16 July 2000

Interkulturalisme dan Gerakan Silang Budaya

Artikel ini adalah artikel pertamaku tentang kebudayaan di Harian Kompas. Kutulis ketika saya sudah aktif betul dalam gerakan pemikiran di Himpunan Mahasiswa Islam dan mulai nongol sesekali di galeri lukisan. Hasil nongol sesekali itu kemudian melahirkan ceceran refleksi.


KOMPAS - Rabu, 05 Jul 2000 Halaman: 4 Penulis: MUHIDIN Ukuran: 8926

INTERKULTURISME DAN GERAKAN SILANG BUDAYA
Oleh Muhidin

GAGASAN geneologis ihwal persatuan asional yang pernah dibentangkan
Mohammad Yamin dalam Gajah Mada, Pahlawan Persatuan Nasional (1953),
kini ada pada titik kritis. Ini ketika dalam perkembangan mutakhir, saat
John Naisbitt melemparkan tesisnya Global Paradox (1994), bahwa ketika
musim global tiba dan batas-batas negara mencair, maka semua identitas
kultur terdiversifikasi menjadi keping-keping yang berserakan. Cukup
telak. Sebab, konon dalam kitab Negarakertagama, yang merupakan data
primer rujukan M Yamin, disebutkan, batas-batas geografis Nusantara
seperti termaktub dalam kitab itu merupakan konsep final dan tak boleh
diganggu gugat. Namun, orisinalitas sejarah persatuan nasional
(nasionalisme) yang disodorkan Yamin secara deskriptif dan kemudian
kita jadikan bentuk negara saat ini, oleh banyak pihak, kini digugat.
Sindhunata, budayawan asal Yogyakarta, salah satunya.
Dalam Demitologisasi Persatuan Nasional (Kompas, 2000), Sindhunata
mengatakan, ulasan sejarah yang disajikan Yamin bukanlah ulasan
sejarah yang empirik, tetapi sejarah yang ditulis dari simpul-simpul
konstruksi mitos. Ini bisa dilihat dari ranah filsafat yang mengiringi
konteks ketika Yamin menuliskan deskripsi nasionalisme-nya, yakni
kebutuhan akan persatuan untuk melawan kolonial. Meski mitos adanya,
namun untuk ruang dan waktu saat itu, pilihan nasionalisme Yamin dan
aktivis pergerakan nasional lainnya tepat sebagai alat yang cukup
signifikan guna mengorganisir perlawanan. Dan, bagi kaum penjajah,
nasionalisme merupakan "anak jadah" yang sangat menakutkan.
Dan, itulah yang membawa pada revolusi fisik, yang berbuah dengan
kemerdekaan. Jadi menurut Sindhunata, pilihan persatuan dan kesatuan
diambil bukan sebagai tujuan, tetapi sekadar alat yang bisa berganti
ketika konteks berubah. Konsepsi nasionalisme waktu itu hanya semacam
sarana untuk mencapai hakikat tertinggi, yakni kemerdekaan. Ketika
kemerdekaan yang hendak dikejar atas nama nasionalisme itu tak
tercapai, maka nasionalisme telah kehilangan kesahihan argumentasi
untuk tetap dipakai dalam praksis. Perlu disadari, nasionalisme yang
sifatnya mitos adalah rapuh karena tak punya strukturasi dari hasil
dialektika yang transparan, rasional, dan alamiah ("kesadaran").
Betul, nasionalisme sudah mengantarkan kemerdekaan bangsa, namun
tak punya nilai historis apa-apa bila tidak menyentuh orang per orang,
golongan per golongan dalam bentangan pulau Nusantara yang majemuk.
Kesalahan fatal Soekarno-juga Soeharto-adalah merasionalisasikan mitos
itu dan lupa mengempiriskan tujuan substansialnya, yakni memberi ruang
kebebasan masing-masing kelompok dalam ranah kebangsaan.
Kalau mau jujur, ternyata nasionalisme yang kita lap terus selama
ini hanyalah modifikasi nasionalisme sekuler yang coba dijiplak,
dibajak, diutak-atik dari Eropa dan Amerika oleh para aktivis
pergerakan nasional seperti Syahrir, Yamin, dan seterusnya. (lihat
Ben Anderson dalam Komunitas-komunitas Imajiner: Renungan tentang
Asal Usul dan Penyebaran Nasionalisme, 1999, bab VII).

