03 November 2007

Tuhan Izinkan Aku Rajam Pelacur (1)

::oleh heri bahtiar, ss, m.si

Nidah, makhluk mana pun engkau, begitu buku ”best seller”mu sampai di tanganku 2003-an lalu, hatiku terasa teraduk-aduk.Di samping ada banyak sekali hal yang aku setujui darimu, tetapi barangkali lebih banyak lagi yang aku tidak sejui. Oleh karena itu, seusai halaman terakhir bukumu aku tutup tanganku sudah terasa gatal di ujung keyboard komputer bututku untuk membalasi suratmu itu.

Meski berbeda keyakinan, tetapi tidak ada salahnya kita berperilaku dewasa, laiknya etika orang-orang dewasa lainnya di dunia beradab. Tidak perlu keluh tertahan, caci maki apalagi umpatan dan sumpah serapah. Supaya anak beranak kita, jadi generasi baru di negeri ini kelak, terbiasa menyelesaikan masalah dengan menulis buku. Makanya, aku tulis memoar-autobiografi kecil ini, supaya menjadi penyeimbang dari ekspresi pemberontakanmu, meskipun sesungguhnya aku masih juga tidak yakin, engkau “berani” secara satria meminta izin kepada-Nya untuk menjadi “pemberontak”.

Sebab, pemberontakan akan berarti permintaan izin menjadi penghuni neraka Jahanam; sudah engkau pikir betulkah niatmu menantang-nantang Tuhan menjadi nabi kejahatan? Kalau itu maumu, sama saja engkau minta izin atau tidak. Jahanam yang merupakan seburuk-buruk tempat kembali, memang disediakan untuk orang ”pemberani”seperti itu. Lamat-lamat aku dengar si Salman “Satanic Verses” Rusdhie, apakah itu engkau dengan baju lain. Iman formal sering menamai lagumu sebagai bukan hanya sesat, namun juga menyesatkan. Na’udzubillah, tsumma na’udzubilla min dzalik!

Tidak apa-apa, aku terlambat membawa naskah ini ke percetakan, sehingga agak lebih terlambat lagi sampai kepadamu. Sebab, engkau tidak memberiku barang alamat sebuah pun, kecuali bahwa engkau adalah juga anggota dari semesta makhluk Tuhan, yaa, ya….., meski entah di seberang bumi-Nya yang mana. Atau barangkali, memang Dia yang di atas membuatnya demikian supaya niatku menulis itu lebih terjaga dari nafsu dan kepentinga sesaat yang bersifat duniawi.

Berulangkali aku baca bukumu (mengi’tibari Ibn Rusyd yang membaca Tahafudz al-falasifah al Gazalay sebanyak 200 kali sebelum membandingkannya dengan Tahafudz fi al-Tahafudz) dan tidak bisa tidak, kesimpulanku kembali dan kembali lagi bahwa, pamberontakanmu itu diakibatkan hanya seputar dua hal belaka: kekecewaanmu terhadap jamaah dan “keberanian”-mu mengumbar libido. Terkadang, hal itu kau cabai-garami tambahan dengan asumsi-asumsi eksintensialis yang prematur. Aku sudah emphaty selama hampir empat setengah tahun, supaya tidak terprovokasi sumpah serapahmu, terutama pada syahwatmu yang liar.

Sungguh berat betul rasanya menekan-nekan perasaan dan penaku, supaya tidak terjebak perilaku orang jahil. Sebagaimana Islam kaffah menasehatkan, jika menghadapi mulut nyinyir sepertimu, aku diajarkan bersabar dan bertutur dengan tetap masih harus ”yang menyelamatkan” (qoulan salaman). Sebab sama saja, ”Engkau beri peringatan atau tidak (orang-orang berhati batu itu; nabi kejahatan itu?), mereka tidak akan beriman; ”Sawaun ‘alaihim aandzartahum am lamtundzirhum la yu’minun” (QS.2:6)

Dulu, beberapa tahun sebelummu, nama-nama latar tempat yang kau sebut dalam kisahmu itu, juga mempunyai pertautan emosional denganku, bahkan hingga kini. Itu meneguhkan azamku untuk suatu saat aku harus berbagi cerita denganmu. Barangkali seperti kata orang Perancis, ”le historie le repetete’: kisah perjalananmu itu dalam spektrum dan intensitas lain, juga pernah aku lalui. Tidak hanya kita, Kang Danarto seperti pada kisah Asmaradana, pada God Lob-nya juga pernah.

Dunia tasawuf, memang sering melahirkan karakter tokoh model begini ini. Adakah sesuatu yang sepenuhnya baru di kolong langit ini, sedangkan peribahasa Yunani telah merumuskan ‘nihil novum sub sole’ (Tidak ada sesuatu yang baru di bawah kolong langit ini)?

Aku berbaik sangka pada Gustiku, bahwa sesungguhnya perjalananmu dan perjalanan banyak orang sepertimu, barangkali juga aku, merupakan sebuah cetak biru (blue print) route abadi, yang disediakan bagi salah satu tipologi makhluknya sepanjang sejarah. Di samping itu, masih terdapat karakter-karakter lain yang meski diperankan di atas pentas panggung semesta ini.

Namun begitu, tetap saja, sebagaimana route nasib yang lain mana pun, peluangnya masih akan fifty-fifty untuk menjadi pemenang atau pecundang. Aku khawatir, melalui pernyataan verbalmu dalam buku itu, engkau sengaja memilih sad ending dan cenderung kepada pecundang (losser), untuk itulah engkau memerlukan minta izin kepada Tuhan untuk menjadi pelacur, sebuah permohonan yang tentu saja di samping naif sekaligus juga provokatif.

Sebab, apakah pernah ia mengizinkan-mu untuk menjadi pelacur? Kalau engkau ragu, lebih tepatnya tidak pernah Ia memberi izin, maka secara subtansial berarti kalimatmu itu bukan kalimat permohonan izin. Lazimnya, meminta izin itu ditempuh pada saat suatu pekerjaan akan dilaksanakan dan bukan sesudah pelaksanaan sesuatu pekerjaan. Artinya, jika izin sudah diberikan baru pekerjaan boleh dilaksanakan, dan jika sebaliknya, izin tidak diberikan maka pekerjaan itu sama sekali tidak boleh dilaksanakan. Atau sama saja, jika jelas-jelas telah ada larangan dari-Nya untuk tidak melacur, dan engkau belum mendapat dispensi dari-Nya, tetapi tetap saja nekad engkau melacur berarti apa makna permohonan izinmu, Nidah? (Bersambung)

* Digunting dari “Pendahuluan” buku Tuhan, Izinkan Aku Rajam Pelacur! Memoar Autobiografi Kerang yang Terluka. Untuk lebih lanjut silakan baca buku dengan judul tersebut.

1 comment:

junet said...

yang namanya buku tandingan, aku rasa sudah pasti mutunya tidak akan bagus karena idenya yang tidak orisinil, apalagi kuyakin, buku2 seperti itu ditulis oleh orang2 yang merasa memiliki ilmu, padahal hanyalah seorang pembaca2 terjemahan, seperti para aktivis, yang oleh muh, sangat rawan menjadi pelacur, i choose not to read it lah