Sepanjang satu dasawarsa sejak abad alaf ini disambut dengan gegap-gempita, isu penyingkiran buku dari ruang publik begitu mengemuka. Abad yang disebut Marlyn Ferguson sebagai “The Aquarian Conspiracy” ini mengetengahkan perseteruan abadi antara api dan buku.
Paling tidak ada dua
jenis buku yang selalu jadi sasaran amarah itu: (1) buku-buku yang dikeluarkan
organisasi keagamaan yang diberi cap “sesat” oleh Majelis Ulama Indonesia dan
(2) buku-buku yang tersasar oleh ajaran “komunisme-marxisme-leninisme”.
Khusus untuk buku-buku bertagar #PKI, #Komunisme, #Marxisme,
#Leninisme, kita bisa menemukan linimasa-nya dengan mudah. Dan di linimasa
“buku yang membara” itu tercetak nama Dahlan Iskan.
Antara 2000-2001 terjadi perburuan buku-buku yang dipandang
sebagai buku yang memasak gagasan marxisme-leninisme. Perburuan itu dilakukan
secara gotong-royong oleh polisi, kejaksaan, dan organisasi masyarakat. Yang terjadi di lapangan bahkan lebih konyol lagi. Buku-buku
yang disweeping tak perlu lagi memerlukan pembacaan yang serius. Cukup lihat
sampul buku. Jika berwarna merah dan ada tulisan marxisme atau komunis atau logo
palu arit langsung disikat. Tak hanya itu, karena mereka tahu Karl Marx itu
berjanggut lebat, disikat pula buku biografi ulama yang memang berjanggut rimbun.
Pada 2004 geger kembali muncul setelah buku pelajaran tak
mencantumkan frase “PKI” ketika masuk bahasan “Sejarah Madiun 1948”. Buku-buku
ini kemudian ditarik secara sepihak (tanpa jalur pengadilan) dari peredaran.
Buku-buku yang disweeping itu dikumpulkan dan kemudian dibakar ramai-ramai pada
2007 di Gedung Kejaksaan Tinggi di berbagai kota di Jawa.
Catatan saya: ada 24
ribuan eksemplar buku dibakar dengan upacara hikmat seperti menyaksikan karnival pemusnahan minuman keras dan narkoba.
Tak hanya buku yang ditarik, tapi juga semua seremoni diskusi
atau bedah buku yang bertagar #PKI, #Komunisme, #Marxisme, #Leninisme akan
disatroni dan dibubarkan. Di Yogyakarta, misalnya. Di kota yang dipercaya bayak
orang sebagai kota pendidikan dan toleransi ini, nyaris tak ada tempat yang
“aman-bebas” untuk mendiskusikan buku-buku tersebut. Tak juga di kampus-kampus.
Kalau pun ada tempat teraman, boleh jadi hanyalah di Universitas Sanata Dharma.
Bagaimana kalau media massa. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
berucap dengan dingin dan berulang-ulang di mimbar nasional dan internasional
tentang kebebasan berpendapat. Kita percaya itu. Tapi bukan untuk isu yang
bertagar #PKI, #Komunisme, #Marxisme, #Leninisme.
Kronik buku dengan mudah menjawab pernyataan itu. Setelah
kasus opini Bersihar Lubis “Kisah Interogator yang Dungu” di Harian Koran Tempo 7 Maret 2007, Jawa Pos menerima kobaran amarah
perburuan. Semangat perburuan itu tak tanggung-tanggung: menyeret nama CEO Jawa
Pos Dahlan Iskan saat ia menulis esei bersambung di Jawa Pos pada 9, 10, 11, 15, dan 19 Agustus 2009.
Tulisan Dahlan itu, yakni “Soemarsono, Tokoh Kunci dalam
Pertempuran Surabaya” dan “Soemarsono, Golongan Kiri, dan Pergolakan Seputar
Proklamasi”, sesungguhnya adalah resensi sambutan atas terbitnya buku tokoh Pemuda Republik Indonesia (PRI), Pemuda Sosialis
Indonesia (Pesindo)
Soemarsono, Revolusi Agustus: Kesaksian
Seorang Pelaku Sejarah (Hasta Mitra, 2008).
Ada dua isu yang disasar “resensi sambutan itu”, yakni peran
Soemarsono dalam peristiwa “Surabaya 1945” dan peristiwa “Madiun 1948”
yang dalam pengakuan Dahlan: “menewaskan
banyak sekali keluarga saya”.
Kita tahu dua tulisan Dahlan yang dimuat bersambung itu hanya
“selesai” di “10 November” ketika massa yang tergabung dalam Front Anti Komunis
(FAK) mendatangi kantor redaksi Jawa Pos
di Surabaya. Front Anti Komunis (FAK) itu gabungan dari beberapa ormas, antara
lain Peguyuban Keluarga Korban Pemberontakan PKI 1948 Madiun, Centre For
Indonesian Communities Studies (CICS), Front Pembela Islam (FPI) Jawa Timur,
Front Pemuda Islam Surabaya (FPIS), MUI Jawa Timur, Forum Madura Bersatu
(Formabes) Jawa Timur, DHD ‘45 Cabang Surabaya, maupun anggota Legiun Veteran
Republik Indonesia (LVRI).
Sorotan mereka tertuju pada sosok Soemarsono yang mengutip kata-kata
sejarawan senior dari Universitas Negeri Surabaya (Unesa) Prof Aminuddin Kasdi,
“membengkokkan sejarah”. Yang “bengkok” di situ, kata Kasdi, “Soemarsono adalah
sosok yang bersalah dalam peristiwa Madiun. Namanya semakin tercemar karena dia
menjadi kader PKI.”
Atas alasan itulah dan juga “tidak ingin digigit ular dua kalinya”, tulisan Dahlan Iskan
ditolak karena memberi legitimasi bahwa sosok
Soemarsono adalah
pahlawan. Ada yang salah kaprah di situ. Kesatu,
dari sisi linimasa atau kronikal, peristiwa “Surabaya 1945” mendahului “Madiun
1948” yang di
titik
masa di mana Soemarsono “divonis” bersalah. Sejarah
mestilah didudukkan dalam konteksnya. Tak benar hanya karena stigma “Madiun
1945” kemudian menghapus peran besar Soemarsono dalam “Surabaya 1945”.
Kedua, historiografi “Surabaya 1945”
belum/sudah selesai karena itu selalu punya potensi beroleh cerita-cerita baru.
Soal poster Bung Tomo yang sedang berpidato sambil mengangkat telunjuk dengan
latar sebuah gedung bertingkat, misalnya, yang ternyata dibuat tidak satu
sekuen waktu saat arek-arek Surabaya dibakar amarah “Surabaya 1945”. Pose foto
itu terjadi saat Bung Tomo berpidato di Mojokerto pada Juli 1945. Menurut
fotografer senior Oscar Motuloh, foto itu dipakai sebagai pengobar semangat
melawan sekutu. Cerita “poster palsu” seperti
itu tak ada dalam historiografi yang kadung jadi “kebenaran”.
Nah, buku Soemarsono yang diterbitkan Hasta Mitra mengisi
lembar cerita baru historiografi “Surabaya 1945” itu. Sama dengan Dahlan Iskan
yang terkaget-kaget dengan buku Soemarsono, kita yang selama ini menganggap
cerita “Surabaya 1945” itu sudah selesai sebagaimana
adanya di buku
pelajaran di semua strata pendidikan juga tak
kurang-kurang kagetnya dengan
esei Dahlan Iskan yang muncul sambung-menyambung.
Tak hanya renyah, esei
panjang itu juga memberitahu tabu yang selama ini jadi momok bahwa ada tokoh
sentral yang “digunting” dari poster peristiwa besar bernama “Surabaya 1945”.
Dan orang itu bernama Soemarsono di mana tiga tahun setelahnya “dihukum mati”
karena terlibat peristiwa “Madiun 1948” yang melibatkan Partai Komunis
Indonesia (PKI).
Fakta yang disumbang Soemarsono yang mengagetkan itu adalah:
dialah yang menjadi ketua Pemuda Republik Indonesia (PRI). Anggota-anggota di
dalamnya termasuk Roeslan Abdulgani dan Sutomo (Bung Tomo). Kemudian suara Bung
Tomo jadi terkenal karena dalam PRI itu tugasnya memang
sebagai Ketua
Bagian Penerangan yang salah satu kerjanya adalah berpidato.
(Soemarsono, 2008: 39-41)
Sebagai tokoh sentral PRI tentu saja Soemarsono selalu muncul
dalam bingkai momen penting “November 1945” seperti insiden bendera Hotel
Yamato (19 September 1945), rapat raksasa Tambaksari (21 september 1945),
pelucutan senjata tentara Jepang (29, 30 September, dan 1 Oktober 1945),
pertempuran tiga hari melawan tentara Sekutu Inggris (28-30 Oktober 1945),
hingga pertempuran 10 November 1945 yang menurut Soemarsono korbannya mencapai
200.000 orang.
Bahkan, Soemarsono-lah salah satu tokoh yang
juga menghadap Presiden Sukarno untuk memberi pertimbangan bahwa 10 November
dijadikan “Hari Pahlawan” lantaran daya gegap heroisme dan skala korban yang
jatuh. Ketika muncul perdebatan siapa paling berjasa dalam insiden bendera di
Hotel Yamato, bekas Menteri Pengerahan Tenaga Kerja (Petera) Soedibjo
jelas-jelas menunjuk Soemarsono ini pahlawannya walau sosok yang ditunjuk terus
mengelak bahwa momen Surabaya 1945 adalah perjuangan kolektif, bukan perjuangan
satu dua orang.
Dan buku itu dikeluarkannya sambil menderet “bintang-bintang
baru” peristiwa “Surabaya 1945”, seperti Roeslan Widjajasastra, Sapia, Bambang
Kaslan, Supardi, Mustopo, Darto Perang, Hario Kecik, selain tentu saja bintang-bintang yang
sudah dikenal luas macam Bung Tomo dan Roeslan Abdulgani.
Isi buku sosok yang kerap disapa Sukarno sebagai “ini adikku
Kakrasana” itu memang menohok dan membikin pembacanya terhenyak dan sekaligus
bertanya ulang mengapa begini mengapa begitu. Dahlan Iskan yang membuat
(sebagian) pesan buku itu dikonsumsi publik secara luas.
Mestinya, ketika mendapatkan informasi menohok dan bikin
terhenyak seperti itu, mereka yang terdidik dengan tradisi akademisi
mengeluarkan segala kemampuannya untuk menelisik ulang data-data historis yang
didedahkan Soemarsono yang memang dalam sumber sejarah primer karena ia adalah
pelaku dan bahkan tokoh sentral dalam gelombang peristiwa. Seperti yang dikatakan wartawan Rosihan Anwar bahwa ia tak
melihat sosok pemuda Soemarsono di front “Surabaya 1945”.
Tapi itu tak terjadi. Stigma bahwa seorang marxis tak boleh
tampil di semua panggung sejarah lebih mengabuti ketimbang kejernihan mencerna
secara dingin cerita masa lalu. Dengan berbekal stigma “tak mau dipatok ular dua kali”, ratusan orang yang tergabung dalam
Front Anti Komunis (FAK) membakar buku Soemarsono itu. Termasuk di dalamnya seorang profesor sejarah.
Mereka yang murka dan mengepung Gedung Graha Pena Jawa Pos
pada 2 September 2009 itu kukuh menolak komunis, tapi sesungguhnya
mempraktikkan cara-cara komunis. Cara yang mana? Cara yang ada di halaman
pertama novel Milan Kundera yang terkenal: Kitab
Lupa dan Gelak Tawa yang terbit pertama kali 1978). Simak cuplikannya:
Bulan Februari 1948,
pemimpin Komunis Klement Gottwald melangkah keluar menuju balkon sebuah istana
Barok di Praha untuk berpidato. Salah satu pengapit Gottwald Clementis yang
menanggalkan topi bulunya buat Sang Ketua karena salju lebat turun. Foto
terkenal itu disebarkan ribuan kopi karena dipakai sebagai patok sejarah: di
atas balkon itulah Partai Komunis lahir.
Empat tahun kemudian
Clementis dituduh berkhianat dan digantung. Foto Clementis yang sudah kadung
tercetak di foto bersejarah itu, oleh seksi propaganda partai, segera dihapus.
Hasil croping itu: Gottwald sendiri berdiri di balkon. Satu-satunya yang
tersisa dari Clementis hanyalah topi yang terpacak di kepala Gottwald.
Seperti nasib Clementis, seperti itu
pula nasib Soemarsono. Ia dicroping dari poster raksasa “Surabaya 1945” itu.
Resensi sambutan Dahlan Iskan atas buku Soemarsono, Revolusi Agustus, tak ubahnya mengembalikan sobekan cropping yang dibuang paksa kekuasaan
yang anti terhadap semua buku bertagar #PKI, #Komunisme, #Marxisme, #Leninisme.*
1 comment:
Dekonstruksi "Surabaya 1945" dan historiografi ulang peristiwa itu harusnya diteruskan. Dahlan Iskan sudah memainkan peranannya untuk menyorot pentingnya buku/kesaksian atas Soemarsono.
Librisida (libricide) semacam pembakaran buku, bahkan ulah profesor sejarah sekalipun, tidak bisa menghentikan kebenaran sejarah.
Jadi ingat puisi Asep Sambodja untuk profesor itu. Atau lagu Jangan Bakar Buku - ERK. Kita perlu membangun kekuatan melawan pemberangusan buku-buku sejarah alternatif. Sekian pendapat saya, tulisan yang sungguh membakar.
Amang
Post a Comment