*
Tantang keheningan
Dengan hujaman lantang meradang
Dan kuasai kegundahgelisahan
Sembari minum di atas makam kepedihan
(Garcia Lorca)
*
AKU sitir Lorca dalam menyimak makna serangkum naskah sekitar penyair besar Spanyol yang tewas dibantai pasukan fasis, sekaitan dengan sitiran penyair Jasmineflame, nyaris bareng dengan datangnya berita akbar dari Nusantara. Berita yang menggelora sekaligus mengharukan jiwa. Berita terbitan buku Trilogi Lekra Tak Membakar Buku Oleh Rhoma Dwi Aria Yulianti dan Muhidin M Dahlan (Penerbit Merekesumba, Jogjakarta, Oktober 2008).
Berita itu sangat pas dalam suasana kejiwaanku yang secara kenabian terlukis oleh baris-baris kata puitis "Braver le silence" (Tantangan Keheningan) Garcia Lorca. Tantangan keheningan kaum yang terhina, terfitnah, terbungkam, terpinggirkan, terkalahkan, termusnahkan oleh arogansi kekuasaan selama sekian dasawarsa lamanya. Semenjak 1 Oktober 1965 hingga detik kutulis catatan ini. Meski dalam batas-batas tertentu, kaum yang terbungkam dibungkam mulai bisa kembali bicara, mengekspresikan diri, sekuat bisa. Bukan tanpa bayangan pedang atau bayonet mengancam jiwa dan raga.
Namun, siapakah yang lebih memahami dari pada kaum yang terbungkam akan kebenaran betapa kuat perkasa teriak keheningan itu. Pasalnya yang hakiki tak lain bahwa ia menyimpan kebenaran dan keadilan yang oleh arogansi kekuasaan dibenam-bungkamkan secara sewenang-wenang. Kesewenangan yang berkepanjangan sampai pada pengabaian atas penegakan hukum meski negara berazaskan hukum. Pengabaian yang berdampak pada pelanggengan stigma bagi pendosa sekalian yang tanpa dosa; pelanggengan cap dijidat bagi kaum yang dilaknat.
Tetapi, di luar obrolan, sebutan, hujatan, pencapan macam-macam apa siapa sih sebenarnya kaum yang terlaknat itu ? Tegasnya, apa yang telah dilakukan mereka ? Apa yang telah dilakukan kaum pekerja kebudayaan rakyat yang ragam-macam itu selama keberadaannya dari awal mula tegak berdirinya Lekra sampai titik akhirnya?
Kata orang: di depan hasil kreasinya seniman telanjang bulat. Memang benar, jika dimaknai bahwa hasil aktivitas-kreativitas itulah yang jadi ukuran utamanya.
Justeru, dalam hal upaya tolak-ukur yang terutama itulah betapa penting lagi besarnya upaya riset sekaligus penerbitan buku Trilogi: Lekra Tak Membakar Buku ini. Penerbitan yang ditinjau dari isi maupun makna kesejarahannya merupakan karya monumental dari suatu gerakan kebudayaan rakyat bersifat nasional berwadahkan organisasi bernama Lembaga Kebudayaan Rakyat atau Lekra. Sejak berdirinya pada tanggal 17 Agustus 1950 sampai akhirnya dibantai kaum militeris penegak Orde Baru.
Penerbitan buku trilogi tentang Lekra ini, dengan isinya yang begitu kaya ragamnya, mencakup beratus-ratus makalah, esai, puisi dan cerpen mengingatkan saya pada pepatah Perancis: La parole s’envole l’écrit reste. Omongan mabur tulisan tetap. Dalam kaitan ini, selintas pintas, saya terkenang bagaimana aktivitas-kreativitas kami sebagai pekerja dapur Harian Rakyat dan HRM (Harian Rakyat Minggu). Baik di ruang sempit gedung tua yang bau apek dan timah zetter Percetakan Rakyat di bawah pimpinan Bung Samosir di Pintu Besar Utara, maupun ketika pindah ke gedung yang baru di Jalan Pintu Air II. Masih terbayang dengan jelas wajah-wajah para pemimpin redaksi maupun anggota redaksi dan para jurnalisnya – baik yang senior seperti Naibaho, Dahono, Nyoto maupun yang yunior macam Amarzan, Tikno, Nurlan dan saya sendiri. Di samping sebagai reporter, juga merangkap pengelolaan HR Minggu yang dipimpin oleh penyair HR Bandaharo, bersama Zubir AA dan juga Bambang Sukowati Dewantara.
Maka, dari dapur-dapur redaktur Jalan Pintu Besar Utara dan Pintu Air II sanalah tersiarnya karya tulis yang tercetak hingga bisa dilacak dan tersajikan kepada para pemerhati, penyelidik yang cerdik dan akhirnya sampai kepada pembaca yang berkenan.
Semoga penerbitan buku ini menjadi tambahan bahan pertimbangan yang penting dan berharga baik bagi pemerhati, pekerja kebudayaan, pencinta kebudayaan dan kesenian serta kalangan masyarakat umumnya. Terutama sekali kaum muda dan mereka yang merasa terjebak oleh ajaran sejarah yang cekak dan direkayasa penguasa OrBa.
Sebagai salah seorang saksimata sekaligus pelaku baik dalam gerakan kebudayaan dengan wadah organisasi Lekra, maupun sebagai mantan penulis-jurnalis HR/HRM, izinkan saya untuk mengucap terimakasih tak berhingga pada segenap team penyunting Trilogi: Lekra Tak Membakar Buku yang monumental ini.
Akhirnya, saya berterima kasih bisa menerima bahan-bahan seperti tertera di bawah ini. Selain berisi keterangan mengenai isi ketiga buku tersebut, juga tercantum para sosok tokoh yang menyatakan testimoni-nya yang bernas. Pun bisa menyimak nukilan dari Bab Penutup Lekra Tak Membakar Buku berjudul: "Selamat Jalan Lekra!" yang tak urung membuat saya terenyuh dalam ketabahan berbaur kemasygulan. Seraya berbisik di dalam hati:
"Iyalah. Iya : Selamat Jalan, Lekra. Ibarat macan yang telah meninggalkan belang."
15 Oktober 2008.
No comments:
Post a Comment