13 May 2013

Karena Kau Hanya Butuh 2 Ubin Rumahmu untuk Bangun Perpus dengan Koleksi Jutaan Buku

::gus muh

Kau mengeluh bukan karena kekurangan, tapi karena kelebihan. Ini juga bukan soal uang, tapi ruang. Katamu, tak ada lagi ruang untuk menampung buku-buku.

Itu keluhanmu di tahun paling akhir.

Tujuh tahun sebelumnya kau bertanya bagaimana caranya memiliki perpustakaan pribadi di saat yang sama, dalam kota ini, kamu hanya punya satu kamar. Menyewa pula. Kamu berpikir tentang berpindah dari satu ruang ke ruang yang lain. Kau berpikir tentu jika punya perpustakaan, maka menyulitkan untuk hijrah dari satu kos ke kos yang lain. Bila sudah tiba waktunya untuk kembali ke kota asal, betapa repotnya mengatur perpindahan barang. Dan buku adalah salah satu benda dengan massa yang berat.

Saat itu, kau tahu, aku hanya mendengar. Kau benar di masa ketika masa masih sibuk melahirkan diktator; atau masa sedang mencari celah bagaimana mengubur diktator terakhir dalam kota yang kau huni. Membuat perpustakaan dengan menyusunnya di rak-rak kayu atau besi menjadi mustahil bagi seorang aktivis yang sibuk macam kau. Pada akhirnya yang terbayang di pelupuk matamu adalah buku-buku itu akan hancur dalam karung atau kardus yang diompoli air-air dari wuwungan.


Tapi masa berubah. Kau tahu itu. Kau sudah memegang gadget dengan teknologi paling baru dan minthilir yang kau kantongi ke mana-mana. Dan bahkan lantaran sibuknya kau harus menjawab pesan-pesan masuk saat kau mengemudikan mobil lawas kesayanganmu.

Dan kau, di bawah pohon ketapang dekat pantai, bersuara sekuat angin menceritakan rumah mewahmu yang ukurannya hanya 3x3. Ruang tamu kau tempatkan satu sofa panjang minimalis. Berdempetan dengan meja kerjamu yang berwarna putih, kau membuat undakan menyerupai tangga untuk menuju tempat tidur di loteng yang hanya setinggi 2 meter. Tangga itu sebetulnya lemari pakaian yang berbaris rapat dengan brankas untuk gudang, namun atasnya dibuat undakan menuju kasur tidur. Dapur dengan kompor gas mini untuk memanaskan air yang sebangun dengan meja makan yang berukuran tiga ubin kau tempatkan bersisian dengan jendela. Dan tentu saja kamar kakus mungil yang didesain kering.

Sebagai duda yang baru saja bercerai tanpa anak, rumah pribadi berukuran 3x3 sudah cukup ideal. Itu sudah cukup menampung memori masa-masa yang jenial dalam hidupmu: menjadi mahasiswa di kota yang setengah gila.

Lalu, rumah dengan ukuran 3x3 macam begitu, bagaimana membuat perpustakaan. Mau ditempatkan di mana buku-buku dengan massa dan ukuran yang memakan ruang yang besar. Bisa-bisa rumah 3x3 itu jadi gudang yang buruk. Dan buku menjadi penyumbang debu yang banyak dan merusak kesehatan.

Lalu kau bilang, kau mengecer semua buku yang kau beli dengan susah payah semasa mahasiswa ke rumah teman-teman lamamu. Entah bagaimana nasib buku-buku itu kini.

Padahal di era saat kau menjadi duda saat ini, saat fajar digitalisasi sedang merekah dan menuju siang yang cemerlang, kau hanya butuh dua ubin untuk perpustakaan di kamarmu yang 3x3 itu. Dan ruang 2 ubin itu bisa menampung buku jutaan judul yang menemanimu menjadi blogger yang produktif, copywriter, penulis skenario yang data-datanya dibentengi sebuah perpus dengan jumlah koleksi raksasa yang hanya berukuran 2 ubin.

Kau tersentak. Dan teringat kembali pada buku-buku yang kau ecer pada teman-teman lamamu. Kataku, panggil kembali buku-buku itu. Jadikan pondasi terdasar untuk bangunan perpus 2 ubinmu. Jagal mereka! (Bersambung)

1 comment:

Unknown said...

assalamu'alaikum, saya mahasiswa UMS yang sedang skripsi dan objek skripsi saya adalah salah satu novel anda, maka dari itu saya mohon sedang sangat sobat muhidin mengirimkan bografi anda kepada saya ke email tantosuranto@gmail.com biografi saudara untuk bab 3 saya, mohon dengan sangat. terima kasih