Kini, setelah satu dekade saya resmi pindah. Teman, berkunjung ke rumah baru:
Showing posts with label Catatan-Catatan. Show all posts
Showing posts with label Catatan-Catatan. Show all posts
05 December 2016
PINDAH RUMAH
Blog "akubuku" ini didirikan sejak 2007. Rupa-rupa cerita di dalamnya. Merekam serangkaian perjalanan penulisan. Ada masa ketika sangat produksi mengisinya. Terkadang pula berbulan-bulan ditinggalkan.
03 December 2016
Menonton Kenangan, Mengingat Persipal Palu
Saya mengingat kembali Persipal Palu karena
laki-laki bernama Neni Muhidin ini sering mengubernya secara paruh waktu di lama
Facebook. Bahkan, pada akhirnya Persipal Palu makbedundu muncul di Yogyakarta
untuk menjalani laga final turnamen Liga Nusantara 2016 yang memang dipusatkan
di Provinsi Jawa Tengah dan DIY, juga atas informasi yang dibagi lelaki yang
tinggal di Jl Tururuka Palu sambil menunggui perpustakaan minionnya bernama
Nemu Buku.
Sampai akhirnya saya memutuskan untuk
menonton Persipal Palu di pertandingan kedua mereka di babak penyisihan Grup H
berhadapan dengan Gama FC (Yogyakarta). Bertanding di Stadion Sultan Agung,
Pacar, Bantul, DIY turut membantu lantaran hanya tujuh menit waktu tempuh dari
rumah tinggal di Kecamatan Kasihan.
29 November 2016
GURU L. JENTONG. "Kepala Sekolah Penuh Dedikasi"
"Sekolahkan hingga setinggi-tingginya "anak kita" itu. Dia punya potensi besar." -- Guru L. Jentong kepada Ambo Muhammad Dahlan, 1993
Saya menghadap pusara sang kepala sekolah di pemakaman desa kala pulang kampung di pengujung tahun 2013 seusai acara Hari Nusantara Nasional yang dipusatkan di Kota Palu, Sulawesi Tengah.
Pekuburan ini nyaris tak pernah berubah sejak saya meninggalkan kampung ini untuk tinggal di Yogyakarta sejak 1996; kecuali makin meluas, makin padat. Artinya, ada satu generasi yang ketika dari kanak hingga remaja yang sudah hilang berpindah rumah di pekuburan yang tak jauh dari sungai besar Desa Tondo, Kecamatan Sirenja, Kabupaten Donggala ini.
Nama di nisan itu L. Jentong. Jika Anda mencarinya di bilah pencarian tentu tak menemui seutas pun link yang mengarah pada riwayat tentangnya. Dan, memang tak ada yang menuliskannya--atau saya tak menemukannya di blog mana pun. Nama ini agak "aneh", L. Jentong. Seumur-umur hingga sekarang saya tak pernah mengetahui aksara "L" itu akronim dari apa. Apalagi nama "Jentong" yang di internet kita diarahkan ke web seni rupa dan komik "jentong.com".
Saya menghadap pusara sang kepala sekolah di pemakaman desa kala pulang kampung di pengujung tahun 2013 seusai acara Hari Nusantara Nasional yang dipusatkan di Kota Palu, Sulawesi Tengah.
Pekuburan ini nyaris tak pernah berubah sejak saya meninggalkan kampung ini untuk tinggal di Yogyakarta sejak 1996; kecuali makin meluas, makin padat. Artinya, ada satu generasi yang ketika dari kanak hingga remaja yang sudah hilang berpindah rumah di pekuburan yang tak jauh dari sungai besar Desa Tondo, Kecamatan Sirenja, Kabupaten Donggala ini.
Nama di nisan itu L. Jentong. Jika Anda mencarinya di bilah pencarian tentu tak menemui seutas pun link yang mengarah pada riwayat tentangnya. Dan, memang tak ada yang menuliskannya--atau saya tak menemukannya di blog mana pun. Nama ini agak "aneh", L. Jentong. Seumur-umur hingga sekarang saya tak pernah mengetahui aksara "L" itu akronim dari apa. Apalagi nama "Jentong" yang di internet kita diarahkan ke web seni rupa dan komik "jentong.com".
14 August 2016
D.N. Aidit adalah Wajah Tokoh ke-35 dari 400-an Tokoh yang Dilukis Galam Zulkifli dalam "The Indonesian Idea" yang Dicopot dari Bandara Soekarno Hatta, Cengkareng, Banten
Dari 400-an wajah tokoh yang dilukis secara manual (tanpa teknologi sablon atau pun proyektor) dengan cermat dan presisi, justru wajah D.N. Aidit yang berukuran "kecil" itu yang menyebabkan lukisan berjudul "The Indonesia Idea" (ID) itu diturunkan secara paksa dari dinding Terminal 3 Ultimate Bandar Udara Soekarno Hatta, Cengkareng, Banten, (Jumat, 12 Agustus 2016).
Dalam susunan tokoh yang dilukis, D.N. Aidit adalah wajah ke-35 yang dilukis Galam Zulkifli setelah Mas Marco Kartodikromo. Wajah pertama yang ada di kanvas adalah H.O.S. Tjokroaminoto, disusul Sutan Sjahrir, Hasyim Asy'ari, Achmad Dahlan, dan Tan Malaka. Sementara wajah tokoh paling terakhir adalah Kak Seto Mulyadi.
Berikut croping susunan wajah yang dilukis Galam Zulkifli yang saya ambil dari video proses lahirnya lukisan "The Indonesian Idea" yang berdurasi 58 menit, 18 detik. (Muhidin M. Dahlan)
H.O.S. Tjokroaminoto (Wajah Tokoh ke-1) |
Sutan Sjahrir (Wajah Tokoh ke-2) |
K.H. Hasjim Asj'ari (Wajah Tokoh ke-3) |
K.H. Achmad Dahlan (Wajah Tokoh ke-4) |
Tan Malaka (Wajah Tokoh ke-5) |
D.N. Aidit (Wajah ke-35) |
Kak Seto (Wajah Tokoh Terakhir) |
Baca ulasan khusus lukisan yang menggegerkan ini: "Sejarah Indonesia dan Seni (di) Airport" oleh Muhidin M. Dahlan.
14 May 2016
Kejaksaan yang tak bisa move on, baca ulang tuh surat kebirimu dari MK. Dasar parasit buku!
Bunyi berita dari Jogja:
Kejaksaan Tinggi Daerah Istimewa Yogyakarta menyita sebuah buku berjudul Sejarah Gerakan Kiri Indonesia untuk Pemula. Buku itu disita dari penjual di toko buku Shopping Center, Yogyakarta. Buku dianggap memutarbalikkan sejarah terkait Partai Komunis Indonesia (PKI).
Asisten Intelijen Kejati DIY, Joko Purwanto, mengatakan, buku setebal 528 halaman yang ditulis 32 orang itu disertai ilustrasi provokatif perihal pembantaian yang terjadi sekitar tahun 1965. "Arahnya untuk mempengaruhi anak-anak muda soal ajaran itu (komunisme)," kata Joko, Jumat, (13/5/2016).
BACA JUGAJokowi Minta Penertiban Paham Komunis Tidak dengan SweepingJK: Lagu Genjer-genjer Menyakiti TNIJK: Paham Komunis Sudah Gagal Joko mengungkapkan, buku yang dibeli seharga Rp200 ribu keluaran penerbit Ultimus tersebut tak hanya dijual melalui toko buku. Namun juga secara daring.
Menurutnya, penjual sudah kehabisan stok dan menduga buku itu sudah beredar di masyarakat. "Penjual buku itu menyediakan pemesanan," kata dia.
Bagi para penjual buku aliran kiri, lanjut Joko, tak akan ada langkah hukum dari aparat. Namun, kejaksaan memberikan peringatan agar tidak menjual buku serupa kembali. Sementara, buku yang telah disita tersebut akan dilaporkan ke Kejaksaan Agung.
Plis deh Kejaksaan. Masih ingat tarung drajat di Pengadilan Mahkamah Konstutisi sejak awal Januari hingga Oktober 2010?! Kewenangan situ dikebiri Mahkamah Konstitusi. Nggak kek dulu-dulu lagi, asal sensi, sita. Asal ada ormas lapor, sweeping. Lalu bakar bareng-bareng.
Wewenang kelian sudah awu-awu, sudah dianu-anu. Menyita, merampas, lalu membakar bersama-sama sudah tak punya landasan hukum. Masak lupa sih.
Kejaksaan Tinggi Daerah Istimewa Yogyakarta menyita sebuah buku berjudul Sejarah Gerakan Kiri Indonesia untuk Pemula. Buku itu disita dari penjual di toko buku Shopping Center, Yogyakarta. Buku dianggap memutarbalikkan sejarah terkait Partai Komunis Indonesia (PKI).
Asisten Intelijen Kejati DIY, Joko Purwanto, mengatakan, buku setebal 528 halaman yang ditulis 32 orang itu disertai ilustrasi provokatif perihal pembantaian yang terjadi sekitar tahun 1965. "Arahnya untuk mempengaruhi anak-anak muda soal ajaran itu (komunisme)," kata Joko, Jumat, (13/5/2016).
BACA JUGAJokowi Minta Penertiban Paham Komunis Tidak dengan SweepingJK: Lagu Genjer-genjer Menyakiti TNIJK: Paham Komunis Sudah Gagal Joko mengungkapkan, buku yang dibeli seharga Rp200 ribu keluaran penerbit Ultimus tersebut tak hanya dijual melalui toko buku. Namun juga secara daring.
Menurutnya, penjual sudah kehabisan stok dan menduga buku itu sudah beredar di masyarakat. "Penjual buku itu menyediakan pemesanan," kata dia.
Bagi para penjual buku aliran kiri, lanjut Joko, tak akan ada langkah hukum dari aparat. Namun, kejaksaan memberikan peringatan agar tidak menjual buku serupa kembali. Sementara, buku yang telah disita tersebut akan dilaporkan ke Kejaksaan Agung.
* * *
Plis deh Kejaksaan. Masih ingat tarung drajat di Pengadilan Mahkamah Konstutisi sejak awal Januari hingga Oktober 2010?! Kewenangan situ dikebiri Mahkamah Konstitusi. Nggak kek dulu-dulu lagi, asal sensi, sita. Asal ada ormas lapor, sweeping. Lalu bakar bareng-bareng.
Wewenang kelian sudah awu-awu, sudah dianu-anu. Menyita, merampas, lalu membakar bersama-sama sudah tak punya landasan hukum. Masak lupa sih.
29 April 2016
Menulis di Masjid
Pernah suatu masa yang jauh, masjid adalah tempat saya belajar. Sejak remaja, saya membiasakan diri mengerjakan pekerjaan sekolah di rumah atau biasa diringkas menjadi PR di masjid. Bahkan dilanjutkan dengan tidur pulas hingga salat subuh menjelang.
Kebiasaan itu tetap berjalan hingga di awal tahun 2000. Bukan untuk tidur, tapi untuk menulis. Sebagai remaja dengan kos-kosan yang ribut di kanan kiri, masjid adalah kemewahan. Di masjid, suara untuk berbicara tak boleh mengalahkan keheningan. Bukankah di saat-saat hening kita bisa fokus berpikir dan menuangkan apa yang dipikirkan dalam tulisan.
Saya memiliki dua masjid favorit untuk menulis. Masjid pertama adalah Masjid Gedhe, Kauman. Saya kerap berlama-lama di masjid ini hanya karena desakan pada kenangan masa silam bahwa di serambi masjid ini Pelajar Islam Indonesia (PII) "lahir" oleh pemuda-pemuda macam Yoesdi Ghozali. Lagi pula masjid ini tak jauh dari Bintaran Tengah di mana saya tinggal dalam sebuah asrama bagi mahasiswa-mahasiswa baru yang datang dari sebuah kota yang jauh dan "asing".
Masjid kedua adalah Masjid IAIN Sunan Kalijaga. Saya lupa nama masjid ini sebelum berubah menjadi--gagah benar--Laboratorium Agama. Mungkin Al-Munawwarah yang di bawahnya terdapat salah satu UKM bidang jurnalistik, Arena. Saya berdiam di masjid ini tidak siang hari. Pasti sumpek dan banyak sekali manusia. Saya setiap pekan paling tidak dua kali bertiwikrama di sini yang umumnya mulai pukul 2 malam hingga usai salat subuh. Masjid ini tidak digembok. Maklum, kos saya tak jauh dari sini. Saya hanya butuh melintasi sebuah jalan besar, Jl Solo, dari perut kampung Demangan.
Saya ingat, saya mengerjakan resensi buku "Hantu-Hantu Marx" justru dalam masjid IAIN ini. Saya menulisnya dengan pena dan kertas bergaris-garis, dini hari, saat hantu-hantu sedang pakansi dan cari makan malam di rimbunan pepohonan Fakultas Adab.
Sebetulnya ada satu masjid lagi. Namanya Masjid Mujahiddin IKIP (UNY) Yogyakarta. Tapi nyaris tak pernah saya menulis di tempat ini. Hanya saja, buku Sosialisme Religius lahir dari sini. Sebab, saya tak ingat lagi bagaimana awalnya, saya, Bakkar Wibowo, Diana Dewi, beberapa gelintir aktivis HMI MPO meminjam lantai dua masjid ini selama tiga hari menyelenggarakan Pesantren Sosialisme Religius.
Di dua masjid inilah--mungkin tiga--saya menulis--lebih tepatnya belajar menulis, mengingat, dan beribadah. Dan itu sudah berlangsung sudah sangat jauh. Mungkin sudah dua puluh tahun.
Dan kini, kenangan itu datang lagi ketika "takmir" Masjid Jenderal Sudirman (MJS) di Kolombo mengundang saya memasuki masjid untuk kebutuhan penulisan dengan tajuk: "Menulis di Masjid". Selama dua hari, 29 dan 30 April saya memasuki (kembali) masjid untuk menulis.
Menulis itu pada akhirnya adalah ibadah. Dan saya tetap teringat kepada Kiai Zainal Arifin Thoha ketika saya diiyakan saja mengganti tadarus di bulan Ramadan dengan menulis yang rutin. [Muhidin M. Dahlan]
Kebiasaan itu tetap berjalan hingga di awal tahun 2000. Bukan untuk tidur, tapi untuk menulis. Sebagai remaja dengan kos-kosan yang ribut di kanan kiri, masjid adalah kemewahan. Di masjid, suara untuk berbicara tak boleh mengalahkan keheningan. Bukankah di saat-saat hening kita bisa fokus berpikir dan menuangkan apa yang dipikirkan dalam tulisan.
Saya memiliki dua masjid favorit untuk menulis. Masjid pertama adalah Masjid Gedhe, Kauman. Saya kerap berlama-lama di masjid ini hanya karena desakan pada kenangan masa silam bahwa di serambi masjid ini Pelajar Islam Indonesia (PII) "lahir" oleh pemuda-pemuda macam Yoesdi Ghozali. Lagi pula masjid ini tak jauh dari Bintaran Tengah di mana saya tinggal dalam sebuah asrama bagi mahasiswa-mahasiswa baru yang datang dari sebuah kota yang jauh dan "asing".
Masjid kedua adalah Masjid IAIN Sunan Kalijaga. Saya lupa nama masjid ini sebelum berubah menjadi--gagah benar--Laboratorium Agama. Mungkin Al-Munawwarah yang di bawahnya terdapat salah satu UKM bidang jurnalistik, Arena. Saya berdiam di masjid ini tidak siang hari. Pasti sumpek dan banyak sekali manusia. Saya setiap pekan paling tidak dua kali bertiwikrama di sini yang umumnya mulai pukul 2 malam hingga usai salat subuh. Masjid ini tidak digembok. Maklum, kos saya tak jauh dari sini. Saya hanya butuh melintasi sebuah jalan besar, Jl Solo, dari perut kampung Demangan.
Saya ingat, saya mengerjakan resensi buku "Hantu-Hantu Marx" justru dalam masjid IAIN ini. Saya menulisnya dengan pena dan kertas bergaris-garis, dini hari, saat hantu-hantu sedang pakansi dan cari makan malam di rimbunan pepohonan Fakultas Adab.
Sebetulnya ada satu masjid lagi. Namanya Masjid Mujahiddin IKIP (UNY) Yogyakarta. Tapi nyaris tak pernah saya menulis di tempat ini. Hanya saja, buku Sosialisme Religius lahir dari sini. Sebab, saya tak ingat lagi bagaimana awalnya, saya, Bakkar Wibowo, Diana Dewi, beberapa gelintir aktivis HMI MPO meminjam lantai dua masjid ini selama tiga hari menyelenggarakan Pesantren Sosialisme Religius.
Di dua masjid inilah--mungkin tiga--saya menulis--lebih tepatnya belajar menulis, mengingat, dan beribadah. Dan itu sudah berlangsung sudah sangat jauh. Mungkin sudah dua puluh tahun.
Dan kini, kenangan itu datang lagi ketika "takmir" Masjid Jenderal Sudirman (MJS) di Kolombo mengundang saya memasuki masjid untuk kebutuhan penulisan dengan tajuk: "Menulis di Masjid". Selama dua hari, 29 dan 30 April saya memasuki (kembali) masjid untuk menulis.
Menulis itu pada akhirnya adalah ibadah. Dan saya tetap teringat kepada Kiai Zainal Arifin Thoha ketika saya diiyakan saja mengganti tadarus di bulan Ramadan dengan menulis yang rutin. [Muhidin M. Dahlan]
01 January 2016
12 Pesan Tahun Baru dari Politbiro CC PKI
Jika Politbiro CC PKI tahu bahwa di tanggal terakhir tahun lalu, anak muda terbaik dari Perkumpulan Praxis yang sebelumnya ditunjuk sebagai Komisaris Krakatau Steel di Cilegon terpilih sebagai Dirjen Kebudayaan Baru NKRI "Harga Mati", pastilah seluruh arwah yang terluka seluka-lukanya itu bersorak.
Ini tentu hadiah terbesar kekinian dalam kebudayaan progresif di tubuh kapitalisme birokrasi kebudayaan.
Tapi sayang sekali, tak ada pesan khusus Tahun Baru Terakhir dari Politbiro untuk bidang kebudayaan. Sebab ada yang lebih genting dan penting dari kebudayaan, yakni soal ekonomi dan inflasi, soal korupsi, soal dana perusahaan asing (aseng), soal transmigrasi, dan soal proyek padat karya di bidang pertanian.
Sayang sekali ya! Kalaupun ada untuk Dirjen Kebudayaan Baru kita, ya pesan yang ke-4: berantas (kebudayaan) birokrasi yang boros uang negara. Sebab jabatan Eselon I itu ya jabatan politik, ya jabatan birokrasi juga. Mumpung di birokrasi, bereskan (kapitalis) birokrat yang menyaru bekerja untuk kebudayaan. Di luar soal "berantas kapbir" itu, CC PKI gak punya pesan khusus lagi buat Dirjen Kebudayaan Baru kita.
Tapi begitulah Politbiro itu. Mendahulukan apa yang real, apa yang dirasakan langsung oleh Rakyat ketimbang, ya sudahlah.
Inilah dua belas pesan Tahun Baru terakhir dari Politbiro CC PKI sebelum semuanya disembelih oleh sejarah. Sebuah pesan yang begitu optimistis bahwa kemenangan sudah di depan mata dan sekaligus begitu berat.
Ini tentu hadiah terbesar kekinian dalam kebudayaan progresif di tubuh kapitalisme birokrasi kebudayaan.
Tapi sayang sekali, tak ada pesan khusus Tahun Baru Terakhir dari Politbiro untuk bidang kebudayaan. Sebab ada yang lebih genting dan penting dari kebudayaan, yakni soal ekonomi dan inflasi, soal korupsi, soal dana perusahaan asing (aseng), soal transmigrasi, dan soal proyek padat karya di bidang pertanian.
Sayang sekali ya! Kalaupun ada untuk Dirjen Kebudayaan Baru kita, ya pesan yang ke-4: berantas (kebudayaan) birokrasi yang boros uang negara. Sebab jabatan Eselon I itu ya jabatan politik, ya jabatan birokrasi juga. Mumpung di birokrasi, bereskan (kapitalis) birokrat yang menyaru bekerja untuk kebudayaan. Di luar soal "berantas kapbir" itu, CC PKI gak punya pesan khusus lagi buat Dirjen Kebudayaan Baru kita.
Tapi begitulah Politbiro itu. Mendahulukan apa yang real, apa yang dirasakan langsung oleh Rakyat ketimbang, ya sudahlah.
25 December 2015
CC PKI Mengucapkan Selamat Hari Natal. Damai ya Ummat!
Di pojok editorial Harian Rakjat, 24 Desember 1964--atau setahun sebelum penyembelihan besar-besaran terjadi--saya membaca ucapan Selamat Natal terakhir dari CC PKI untuk umat Kristiani di Indonesia.
Salah satu ciri dan isi terpokok daripada hari Natal, tulis editorial ini, adalah ajakan dan seruannya: Damai di Dunia.
"Dunia kita sekarang ini bukanlah satu dunia yang damai, tetapi yang 'gaduh'. Di Vietnam Selatan ummat Kristen tidak dapat merayakan hari Natal dengan suasana damai. DI Konggo demikian. Di mana2 imperialis menebarkan mesiu dan kemiskinan, dan mencegah ummat Kristen merayakan hari Natal menurut harapan agama mereka. Dan yang lebih keterlaluan lagi, ialah bahwa kedjahatan ini dilakukan kaum imperialis dengan sering2 menggunakan nama agama pula!" tulis PKI (yang tak beragama) ini.
Untuk memuluskan jalan cita-cita ummat Kriten dalam Natal itulah, kominis-kominis Indonesia ini menyerukan: "Marilah kita berjuang lebih hebat melawan segala ketidakadilan sosial, melawan imperialisme. Selamat Hari Natal, selamat berjoang!"
Dari luweng-luweng curam, dari galian pasir pantai yang gelap, muara Sungai Berantas, Bengawan, dan Ciliwung, Central Comite (CC) PKI mengucapkan selamat "Hari Natal" dengan harapan: "Bahagia bagi Umat Kristen Indonesia dalam merajakan Hari Natal 25-26 Desember. Semoga kebesaran Hari Natal ini lebih mendorong semangat perdjuangan untuk Persatuan Nasional dan Perdamaian Dunia". (Muhidin M Dahlan)
Salah satu ciri dan isi terpokok daripada hari Natal, tulis editorial ini, adalah ajakan dan seruannya: Damai di Dunia.
"Dunia kita sekarang ini bukanlah satu dunia yang damai, tetapi yang 'gaduh'. Di Vietnam Selatan ummat Kristen tidak dapat merayakan hari Natal dengan suasana damai. DI Konggo demikian. Di mana2 imperialis menebarkan mesiu dan kemiskinan, dan mencegah ummat Kristen merayakan hari Natal menurut harapan agama mereka. Dan yang lebih keterlaluan lagi, ialah bahwa kedjahatan ini dilakukan kaum imperialis dengan sering2 menggunakan nama agama pula!" tulis PKI (
Untuk memuluskan jalan cita-cita ummat Kriten dalam Natal itulah, kominis-kominis Indonesia ini menyerukan: "Marilah kita berjuang lebih hebat melawan segala ketidakadilan sosial, melawan imperialisme. Selamat Hari Natal, selamat berjoang!"
Dari luweng-luweng curam, dari galian pasir pantai yang gelap, muara Sungai Berantas, Bengawan, dan Ciliwung, Central Comite (CC) PKI mengucapkan selamat "Hari Natal" dengan harapan: "Bahagia bagi Umat Kristen Indonesia dalam merajakan Hari Natal 25-26 Desember. Semoga kebesaran Hari Natal ini lebih mendorong semangat perdjuangan untuk Persatuan Nasional dan Perdamaian Dunia". (Muhidin M Dahlan)
02 November 2015
Dialita 65
Tiba-tiba saja saya berada di kerumunan Ibu-ibu paruh baya di ruang panitia Biennale Jogja di Jogja National Museum (JNM), Gampingan, Yogyakarta, 1 November 2015, malam. Secepat kilat, saya mengambil posisi jongkok. Dan klik. Kaget betul Astuti Ananta Toer karena kamera saya fokus ke putri Pramoedya Ananta Toer itu. Dan setelah itu Bu Besar, demikian ia biasa saya panggil, menunjuk-nunjuk saya dan tertawa.
Di malam pembukaan Biennale Jogja, Astuti Ananta Toer termasuk dalam kelompok paduan suara yang tampil. Termasuk puteri Njoto, Irina Dayasih, yang bermandi keringat di "ruang sauna" JNM.
Kehadiran mereka di JNM tanpa tentara dan laskar di tengah keramaian pengunjung pameran seni rupa itu mengingatkan saya pada Ansambel Gembira Jakarta.
Mbah Tuti, Mbah Hartina, Mbah Elly, dan Mbah Murtini adalah anggota-anggota yang tersisa dari Ansambel Gembira Jakarta yang turut serta dalam paduan suara. Ansambel ini menjadi salah satu kelompok paduan musik di bawah Lembaga Musik Indonesia (LMI); salah satu komunitas kreatif Lekra di tahun 1960-an.
Keempat personel Gembira itu kini tergabung dalam kelompok baru bernama Dialita. Dialita yang merupakan akronim dari “Di Atas 50 Tahun” adalah salah satu kelompok paduan suara (choir) yang tampil di malam panggung pembukaan Biennale Jogja XIII.
Di malam pembukaan Biennale Jogja, Astuti Ananta Toer termasuk dalam kelompok paduan suara yang tampil. Termasuk puteri Njoto, Irina Dayasih, yang bermandi keringat di "ruang sauna" JNM.
Kehadiran mereka di JNM tanpa tentara dan laskar di tengah keramaian pengunjung pameran seni rupa itu mengingatkan saya pada Ansambel Gembira Jakarta.
Mbah Tuti, Mbah Hartina, Mbah Elly, dan Mbah Murtini adalah anggota-anggota yang tersisa dari Ansambel Gembira Jakarta yang turut serta dalam paduan suara. Ansambel ini menjadi salah satu kelompok paduan musik di bawah Lembaga Musik Indonesia (LMI); salah satu komunitas kreatif Lekra di tahun 1960-an.
Keempat personel Gembira itu kini tergabung dalam kelompok baru bernama Dialita. Dialita yang merupakan akronim dari “Di Atas 50 Tahun” adalah salah satu kelompok paduan suara (choir) yang tampil di malam panggung pembukaan Biennale Jogja XIII.
24 July 2015
(Masih) Bersetia dengan Blogspot
Saya tetap memakai domain blogspot.com ini dan tak lagi terpikir untuk menggantinya. Pernah terpikir untuk menggantinya menjadi berbayar supaya saya terlihat lebih keren, mentereng, dan sudah berduit. Tapi sayang urung. Bukan karena apa, di saat yang sama berkelebat di pikiran saya membuat radio buku berbasis internet dan website-nya.
Maka saya dahulukan belanja domain radiobuku.com dan sekaligus mengganti web indonesiabuku.com karena ketakmampuan saya dan lembaga di mana saya bernaung mengerjakannya secara sekaligus.
10 January 2015
Godaan Melecehkan Agama, dari PKI hingga Charlie Hebdo
“… adalah satu kenjataan bahwa partai2 Nasionalis dan Komunis di Indonesia tidak melakukan propaganda anti-agama; baik tentang al Qur’an, tentang mesjid, tentang isteri Nabi, tentang geredja, dan tentang hal2 agama pada umumnja” ~ Editorial Harian Rakjat/PKI, Februari 1965
Teror mengerikan yang menimpa tabloid Charlie Hebdo (CH) di kota yang melahirkan prinsip universil “Liberté, Egalité, Fraternité” menjadi frontpage dari 400-an koran di semua benua di muka bumi ini. Dengan mengusung jurnalisme satir, pemuatan secara berulang-ulang karikatur yang melecehkan keyakinan orang lain, para jurnalis “left wing” yang bekerja di belakangnya menerima serangan balik paling mematikan dan menggegerkan dunia.
Teror mengerikan yang menimpa tabloid Charlie Hebdo (CH) di kota yang melahirkan prinsip universil “Liberté, Egalité, Fraternité” menjadi frontpage dari 400-an koran di semua benua di muka bumi ini. Dengan mengusung jurnalisme satir, pemuatan secara berulang-ulang karikatur yang melecehkan keyakinan orang lain, para jurnalis “left wing” yang bekerja di belakangnya menerima serangan balik paling mematikan dan menggegerkan dunia.
23 December 2014
Mario Teguh dan Laki-Laki Paria yang Terjungkal dari Masa Depan
Sosok Bapak Mario Teguh yang bijaksana–oleh mereka yang kalah bertarung dengan kekinian merebut masa depan yang menjanjikan–adalah diktator perasaan yang kejam. Bayangkan, dalam meme terakhir, Bapak Mario secara teguh dan meyakinkan bisa meraih ribuan like tanpa reserve. Meme itu seperti risalah tanah perjanjian yang diamini dengan hati bergolak-golak.
“Mohon jangan lupa ikut menyampaikan ‘Aamiin’ jika tahun 2015 kamu menemukan jodohmu”.
“Mohon jangan lupa ikut menyampaikan ‘Aamiin’ jika tahun 2015 kamu bisa umrah”.
Aamiin, Bapak Mario. Masa depan memang kemasan jualan paling laku disebabkan impi-impi yang dikandungnya. Bapak Mario sampai di sini adalah suksesor besar penjual meme harapan masa depan.
“Anak muda yang malas sudah tidak berguna sejak muda, KECUALI JIKA dia tegas bangkit mengeluarkan dirinya dari kesia-siaan hidup, dan melakukan yang harusnya dilakukan oleh anak muda yang bening hatinya, jernih pikirannya, dan sehat badannya – Mario Teguh”
“Mohon jangan lupa ikut menyampaikan ‘Aamiin’ jika tahun 2015 kamu menemukan jodohmu”.
“Mohon jangan lupa ikut menyampaikan ‘Aamiin’ jika tahun 2015 kamu bisa umrah”.
Aamiin, Bapak Mario. Masa depan memang kemasan jualan paling laku disebabkan impi-impi yang dikandungnya. Bapak Mario sampai di sini adalah suksesor besar penjual meme harapan masa depan.
“Anak muda yang malas sudah tidak berguna sejak muda, KECUALI JIKA dia tegas bangkit mengeluarkan dirinya dari kesia-siaan hidup, dan melakukan yang harusnya dilakukan oleh anak muda yang bening hatinya, jernih pikirannya, dan sehat badannya – Mario Teguh”
12 December 2014
Korupsi Pemimpin Umat Islam yang Unyu-unyu
Kiai Haji cum politisi dari Bangkalan, Madura, minggu lalu tertangkap tangan KPK. Langkah peruntungan Kiai Haji Fuad Amin ini berhenti di gas saat karier politiknya terus ia gas di Bangkalan. Lho, kok pemimpin umat jadi maling?
Tapi, umat sudah tak kaget lagi.
Penyebabnya, kliping korupsi “pemimpin umat” Bangkalan ini “tak ada apa-apanya”, walaupun KH Imam Buchori Cholil sudah sembelih sapi merayakan syukur atas penangkapan ini. Di media daring dan cetak saja, kabar pemimpin umat yang nyambi sebagai maling ini jadi berita sehari-hari yang nyaris kehilangan greget.
Antiklimaks dari pemimpin umat yang melakukan amalan “malam berzikir, siang mencuri” ini semua-muanya sudah diambil oper Departemen Agama (Pada medio 2005 Buya Syafii Maarif di rubrik “Resonansi” Harian Republika menyebut kementerian yang dihuni manusia-manusia paling paham agama ini sebagai kementerian terkorup di Indonesia). Yang menarik, umumnya hal-ihwal yang ditilep Pemimpin Umat Yang Mulia ini terkesan materi yang dekat dengan keseharian umat. Lucu-lucu jadinya.
Tapi, umat sudah tak kaget lagi.
Penyebabnya, kliping korupsi “pemimpin umat” Bangkalan ini “tak ada apa-apanya”, walaupun KH Imam Buchori Cholil sudah sembelih sapi merayakan syukur atas penangkapan ini. Di media daring dan cetak saja, kabar pemimpin umat yang nyambi sebagai maling ini jadi berita sehari-hari yang nyaris kehilangan greget.
Antiklimaks dari pemimpin umat yang melakukan amalan “malam berzikir, siang mencuri” ini semua-muanya sudah diambil oper Departemen Agama (Pada medio 2005 Buya Syafii Maarif di rubrik “Resonansi” Harian Republika menyebut kementerian yang dihuni manusia-manusia paling paham agama ini sebagai kementerian terkorup di Indonesia). Yang menarik, umumnya hal-ihwal yang ditilep Pemimpin Umat Yang Mulia ini terkesan materi yang dekat dengan keseharian umat. Lucu-lucu jadinya.
27 November 2014
Kronik Ironis Film "Jokowi adalah Kita" di Ibukota RI dan sekitarnya
Media Indonesia, 20 November 2014, hlm 27 |
20 November || Tertulis di info film bahwa film "JaK" premiere di XXI untuk bioskop Pluit Village 1, Atrium, Metropole, Hollywood, TIM, Plaza Senayan, Citra, Puri, Kemang Village, Gading, Blok M Square, Daan ogot, Slipi, Gading, Sunter, Cipinang, Arion, Kalibata, Cibubur, Cijantung, Ekalokasari, Bogor Trade Mall, Bellanova, Galaxy, Detos, Depok, dan Cinere
21 November || Turun bebas dan basah kuyup dari layar
22 November || Tersisa di Blitz
23 November || Rontok semua tak tersisa. Bahkan kalah kedip dengan itu film "Salah Body"-nya si Sys Ns. Bioskop ibukota emang kejam
Media Indonesia 23 November 2014, hlm 24 |
04 November 2014
Bahaya Laten Kodok Jokowi
“Kodok di Surapati dipindah ke Istana. Supaya kalau malam ada suara kodok. Kwang-kwong, kwang-kwong, kwang-kwong. Kan enak, jadinya fresh otaknya. Masa tiap hari dengarnya sepeda motor, bus, mobil” – Presiden RI Joko Widodo
Hidup memang tak selalu tampak seperti diharapkan. Kita berharap presiden Indonesia yang tampil terkini punya sosok yang gagah, tapi semesta politik menyerahkan sosok Joko Widodo. Tinggi, kurus, seperti kebanyakan tukang-tukang kayu dan bangunan di sekitar Kita.
Begitu pula kita barangkali berimpi-impi kalau bisa Presiden RI itu serigala mimbar: suaranya lantang, stok kosa-kata Inggris-Indonesianya di atas rata-rata, dan artikulasi setiap kata diucapkannya mantap. Tapi yang diberikan sistem demokrasi yang kita hormati bersama adalah seorang yang lebih memilih banyak kerja, kerja, kerja ketimbang berpidato di depan massa atau sibuk gelar rapat ini dan itu.
