22 June 2014

ART JOG 2014 dan Pewarisan Politik Suram


ART|JOG|14 semacam survei visual pandangan politik ratusan seniman terhadap politik kiwari Indonesia dengan pertanyaan yang sama: apa yang diwariskan kekuasaan sejak Indonesia merdeka tahun 1945?

Mari kita mulai dari jawaban seniman sepuh, Edhi Sunarso. Pematung yang berkarya di era Sukarno, Soeharto, dan enam presiden di era Reformasi menjawab: Sukarno. Dalam pikiran Sunarso, jika warisan-warisan politik itu diperas sedemikian-demikian, maka warisan itu bernama Sukarno. Sukarno yang ditampilkan Sunarso adalah patung yang menjulang hingga menjebol langit-langit Taman Budaya Yogyakarta di mana pagelaran ART|JOG diselenggarakan. 

Patung perunggu ini juga menjadi karya dengan tinggi hampir lima meter.

Sukarno mewariskan ideologi persatuan nasional dengan irama politik yang berdentam-dentam, paling tidak 8 tahun sebelum kekuasaannya hilang secara tragis. Tragika Sukarno itu digambarkan secara simbolik dengan permainan ironi visual (kulit buaya), audio (tuturan korban kekerasan 1965), audiovisual (dua panel sosok yang kerokan di tengkorak kepala buaya) oleh Mella Jaarsma dalam "Lubang Buaya". Barangkali "lubang buaya" adalah satu-satunya warisan frasa tentang "sumur" yang menyimpan nyeri dan diperebutkan secara politik oleh rezim untuk mengukuhkan legitimasi.



Secara kontemporer, frasa "lubang buaya" dalam sejarah suram itu dihadapkan secara kontras Joko Pekik -- perupa Bumi Tarung korban 1965 -- dengan lubang galian raksasa Freeport di Mimika Papua dalam lukisan jumbo "Go To Hell Crocodile". Ada kesinambungan sejarah (sebab-akibat) lahirnya dua sumur itu. Politik "Lubang Buaya" adalah jalan tol masuknya perusahaan-perusahaan tambang dan minyak Amerika Serikat di mana salah satunya PT Freeport.


Warisan Kekerasan


Kekerasan seperti menjadi ingatan abadi dalam alam sadar seniman. Midori Mirota dalam "Sang Saksi Kesejarahan" menyajikan "ruang tamu" yang dipenuhi 130 foto hitam-putih narasumber yang diwawancarainya terkait Perang Dunia II yang membentang dari Indonesia (Bali, Blitar) hingga Filipina dan Jepang.


Eksponen Kepribadian Apa (Pipa) FX Harsono bahkan secara berolok-olok menganggap kekerasan telah menjadi gaya hidup rezim Orde Baru dengan menampilkan ulang karyanya yang dibuat pada 1977.  "Apa Yang Kamu Lakukan Bila Krupuk ini Menjadi Pistol Beneran" adalah tumpukan ribuan krupuk pistol berwarna pink yang menegaskan betapa pistol adalah "mainan politik" dan gaya hidup kaum paling berkuasa dan populer.


Kekerasan politik memang selalu mengarah pada penggunaan senjata. Namun menjadi ironis ketika senjata itu berada di pelukan sejumlah anak-anak di Laos sebagaimana ditampilkan perupa kelahiran Yugoslavia Marina Abramovic  dalam "8 Lessons on Emptiness with a HappyEnd". Senjata tak hanya diproduksi untuk berlaga di medan tempur, tapi juga hadir secara nyata dalam permainan virtual anak-anak, dalam game station.


Serdadu berpistol ini pula yang diingat Hari Prasetyo ketika menautkan mulut bergerigi buldoser, cermin, dengan foto hitam putih mereka yang ditembak mati tanpa pengadilan; mulai dari Tan Malaka, Aidit, hingga Noordin M Top. Senarasi dengan Hari yang bertajuk "Chamber" itu adalah karya instalasi Jompet Kuswidananto bertitel "Poem of Voice #2". Jompet menghadirkan dalam ruang gelap tiga puisi pamflet penyair pelo yang (di)hilang(kan), Widji Thukul.


Dan puncak dari pemahaman seniman tentang warisan politik yang kalut oleh kekerasan fisik dan sekaligus simbolik itu adalah presentasi Samsul Arifin yang didapuk mengapresiasi luar ruang pameran (commision work). Karya "Goni" itu menampilkan puluhan boneka berkepala binatang yang dibuat dari goni yang berpose di depan Istana Merdeka. Samsul yang setia mengawinkan praktik menjahit dalam kerajinan dan melukis memperlakukan goni sebagai wajah budak di masa kolonialisme dan sekaligus binatangisme politik paskakolonial sebagaimana digambarkan dalam fabel politik George Orwell, "Animal Farm".


Banalitas Warisan


Respons seniman dalam ART|JOG14 terhadap politik Indonesia umumnya respons negatif. Di bawah sadar seniman, hampir tak ada warisan politik yang layak dibanggakan. Wajah politik yang dipresentasikan semua-muanya kusam.


Pancasila, UUD 1945, Bhineka Tunggal Ika, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah warisan politik paling utama yang dalam praktik sehari-harinya mengalami pemajalan dari masa ke masa. Pemilihan anggota legislatif, kepala daerah, dan presiden secara langsung adalah ejawantah dari empat warisan politik penting tersebut, namun yang dilihat dan dipresentasikan secara verbal Dodik Wahyu dalam "Choose the Chair" dan Aditya Novali dalam "Made In/By/For Indonesia" tak lain hanya soal uang belaka. Tak lebih dari itu.


Tafsir warisan politik simbolik justru diajukan perupa Galam Zulkifli ketika membaurkan wajah-wajah presiden sejak Sukarno hingga Susilo Bambang Yudhoyono tatkala menyikapi warisan "Bhinneka Tunggal Ika". Ilusi-ilusi yang jauh dari presentasi yang suram sebagaimana teks Pancasila lawasan Ari Bayuaji dalam "Promises", karya Galam ditampilkan dengan warna-warna cerah dan optimis, tapi sekaligus menjaga sikap kritis. Ia menantang ingatan linimasa publik bagaimana keenam presiden Indonesia itu merawat "Bhinneka Tunggal Ika" (keragaman dalam kesatuan) dalam regangan kebijakan politiknya.


Isu kebhinnekaan dalam kesatuan juga yang menjadi sorotan Olga Rindang Arnesti tatkala ia membuat kotak-kotak kayu yang diisi boneka dalam pelbagai bentuk di sebuah kamar Indonesia. Walau karya yang diberi judul "Mind and Boxes" ini diberi penjelasan verbal yang negatif dan cenderung naif tentang (partai) politik, namun presentasi karya ini simbolik dan sebetulnya kaya makna.


Tahulah kemudian kita bagaimana sikap dan sensibilitas seniman tentang wajah warisan politik via ART|JOG|14 yang bertajuk: "Legacies of Power". Sebuah potret politik riuh, kasak-kusuk, namun sebetulnya suram dan banal! [gusmuh]

* Versi cetak dipublikasikan Harian Jawa Pos edisi 6 Juli 2014

No comments: