13 November 2016

In Memoriam Hasmi “Gundala” Suraminata (1946-2016): Ketika Sains Memanggil, Asmara Menepi

Awan tebal menaungi pemakaman seniman Giri Sapto, Imogiri, Bantul, Jogjakarta, 7 November, saat jasad Hasmi Suraminata diturunkan ke liang lahat. Ia dimakamkan di sisi kiri Teras III bersebelahan dengan nisan maestro seni grafis Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta, Sun Ardi. Gumpalan awan di pemakaman yang lebih kurang 123 meter jaraknya dari makam para raja Jawa itu serupa awan gelap yang menjadi musabab lahirnya Gundala yang menjadikan nama Hasmi masuk dalam deretan maestro komik Indonesia.

Suatu sore di sebuah cafe ... demikian balon di panel pertama serial kesatu Gundala Putera Petir yang diterbitkan Pentastana Production tahun 1969. Dua belas halaman pertama, Hasmi memperlihatkan ketegangan antara panggilan asmara Minarti dan ketakjuban Sancaka pada sains; antara keriuhan kafe dan kesunyian dalam laboratorium; antara godaan pesta ulang tahun dan keterpesonaan pada ilmu pengetahuan. Hasmi menabrakkan dua situasi yang saling membelit itu dan berakhir runyam dalam gulungan awan tebal Kota Jogjakarta. Minarti dan Sancaka putus asmara; percobaan Sancaka mencari serum anoda anti petir untuk menyelamatkan masyarakat dari sambaran petir juga turut berantakan.
Pada saat remuk asmara dan gagalnya percobaan sains itulah Sancaka disantap petir di sebuah lapangan di luar kota. Sekaligus peristiwa ini oleh Hasmi dituliskan di lembar ke-12 sebagai: “pangkal dari ceritera ... Gundala Putera Petir”.


Lahir dari awan gelap, badai, dan petir, Gundala yang bisa berlari secepat topan dan mencambuk serupa petir terbit hingga 23 judul. Judul terakhir yang terbit pada 1982 adalah Surat dari Akherat. Dengan membawa Gundala, nama Hasmi disebut dalam satu tarikan napas dengan para pemegang lisensi tonggak komik klasik Indonesia, seperti Bahzar, Djair Warni, Djas, Ganes Th, Gerdi WK, Hans Jaladara, Henky, Jan Mintaraga, Kho Wang Gie, Kus Bram, Kwik Ing Hoo, Man, Oerip, R.A. Kosasih, S. Ardisoma, Sim, Taguan Hardjo, Teguh Santosa, Wid NS, Zaldy, Zam Nuldyn.

Gundala lahir saat situasi Indonesia mengalami apa yang disebut serbabaru: rezim baru, impian baru, pembangunan baru, generasi baru, dan gairah baru. Tahun kelahiran Gundala adalah tahun pencanangan Repelita I yang menjadi tonggak dari apa yang disebut: ekonomi sebagai panglima. Gundala, saya kira, menjadi representasi sebuah impian tentang kekuatan baru yang dahsyat; sebuah harapan setelah keluar dari tragedi politik yang tak saja berjelaga dan muram, tapi juga pendarahan yang luar biasa dahsyatnya. Gundala adalah impian tentang sains yang mesti menopang jalan ekonomi yang bersandar kepada developmentalisme.

Sosok Gundala kita tahu bukanlah karakter orisinal dari Hasmi. Karakter manusia super dengan memiliki kesaktian petir ini diciptakan duet Gardner Fox dan Harry Lampert pada 1940 dalam komik berjudul The Flash (DC Comics). Dan, kita tahu bahwa Amierika Serikat menjadi aktor penting yang berada di balik penumbangan Sukarno dan melahirkan Orde Baru. Termasuk dalam rangkaian inagurasi kemenangan ini USA membawa serta seluruh mesin ekonomi pertambangan dan sungut kebudayaan populernya memasuki Indonesia yang tengah mengarahkan haluan ideologinya sepenuh-penuhnya ke Barat.

Berbeda segalanya dalam soal cerita dan latar, Gundala dan The Flash adalah sebuah repsentasi dari orde yang sedang berada pada titik tahun-tahun madu. Gundala menyodorkan gelombang kekuatan baru yang tak dimiliki para pendekar-pendekar masa lalu. Apalagi, si jagoan kita yang mahasakti ini datang dari Kota Yogyakarta. Hasmi mengeksploitasi setandas-tandasnya ikon-ikon kota raja ini; dari Malioboro hingga Parangtritis; dari becak hingga pit.

Gundala dengan mudah menjadi impian paling memukau dalam keluarga Indonesia yang serbabaru itu. Karakter Gundala seorang insinyur, pencinta sains, dan pembabat kejahatan melenggang mendapatkan simpati; terlepas bahwa karakter itu adalah impian Hasmi sendiri yang gagal melewati tes masuk jurusan teknik Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta. Lewat jalan seni (komik), impian yang tak tercapai itu tersalurkan dalam fiksi ilmiah. Sebagaimana karakter Sancaka (nama Gundala saat menjalani hidup sebagai manusia biasa), asmara Hasmi juga nyaris sama. Keasyikan pada seni (sains dalam diri Sancaka), Hasmi (dan juga Sancaka) adalah dua sosok yang terlambat panas dalam asmara. Bagi keduanya, ketika seni (dan sains) memanggil, asmara menepi. Hasmi berkeluarga ketika usia sudah memasuki usia separuh abad; sementara Sancaka menikah saat serial Gundala Putera Petir sudah memasuki jilid ke-18, yakni Pengantin Buat Gundala (1977). Hasmi menikahi dengan Mujiyati, Sancaka mengawini jurnalis cantik bernama Sedhah Esti Wulan yang kelak menjadi superhero dengan nama Merpati.

"Pendidikan Politik”

Di luar Gundala yang melambungkan namanya, Hasmi Suraminata dan sekondannya Wid NS pernah terlibat dalam pembuatan komik pendidikan (politik) sejarah perjuangan bangsa.

Anda pernah membaca komik grafis berjudul Merebut Kota Perjuangan? Nah, itu dia komik bikinan Hasmi dan Wid NS. Komik bersampul ekspresif, yakni seorang seorang pemuda kekar berpakaian putih dan celana robek yang dilipat selutut sambil berteriak keras menancapkan bendera merah putih, diterbitkan Yayasan Sinar Asih Mataram (Jakarta) pada tahun 1980.

Proyek komik politik itu mesti kita masukkan dalam satu paket dengan rancangan film kolosal Janur Kuning yang digarap Alam Rengga Rasiwan Surawidjaja pada 1979. Bahkan, dalam soal propaganda politik dengan medium budaya populer, film Pengkhianatan G 30 S/PKI yang digarap secara didaktis Arifin C. Noer selama dua tahun sejak 1982 juga turut diseret masuk.

Sebagaimana sudah disebutkan sebelumnya, Hasmi dan Gundala adalah ikon anyar Kota Jogja. Nah, barangkali mengulangi kesuksesan Gundala si Mahasakti Mataram di lapangan sejarah Indonesia itulah Hasmi dipundaki amanat yang saya kira sangat berat. Apalagi, sosok yang dijadikan “Gundala Baru” itu juga sama-sama lahir dan besar di Yogyakarta, yakni “Pak” Harto si Jenderal Besar. Komik grafis ini—dan disempurnakan oleh Janur Kuning—saya kira sukses besar menenggelamkan peran Sultan Hamengkubuwono IX, Kolonel Bambang Sugeng, dan bahkan Panglima Besar Jenderal Soedirman dalam narasi Serangan Umum 1 Maret. Dalam komik grafis ini, Soeharto, sebagaimana Gundala, adalah sosok yang heroik dalam inisiasi dan tindakan. Harto adalah superhero dalam benak murid-murid sekolah di seluruh Indonesia.

Tapi, di sinilah titik ironi sejarah bekerja. “Jasa” Hasmi dalam menciptakan komik grafis itu dianggap negara sebagai “komik pengabdian”. Hasmi tak menerima bayaran atas “jasa besar” mempropagandakan kedahsyatan tokoh “Soeharto” di palagan Serangan Umum. Menceritakan ironi ini kepada sahabat-sahabat terdekatnya, Hasmi yang hidup sederhana di sebuah gang kecil di daerah Karangwaru, Yogyakarta itu kerap memandang nanar dan melankoli. Kok bisa?

Dengan ironi itu pula takdir Hasmi dipahatkan! Hasmi seperti liliput yang bangkit bersama (impian) Orde Baru yang membangun kerajaan ekonominya; dan sekaligus dalam pesta kejayaan itu Hasmi terpuruk dalam kesulitan ekonomi sebagaimana nasib komikus Indonesia setelah invasi komik masuk ke Indonesia seperti tsunami.

Barangkali harapan yang tersisa untuk mengenalkan kembali Hasmi kepada publik adalah bahwa sejak 2005 komunitas Bumi Langit menerbitkan ulang seluruh serial komik Gundala yang dikerat oleh waktu. Seperti itu. [Muhidin M. Dahlan]


* Pertama kali dipublikasikan di Harian Jawa Pos Minggu, 13 November 2016