21 November 2008

Ikhlas. Jangan berdakwah karena abang ini abang itu

::dini haiti zulfany

Pssstt… bukan saya ‘aku’ di situ heheheh. Itu judul novelnya Muhidin M Dahlan yang waktu itu saya ceritain. Nah, jadi ceritanya, sekarang saya dah dapet sedikit mood nih untuk review pendapat saya tentang novelnya Gus Muh. Tapi sebelumnya, izinkan saya cerita sedikiiiit aja yah kenapa saya sampai ‘kedapetan’ novel ini.

Berawal dari jalan-jalan sendirian di TB Gramedia Bandung, muter-muter, bolak balikin buku, baca-baca, yaah ritual yang biasanya saya lakukan di TB Gramedia AYani Megamal saya terapkan juga di kota orang :D. At a glance ngebaca judul sebuah buku: Tuhan, Izinkan aku menjadi pelacur! reflek tangan saya ngambil buku itu. Ternyata bukan buku, tapi novel. Beda kan ya buku ma novel? hehe. Oke, kita anggep aja beda yak.

Trus, saya baca ringkasan di belakangnya: DIA seorang muslimah yang taat. Tubuhnya dihijabi oleh jubah dan jilbab besar. Hampir semua waktunya dihabiskan untuk salat, baca Al-Qur’an, dan berzikir. Dia memilih hidup yang sufistik… bla bla bla. Bagian ini belum berhasil merangsang saya untuk merogoh uang membawa pulang buku ini. Sampai pada bagian: Bahkan terkuak pula sisi gelap seorang dosen Kampus Matahari Terbit Yogyakarta yang bersedia menjadi germonya dalam dunia remang pelacuran yang ternyata anggota DPRD dari fraksi yang selama ini bersikukuh memperjuangkan tegaknya syari’at Islam di Indonesia. NAH!

Barulah saya teramat ingin membaca novel ini dengan nyaman di pembaringan. Maka, saya masukkan ia ke dalam keranjang yang sudah penuh berisi buku-buku. Dan sekarang, well done, terbaca habis sudah cerita fiksi yang katanya diangkat dari kisah nyata tersebut. Well, frankly writing *hehe biasanya kan frankly speaking, tapi karena ini saya nulis, bukan ngomong, jadinya frankly writing :p* di tengah penghayatan dalam membaca kisah di novel ini, mau tidak mau saya teringat pendapat panjang lebar yang ditulis kak fitri.

Novel ini, as a whole menceritakan tentang seorang aktivis akhwat yang dalam pandangan saya, tidak ikhlas ketika bertarbiyah! Sebuah generalisasi menyedihkan sesungguhnya, saat akhat dipandang tidak lebih baik daripada pelacur hanya karena sekelumit kasus *yang barangkali banyak di mata mereka yang belum melihat akhwat yang tidak munafik*. Dan di sini, saya tidak sama sekali menyatakan bahwa saya tidak munafik, pun tidak pula menyatakan saya munafik. Saya mengambil filosofi kupu-kupu, bermetamorphosis untuk menjadi ‘cantik’, bukan malah metamorphosis mundur seperti yang terjadi pada Nidah Kirani dalam novel ini. Wallahu’alam bishsawab.

Nah, kenapa bisa saya nyatakan dia tak ikhlas bertarbiyah? Oke, let me guess. Dalam bab pertama novel ini, yang di situ tertulis sebagai pengakuan kesatu, Gus Muh secara eksplisit meletakkan lokasi kejadian di sebuah masjid bernama Masjid Tarbiyah. Aktivitas yang terjadi saat Nidah Kirani berada di area dalam kisah itu juga bisa saya rasakan hawa tarbiyahnya. Tapi, sayangnya, saat Nidah sedang semangat-semangatnya, teman satu pengajiannya, Rahmi, pulang ke daerahnya. Nidah jadinya gak punya temen yang sefikroh lagi deh sama dia. Ghirah untuk terus melanjutkan pengajian amat sangat besar. Namun, ghirah ini tidak diiringi dengan suntikan pemahaman terhadap apa yang sedang ia geluti *saya juga sebetulnya sama sekali gak dalem pemahamannya. Shirah Nabawiyah aja belon abis dibaca. Fiqih dakwah juga belon baca waaargh*.

Menurut saya sih, dengan kekurangpahaman mendalam itu, Nidah jadi ikut aja waktu di’sodorin’ tawaran untuk ikut jamaah sama rekan sepengajiannya yang sukses merekrutnya buat masuk ke jamaah itu. Saya ga tau pasti, jamaah apa yang dimaksud oleh Gus Muh dalam ceritanya itu. Hanya bisa nebak-nebak aja, diskusi sama temen-temen. Ga berani juga menjudge bahwa jamaah yang dimaksud adalah jamaah ini atau jamaah itu.

Anyway, sampai di tengah-tengah cerita, saya malah seakan melihat pada sebuah cermin terbalik. Cerita Nidah Kirani ini malah bertolak belakang sama cerita saya. Kalo Nidah kecewa sama jamaah trus keluar dan ‘buat onar’ serta menantang Tuhan dengan cara maen-maen sama banyak pria *yang katanya ikhwan dalam novel ini*, kalo saya justru kecewa sama banyak pria trus keluar dari permainan itu dan masuk jamaah hehe. Insya Allah, jamaah saya ga seperti jamaahnya Nidah Kirani.

Di akhir buku ini, ada beberapa pendapat tentang novelnya Gus Muh ini. Ada yang pro, ada yang kontra. Bisa diliat di sini deh beberapa pandangan tentang novel ini. Kalo saya sendiri, sama sekali tidak marah, tidak kontra, dengan novel ini. Entah kisah nyata atau tidak, hanya Allah yang tau. Dari fraksi manakah yang ‘main-main’ sama Nidah Kirani dalam novel ini, saya juga tidak tau. Dari fraksi manapun dia, entah kisah fiksi atau non-fiksi novel ini, saya tetap berusaha ambil ibrah dari cerita ini. Toh segalanya bisa diambil ibrahnya, kan?

Intinya sih, kalo menurut saya, saat kita menjalani sebuah jalan yang sudah kita yakini kebenarannya dari hati, jalani dengan ikhlas. Jangan berdakwah karena orang, berdakwah karena ada bang ini atau kak itu, berdakwah ikut-ikutan, tapi berdakwahlah karena Allah saja *Ya Allah, semoga saya ikhlas berdakwah di jalan ini*.

Saat ini, secara pribadi, kadang memang suliiiiit sekali menemukan keikhlasan menduduki hati. Tapi saya manusia, yang selalu ingin ikhlas seperti sahabat-sahabat Nabi yang bisa ikhlas, seperti Hasan Al Banna yang ikhlas berjuang demi tegaknya panji-panji Islam di bumi Allah SWT ini. Do’akan saya teman-teman…

4 comments:

Dini Haiti Zulfany said...

:D senang sekali menemukan tulisan saya di pajang di blog ini...

syukron katsiran... smoga saling memberi manfaat...

Anonymous said...

setuju...saya juga dari awal menduga si nidah tidak ikhlas dan memang tidak memiliki dasar yang kuat sehingga pada saat dia menerima masukan dia ngikut di pertengahan jalan dilihat ada contoh yang tidak sesuai yang dia jalankan akhirnya dia mutung/putus asa protes ke Tuhan..padahal kalau dia memasukki Islam secara Kaffah ya harus siap menerima segala hal yang bisa jadi bertentangan dg paham yang dia anut..Moga moga hanya segelintir orang yang terpaksa harus memurkai Allah SWT karena apa yang dia dapat tidak sesuai dengan apa yang diinginkan.

Hikmah-Hussain said...

CUKUP SHOCK , GW SAJAH YANG BUKAN JILBABER MASIH BISA BERPIKIR JERNIH DAN MEMILAH MANA YANG BAIK SERTA MANA YANG BATIL. MEMANG KEIMANAN TIDAK SELALU DIPANDANG DARI PAKAI ATAU TIDAK PAKAINYA HIJAB/JILBAB.

DULU SAKIT SEKALI HATI INI JIKA INGAT PERLAKUAN TEMAN2 IKHWAN/AKHWAT SAAT SMA ATAU KULIAH YG SLALU MENDISKRIMINASIKAN PARA MUSLIMAH NON-JILBABER.

TETAPI PENGALAMAN ITU MENYADARKAN SAYA BAHWA JILBAB BUKAN HANYA SEKEDAR PENUTUP AURAT, TETAPI JUGA TOLAK UKUR KEDEWASAAN SEORANG WANITA, WANITA DEWASA AKAN BENAR2 MEMPERTANGGUNGJAWABKAN JILBAB YANG IA KENAKAN DENGAN MENANANMKAN DALAM HATI JIWA WELAS ASIH DAN KASIH SAYANG TERHADAP SESAMA WALAUPUN ITU BUKAN BERASAL DARI GOLONGANNYA. KARENA WALAPUN SAYA BELUM MENGENAKAN JILBAB TAPI SAYA TETAP BERUSAHA MENJADI SOSOK INDIVIDU YANG BAIK DAN TERUS MENJADI YG TERBAIK HINGGA APABILA SAATNYA TIBA SAYA DAPAT MENJAGA KESUCIAN JILBAB YANG SAYA KENAKAN SERTA SAYA SEBAGAI PENGGUNANYA DENGAN SEBAIK-BAIKNYA.

POSTING INI DITULIS BUKAN UNTUK MENYINGGUNG SUATU KELOMPOK TERTENTU, HANYA SEKEDAR SHARING TETANG REALITA YG TERJADI DI KEHIDUPAN PADA UMUMNYA.

TAPI DR DLM LUBUK HATI YG TERDALAM SAYA PUN BERTERIMAKASIH KPD PARA KAUM JILBABER KARENA TELAH MEMACU SAYA UNTUK MEMBUKTIKAN PADA DUNIA KALAU MUSLIMAH NON-JILBABER PUN PUNYA KEIMANAN DAN KECINTAAN YANG TAK KALAH BESARNYA TERHADAP ISLAM.

Anonymous said...

Saya sedang mengerjakan skripsi dan mengkaji novel anda. saat ini saya mengalami kesulitan dalam menganalisis fikih yang anda gunakan dalam menulis novel tersebut. Untuk itu saya mohon pertolongan anda, fikih mazab apa yang anda gunakan dalam menulis buku itu?