02 March 2014

Plagiator Tak Ada Matinya

:: gus muh

Sebagaimana dosa yang selalu membuti manusia hingga akhir hayatnya, godaan plagiarisme juga selalu menempel dalam praktik kreativitas seorang “bangsawan fikiran”. Anggito Abimanyu, sang “bangsawan fikiran” yang mundur sebagai lektur di Universitas Gadjah Mada pada pekan kedua Februari 2014 bukan akhir dari sejarah plagiarisme yang terungkap. Dan sebagaimana dosa, praktik plagiarisme yang dilakukannya hanya heboh sesaat dan setelah itu dilupakan kembali.

Dosa  plagiarime bukan hukuman mati bagi pelaku kreativitas. Semuanya bisa diatur, semuanya bisa dimaklumi. Paling tidak untuk semua kasus plagiarisme di Indonesia, masyarakat memberikan pemakluman yang sangat tinggi. Lini masa plagiarisme Indonesia setidaknya bisa dijadikan acuan atas tesis itu.


Chairil Anwar yang dituduh melakukan plagiat pada tahun 1949 atas puisi Andre Gide. Dan itu dosa biasa saja yang sekaligus menunjukkan bahwa Chairil bukan malaikat. Karena itu, namanya tetap menjulang dan terhormat dalam cakrawala puisi Indonesia. Bahkan tiap tahun Lekra dan PKI memperingati 28 April sebagai Hari Sastra Indonesia.

Chairil tak sendiri. Pada 1962, nama Hamka hampir rontok oleh kasus plagiarisme yang dituduhkan Lekra atas romannya Tenggelamnya Kapal v.d. Wyjk. Dan tampaknya plagiarisme itu hanya dosa semasa. Pada masa yang lain, rezim yang lain, Hamka justru ditunjuk menjadi Ketua Majelis Ulama Indonesia. Bahkan buku yang dituduhkan plagiat itu, oleh masa dan generasi yang lebih baru, di-fetish-kan menjadi sebuah film dengan penonton yang luar biasa banyaknya.

Yahya Muhaimin nasibnya sama dengan Hamka. Setelah gempor dengan tuduhan plagiarisme pada 1992 atas tesis doktoralnya MIT Cambridge, AS, 1982, “Indonesian Economic Policy 1950­1980: The Politics of Client Businessmen”. Tesis yang kemudian diterbitkan LP3ES pada 1991 dengan judul Bisnis dan Politik itu dituding Ismet Fanany sebagai plagiat yang dijiplak dari karya Lance Castles, Gibson, Sutter, dan Robison.

Sepuluh tahun setelah kasus penjiplakannya lewat, Muhaimin mendapatkan jabatan mulia sebagai Menteri Pendidikan Nasional di masa pemerintahan Abdurrahman Wahid. Mirip-miriplah dengan residivis korupsi yang comeback dalam jabatan publik di pemerintahan.

Di lingkungan universitas hukuman paling berat bagi plagiator adalah dicopot gelarnya. Nasib apes ini didapatkan Amir Santoso (1997, FISIP UI membatalkan gelar doktornya), Ipong S Azhar (2000, UGM mencabut gelar doktornya setelah ketahuan mencuri kutipan skripsi Nurhasim), Zulfan Heri (2000, Universitas Riau, merampok tesis Sri Nilawati), dan Dr M Nur MS (2004,  Univ Andalas, Padang, menjiplak skripsi Boby Hendry).

Selain itu, kasus rampok-merampok ini juga menimpa Sri Woro B Harijono (2008), Mochamad Zuliansyah (2010, gelar doktornya dicabut ITB), Profesor Anak Agung Banyu Perwita (2010, Universitas Parahyangan Bandung).

Barangkali salah satu yang mewakili plagiarisme teknis sekaligus plagiarisme bentuk lain (plagiarism of authorship) adalah kasus Ketua Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) DPR RI, Marwan Jafar, yang tak hanya memakai ghost writer untuk menulis artikel energi di Koran Tempo (13 Januari 2012), tapi juga si penulis hantu memplagiat tulisan mahasiswa dari Makassar. 

Plagiarisme Institusional


Masih ada sederet panjang kasus plagiat yang kecil-kecil dari pelbagai ranah yang tak usah disebutkan di sini. Tapi paling tidak, kasus plagiarisme yang paling banyak direndengkan adalah plagiarisme yang bersifat teknis: mengambil sebagian atau seluruhnya tulisan tanpa menyebutkan sumber dan mendakunya sebagai gagasan-tulisnya sendiri. Sifatnya personal.


Ada plagiarisme yang lain, yang lebih struktural, dan bersifat massif. Yakni, ”plagiarism of authorship”, yaitu pencurian terang-terangan dan tinggal menempel nama pada suatu karya.

Pendapat Brian Martin dari American  Historical Association yang dikutip Dhakidae (2008) ini menunjuk pada modus operandi ghost writing dan speech writer. Dan praktik plagiarisme ini bisa dinisbatkan pada seorang lurah, camat, bupati, gubernur, menteri-menteri, hingga presiden.

Plagiarisme jenis ini, bukan hanya dimaklumi, melainkan tidak pernah dipersoalkan masyarakat sebagai praktik plagiarisme. Malahan, tulis Dhakidae, para penulis hantu dan penulis pidato ini tidak hanya menikmati keuntungan finansial yang berlimpah, malainkan bisa bekerja di jabatan-jabatan terhormat di pemerintahan.

Memang yang agak apes adalah plagiarisme teknis. Mendapatkan makian sesaat di sebahagian kecil masyarakat di lembar pers atau media sosial, namun satu dua bulan “dosa”nya sudah bersih dari memori. Catatan dosa si plagiator hanya abadi di mesin pencarian internet, tapi dalam kehidupan sosial yang nyata namanya kembali membaik. Hidup normal.

Beginilah masyarakat Pancasila ini memperlakukan setiap pendosa dari “bangsawan fikiran”. Mereka pemaaf, bukan hanya kepada plagiator, tapi juga algojo pembantai manusia saudaranya sendiri. Bagi masyarakat, jadilah pendosa apa saja, plagiator, koruptor, penculik dan pembunuh massal, asal jangan dua dosa ini: menjadi penganut paham Ahmadiyah atau Syiah dan memberikan persetujuan dengan paham komunis. Demikian.

[NOTE: Lini masa selengkapnya kasus plagiarisme di Indonesia 1949-2011, silakan baca di bagian penutup buku "Aku Mendakwa Hamka Plagiat: Skandal Sastra Indonesia 1962-1964)"]



No comments: