27 August 2001

Resensi Terbaik I Mizan Tahun 2002

Dan baiklah, inilah hubungan paling akrab saya dengan penerbit Mizan tatkala mereka menganugerahi saya sebagai peresensi terbaik pertama pada 2002 untuk resensi saya atas buku Islam Sufistik: "Islam Pertama" dan Pengaruhnya hingga Kini di Indonesia karya Alwi Shihab.

Memang penganugerahan ini agak ironis. Sebab pada 2001 saya menghadiri temu peresensi Mizan yang waktu itu peresensi pertamanya tak datang dan alamatnya pun raib. Sementara yang kedua dan ketiga adalah rekan-rekan saya sendiri dari Jogjakarta. Saat itu Pak Wisnubrata (redaktur opini Kompas) menajdi pembicara. Yang tentu saja suara riuh rendah adalah peserta dari Jogja karena secara kuantitas banyak.

Tapi setahun berikutnya, 2002, saya tak ikut. Memang Nur Khalik Ridwan menelpon saya untuk disuruh datang ke Bandung menghadiri lagi temu-peresensi. Tapi saya menolak halus permintaannya. Kata saya, saya tak cukup punya uang ke Bandung. Mereka pun berangkat. Saya tertinggal. Mulanya saya menyusul dengan mengendarai sepeda naik ke Kaliurang di kos teman siapa tahu dia ada pinjaman. Tapi gagal. Pada akhirnya saya kembali ke kos dengan napas tersengal-sengal.

Dan ketika rekan-rekan saya pulang, tak saya sangka mereka membawa kabar menggembirakan. Bahwa, resensi saya yang terpilih sebagai pemenang pertama untuk tahun 2002. Bukan main senangnya hati. Berarti usaha saya meresensi sebanyak-banyaknya tak sia-sia. Buku yang saya resensi pun adalah buku yang sangat saya minati, yakni tentang keislaman.

Sejak masih berstatus siswa Sekolah Teknologi Menengah jurusan Gambar Bangunan, saya sudah menikmati buku-buku Mizan. Buku Ali Syariati: Tugas Cendekiawan Muslim, Marxisme dan Sesat Pikir Barat Lainnya, Haji; buku Amien Rais (Cakrawala Islam), Quraish Shihab (Membumikan Alquran), dan sebagainya.

Dan baru kali ini saya mendapatkan kehormatan berjumpa sendiri dengan penerbit ini. Sebuah penerbit yang saya pandang dengan sungguh2 telah membawa warna baru Islam selain yang ditampilkan penerbit-penerbit Islam seperti Gema Insani Press, Bulan Bintang, dan sebagainya.

Namun itu tadi, saya tak bisa menghadirinya langsung karena memang pada waktu bersamaan saya tak punya ongkos berangkat. Namun semua itu sudah terlunasi dengan selama setahun saya dikirimi buntelan dari Mizan. Terima kasih.

Inilah resensi yang saya maksudkan:

Kompas Senin, 27 Agustus 2001

"Meluruskan" Sejarah Masuknya Islam di Nusantara


::muhidin m dahlan
Judul: Islam Sufistik: "Islam Pertama" dan Pengaruhnya hingga Kini di Indonesia, Penulis: Dr Alwi Shihab, Penerbit: Mizan, April 2001,
Tebal: (xxviii + 320) halaman.

SESUNGGUHNYA "Islam nontoleran" atau "Islam berwajah sangar" tidak memiliki akar sejarah yang kukuh di Indonesia. Justru sebaliknya, Islam sufistik atau Islam tasawuf yang lembut, yang mula-mula berkembang dan mewarnai Islam di Indonesia pada tahap-tahap awal.Tesis itulah yang ingin dielaborasi oleh Dr Alwi Shihab lewat buku ini. Menurut Shihab, hampir mayoritas sejarawan dan peneliti mengakui bahwa penyebaran Islam yang berkembang secara spektakuler di negara-negara Asia Tenggara berkat peranan dan kontribusi tokoh-tokoh tasawuf.

Hal itu disebabkan oleh sifat-sifat dan sikap kaum sufi yang lebih kompromis dan penuh kasih sayang. Tasawuf memang memiliki kecenderungan yang tumbuh dan berorientasi kosmopolitan, tak mempersoalkan perbedaan etnis, ras, bahasa, dan letak geografis. (hlm 13)

Itulah sebabnya misionarisasi yang dilakukan kaum sufi berkembang tanpa peran. Keberhasilan itu terutama ditentukan oleh pergaulan dengan kelompok-kelompok masyarakat dari rakyat kecil dan keteladanan yang melambangkan puncak kesalehan dan ketekunan dengan memberikan pelayanan-pelayanan sosial, sumbangan, dan bantuan dalam semangat kebersamaan dan rasa persaudaraan murni.

Kaum sufi itu ibarat pakar psikologi yang menjelajahi segenap penjuru negeri demi menyebarkan kepercayaan Islam. Dari kemampuan memahami spirit Islam sehingga dapat berbicara sesuai dengan kapasitas (keyakinan dan budaya) audiensnya itulah, kaum sufi kemudian melakukan modifikasi adat istiadat dan tradisi setempat sedemikian rupa agar tidak bertentangan dengan dasar-dasar Islam.

Dengan kearifan dan cara pengajaran yang baik tersebut, mereka berhasil membumikan kalam Tuhan sebagaimana yang dicontohkan Nabi Muhammad SAW. Misalnya, mengalihkan kebiasaan "begadang" penduduk yang diisi dengan upacara ri-tual tertentu, saat itu menjadi sebuah halaqah zikir. Dengan kearifan serupa, para dai membolehkan musik tradisional gamelan yang merupakan seni kebanggaan kebudayaan klasik Indonesia dan paling digemari orang Jawa untuk mengiringi lagu-lagu pujian kepada Nabi Muhammad SAW.

Maka tak salah bila HAR Gibb menyebut keberhasilan metode dakwah pembauran yang adaptif dan bukan konfrontatif itu sebagai keberhasilan paling spektakuler di kawasan Asia Tenggara. (hlm 40)


SEMULA buku ini merupakan disertasi doktoral Alwi Shihab di Universitas 'Air Syams, dengan judul: Al-Tashawwuf Al-Islami wa Atsaruhu fi Al-Tashawwuf Al-Indunisi Al'Mu' ashir. Dengan menggunakan pendekatan analisis historis komparatif, buku ini hendak merevisi berbagai penelitian orientalis yang selama ini sudah kadung dianggap "primbon tanpa lubang cela", seperti tulisan Marcopollo, AH Jhons, Winsendt, dan Snouck Hurgronje.

Misalnya saja pertanyaan tentang kapan persisnya Islam pertama kali masuk ke Indonesia? Sebagian besar orientalis berpendapat bahwa Islam masuk ke Indonesia pada abad ke-7 H dan 13 H.

Pendapat itu didasarkan pada dua asumsi: pertama, bersamaan dengan jatuhnya Baghdad pada 656 M di tangan penguasa Mongol yang sebagian besar ulamanya melarikan diri hingga ke Kepulauan Nusantara, kedua, ditemukannya beberapa karya sufi pada abad ke-7 H.

Menurut Alwi Shihab, asumsi itu tak bisa diterima. Bagi dia, justru Islam pertama kali masuk ke Nusantara pada abad pertama Hijriyah. Yakni, pada masa pedagang-pedagang sufi-Muslim Arab memasuki Cina lewat jalur laut bagian barat.

Kesimpulan itu didasarkan Alwi pada manuskrip Cina pada periode Dinasti Tang. Manuskrip Cina itu mensyaratkan adanya permukiman sufi-Arab di Cina, yang penduduknya diizinkan oleh kaisar untuk sepenuhnya menikmati kebebasan beragama.

Cina yang dimaksudkan dalam manuskrip pada abad pertama Hijriyah itu tiada lain adalah gugusan pulau-pulau di Timur Jauh, termasuk Kepulauan Indonesia. (hlm 6)

Dari laporan jurnalistik Cina itu pula kita mendapati informasi baru bahwa ternyata jalur penyebaran Islam mula-mula di Indonesia bukanlah dari tiga jalur emas (Arab, India, dan Persia) sebagaimana tertulis dalam buku-buku sejarah selama ini, melainkan dari Arab langsung.

Itu seperti dinyatakan kedua orientalis terkemuka, GH Niemn dan PJ Velt bahwa orang-orang Arab-lah pelopor pertama memperkenalkan Islam di Kepulauan Nusantara. Yakni dari keturunan Ahmad ibn Isa al-Muhajir Alawi. (hlm 24)

Tasawuf Sunni Versus Tasawuf Falsafi

Namun dalam sejarah, seperti dicatat Alwi Shihab, Islam tasawuf sendiri tidak sepi konflik, khususnya antara tasawuf sunni dan tasawuf falsafi, tatkala pada akhir abad ke-6 H bermunculan tarekat-tarekat yang sebagian besar mulai mengorientasikan pandangannya pada fiqih dan syari'at.

Tasawuf sunni dengan tokoh pertamanya yang menonjol, Ar-Raniri, menolak dan mencela tasawuf falsafinya Hamzah Fansuri. Dengan fatwa yang menyeramkan ia menjatuhkan veto kafir atas ajaran Fansuri.

Menurut Ar-Raniri, tasawuf falsafi tak lebih sebagai ajaran kebatinan dan kejawen, dan bahkan Nasrani yang berbaju Islam. Dalam babakan sejarah peradaban Islam awal, tasawuf falsafi tak ubahnya anak haram; selalu dikejar-kejar dan disingkirkan seperti anjing kurap penyebar virus berbahaya bagi akidah. Puncak dari perseteruan itu tatkala Sitti Jenar dieksekusi mati oleh dewan wali (Wali Songo) karena dianggap telah keluar dari rel ajaran Islam murni.

Benarkah tasawuf falsafi telah menyimpang? Tampaknya tidak. Dari sinilah kita melihat bagaimana Alwi Shihab dengan jenial dan piawai melakukan rangkaian pembelaan dan anotasi kesalahan persepsi Ar-Raniri atas ajaran tasawuf Fansuri.

Menurut Alwi, Ar-Raniri menyerang Fansuri dengan tidak mengikuti pendekatan "ilmiah obyektif" melainkan cara-cara propaganda apologetik. Ia menghujat penganut tasawuf falsafi sebagai murtad yang kemudian dihalalkan darahnya dan menyebabkan jatuhnya ribuan korban yang tak berdosa.

Adalah benar, kata Alwi, Ar-Raniri cukup berjasa dalam menancapkan akar tasawuf sunni, tetapi jasa baik itu tak lantas membuat kita menutup mata dari kesewenang-wenangan fatwanya yang menyeramkan. (hlm 264)

Kesalahan fatal penganut tasawuf sunni adalah kesimpulan mereka bahwa ajaran Ronggowarsito merupakan diaspora dari tasawuf falsafi. Padahal dalam karya-karya sosok yang disebut-sebut Bapak Kebatinan Indonesia ini, seperti Suluk Jiwa, Serat Pamoring Kawula Gusti, Suluk Lukma Lelana, dan Serat Hidayat Jati, yang sering diaku-aku Ronggowarsito berdasarkan kitab dan sunnah, menyimpan beberapa kesalahan tafsir dan transformasi pemikiran yang sangat mencolok.

Bahkan, Alwi menemukan bahwa Ronggowarsito hanya mengandalkan terjemahan buku-buku tasawuf dari bahasa Jawa dan tidak melakukan perbandingan dengan naskah asli bahasa Arab. Lagi pula Ronggowarsito sendiri belum pernah bersentuhan langsung dengan karya-karya Al-Hallaj maupun Ibn 'Arabi yang merupakan maestro tasawuf falsafi.

Boleh dibilang Ronggowarsito memang tak berhasil memahami ajaran "murni" tasawuf. (hlm 266)

Maka bagi Alwi adalah aneh bila tasawuf falsafi dipresepsi sebagai aliran kebatinan dalam ajaran Hindu dan Buddha, seperti dituduhkan kalangan tasawuf sunni. Justru, seperti pengantar yang ditulis KH Abdurrahman Wahid untuk buku ini, reaksi atas perkembangan tasawuf falsafi yang rasional inilah orang Jawa mengembangkan kebatinan, doktrin-doktrin yang sinkretik, yang justru bisa diatasi ketika ajaran "panteisme" Al-Hallaj masuk lewat perantaraan Sitti Jenar. (hlm xxvi)

Belum lagi doktrin-doktrin wahdah al wujud Ibn 'Arabi dan ilmu hudhuri (iluminasi) Suhrawardi, yang juga menjadi rujukan utama tasawuf falsafi, mampu menampung kebutuhan sementara kaum kebatinan atau kaum sinkretik Hindu dan Buddha.

Oleh karena itu, sungguh tak arif rasanya bila kemudian kita mengatakan bahwa perkembangan tasawuf sunni merupakan satu-satunya variabel yang menyemarakkan aktivitas keagamaan di Nusantara. Kita juga harus menerima bahwa orang-orang berpaham kebatinan yang merupakan tetesan penerus tasawuf falsafi yang dibawa Al-'Arabi dan Al-Hallaj dan diperkenalkan Fansuri dan Sitti Jenar sebagai bagian dari penyebaran Islam.


KARYA Alwi Shihab ini boleh dibilang sebagai karya paling brilyan dan tajam untuk merevisi berbagai penyimpangan manuskrip sejarah tentang masuknya Islam pertama di Nusantara. Selain itu sungguh buku ini merupakan rekaman sejarah "obyektif" yang belum ada duanya tentang perseteruan tasawuf berorientasi fiqih (tasawuf sunni) dengan tasawuf rasional (falsafi) yang selama ini masih kabur.

Oleh karena itu, buku ini penting untuk dibaca oleh siapa saja, terutama para sejarawan (Islam), peneliti, terlebih lagi para pendidik (sejarah) di sekolah Islam maupun umum, agar sejarah yang diajarkan adalah yang benar, "bersih", dan mencerahkan. Sebab, hanya dari sejarah yang tertutur secara benar pulalah yang nantinya bisa menjadi obor risalah bagi keberlanjutan peradaban manusia.

1 comment:

Anonymous said...
This comment has been removed by a blog administrator.