Demikian pula kita barangkali menyimpan ekspektasi yang demikian besar bahwa berita yang selalu diproduksi dari Istana Negara adalah kabar-kabar gagah seperti Presiden memiliki kuda-kuda nomor satu dengan perawatan terbaik yang bila menaikinya tampak si joki gagah betul.
Namun yang muncul justru yang tak pernah disangka-sangka, hewan peliharaan sang presiden adalah kodok.
Hidup memang tak selalu tampak seperti diharapkan. Kita berharap presiden Indonesia yang tampil terkini punya sosok yang gagah, tapi semesta politik menyerahkan sosok Joko Widodo. Tinggi, kurus, seperti kebanyakan tukang-tukang kayu dan bangunan di sekitar Kita.
Begitu pula kita barangkali berimpi-impi kalau bisa Presiden RI itu serigala mimbar: suaranya lantang, stok kosa-kata Inggris-Indonesianya di atas rata-rata, dan artikulasi setiap kata diucapkannya mantap. Tapi yang diberikan sistem demokrasi yang kita hormati bersama adalah seorang yang lebih memilih banyak kerja, kerja, kerja ketimbang berpidato di depan massa atau sibuk gelar rapat ini dan itu.
Demikian pula kita barangkali menyimpan ekspektasi yang demikian besar bahwa berita yang selalu diproduksi dari Istana Negara adalah kabar-kabar gagah seperti Presiden memiliki kuda-kuda nomor satu dengan perawatan terbaik yang bila menaikinya tampak si joki gagah betul.
Namun yang muncul justru yang tak pernah disangka-sangka, hewan peliharaan sang presiden adalah kodok.
24 October 2014
Kabinet Jokowi Kabinet Ayam Jantan Den Mojo
“Sudah bolak-balik saya katakan, saya bangun kabinet kerja” — Presiden Joko Widodo
Dan koran/majalah yang saya baca keesokan hari setelah pelantikan yang gegap-gempita 20 Oktober memasang judul-kepala di halaman pertama: “Kerja, Kerja, Kerja!” (Tempo), “Bekerja, Bekerja, Bekerja!” (Kedaulatan Rakyat), “Kerja, Kerja, Kerja” (Koran Merapi), “Ayo Bekerja!” (Solo Pos), “Selamat Bekerja, Presiden Rakyat!” (Suara Merdeka), dan “Lupakan Pesta, Saatnya Bekerja” (Pikiran Rakyat).
Betapa pun para redaktur itu bolak-balik menyusun kalimat, tetap saja intinya “Kerja”. Tapi pertanyaannya, mau kerja apa? Karena menurut kamus, kerja itu bisa diikuti apa saja, seperti kerja sambilan, kerja sampingan, dan kerja musiman. Bisa jadi, kalau tak mawas mencari sosok “yang berkarakter dan orisinal” (istilah Presiden Jokowi), frase kerja di kementerian bisa berubah menjadi “kerja musiman” dan bukan pengabdian yang tulus ikhlas untuk Ibu Pertiwi.
Dan koran/majalah yang saya baca keesokan hari setelah pelantikan yang gegap-gempita 20 Oktober memasang judul-kepala di halaman pertama: “Kerja, Kerja, Kerja!” (Tempo), “Bekerja, Bekerja, Bekerja!” (Kedaulatan Rakyat), “Kerja, Kerja, Kerja” (Koran Merapi), “Ayo Bekerja!” (Solo Pos), “Selamat Bekerja, Presiden Rakyat!” (Suara Merdeka), dan “Lupakan Pesta, Saatnya Bekerja” (Pikiran Rakyat).
Betapa pun para redaktur itu bolak-balik menyusun kalimat, tetap saja intinya “Kerja”. Tapi pertanyaannya, mau kerja apa? Karena menurut kamus, kerja itu bisa diikuti apa saja, seperti kerja sambilan, kerja sampingan, dan kerja musiman. Bisa jadi, kalau tak mawas mencari sosok “yang berkarakter dan orisinal” (istilah Presiden Jokowi), frase kerja di kementerian bisa berubah menjadi “kerja musiman” dan bukan pengabdian yang tulus ikhlas untuk Ibu Pertiwi.
17 October 2014
Raffi Ahmad, Denny JA, dan Ironi di Bulan Oktober
“Negara ini adalah negara hukum. Apa artinja ini? Bahwa tiap2 pelanggaran hukum jang merugikan, harus diadili setjara setimpal. Dan dalam hal percobaan kudeta 17 Oktober ini, jang terdjadi bukanlah pelanggaran biasa, yang terdjadi jalah suatu kedjahatan politik! Adilkah djika pengadilan Republik mengampuni kedjahatan ini?” – Editorial Harian Rakjat, 17 Februari 1955, hlm 1
Saya sedang membaca runtutan editorial Harian Rakjat/PKI sepanjang Februari 1955 tentang upaya pemutihan peristiwa “17 Oktober”, ketika di media sosial gaduh oleh kriminalisasi dua sastrawan Indonesia oleh staf khusus Denny Januar Ali.
Peristiwa “17 Oktober” yang terjadi tahun 1952 adalah tonggak kekalahan bintang serdadu paling bersinar di tubuh Angkatan Perang, A.H. Nasution. Tepat ketika Prabowo Subianto berulang tahun yang pertama. Tujuh bulan sebelum pemilu 55, perwira-perwira Angkatan Perang berunding di Yogyakarta untuk memutihkan “dosa-dosa politik” Nasution terhadap Sukarno dalam peristiwa yang disebut PKI “Kudeta 17 Oktober.”
