puluhan tahun di udara Jakarta yang makin lama makin memburuk?

Informasi yang mula-mula saya terima atas pemilik nama Nurlan a.k.a Martin Aleida ini dari beberapa kawan di Jakarta adalah bahwa Martin jika ke kantor tempatnya bekerja, TEMPO, selalu lari, lari, dan lari. Jarak tempuhnya saya tak bisa hitung dengan presisi: Depok - Senen.

Martin Aleida (4)

::gus muh

Saat bercerita tentang Pramoedya Ananta Toer, Martin Aleida tahu Pram punya "jimat", terutama ketika cerita menyisir lini masa revolusi 1945. Jimat bertuliskan aksara Arab itu diberikan seorang dukun itu "berjasa" menyelamatkan diri Pram saat diberondong pasukan Inggris di Kranji dan saat digerebek marinir Inggris di Kemayoran.

Sebagaimana Pram, Martin Aleida juga punya "jimat". Dua malahan. Satu, surat wasiat dari kedua orangtua dengan kapal laut selama tiga bulan untuk menunaikan ibadah haji. Jimat kedua, surat-surat cinta pacarnya yang kemudian menjadi istri Martin hingga kini. Karena kedua "jimat" itu, cerita Martin Aleida (hlm 212), ia tidak sampai setahun dikerangkeng di kamp konsentrasi Operasi Kalong Kodim 0501, Jl Budi Kemuliaan, Jakarta Pusat. Sungguh, "jimat" itu yang "membebaskan" Martin Aleida dari Cipinang atau Salemba dan batal jadi penghuni Buru belasan tahun.

Namun ada satu lagi "jimat" bagi Martin Aleida sehingga ia menemukan kembali dunia yang digelutinya: jurnalis cum penulis. Jimat itu bernama "GM".

01 May 2013

Martin Aleida (3)

::gus muh

Bayangkan Martin Aleida datang ke sebuah diskusi buku atau obrolan budaya. Tubuh jangkung. Atletis. Kadang memakai oblong. Lebih sering kemeja lengan pendek. Dan hampir pasti keduanya dimasukkan ke dalam celana panjang yang--umumnya--warna krem. Kacamatanya tebal, namun bukan model kacamata intelektual-intelektual macam Kuntowijoyo ataupun Soedjatmoko. Tampilannya dandy, tapi sederhana. Dan, hampir pasti ia memakai sepatu kets. Di bagian kelima tulisan ini dibahas soal gaya hidup ini.

Bayangkan Martin Aleida datang ke sebuah diskusi. Datang saat diskusi hampir dimulai. Dan lenyap saat diskusi nyaris selesai yang membuatnya "tak punya kesempatan" duduk/berdiri bergerombol sesama pengunjung diskusi untuk hal-hal di luar topik diskusi. Martin, oleh karena itu, seorang yang efektif dan efisien. Tak mau bertele-tele. Jarang basa-basi. Ia langsung ke pokok persoalan.

Membayangkan Martin Aleida datang ke setiap diskusi adalah cara saya membaca 28 esainya dalam "Langit Kedua" di buku terbarunya Langit Pertama Langit Kedua (2013) yang diterbitkan secara mandiri (sebelumnya buku-bukunya diterbitkan oleh penerbit-penerbit major seperti Penerbit Buku Kompas).

Ke-28 esainya mencakup banyak hal, seperti surat (5), kritik buku (9) dan film (3), serta sehimpun perdebatan (12). 

29 April 2013

Martin Aleida (2)

::gus muh

Saya membaca bagian pertama dari Langit Pertama Langit Kedua karya Martin Aleida (2013) dari atas sadel sepeda lipat dalam perjalanan Kembaran (Bantul)-Patehan (Keraton Yogyakarta). Pergi-pulang. Berkali-kali tapakan. Tentu saja di sela-sela istirahat mengeringkan keringat, saya mengeluarkan buku dengan sampul minimalis itu: dominan putih, ilustrasi minimal, dan barisan-barisan huruf judul dan subjudul berwarna merah. Di sampul belakang, foto penulisnya yang berkacamata sedang mengacungkan tangan kanan di depan meja tanpa kopi tanpa teh tanpa airputih dan buah pepaya, apalagi bir. Hanya sebatang pena, ponsel keluaran awal abad, dan kacamata kedua (cadangan).

Membaca delapan cerpen Martin di "Langit Pertama" tak membutuhkan suplemen imajinasi pembaca karena memang Martin tak sedang bermain-main dengan imajinasi liar, sebagaimana penulis-penulis yang terus-menerus bereksperimen bentuk tapi kerap lupa pesan yang ingin disampaikan. Tahu-tahu sudah titik terakhir. Dan pembaca, astaga, tiba-tiba merasakan kehampaan dan mengumpat perlahan dalam desis: "Cerita ini mau ngomongin apa. Wuasssssssuuu!" 


Martin tidak seperti itu. 

Ia tak bereksperimen bentuk. Tak mencari-cari genre. Ia seorang realis. Ia mewarisi penutur leluhurnya di Lekra. Pembacamu bisa memahami pesan apa yang kamu sampaikan sudah lebih dari cukup. Lebih-lebih kalau estetiknya dapat dan bukan sekadar petuah-petuah verbal. Martin hanya perlu menyelami kedalaman realitas dan menanamnya dalam plot-plot pendek yang tersedia.

Yang diperlukan dalam membaca prosa Martin adalah memori untuk menampung kenangan perih. Dan setiap keperihan tak harus butuh tindakan sedih berlebihan. Apalagi MEWEK di tengah keramaian. Martin tak memberi kesempatan untuk sebuah tangisan yang dibuat-buat, walau tokoh-tokohnya layak menangis karena kalah ditimpa kuasa yang tak bisa dilawan.

Hal lain yang diperlukan menyelami prosa Martin adalah kesadaran waktu. Juga serpihan guntingan informasi lini masa Indonesia yang tak pernah kunjung bersih dari amis darah sejarah bentukan "Serdadu Pedagang". Walau tema yang diangkat Martin hanya berupa fabel paus dan anjing, amis darah, stigmatisasi, dan penistaan itu terasa tetap pekat.

Martin Aleida (1)

::gus muh
 

Tulisan/ide/gagasan adalah langit adalah cakrawala. Jika bentuk tulisan memiliki kelas, maka fiksilah yang paling tinggi kelasnya, barulah disusul nonfiksi. Setidaknya itu menurut Martin Aleida. Ia sebut fiksi sebagai langit pertama, cakrawala pertama. Adapun tulisan nonfiksi (resensi, reportase, memoar, surat) adalah langit kedua, cakrawala kedua.

"Cerita pendek adalah salah satu bentuk karya fiksi yang dipercaya sebagai ungkapan dan refleksi tertinggi oleh seseorang," tulis Martin Aleida di "Sekapur Sirih" buku Langit Pertama, Langit Kedua (NALAR, 2013, xx+378 hlm).

Menempatkan fiksi sebagai langit tertinggi, langit nomor satu, bagi Martin tentu bukan pernyataan kosong. Mata kesadarannya terbuka saat ia melihat bagaimana Harian Rakjat di mana pada 1964-1965 ia resmi menjadi jurnalisnya, menyikapi dan sekaligus menempatkan fiksi semestinya. Puisi--dan tentu saja cerpen--mendapatkan halaman terbaik dan terhormat di sebuah koran yang dibuat untuk rekaman kegiatan politik, Harian Rakjat.

25 August 2012

Aku Marxis? Tidak! Aku Anak Kebudayaan Massa

::gusmuh

Aku Gitanyali. Ayahku komunis. Di depan rumah terpancang papan besar bertuliskan “Comite Seksi Partai Komunis Indonesia”.


Novel dwilogi Blues Merbabu dan 65 ini, seperti paragraf di atas, berkisah tentang anak tokoh teras PKI di sebuah kota kecil di Jawa Tengah. 


Gitanyali—nama samaran—seperti ribuan anak-anak penggiat PKI atau mereka yang (hanya) dituduh—adalah narasi sejarah yang menyedihkan dalam sejarah keluarga Indonesia.

Jurnal Prisma misalnya, pada 1979 pernah menggelar sayembara menulis Pola Asuhan Anak Indonesia. Hasilnya, cerita Hersri Setiawan menjadi pemenang dari seratusan cerita yang masuk.

Cerita Hersri berjudul “Dua Wajah dalam satu Haribaan: Warna-warna Pendewasaan di Pulau Buru” (Prisma No 10, Oktober 1979, hlm 15-34) itu mengisahkan pengalaman menjadi anak-anak PKI yang tiba-tiba jatuh jadi warga dengan kasta paria. Tak boleh jadi apa pun. Ya, apa pun yang terkait dengan pengabdian kepada negara dan bangsa. Tak peduli secerdas apa kepalanya dan secekatan apa tangannya bekerja.

13 April 2012

Jejak Indonesia dalam Empat Tonggak

:gus muh

Membaca (karya) Pramoedya Ananta Toer adalah membaca sejarah Nusantara beserta tragika-tragika manusianya. Untuk masuk ke liang sumur berabad-abad lewat itu, Pram memakai metode yang paling dimahirinya, yakni roman. Ia menunggangi salah satu bentuk penulisan kreatif paling purba itu untuk menunjukkan tonggak-tonggak khas (perubahan) politik masyarakat (baca: Jawa).

Dan ciri khas nyaris semua karya Pram adalah hadirnya tokoh-tokoh pinggiran dalam sejarah sebagai protagonis. Dan nyaris semua-mua tokohnya itu kalah, kecuali karya yang ditulis semasa ia bergiat di Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra-PKI), seperti Sekali Peristiwa di Banten Selatan.

Paling tidak ada empat tonggak, sebagaimana nanti terbaca dari (sebagian) pilihan karya Pram yang dilakukan Koh Young Hun di buku ini yang menurutnya “berkesinambungan dalam penceritaan” (h xvii). Keempat tonggak itu adalah: (1) Masa Kerajaan Hindu-Budha; (2) Masa Islam (Demak dan Mataram); (3) Masa Kolonial; dan (4) Masa Republik.

Tonggak pertama diwakili oleh tiga roman tebal dan satu naskah drama. Sebut saja "Tetralogi Nusantara": Arok Dedes, Mata Pusaran, Arus Balik, dan Mangir.

06 February 2012

Pram Mati Meninggalkan Polemik

Buku ini terbit sekira enam tahun setelah Pram mangkat atau 40 tahun setelah draf buku ini selesai dituliskan. Artinya, buku ini bukan buku yang ditulis ketika Soeharto tumbang, melainkan di masa ketika Pram dikucilkan dan semua suara diawasi. Di masa itu, sekadar mengepit (bukan membaca) buku Pram saja dianggap subversif.

Tapi penulis buku Keselarasan dan Kejanggalan (1985) yang nyaris klasik ini beruntung. Di saat kelompok Intelektual Indonesia hanya membaca Pram secara klandestin, ia leluasa menyigi nyaris semua karyanya. Perpustakaan Universitas Nasional Australia menyimpan dengan baik esei, cerpen, novel Pram yang diterbitkan di masa pemerintahan Soekarno berkuasa dan Lekra-PKI sedang tegak-tegaknya.

Savitri pulalah yang membantu Pram mengirimkan mikro film Gadis Pantai: untuk yang terkasih dan tersayang (buku pertama dari trilogi) yang dimuat secara bersambung di “Lentera”/Bintang Timur (61 kali pemuatan dan berakhir 23 Oktober 1962). Arsip berharga dari Australia itulah yang membantu generasi Indonesia warsa 80/90 mendapatkan perspektif baru ihwal perlawanan perempuan jelata Jawa, yang bagi Savitri lebih sublim ketimbang Bumi Manusia (hlm 140).

Genealogi perlawanan Pram menjadi fokus kajian Savitri yang mengantarkannya menggondol gelar doktor di Australian National University pada 1981. Ia menyusuri teks-teks yang diproduksi Pram dengan menampik cerita-cerita pribadi yang kere, minder, diusir mertua dan diceraikan istri karena jadi suami/sastrawan penganggur, dan terutama “anak mama” dengan tanggungan 7 adik.

Bagi Savitri, periode 1955-1956 adalah tahun peralihan Pram menjadi seorang yang sadar politik. Di tahun pasca kepulangan dari Belanda itu, ia menulis esei politik pertama berjudul “Djembatan Gantung dan Konsepsi Presiden” (Harian Rakjat, 28 Februari 1957). Adapun Januari 1959 adalah masa pendaulatannya berada dalam barisan “politik adalah panglima” tatkala Pram ditunjuk mewakili sastrawan Kiri berpidato di arena Kongres Nasional Lekra di Sriwedari Solo.

02 October 2011

Fredy S, Seks, dan G30S

Di sebuah laman web daring dideretkan beberapa gelintir manusia yang jalan hidup dan bahkan biodatanya misterius dan (kadang) jadi kontroversi di Indonesia: Gunadarma (kepala arsitek Borobudur), penulis buku Darmogandhul yang tak pernah diketahui jatidirinya, Tan Malaka (politisi pengelana yang pada 2009 kuburannya ditemukan Kepala KITLV Belanda Harry A Poeze di Kediri), Supriyadi (pimpinan PETA Blitar), pemuda penyobek bendera Belanda di Hotel Oranje Surabaya, Ki Panji Kusmin (pengarang cerpen Langit Makin Mendung), dan Imam Sayuti alias Tebo (anak yang lahir dengan bulu tebal yang ditengara sebagai hasil persetubuhan antara gendruwo dan Nasikah di Jember; geger Jatim 1990).

Saya memasukkan satu lagi, yakni Fredy S, dalam deretan manusia misterius karena nyaris semua yang menggandrungi roman yang ditulisnya tak pernah tahu siapa dan di mana penulis ini berada (walau saya menduga ia adalah orang Sunda dan paling tidak lama hidup dalam tradisi oral Jawa Barat ketika saya pergoki kerap terbalik-balik menulis frase seperti ‘Fasilitas’ ditulis ‘Pasilitas’).

29 December 2008

Aku dan Blora (2)

::gus muh

Aku ingat kisah Inem pada saat ribut pernikahan Ulfa dengan si Puji yang ngaku kyai itu -- Maria Andriana (28/12/2008)

Di belakang Perpustakaan PATaba (Pramoedya Ananta Toer Anak Blora). Sebuah rumah sederhana bercat putih kusam yang menghadap ke timur. Dari kawan muda yang selalu menemaniku, Beene Santoso, putra tunggal Pak Soesilo Toer, mengatakan bahwa keluarga guru ini, Mastoer, pernah memiliki seorang babu yang tinggalnya di belakang rumah tua ini. Jaraknya hanya satu wuwungan.

Dan teringatlah sepotong nama: INEM. Nama ini berada di cerita ke-3 dari 11 cerita dalam “Cerita dari Blora”.

Dalam cerita itu digambarkan ia seorang jongos kecil di sebuah keluarga guru di Blora. Usianya baru 6 tahun ketika bekerja di rumah Ndoro-nya. Lahir dari seorang emak yang kerjanya membatik. Sementara bapaknya pengadu jago dan pembegal kayu jati di antara Blora dan Rembang. Walau dikenal penjahat, bapak si Inem ini tak pernah ditangkap lantaran keluarga emak Inem adalah polisi.

Ia kawin pada usia yang sangat belia: 8 tahun. Tapi tak pernah bahagia. Saban malam ia berteriak-teriak kesakitan lantaran digeluti suaminya, si Markaban yang dari keturunan kaya. “Kerjanya tiap malam menggelut saja. Inem takut, Ndoro. Dia begitu besar. Dan kalau menggelut kerasnya bukan main hingga Inem tak bisa bernapas….” Keluhnya kepada Ndoro putrinya.

Saya nggak tahu apa yang dimaksud Pram dengan “menggeluti” itu. Apa memukuli atau mengajaknya bercinta. Dan Inem tereak-tereak karena dipukuli atau karena disodok oleh benda besar yang mengerikan dari dalam celana Markaban. Saban malam. Maklum, Inem adalah anak ingusan. Tapi si tokoh kecil aku dalam kisah "Inem" itu selalu mendengar lolongan dari babunya itu. Ditanyakannya kepada ibunya kenapa ada orang setelah kawin harus tereak-tereak kesakitan. Apa semua orang kawin harus begitu.

Dan suatu hari muncullah jongos kecil itu di hadapan Ndoro putrinya. Mengadukan sakit dan ratapnya. Hilang sudah ranum wajah kecilnya. Yang ada wajah pucat. Sayang, Ndoro putri menolaknya dengan alasan barangkali saja si Markaban menggelutinya keras-keras karena ia tak patuh. Lalu Inem pulang lagi. Ia berusaha mengabdi sepolos-polosnya untuk lakinya.

Setahun berikutnya Inem menghadap lagi. Kali ini ia bilang: ia sudah janda. Janda belia. Sembilan tahun. Ini cerita nelongso sekali. Hidup jongos kecil ini seperti ditakdirkan menjadi sasaran pukul siapa pun: emaknya, adiknya yang laki-laki, pamannya, tetangganya, bibinya, ayahnya, juga si Markaban suaminya.

Jika si Inem adalah tokoh nyata, maka Pram telah merekam sepotong penyiksaan dari belakang rumahnya sendiri—seorang yang bekerja untuk keluarganya. Kemudian lolongan sakit itu mengutuki jalan hidupnya sendiri yang dipukuli penjara tiga orde pemerintahan: Belanda, Karno, dan Harto.

Sebut saja jalan menyelimpang itu sebagai kutukan Inem dari belakang rumah.