Nasionalisme sekuller
Goyahnya eksistensi nasionalisme (sekuler) juga bisa kita saksikan
dalam ranah global bersamaan perayaan "revolusi diksi" di bidang
komunikasi dan digital. Menurut Naisbitt, pada saat dan pascarevolusi
diksi yang muncul bukan superioritas ideologi pemersatu (universalisme
dan nasionalisme) tetapi ideologi tribalisme, kesukuan, atau etnik.
Atau ungkapan lebih khas dan empiris disebut Mark Jurgensmeyer sebagai
kebangkitan nasionalisme religius.
Tesis Jurgensmeyer bisa kita lihat dalam buku The New Cold War?
Religious Nationalism Confronts the Secular State (edisi Indonesianya
diterjemahkan Mizan, 1998), dimaksudkan sebagai counter atas
keangkuhan nasionalime sekuler yang mengendalikan semua keragaman
etnik lewat strukturasi monistik.
Ruh nasionalisme sekuler sendiri dibangun di atas paham humanisme
sekuler yang lalu melahirkan rasionalisme, empirisisme, idealisme,
maupun eksistensialisme. Itulah paradigma modernitas, yakni rasio
instrumental (saintifik)! Bekerjanya rasio instrumental dalam ilmu
sosial seperti kata Jurgen Habermas, membawa pengandaian, konsep
nasionalisme adalah "objektif" dan netral, dapat diterapkan dalam
berbagai konteks, bebas nilai, dan bebas kepentingan.
Gampangnya, nasionalisme sekuler yang lahir dari rahim modernitas
itu demikian mengagungkan mobilitas partisipasi untuk membangun
konstruksi negara dengan benda-benda mewah tetapi miskin dialog yang
estetis. Biarlah ruang publik atau bantalan kreasi budaya tergusur
asal pusat hiburan modern (kapitalisme) berdiri.
Nilai nasionalisme sekuler itu yang pernah didaulat seorang
begawan nasionalisme sekitar pertengahan abad 20, Hans Kohn. Ia
menyatakan bahwa sistem nasionalisme sekuler merupakan agama baru
karena menawarkan seperangkat nilai acuan hidup (a Doctrine of
Destiny) dan mampu meyakinkan eksistensinya tetap dalam subsistem
nasionalisme (sekuler).
Namun, Jurgensmeyer berhasil memergoki, nalar bawaan nasional
tak lain hanyalah praktik dominasi dan penjinakan. Inilah
paradoksnya,nasionalisme sekuler di satu sisi memimpikan
terbentuknya sebuah masyarakat berkeadilan sosial dan meniscayakan
demokrasi sebagai sistem bermasyarakat, tetapi di sisi lain tergoda
dengan bertindak cukup jauh untuk melakukan "penertiban" atas semua
potensi munculnya kekuatan etno-religius. Pada titik inilah kita
bisa memaklumkan mengapa gerakan perlawanan nasionalisme religius
semakin masif.
Gerakan ini tak hanya terjadi pada negara-negara Timur Tengah
yang penduduknya Muslim, tetapi juga hampir merata di negara-negara
berkembang lainnya, khususnya Asia, seperti di-release Omi Intan
Naomi dalam pengantar buku Ben Anderson, Komunitas-komunitas
Imajiner...(1999: hal. xvi-xxi).

Interkulturalisme
Menguatnya penolakan wacana nasionalisme sekuler di berbagai
ranah memaksa kita untuk mau membongkar ulang relasi-relasi
berkebangsaan yang selama ini dipraktikkan. Sebagai alat penjelas
atas fakta keragaman di tengah makin menguatnya kesadaran
etnoreligius, nasionalisme an sich saja tampaknya tak cukup.
Diperlukan genre wacana baru atau jalan lain yang benar-benar
menempatkan wacana keragaman sebagai fakta yang tak boleh
dimanipulasi. Itulah interkulturalisme sebagai jalan atau metode
untuk mengkomunikasikan keragaman lewat silang budaya.
Simpul interkulturalisme ini coba membongkar kelaziman transmisi
nilai yang biasanya diwariskan dari generasi ke generasi. Bila
nasionalisme selama ini diwariskan lewat mitos yang dipagarbetisi
kekuasaan, maka interkulturalisme coba menyibak jalan ke arah
terjadinya persentuhan intensif antarkebudayaan. Persentuhan budaya
ini tidak saja bisa melampaui batas-batas ruang tetapi juga
bersilangan dalam dimensi waktu-bergerak, ke masa lampau dan masa
depan.
Namun, sebagai hasil rekonstruksi dari konstruksi nasionalisme,
wacana interkulturalisme pun tak mungkin mengelak dari godaan untuk
melegitimasi terjadinya tirani baru, seperti dominasi kebudayaan yang
memiliki kekuasaan (secara ekonomi, politik, dan budaya) terhadap
mitra yang lebih lemah. Karena itu, diperlukan semacam language game,
meminjam istilah Wittgenstein, yang bisa memberikan sebentuk perpektif
kesadaran baru untuk menerima keragaman sebagai fakta. Sebab, setiap
kebudayaan bergerak dinamis lewat language game-nya masing-masing.
Maka sebetulnya, yang diperlukan dalam interkulturalisme adalah
persamaan derajat, representasi, dan perimbangan kontribusi. Di sini
tidak ada konsensus absolut, tetapi disensus yang dinamis dan
fleksibel agar "kehendak untuk berkuasa" dapat dihindari. Tak hanya
toleransi yang diperlukan tetapi juga apresiasi. Seperti kata Sal
Murgiyanto, "Jika setiap orang memaksakan kebudayaan-kebudayaan yang
beragam itu tetap dalam satu bunyi ketimbang satu harmoni, maka
interkulturalisme menjadi sebuah kontradiksi dalam istilah."
Jadi, rekonstruksi nasionalisme (sekuler) ke etno-religius lalu
bermuara pada interkulturalisme merupakan gerak melintasi perbatasan
dari pemulaan, yakni mereaktualisasi kembali tradisi etnik dan agama
sebagai jalan pemerdekaan setiap gagasan yang ada dalam masyarakat.
Reaktualisasi ini pun menjadi penanda bagi bangkitnya kebudayaan
pluralistik yang mengiringi perpindahan sejarah ketiga umat manusia.
Seperti kata Lun Xu, "Rasa hormat terhadap tradisi dapat memekarkan
setiap kuntum bunga yang baru dari kebudayaan di seluruh dunia."

* Muhidin, Peminat masalah sosial dan kebudayaan, Pemimpin Redaksi
Buletin Buku Baca-Baca-Baca Lembaga untuk Kreasi Penerbitan Masyarakat
(LKPM) Yogyakarta.


No comments: