::satriwan
”Aku Mendakwa Hamka Plagiat” merupakan judul buku yang dikarang oleh Muhidin M. Dahlan. Lengkapnya lagi buku tersebut berjudul, ”Aku Mendakwa Hamka Plagiat, Skandal sastra Indonesia 1962-1964.” Diterbitkan September 2011, dengan penerbit Scripta Manent, Yogyakarta. Buku kecil yang bermuatan sejarah dan kritik sastra ini menjadi sangat menarik dan renyah untuk dibaca.
Pertama, karena pengarangnya adalah Muhidin M. Dahlan, seorang pegiat sastra, penulis “nakal” dan mungkin bisa dikatakan intelektual muda dari Yogyakarta. Muhidin juga pernah mengarang buku yang membakar ingatan sejarah kolektif masa lalu kita berjudul, “Lekra Tak Membakar Buku, Suara Senyap Lembar Kebudayaan Harian Rakjat 1950-1965” (2008). Buku ini akhirnya dilabeli buku terlarang oleh Kejaksaan Agung pada 2009.
Showing posts with label Hamka Plagiat. Show all posts
Showing posts with label Hamka Plagiat. Show all posts
14 January 2013
24 March 2012
Aku Mendakwa Hamka Plagiat (AMHP)! #Sidang 9

Mengenai apa isi dan untuk apa buku ini disusun, di sampul belakang Gus Muh dengan gambling menuliskan:
Plagiat Hamka pada tahun 1962 menjadi salah satu isu skandal sastra yang menghebohkan. Bukan hanya tensi perdebatannya, keterlibatan masyarakat sastra, tapi juga lama dan keluasan publikasi. Nyaris semua Koran nasional dan juga beberapa di daerah merekam peristiwa ini.
Sebagai penarik pelatuk, Pramoedya Ananta Toer dan Bintang Timur/”Lentera” sudah mengukuhkan niat mempersiapkan “buku dakwaan’ yang utuh dengan judul sengak :”Hamka Plagiator”. Apa boleh buat, niat itu disalip H.B. Jassin bersama Junus Amir Hamzah dengan menerbitkan kumpulan tulisan berjudul:Van der Wijck dalam Polemik.
Lantaran itu buku ini bertujuan untuk menyatukembalikan lagi halaman-halaman lepas yang tersebar di Bintang Timur/”Lentera” antara tahun 1962-1964. Juga boleh jadi, menjadi pengantar ala kadarnya untuk niat Pram dan kawan-kawan “Lentera” yang buru-buru sejarahnya disembelih oleh Gestok 1965.
Oleh karena itu, buku skandal sastra ini dipersembahkan untuk generasi sastra yang terbarukan, pasca Pram, pasca Jassin, dan pasca petarung-petarung dalam palagan sastra Indonesia 1960-an yang riuh rendah yang beberapa kepala masih hidup sampai saat ini dengan membawa dendamnya masing-masing.
Jadi, buku ini adalah sebuah upaya memberikan opsi baru mengenai sejarah sastra Indonesia. Sejarah sastra yang selama ini dipelajari di ruang akademik adalah sejarah a la penguasa. Muhidin merekonstruksi ulang sejarah panjang polemik plagiasi Hamka itu menjad suatu kisah yang utuh. Muhidin berusaha menyusun ulang kronologinya dari data-data yang ia miliki. Data Muhidin ini begitu beragam. Mulai Koran Kedaulatan Rakyat, Kompas, Tempo, hingga Bintang Timur, Harian Rakjat, Gema Islam, Sinar Harapan, dan Suluh Indonesia. Data-data itu kemudian ia tambahkan dengan data-data lain mengenai perkembangan isu plagiasi di Indonesia.
Aku Mendakwa Hamka Plagiat: Pendapat Dewan Pembaca
Tentang Penulis
Pembicaraan pertama mengenai buku AMHP dimulai dari pendapat Dasman Djamaluddin, seorang yang mengaku sebagai sejarawan, ia menulis di facebooknya pada Kamis, 23 Februari 2012 , 20:38 WIB:
Pembicaraan pertama mengenai buku AMHP dimulai dari pendapat Dasman Djamaluddin, seorang yang mengaku sebagai sejarawan, ia menulis di facebooknya pada Kamis, 23 Februari 2012 , 20:38 WIB:
Penulisnya Muhidin M.Dahlan, tetapi tidak seorang pun mengenal siapa sebenarnya si penulis tersebut, karena identitasnya tidak ada bahkan banyak di antaranya meraba-raba siapa Muhidin M.Dahlan. Menurut saya ini sudah merupakan kelemahan dari sebuah buku. Tidak ada tanggungjawab di dalamnya. HAMKA BUKAN PLAGIATORKomentar ini memancing reaksi dari anggota sidang yang lain, Rama Prabu langsung menanggapi sengit:
Aku Mendakwa Hamka Plagiat! Komentar Anggota Sidang
"Tidak ada yang baru dengan buku ini, polemik ini sudah dihentikan di saat-saat pecahnya Pemberontakan PKI tahun 1965. Sama dengan polemik antara “Harian Merdeka” dengan “Harian Rakyat”. Polemik dihentikan oleh Pemerintah Indonesia." (Dasman Djamaludin, Sejarawan)
"Skandal plagiarisme Hamka yang terekam di lembar-lembar Bintang Timur/Lentera sudah sulit ditemukan, kalaupun masih ada mungkin sudah hampir lapuk dimakan usia dan tercecer di berbagai tempat. Skandal terbesar di dunia sastra ini hampir saja terkubur selama-selamanya dan hilang dari ingatan kita kalau saja buku Aku Mendakwa Hamka Plagiat yang disusun oleh Muhidin M Dahlan ini tidak terbit beberapa waktu yang lalu. Kehadiran buku ini patut diapresiasi karena dengan ketekunan seorang kerani sejati, Muhidin rela membuka-buka lembar Bintang timur yang sudah menguning dan berbau apek untuk mendokumentasikan dan menyatukan kembali halaman-halaman lepas yang tersebar di Bintang Timur/Lentera antara 1962-1964 agar kembali diingat dan dibaca oleh generasi kini." (Hernadi Tanzil, Resensor, Bandung)
"Skandal plagiarisme Hamka yang terekam di lembar-lembar Bintang Timur/Lentera sudah sulit ditemukan, kalaupun masih ada mungkin sudah hampir lapuk dimakan usia dan tercecer di berbagai tempat. Skandal terbesar di dunia sastra ini hampir saja terkubur selama-selamanya dan hilang dari ingatan kita kalau saja buku Aku Mendakwa Hamka Plagiat yang disusun oleh Muhidin M Dahlan ini tidak terbit beberapa waktu yang lalu. Kehadiran buku ini patut diapresiasi karena dengan ketekunan seorang kerani sejati, Muhidin rela membuka-buka lembar Bintang timur yang sudah menguning dan berbau apek untuk mendokumentasikan dan menyatukan kembali halaman-halaman lepas yang tersebar di Bintang Timur/Lentera antara 1962-1964 agar kembali diingat dan dibaca oleh generasi kini." (Hernadi Tanzil, Resensor, Bandung)
24 February 2012
Hamka Bukan Plagiator
::dasman djamaluddin
Sebuah buku Aku Mendakwa Hamka Plagiat - Skandal Sastra Indonesia 1962-1964 hadir di hadapan kita. Di antara kita ada yang memilikinya dan mungkin saja ada yang belum. Buku ini terbit bulan September 2011 setebal 238 halaman yang diterbitkan Seripa Manent & Merakesumba. Penulisnya Muhidin M. Dahlan, tetapi tidak seorang pun mengenal siapa sebenarnya di penulis tersebut, karena identitasnya tidak ada bahkan banyak di antaranya meraba-raba siapa Muhidin M. Dahlan. Menurut saya ini sudah merupakan kelemahan dari sebuah buku. Tidak ada tanggungjawab di dalamnya.
Buku ini ingin menuduh Hamka sebagai plagiat dalam novelnya Tenggelamnya Kapal Van der Wijk (1938) dan sudah dicetak sebanyak 80 ribu eksemplar. Hamka dituduh melakukan plagiat dari novel Magdalena yang merupakan saduran penyair Mustafa Luthfi Al-Manfaluthi (1876-1942) dari roman yang ditulis pengarang Perancis Alphonse Karr, Sous les Tilleuls.
Sebuah buku Aku Mendakwa Hamka Plagiat - Skandal Sastra Indonesia 1962-1964 hadir di hadapan kita. Di antara kita ada yang memilikinya dan mungkin saja ada yang belum. Buku ini terbit bulan September 2011 setebal 238 halaman yang diterbitkan Seripa Manent & Merakesumba. Penulisnya Muhidin M. Dahlan, tetapi tidak seorang pun mengenal siapa sebenarnya di penulis tersebut, karena identitasnya tidak ada bahkan banyak di antaranya meraba-raba siapa Muhidin M. Dahlan. Menurut saya ini sudah merupakan kelemahan dari sebuah buku. Tidak ada tanggungjawab di dalamnya.
Buku ini ingin menuduh Hamka sebagai plagiat dalam novelnya Tenggelamnya Kapal Van der Wijk (1938) dan sudah dicetak sebanyak 80 ribu eksemplar. Hamka dituduh melakukan plagiat dari novel Magdalena yang merupakan saduran penyair Mustafa Luthfi Al-Manfaluthi (1876-1942) dari roman yang ditulis pengarang Perancis Alphonse Karr, Sous les Tilleuls.
25 January 2012
Aku Mendakwah Hamka Plagiat: Sebuah Usaha Mengingat Kembali
::sadam husaen mohammad
Muhidin M Dahlan penulis buku trilogi Lekra Tak Membakar Buku adalah seorang penulis yang disegani di Indonesia. Pada tahun 2011 dia kembali menulis sebuah buku Aku Mendakwa HAMKA Plagiat: Skandal Sastra Indonesia 1962-1964.
Dalam buku itu Muhidin mencoba menguak kembali skandal sastra Indonesia tentang tuduhan plagiat terhadap Haji Abdul Malik Amrullah (HAMKA) dalam roman Tenggelamnya Kapal van der Wijck. Sebelum Muhidin menulis bukunya itu, terlebih dahulu H.B. Jassin bersama Amir Hamzah juga pernah menulis buku tentang kasus plagiat HAMKA itu, dalam buku yang berjudul Tenggelamnya Kapal van der Wijck Dalam Polemik.
Tapi Muhidin dan H.B. Jassin ada di dua kubu yang berbeda, Jassin di kubu yang membela HAMKA bukan plagiat dan Muhidin di kubu yang menentang HAMKA.
Muhidin M Dahlan penulis buku trilogi Lekra Tak Membakar Buku adalah seorang penulis yang disegani di Indonesia. Pada tahun 2011 dia kembali menulis sebuah buku Aku Mendakwa HAMKA Plagiat: Skandal Sastra Indonesia 1962-1964.
Dalam buku itu Muhidin mencoba menguak kembali skandal sastra Indonesia tentang tuduhan plagiat terhadap Haji Abdul Malik Amrullah (HAMKA) dalam roman Tenggelamnya Kapal van der Wijck. Sebelum Muhidin menulis bukunya itu, terlebih dahulu H.B. Jassin bersama Amir Hamzah juga pernah menulis buku tentang kasus plagiat HAMKA itu, dalam buku yang berjudul Tenggelamnya Kapal van der Wijck Dalam Polemik.
Tapi Muhidin dan H.B. Jassin ada di dua kubu yang berbeda, Jassin di kubu yang membela HAMKA bukan plagiat dan Muhidin di kubu yang menentang HAMKA.
03 November 2011
Aku Mendakwa Hamka Plagiat - Skandal Sastra Indonesia 1962-1964
::htanzil
“Aku Mendakwa Hamka Plagiat!” demikian judul resensi-essei yang ditulis oleh Abdullah SP di harian Bintang Timur “Lentera” 7 September 1962. Sebuah judul yang provokatif di jaman yang memang sedang bergolak di tahun 60an. Resensi yang ditulis oleh Abdullah SP itu menjadi salah satu resensi yang melegenda selama bertahun-tahun dan nyaris mengambil separuh halaman “Lentera" Bintang Timur saat itu.