16 October 2014
Daftar Skripsi dan Studi yang Mengulas Sejumlah Buku Muhidin M Dahlan
Buku "Tuhan Izinkan Aku Menjadi Pelacur" adalah buku yang paling banyak direspons oleh mahasiswa dari Banten hingga Gorontalo untuk dijadikan tugas akhir. Tidak kurang 20 skripsi sudah dituliskan untuk buku yang pertama kali diterbitkan pada November 2003 di Yogyakarta itu. Berikut ini adalah daftar skripsi mahasiswa dari seluruh kampus di Indonesia yang mengaji buku-buku yang saya tulis. [gusmuh]
16 July 2014
Jokowi Menang di Kampung Saya
Keluarga batih saya tinggal di empat kampung, empat kecamatan, empat kabupaten, empat provinsi. Dan di semua sebaran itu, dimenangkan sepenuh-penuhnya oleh kandidat Joko Widodo dan Jusuf Kalla dengan angka yang meyakinkan.
Ibu saya tinggal di Desa Tondo, Kec Sirenja, Kab Donggala, Sulawesi Tengah dan sekaligus menjadi tempat berkumpulnya semua keluarga batih. Dari semua saudaranya yang berjumlah belasan orang, tinggal ibu, si bungsu, yang masih sehat dan hidup kini. Selain kedua orangtua, kakak dan adik juga tinggal di desa ini.
Bapak saya berasal dari Desa Bambalamotu, Kec Bambalamotu, Mamuju Utara, Sulawesi Barat. Semua keluarga batih ayah saya, termasuk keponakan-keponakannya berkumpul di desa laut ini. Pada Desember 2013 saya mengunjungi kembali kampung mandar di gigir pantai ini atau 1/4 abad silam ketika saya terakhir kali bermain di sana. Saat 1/4 abad silam itu, satu-satunya moda transportasi yang tersedia adalah perahu motor atau perahu layar dari Pelabuhan Donggala-Bambalamotu.
Mertua saya berasal dari Desa Jambu, Kec Kayen Kidul, Kab Kediri, Jawa Timur. Semua keluarga batih istri saya berkumpul di desa yang hanya beberapa kelokan dari "Kampung Bahasa" Pare ini. Di desa ini juga kegiatan sastra kampung di Kediri hidup.
Adapun saya tinggal dan menetap di Dusun Kembaran, Desa Tamantirto, Kec Kasihan, Kab Bantul, DIY. Sebuah kampung yang dialiri sungai kontheng dan sungai cemplung. Salah satu padepokan seni terkenal di kampung ini adalah Padepokan Seni Bagong Kusudiardja. Seniman sepuh yang melegenda juga tinggal di kampung yang berada di kaki bukit sempu, Djoko Pekik.
Ibu saya tinggal di Desa Tondo, Kec Sirenja, Kab Donggala, Sulawesi Tengah dan sekaligus menjadi tempat berkumpulnya semua keluarga batih. Dari semua saudaranya yang berjumlah belasan orang, tinggal ibu, si bungsu, yang masih sehat dan hidup kini. Selain kedua orangtua, kakak dan adik juga tinggal di desa ini.
Bapak saya berasal dari Desa Bambalamotu, Kec Bambalamotu, Mamuju Utara, Sulawesi Barat. Semua keluarga batih ayah saya, termasuk keponakan-keponakannya berkumpul di desa laut ini. Pada Desember 2013 saya mengunjungi kembali kampung mandar di gigir pantai ini atau 1/4 abad silam ketika saya terakhir kali bermain di sana. Saat 1/4 abad silam itu, satu-satunya moda transportasi yang tersedia adalah perahu motor atau perahu layar dari Pelabuhan Donggala-Bambalamotu.
Mertua saya berasal dari Desa Jambu, Kec Kayen Kidul, Kab Kediri, Jawa Timur. Semua keluarga batih istri saya berkumpul di desa yang hanya beberapa kelokan dari "Kampung Bahasa" Pare ini. Di desa ini juga kegiatan sastra kampung di Kediri hidup.
Adapun saya tinggal dan menetap di Dusun Kembaran, Desa Tamantirto, Kec Kasihan, Kab Bantul, DIY. Sebuah kampung yang dialiri sungai kontheng dan sungai cemplung. Salah satu padepokan seni terkenal di kampung ini adalah Padepokan Seni Bagong Kusudiardja. Seniman sepuh yang melegenda juga tinggal di kampung yang berada di kaki bukit sempu, Djoko Pekik.
12 April 2014
Jakarta Barat Milik Masjumi di Pemilu 1955, PKI Nomor 4
:: gusmuh
Jakarta Barat yang terdiri dari Kecamatan Tanah Abang, Gambir, Petamburan, Kebayoran Lama, Kebayoran Baru, dan Kebon Jeruk mutlak milik Masjumi yang memeroleh suara 53.716.
Saingan terberat Masjumi tentu saja PNI (43.817). Sementara PKI kurang berkembang dan hanya beroleh suara 18.875. Bahkan suaranya dikalahkan oleh Partai NU.
Artinya, dalam dua tahun konsolidasi PKI setelah berada di masa gelap antara tahun 1948-1952, ibukota memang bukan target anak-anak muda yang menggerakkan mesin partai komunis di Indonesia ini. Mereka fokus di daerah-daerah di Jawa, terutama Jawa Tengah dan Jawa Timur. Mungkin mereka menunda menguasai ibukota dan disimpan untuk pemilu berikutnya (jika masih ada).
Jakarta Barat yang terdiri dari Kecamatan Tanah Abang, Gambir, Petamburan, Kebayoran Lama, Kebayoran Baru, dan Kebon Jeruk mutlak milik Masjumi yang memeroleh suara 53.716.
Saingan terberat Masjumi tentu saja PNI (43.817). Sementara PKI kurang berkembang dan hanya beroleh suara 18.875. Bahkan suaranya dikalahkan oleh Partai NU.
Artinya, dalam dua tahun konsolidasi PKI setelah berada di masa gelap antara tahun 1948-1952, ibukota memang bukan target anak-anak muda yang menggerakkan mesin partai komunis di Indonesia ini. Mereka fokus di daerah-daerah di Jawa, terutama Jawa Tengah dan Jawa Timur. Mungkin mereka menunda menguasai ibukota dan disimpan untuk pemilu berikutnya (jika masih ada).
Subscribe to:
Posts (Atom)