28 September 2007

Berawal Dari, "Aku, Buku, dan Sepotong Sajak Cinta"

::gegen

“Di Bali yang tidak seutuhnya Bali,
aku belum menemukan secuil surga.”


Tinggal di kota yang baru, tentunya membutuhkan adaptasi yang lama, apalagi orang seperti aku yang sudah terbiasa dengan suasana Jogja, kota tempat aku tinggal dulu. Mungkin karena itulah, hari-hari di kota ini selalu aku lewati dengan kehampaan dan kesendirian. Dan dengan kesendirian dan kehampaan itu pula aku bertemu dengan Muhidin M Dahlan, Puthut EA, dan Eka Kurniawan, orang-orang yang tidak saja mengingatkankan aku akan Jogja, namun juga orang-orang yang telah membuat aku “sedikit” menyukai sastra.

Sudah hampir setahun aku tinggal dan bekerja di kota Denpasar. Berarti sudah hampir setahun pula aku meninggalkan Jogja, kota yang begitu aku sayangi dan kangeni. Hari-hari pertama aku tinggal di Denpasar, tidak banyak hal yang bisa aku kerjakan, pagi-pagi jam 8 aku sudah bersiap untuk berangkat kerja, menjelang sore jam 5 aku sudah balik lagi ke kos, malamnya aku gunakan untuk nonton tv. Sedangkan kalau malam minggu tiba, aku biasa melewatinya dengan minum arak di Togog, tempat yang biasa dijadikan tempat minum oleh anak-anak muda Bali.

Di Togog, selain rasa araknya yang “halus”, kalau lagi beruntung kita bisa minum bareng dengan para ABG (Anak Baru Gede) cewek Bali yang dandanananya kadang kelewat seksi dan dewasa dibanding dengan umur mereka. Biasanya setelah acara minum, kita bisa mengajak mereka pulang ke kos, enak bukan? Tapi kalau lagi nggak beruntung, kepala sudah berat, dan tubuh sudah ingin dihangatkan, tenang saja, di jalan DT (Danau Tempe) di kawasan Sanur dan di PGL (Padang Galak), masih banyak kafe yang menyediakan cewek-cewek cantik untuk kita kencani, harganya murah, kalau yang di DT tarifnya 50 ribu rupiah, kalau di PGL tarifnya 30 ribu rupiah. Dibandingkan dengan Sarkem Jogja, cewek-cewek di DT dan PGL masih lumayan (Ada yang mau coba?? He..he..).

Hal seperti itu sudah hampir enam bulan aku lakukan. Aku emang sengaja tidak banyak bergaul dengan orang-orang, entah itu teman kerja atau orang di luar tempat kerja. Nggak tau, aku males aja memulai sebuah persahabatan dari awal. Bukannya aku menutup diri, namun lebih karena suasana Bali, kurang begitu berkenan di hatiku. Semua diukur dengan uang, gaya hidup yang hedonis, pop culture, dan beragam budaya lainya. Mungkin karena dampak dari (industri) pariwisata Bali. Kadang aku berpikir bahwa aku tidak sedang hidup di Indonesia. Di Bali aku merasa asing, Bali lebih dekat dengan budaya barat ketimbang dengan budayanya sendiri. Pariwisata telah membuat masyarakat Bali berada dalam persimpangan, antara mempertahankan nilai budayanya atau menjual nilai budaya mereka, dengan tujuan menggaet tamu untuk datang ke Bali, dan dengan itu, tentu saja dolar yang mengalir deras.

Satu hal lagi yang membuat aku enggan untuk bergaul, yaitu pandangan orang Bali yang selalu curiga terhadap warga pendatang (dari luar Bali). Untuk yang satu ini aku bisa maklumi, mereka begitu trauma dengan peristiwa pemboman yang telah memisahkan mereka dengan anak, suami, istri, kerabat, dan tentu saja dengan tamu mereka. Peristiwa pemboman telah menghanguskan dolar mereka, membuat mereka harus rela berhenti dari pekerjaan sebelumnya entah itu pelayan restoran, room boy, sopir, satpam hotel, atau keamanan diskotek dan memaksa mereka untuk lebih kreatif dalam bertahan hidup. Dipelopori oleh Bali Post dan Bali TV, para tokoh masyarakat Bali kini gencar mengampanyekan slogan “Ajeg Bali”. Walaupun tujuan utamanya adalah untuk mempertahankan keaslian budaya Bali, namun dalam prakteknya “Ajeg Bali” lebih dimaknai dengan pembersihan Bali dari berbagai budaya luar yang dibawa oleh pendatang, terutama oleh para pekerja dari luar Bali.

Jangan heran kalau sekarang banyak orang Bali yang berprofesi sebagai penjual bakso, penjual sate, dan tukang cukur. Papan nama warung atau salon mereka biasanya di tulis “Bakso Krama Bali”, “Sate Krama Bali”, dst. Sebelumnya jenis pekerjaan tersebut lebih banyak di tekuni para pekerja yang sebagian besar datang dari pulau Jawa, Madura, dan Lombok. Bahkan di salah satu adegan iklan yang ditayangkan oleh Bali TV, “seorang anak mengingatkan temanya yang ingin makan bakso, untuk tidak beli bakso di mas, tapi di bli aja”. Program “Ajeg Bali” menurutku menyimpan potensi konflik horizontal, karena aksi puncak dari program ini adalah sweeping terhadap pendatang. Hal ini pernah diungkapkan oleh Henk Schulte Nordholt dalam bagian pengantar buku “Bali, Narasi Dalam Kuasa Politik & Kekerasan di Bali” yang ditulis oleh penulis muda Bali sendiri yaitu I Ngurah Suryawan. Patut disayangkan memang, masyarakat Bali belum memahami bahwa hidup ini sejatinya adalah pertempuran.

Dari itu semua, kadang aku merindukan suasana Jogja. Entah itu malam Jogja yang hangat, kawan yang tulus, Gunung Merapi dengan kabut pekatnya, angkringan, dan ciu. Namun rasanya aku tidak punya cukup waktu untuk selalu berkunjung ke Jogja. Bukan apa-apa, jarak Denpasar-Jogja lumayan jauh, dan tentu saja uangku tidak cukup banyak untuk bisa selalu pulang ke Jogja. Akhirnya aku cukup puas dengan hanya mendengar atau membaca berita tentang Jogja.

Di saat-saat seperti itulah aku mulai tertarik untuk membaca buku. Kebetulan sewaktu meninggalkan Jogja, aku juga membawa beberapa buku, yang aku beli di sela-sela rutinitas mengantarkan pacarku jalan-jalan ke mall untuk beli baju atau hanya buat nemenin makan. Saat pacarku memilih baju di lantai atas Malioboro Mall, aku kadang sempatkan diri untuk turun ke lantai dasar, ke toko buku Gramedia. Aku males kalau pacarku mulai meminta pendapat dan saranku tentang warna, corak, model baju, celana, atau barang yang akan ia beli. Tetapi, buku-buku yang aku beli di Gramedia dan kadang-kadang di toko buku Social Agency tidak pernah aku baca. Lebih tepatnya tidak pernah selesai aku baca, karena terus terang ketika di Jogja, waktuku lebih banyak tersita pada rutinitas nemenin pacar, acara naik gunung, mabok, dan tentu saja kegiatan MAPALA (Mahasiswa Pecinta Alam), organisasi tempatku beraktifitas.

Buku-buku yang selama ini aku diamkan, satu-persatu mulai aku buka dan baca. Aku masih ingat, dari sekian buku-buku yang aku punya, hanya satu buku yang selesai aku baca yaitu bukunya Tan Malaka, Madilog. Buku itu sangat mempengaruhi hidupku dan sampai sekarang masih aku kagumi. Walaupun seorang Frans Magnis Suseno pernah mengatakan dalam bukunya Di Bawah Bayang-bayang Lenin, bahwa pemikiran Tan Malaka telah usang, namun aku masih beranggapan bahwa Tan Malaka masih merupakan sosok yang sulit dicari tandingannya. Selain Madilog, tema buku yang aku beli waktu itu kebanyakan tentang kajian agama, filsafat, sejarah, dan politik. Saat itu aku masih dipusingkan dengan pertanyaan seperti “manakah yang pertama?”, “benarkah Tuhan itu ada?”, dan “masih bergunakah agama?”, serta beberapa pertanyaan filsafat klasik lainya.

Sedangkan sastra?

Waktu itu aku sama sekali tidak punya satu buku sastra pun, entah novel, cerpen, puisi, atau karya sastra lainnya. Saat itu aku belum banyak tahu tentang sastra, walaupun disetiap hari minggu aku selalu menyempatkan diri untuk membaca cerpen, baik yang di muat di harian Kompas maupun di harian Jawa Pos. Namun secara garis besar aku belum punya minat besar terhadap sastra, aku belum mengetahui bahwa didalam karya sastra terdapat pesan moral yang yang ingin disampaikan pada pembacanya, bahwa didalam sastra terdapat nilai humanisme yang dalam, dan aku juga belum tahu bahwa, banyak orang-orang yang mengubah jalan hidupnya setelah membaca karya sastra dari seorang penulis. Roman seperti Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan, Rumah Kaca (Tetralogi Buru Pramoedya Ananta Toer) masih samar dan asing di telinga ku.

Kini aku punya kebiasaan baru di setiap hari minggu sore, jalan-jalan ke toko buku Gramedia. Biasanya rak yang kutuju pertama kali adalah rak buku filsafat. Niat awalku adalah mencari buku tentang filsafatnya Karl Max. Karena rak buku filsafat berdekatan dengan rak buku sastra, aku iseng aja ke rak buku sastra, sampai mataku tertuju pada sebuah buku bersampul merah hitam, berada di rak paling bawah, dan tinggal satu-satunya. Buku itu berjudul “Aku, Buku, dan Sepotong Sajak Cinta“ karya Muhidin M.Dahlan.

Setelah membaca sebentar akhirnya aku putuskan untuk membeli buku itu. Sesampai di kos aku langsung membaca lembar demi lembar buku karya Muhidin itu. Membaca buku Muhidin, aku seperti dibawa menyusuri jalan-jalan dan tempat-tempat yang pernah aku kunjungi. Membaca karya sastra memang kadang menenggelamkan angan kita ke dalam cerita si penulis, bagaimana ketika si “aku” tinggal di asrama di depan pasar Sentul, atau ketika ia bercerita tentang lokasi kampusnya di daerah Karang Malang (Jogja). Walaupun pengalamanku jauh berbeda dengan pengalaman si “aku” dalam buku itu namun aku tetap merasa dekat dengan pengalaman si “aku”. Mungkin karena aku dan si “aku” sama-sama pernah tinggal dan merasakan suasana yang sama. Bahkan ada beberapa pengalamanku yang sama dengan pengalaman si “aku” atau mungkin juga dengan siapa saja yang pernah tinggal di Jogja, yaitu ketika bagaimana si ”aku” harus makan siang ketika waktu sudah menjelang sore, atau yang lebih sama lagi ketika ia berkencan dengan cewek di Sarkem. Untuk yang satu itu, aku sedikit berbeda. Bedanya adalah: aku ke Sarkem tidak pernah membawa buku Madilog, dan tidak lagi frustasi karena ditolak cintanya. “Kunjungan”ku ke Sarkem lebih dikarenakan pengaruh ciu yang tak terkontrol yang aku tenggak bersama teman-teman di Posko MAPALA. Pengalaman yang tidak bisa aku tandingi adalah kecintaan si ”aku” terhadap buku, dan bagaimana si ”aku” mengandalkan hidupnya dari menulis, sebuah pengalaman yang sulit aku lakukan.

Dari buku Muhidin itu pula, aku semakin rajin ke toko buku untuk mencari buku-buku yang sepintas diceritakan di dalam bukunya, seperti karya-karya Pramoedya Ananta Toer, penulis besar yang namanya sepintas saja pernah aku dengar, dan belakangan aku tahu ternyata Muhidin adalah seorang Pramis. Hal itu aku ketahui dari tulisan Muhidin yang dimuat di harian Jawa Pos beberapa hari setelah kematian Pram. Dari itu semua yang tentu membuat aku semakin semangat membaca buku Muhidin adalah ketika ia menyebut nama Puthut. Mengenai Puthut, aku pernah bertemu dengannya pada acara pendakian ke puncak Merapi, dalam rangka peresmian pendirian PURPALA, sebuah komunitas pencinta alam, tempatku biasa nongkrong bersama Bang Eko. Bang Eko inilah yang aku tahu berteman dengan Puthut. Satu hal yang masih aku ingat pada diri Puthut adalah ketika ia heran mengapa kami mengambil air mentah untuk bekal pendakian, suatu hal yang menurutku biasa dilakukan oleh semua pendaki.

Yang aku tahu, selama pendakian Puthut tidak minum air mentah itu, dan hanya minum air mineral yang ia bawa. Kala itu aku belum menyadari bahwa aku mendaki bersama orang yang kelak buku-bukuya aku koleksi. Cerpen Puthut yang aku baca pertama kali adalah Sisa Badai di Sepasang Mata, (Kompas,13/7/2003) yang aku baca di atas bus yang membawaku dari kota Surabaya ke kota Jogja. Sampai saat ini aku sudah punya lima buku karya Puthut, yaitu tiga kumpulan cerpen, satu naskah drama, dan satu novel debutannya (Cinta Tak Pernah Tepat Waktu).

Aku masih mencari novel adaptasi dari film, Bunda, dan kumpulan cerpen yang berjudul Sebuah Kitab yang Tak Suci. Bagian novel debutan Puthut yang paling aku suka adalah bagian yang menceritakan keberadaan surga-surga kecil. Kalau memang surga-surga kecil itu ada, aku ingin sekali berkunjung ke surga kecil yang ada si Salatiga, di mana di sana ada Sanggar Merdeka. Rasanya akan sangat menyenangkan bila berada di tengah-tengah orang seperti yang diceritakan dalam novel itu. Dari novel Puthut itu pula aku mengenal Eka Kurniawan, yang di novel Puthut itu selintas disebut novel Eka Kurniawan (Cantik itu Luka).

Pada bagian akhir novel diceritakan Muhidin, Puthut, dan Eka duduk satu meja dalam acara minum kopi bersama. Belakangan aku ketahui kalau Eka dan Puthut dulunya kuliah di fakultas yang sama. Mengenai Eka, sebelum memiliki novelnya Puthut, aku sudah membaca dua karya Eka, Lelaki Harimau, dan Cinta Tak Ada Mati. Cerpen Eka yang sering aku baca adalah Surau. Cerpen itu seakan memberikan aku jawaban akan sikapku yang hampir empat tahun tidak pernah sholat. Tetapi itu bukan berarti aku menjadikan cerpen Eka tersebut sebagai pembenaran akan keabsenanku dalam mendirikan sholat selama ini. Masalahnya adalah pergulatanku dengan pembahasan “Tuhan dan Agama” belumlah final.

Aku merasa dekat dengan ketiga orang tersebut (Muhidin, Puthut, dan Eka), bukan hanya karena mereka mengingatkan aku pada Jogja, namun lebih karena karya-karya mereka merupakan cerminan dari perasaanku selama ini, dan tentunya sedikit banyak memberi jawaban atas kegelisahan atas pertanyaan-pertanyaan yang selama ini aku lamunkan baik menjelang tidur, maupun ketika naik sepeda motor.

Aku tidak pernah merasa menyesal mengapa baru sekarang aku kenal dengan mereka (Eka dan Muhidin waktu itu masih di Jogja nggak ya?) dan tidak saat aku tinggal di Jogja. Bagiku masa lalu tetaplah masa lalu, aku sudah cukup puas dengan apa yang aku dapatkan di Jogja dulu. Seandainya dulu aku kenal mereka tidak menjadi jaminan bahwa aku akan bisa menghargai karya mereka. Aku sudah cukup akrab dengan mereka walaupun dengan hanya membaca karya mereka dan sesekali mencari informasi tentang mereka lewat mesin pencari di internet. Aku merasa beruntung dapat membaca karya-karya mereka, karena dari karya mereka itulah aku dapat mengenal sastra walaupun masih sebatas “suka” dan menjadi jembatan untuk aku mengenal karya-karya penulis sastra lainya. Entah itu dari dalam maupun luar negeri, dan tentu saja menambah koleksi bukuku, karena setiap membaca judul buku yang di singgung dalam karya mereka aku selalu berusaha mencari buku tersebut.

Berawal dari nostalgia akan Jogja, Muhidin telah menyeret aku lebih jauh ke dalam dunia yang sebelumnya aku abaikan. Dari Muhidin, Puthut, dan Eka lah, aku mengerti bahwa sesungguhnya hal tersulit dalam hidup ini adalah menjadi manusia yang seutuhnya manusia. Seperti yang sering dikatakan Multatuli bahwa kewajiban manusia adalah menjadi manusia. Mungkin yang dimaksud Multatuli adalah manusia yang bisa menciptakan atau menemukan surga kecil bagi sesamanya, tempat manusia merayakan kehidupan.


* Gegen
Tinggal di Bali. Seorang buruh bengkel. Dulu pernah kuliah di Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi “AAN” Yogyakarta (2000-2004). Pernah bergiat di MAPALA “AGNY” (2000-2004), Komunitas PURPALA, Lembaga Pers Mahasiswa “PIJAR” (2003-2004). Sekarang bergiat di Forum Pemuda Pemudi Bersatu “FP2B” Lombok Timur (2004-Sekarang). Pernah jadi Ketua Tim dalam acara pendakian 5 gunung di Jawa Timur (Gunung Argopura, Raung, Arjuna, Welirang, dan Semeru )

4 comments:

peranita said...

Bali memang surga..tapi surga untuk yang punya duit :P.
(masih kebayang capeknya berjalan berkilo2 karena minim angkot di denpasar :(..hiks)

Unknown said...

Kebetulan saat ke bali tak memiliki kesan tragis sepertimu, pera. malah menyenangkan saja. kayak surga sih. walau surga yang bukan kemudian orang tampak bugil semua sebagaimana surga dalam yang ditafsir orang via kitab suci yang cuma makai daun tipis.

Anonymous said...

Saya kenal nama anda saat saya membeli buku Aku, buku dan sepotong sajak cinta. Buku itu saya baca dan khatam dalam 2 hari, selanjutnya buku tersebut bergiliran dibaca temen2 saya, hingga saat kembali sdh lecek dan ada halaman yang sobek.

Buku yang bagus,tks

Unknown said...

tulisan lama sya...jd pingin baca buku lagi..kang muhidin pa kbr?