Tidak hanya itu saja, resensi itu juga menjadi penyulut munculnya dugaan plagiarisme Hamka dan menjadi skandal sastra terbesar dalam sejarah Sastra Indonesia.
Siapa Hamka yang dimaksud Abdullah SP?
Hamka adalah akronim dari Haji Abdul Malik Karim Amrullah (1908-1981) atau yang lebih akrab disapa ‘Buya Hamka’ seorang sastrawan yang dikemudian hari lebih dikenal sebagai ulama besar di Indonesia dan pernah menjadi Menteri Agama dan ketua MUI di masa Orde Baru. Dalam resensi-essai nya itu Abdullah SP mengurai sekaligus membandingkan bagaimana novel best seller Hamka (dicetak sebanyak 80 rb eks) Tenggelamnya Kapal v.d Wijk (1938) memiliki banyak sekali kemiripan dengan novel Magdalena yang merupakan saduran penyair Mustafa Luthfi Al-Manfaluthi (1876-1942) dari roman yang ditulis pengarang Prancis Alphonse Karr, Sous les Tilleuls.
“Aku Mendakwa Hamka Plagiat!” demikian judul resensi-essei yang ditulis oleh Abdullah SP di harian Bintang Timur “Lentera” 7 September 1962. Sebuah judul yang provokatif di jaman yang memang sedang bergolak di tahun 60an. Resensi yang ditulis oleh Abdullah SP itu menjadi salah satu resensi yang melegenda selama bertahun-tahun dan nyaris mengambil separuh halaman “Lentera" Bintang Timur saat itu.
Tidak hanya itu saja, resensi itu juga menjadi penyulut munculnya dugaan plagiarisme Hamka dan menjadi skandal sastra terbesar dalam sejarah Sastra Indonesia.
Siapa Hamka yang dimaksud Abdullah SP?
Hamka adalah akronim dari Haji Abdul Malik Karim Amrullah (1908-1981) atau yang lebih akrab disapa ‘Buya Hamka’ seorang sastrawan yang dikemudian hari lebih dikenal sebagai ulama besar di Indonesia dan pernah menjadi Menteri Agama dan ketua MUI di masa Orde Baru. Dalam resensi-essai nya itu Abdullah SP mengurai sekaligus membandingkan bagaimana novel best seller Hamka (dicetak sebanyak 80 rb eks) Tenggelamnya Kapal v.d Wijk (1938) memiliki banyak sekali kemiripan dengan novel Magdalena yang merupakan saduran penyair Mustafa Luthfi Al-Manfaluthi (1876-1942) dari roman yang ditulis pengarang Prancis Alphonse Karr, Sous les Tilleuls.
26 August 2011
Pembuka "Aku Mendakwa Hamka Plagiat" (2011)
...
Kita semua diperanjingkan
Gaya rabies klongsongan
Hamka diludahi Pram
Masuk penjara Sukabumi
Jassin dicaci diserapahi
Terbenam daftar hitam
....
-- Taufiq Ismail, “Catatan Tahun 1965”[1]
"Begitu tenarnya Hamka dengan karya-karyanya dibidang kesusasteraan bernafaskan agama (Islam) sehingga di masa lalu beliau tidak luput kena fitnah. Menghebatnya fitnah itu ketika zaman rezim Orde Lama dimana persada budaya dan sastra Indonesia dipengaruhi oleh politik yang sifatnya akan mematikan karya pengarang Islam, termasuk di dalamnya Buya Hamka yang tercinta.” -- Kiagus Adnan[2]
Dua frase pada kutipan di atas, “meludah” dan “fitnah”, bisa mewakili bagaimana stereotipe yang dipundaki Pramoedya Ananta Toer dan laskar-laskar jago laga di palagan sastra Indonesia di kisaran tahun 1962-1964 ketika Hamka ditengarai melakukan plagiasi pada karyanya yang populer dan terjual laris: Tenggelamnya Kapal van der Wijck.
Sama sekali tak ada lagi yang melihat, memberi apresiasi, bahwa yang dilakukan jago dan petarung sastra di masa silam itu adalah usaha melakukan koreksi, koreksi, dan koreksi. Dalam ungkapan Pramoedya yang masyhur: memilih mana yang mestinya yang dibabat dan ditumbuhkan. Mana gulma, mana padi. Mana yang mesti disiangi, mana yang dipupuk. Bisa jadi usaha koreksi yang progresif itu mengalami jalan majal. Namun usaha-usaha itu pernah hadir, pernah berlaga, pernah direkam oleh sejarah; walau sejarah yang lamat-lamat dan temaram.
Di pelbagai forum, para pemakzul, jika menyebut “kejahatan kultural” Pramoedya Ananta Toer dan para penggiat yang terlibat di “Lentera”, maka tak terlupakan suatu peristiwa bahwa, ya itu tadi, bahwa Pram memfitnah Buya Hamka, ulama yang “tawadhu” itu, bahwa Pram meludahi Buya Hamka. Jika Hamka diludahi, ya Islam itu yang diludahi, Islam itu yang difitnah. Karena Buya Hamka adalah ulama terpandang cum sastrawan, maka jika mengganggunya, maka yang diganggu adalah sastrawan Islam. Pandangan SARA[3] semacam itu bahkan sudah muncul ketika polemik “Plagiarisme Hamka” masih berusia mingguan. Yakni, ketika Rusjdi, putera Hamka, mengeluarkan pleidoi panjang yang dikirimkannya kepada H.B. Jassin. Tentu saja pleidoi itu membela habis-habisan hulu batih utama keluarganya.
H.B. Jassin pun, bersama Junus Amir Hamzah, mengeluarkan sebuah buku rekaman polemik selama satu tahun atas isu plagiarisme Hamka yang membikin Pram dan “Lentera” berang bukan main. Mereka yang melemparkan pertama kali isu, mereka pulalah melakukan riset pembuktian atas plagiarisme Hamka dengan kerja tak main-main. Redaksi memberikan ruang di halaman “Lentera” sepenuh-penuhnya (bila perlu isu lain meminggir), juga mengeluarkan dana tak sedikit, eh eh eh, kerja itu diserobot oleh Jassin begitu saja. Padahal, menurut pengakuan Pram, mereka juga tengah menyiapkan buku dan riset tambahan—selain yang sudah dimuat “Lentera”—untuk bakal buku itu.
Dan kemudian kita tahu, tak ada resensi buku yang dibuat oleh Pram dan “Lentera” itu. Yang ada, dan kemudian menjadi rujukan, adalah buku yang disusun Jassin bersama Junus Amir Hamzah, dengan judul: Van der Wijck dalam Polemik. Jika buku yang disusun “Lentera” terbit, Pram sudah menyiapkan judul yang sangat garang dan penuh yakin: Hamka Plagiator.
Buku yang di tangan pembaca ini, boleh jadi, menjadi pengantar ala kadarnya untuk niat Pram dan kawan-kawan “Lentera” yang buru-buru sejarahnya disembelih oleh Gestok 1965 dan di antara mereka di-Buru-kan. Buku ini menyambung niat yang tenggelam bersama kapal sejarah sastra Indonesia yang muda usia oleh politik dan fraksi militer yang kemudian diwariskan dengan perasaan was-was bergenerasi-generasi.
Ya ya ya, ini sejarah sastra Indonesia. Muda usianya. Penuh cadas dan bergelombang-gelombang romantikanya. Keras, gelap, manipulatif, bohong, culas. Memang nyatanya begitu. Mau ditangisi, ya. Mau diratapi, ya. Tapi itu adalah rantai. Suka atau tak suka. Semua-muanya kita terima dengan syarat-syarat dan pertimbangan karena ini sejarah kita, sejarah sastra Indonesia. Mari buka, mari baca. Dan setelah itu, generasi berikutnya akan menimbang mana yang pantas disiangi (karena gulma), mana yang perlu ditumbuhkan (karena padi). Mana yang dibabat, mana yang ditumbuhkan.
Buku ini, oleh karena itu, dipersembahkan untuk generasi sastra yang terbarukan, pasca Pram, pasca Jassin, dan pasca petarung-petarung dalam palagan sastra Indonesia 1960-an yang riuh rendah yang beberapa kepala masih hidup sampai saat ini dengan membawa dendamnya masing-masing.
Mari beramal untuk sastra Indonesia dengan kerja; mari terus mengarit di sawah penciptaan.
Muhidin M Dahlan [17.8.2011]
Daftar Isi:
Pembuka: Antara Fitnah dan Ludah
Bab I: Van Der Wyck dalam Dua Resensi
Bab 2: Perang Terbuka di Hari Jumat
Bab 3: Plagiat Itu Menjijikkan
Bab 4: Hamka dalam Peta Sastra Indonesia Semasa
Bab 5: Bukti-Bukti Plagiarisme Hamka
Bab 6: “Varia Hamka” dan Pendapat Pembaca
Bab 7: Bersama Membela Hamka
Bab 8: Menguji Pertahanan H.B. Jassin
Bab 9: Magdalena dalam Dua Terjemahan
Bab 10: Saling Serobot di Lintasan Terakhir
Bab 11: Tak Ada Jalan Tengah, Pintu Tertutup
Penutup: Plagiat, Keributan Omong Kosong, dan Kehormatan
Kita semua diperanjingkan
Gaya rabies klongsongan
Hamka diludahi Pram
Masuk penjara Sukabumi
Jassin dicaci diserapahi
Terbenam daftar hitam
....
-- Taufiq Ismail, “Catatan Tahun 1965”[1]
"Begitu tenarnya Hamka dengan karya-karyanya dibidang kesusasteraan bernafaskan agama (Islam) sehingga di masa lalu beliau tidak luput kena fitnah. Menghebatnya fitnah itu ketika zaman rezim Orde Lama dimana persada budaya dan sastra Indonesia dipengaruhi oleh politik yang sifatnya akan mematikan karya pengarang Islam, termasuk di dalamnya Buya Hamka yang tercinta.” -- Kiagus Adnan[2]
Dua frase pada kutipan di atas, “meludah” dan “fitnah”, bisa mewakili bagaimana stereotipe yang dipundaki Pramoedya Ananta Toer dan laskar-laskar jago laga di palagan sastra Indonesia di kisaran tahun 1962-1964 ketika Hamka ditengarai melakukan plagiasi pada karyanya yang populer dan terjual laris: Tenggelamnya Kapal van der Wijck.

Di pelbagai forum, para pemakzul, jika menyebut “kejahatan kultural” Pramoedya Ananta Toer dan para penggiat yang terlibat di “Lentera”, maka tak terlupakan suatu peristiwa bahwa, ya itu tadi, bahwa Pram memfitnah Buya Hamka, ulama yang “tawadhu” itu, bahwa Pram meludahi Buya Hamka. Jika Hamka diludahi, ya Islam itu yang diludahi, Islam itu yang difitnah. Karena Buya Hamka adalah ulama terpandang cum sastrawan, maka jika mengganggunya, maka yang diganggu adalah sastrawan Islam. Pandangan SARA[3] semacam itu bahkan sudah muncul ketika polemik “Plagiarisme Hamka” masih berusia mingguan. Yakni, ketika Rusjdi, putera Hamka, mengeluarkan pleidoi panjang yang dikirimkannya kepada H.B. Jassin. Tentu saja pleidoi itu membela habis-habisan hulu batih utama keluarganya.
H.B. Jassin pun, bersama Junus Amir Hamzah, mengeluarkan sebuah buku rekaman polemik selama satu tahun atas isu plagiarisme Hamka yang membikin Pram dan “Lentera” berang bukan main. Mereka yang melemparkan pertama kali isu, mereka pulalah melakukan riset pembuktian atas plagiarisme Hamka dengan kerja tak main-main. Redaksi memberikan ruang di halaman “Lentera” sepenuh-penuhnya (bila perlu isu lain meminggir), juga mengeluarkan dana tak sedikit, eh eh eh, kerja itu diserobot oleh Jassin begitu saja. Padahal, menurut pengakuan Pram, mereka juga tengah menyiapkan buku dan riset tambahan—selain yang sudah dimuat “Lentera”—untuk bakal buku itu.
Dan kemudian kita tahu, tak ada resensi buku yang dibuat oleh Pram dan “Lentera” itu. Yang ada, dan kemudian menjadi rujukan, adalah buku yang disusun Jassin bersama Junus Amir Hamzah, dengan judul: Van der Wijck dalam Polemik. Jika buku yang disusun “Lentera” terbit, Pram sudah menyiapkan judul yang sangat garang dan penuh yakin: Hamka Plagiator.
Buku yang di tangan pembaca ini, boleh jadi, menjadi pengantar ala kadarnya untuk niat Pram dan kawan-kawan “Lentera” yang buru-buru sejarahnya disembelih oleh Gestok 1965 dan di antara mereka di-Buru-kan. Buku ini menyambung niat yang tenggelam bersama kapal sejarah sastra Indonesia yang muda usia oleh politik dan fraksi militer yang kemudian diwariskan dengan perasaan was-was bergenerasi-generasi.
Ya ya ya, ini sejarah sastra Indonesia. Muda usianya. Penuh cadas dan bergelombang-gelombang romantikanya. Keras, gelap, manipulatif, bohong, culas. Memang nyatanya begitu. Mau ditangisi, ya. Mau diratapi, ya. Tapi itu adalah rantai. Suka atau tak suka. Semua-muanya kita terima dengan syarat-syarat dan pertimbangan karena ini sejarah kita, sejarah sastra Indonesia. Mari buka, mari baca. Dan setelah itu, generasi berikutnya akan menimbang mana yang pantas disiangi (karena gulma), mana yang perlu ditumbuhkan (karena padi). Mana yang dibabat, mana yang ditumbuhkan.
Buku ini, oleh karena itu, dipersembahkan untuk generasi sastra yang terbarukan, pasca Pram, pasca Jassin, dan pasca petarung-petarung dalam palagan sastra Indonesia 1960-an yang riuh rendah yang beberapa kepala masih hidup sampai saat ini dengan membawa dendamnya masing-masing.
Mari beramal untuk sastra Indonesia dengan kerja; mari terus mengarit di sawah penciptaan.
Muhidin M Dahlan [17.8.2011]
[1] Taufiq Ismail. Mengakar ke Bumi Menggapai ke Langit 1: Himpunan Puisi 1953-2008, Bab “Puisi-Puisi Menjelang Tirani dan Benteng”. Jakarta: Horison, 2008, hlm 110
[2] Kiagus Adnan, "Mengenang Pujangga Islam Hamka Liwat Karyanya", Berita Buana, 11 Agustus 1981. Ayahnya, Kiagus Muhidin, yang meninggal pada 5 Januari 1965, diakui Adnan pencinta karya Hamka.
[3] Bisa dipahami pandangan yang menguhubungkan “pemakzulan” Islam itu muncul lantaran latar hubungan politik Islam dan ideologi politik yang dominan (Sukarno, PKI, Tentara) memburuk saat Masyumi dinyatakan sebagai partai terlarang bersama Partai Sosialis Indonesia (PSI) pada tahun 1960. Selain dibubarkan, anggota-anggota terasnya terus diburu dan diawasi kegiatan dakwahnya.
Daftar Isi:
Pembuka: Antara Fitnah dan Ludah
Bab I: Van Der Wyck dalam Dua Resensi
Bab 2: Perang Terbuka di Hari Jumat
Bab 3: Plagiat Itu Menjijikkan
Bab 4: Hamka dalam Peta Sastra Indonesia Semasa
Bab 5: Bukti-Bukti Plagiarisme Hamka
Bab 6: “Varia Hamka” dan Pendapat Pembaca
Bab 7: Bersama Membela Hamka
Bab 8: Menguji Pertahanan H.B. Jassin
Bab 9: Magdalena dalam Dua Terjemahan
Bab 10: Saling Serobot di Lintasan Terakhir
Bab 11: Tak Ada Jalan Tengah, Pintu Tertutup
Penutup: Plagiat, Keributan Omong Kosong, dan Kehormatan
Subscribe to:
Posts (Atom)