Poster adalah plakat yang berisi lembar gambar dan teks yang disiarkan kepada publik. Berbeda dengan publikasi seperti buku, brosur, poster merupakan pesan singkat yang impresif lewat warna dan kata. Tujuannya tak hanya mempengaruhi, melainkan menggerakkan persepsi.
Dalam sejarah politik di Indonesia fungsi poster adalah protes. Seniman-seniman revolusioner seperti Sudjodjono, Affandi, Hendra Gunawan adalah pembuat-pembuat poster propaganda yang legendaris.
Tapi hampir tak ada sejarah visual yang mencatat dari mana mereka belajar membuat poster. Satu-satunya data yang menuntun adalah bahwa di majalah Jawa Baru ada seniman Jepang bernama Saseo. Seniman ini juga yang kerap blusukan membuat coretan-coretan dinding yang impresif di Jakarta dan Tangerang untuk kepentingan propaganda Jepang.
Garis-garis grafis yang mirip dengan karya Saseo inilah kita temukan kemudian di gerbong kereta atau di poster “Bung, Ayo Bung” yang dibuat Affandi feat Chairil Anwar yang kemudian melegenda itu.
Politisi macam Sukarno tahu, protes tanpa poster ibarat pidato tanpa mikrofon. Pegiat-pegiat massa politik semacam PKI di Pemilu 1955 sadar poster merupakan alat propaganda yang efektif untuk merebut perhatian. Poster yang berisi gambar dan kata penggugah menjadi bagian penting dalam agitasi dan propaganda untuk menyerang kubu lawan di satu sisi, dan di sisi lain ajakan untuk kolaborasi.
Tapi poster sebagai protes terkubur seiring bergantinya haluan politik dengan kredo kestabilan dalam segala garis. Poster bukan lagi karya yang diproduksi seniman secara bebas. Poster menjadi kreasi rumah-rumah desain yang membuat apa saja sesuai pesanan. Seniman grafis dan desain visual seperti pengisi mesin besar ini. Dari pemilu ke pemilu, terutama era multipartai kedua setelah 1955, studio-studio desain yang umumnya merangkap dengan percetakan ini mendapatkan banjir pesanan.
Poster pesanan memiliki ciri yang khas; berebut untuk ditonton dengan pesan-pesan yang monoton. Bahkan sejak Pemilu 2009, tatkala anggota legislatif dipilih secara langsung, produksi poster seperti air bah yang kemudian melahirkan frase "sampah visual". Disebut sampah, karena tak memiliki ruh apa pun selain mempertontonkan narsisme yang akut. Karena sampahlah maka pengajar Diskomvis ISI Yogyakarta, Sumbo Tinarbuko turun tangan membersihkannya.
Namun berbeda dengan pemilu mutakhir, terutama sekali pemilihan presiden. Kerja pembuatan poster yang dibuat secara serius menemukan momentumnya. Sosok Jokowi -- dengan magnituda yang menguar dalam dirinya – mampu menarik para relawan seniman poster untuk berkarya di panggung raksasa bernama Pemilu 2014 Jilid II. Dan ini menjadi pembeda yang signifikan dengan lawan tarungnya.
Saya menyebut nama Alit Ambara di tempat teratas dalam produksi poster politik Pemilu 2014. Alit adalah seniman poster paling bersinar saat ini. Pada Oktober 2013, ia bersama Folk Mataraman Institute (FMI) membuat pameran visual tunggal bertajuk "Posteraksi" di Bentara Budaya Yogyakarta. Pameran itu berisi 180 poster aksi yang dibuatnya untuk meneriakkan protes dan sekaligus kesaksian politik. Dari jumlah posternya saja kita tahu betapa seriusnya Alit Ambara yang bekerja di bawah kibaran bendera Nobodycorp Internationale Unlimited.
Jika umumnya poster-poster Alit ditempel di dinding kota, pada pagelaran pemilu ini ia menyebarnya di media sosial. Selain untuk pencerahan pemilih, poster-poster Alit bertugas untuk menghalau kekuatan jahat yang merayap menuju puncak kekuasaan. Kekuatan jahat itu berdiam dalam korporasi dan institusi politik.
Selain nama Alit, ada dua nama juga yang mencuri perhatian, yakni Hari Prast dan Yoga Adhitrisna. Dua seniman poster dan komik inilah yang menafsir blusukan Joko Widodo dengan gambar petualangan seperti Tintin (Download). Poster keduanya ditanam di web daring dan dibagi secara terbuka dan massif via media sosial untuk menunjukkan Jokowi adalah sosok pekerja yang tak pernah lelah mengelilingi pasar-pasar tradisional di Indonesia; dari Papua hingga Aceh. Bahkan, menyinggahi ruang-ruang kerja seniman.
Pesan poster Hari Prast dan Yoga ini mengisi karakter Joko Widodo yang lebih banyak bergerak ketimbang berwacana. Poster yang dikelola dalam tajuk “Gulung Lengan Bajumu”, nah ini, justru bukan poster protes melainkan ajakan persuasif memahami kedalaman kerja Jokowi.
Jika poster Alit Ambara berpotensi “membikin rame”, sebagaimana perhelatan pameran poster sehari, 2 Juli 2014, di Ruang Rupa Jakarta dengan tajuk “#Siaga2#Jaga2”; poster Prast dan Yoga justru “membikin gembira”.
Kegembiraan itu juga yang disasar-pasarkan seniman grafis dan mural Samuel Indratma ketika mengolah foto-foto lucu Dwi Oblo dan menyebarkannya di media sosial. Saat kita disuguhkan kehadiran kolase foto/meme dengan pesan-pesan hitam yang datang secara bergelombang seperti virus sampah akal budi, penyusupan kreatif Samuel dengan pesan-pesan enteng yang diusungnya menjadi semacam oase yang menjaga kewarasan dan kegembiraan politik pemilu.
Yang ingin saya katakan bahwa kehadiran poster-poster seni dalam tradisi berpolitik Jokowi memberi harapan baru kembalinya poster seni di belantika politik Indonesia. Kehadiran dan kemampuan persuasinya tidak bisa dianggap enteng. Poster adalah tenaga raksasa yang diam dalam memobilisasi dukungan dan membuat gelombang teriakan lebih bergema dan berdetak lama dalam lini masa pikiran publik.
Apalagi, poster-poster dan seniman yang saya sebutkan di sini adalah mereka yang terdorong ikut secara bebas dan sukarela. Bukan kerja dari sebuah mobilitas yang dilakukan partai atau kekuatan modal tertentu. Mereka bukan penunggu studio dan pencatat blanko kuitansi untuk kerja poster di Pemilu 2014 ini.
Kerja seniman-seniman ini bagian dari, sebagaimana kata-kata dalam salah satu poster digital bikinan Samuel Indratma, “Ini Revolusi Mental, Bung!” [gusmuh]
Poster Alit Ambara |
Poster Alit Ambara |
Alit Ambara | Strategi Jaga Suara |
Alit Ambara | Ajakan Coblos |
Alit Ambara | Kawal Suara |
Hari Prast-Yoga Adhitrisna |
Hari Prast-Yoga Adhitrisna |
Hari Prast-Yoga Adhitrisna |
Pameran Poster Bersama 3 Juli di Galeri Salihara Jakarta |
Pameran Poster Bersama di Ruang Rupa Jakarta, 2 Juli |
Samuel Indratma - FMI |
Samuel Indratma - FMI |
Samuel Indratma - FMI |
Versi cetak dipublikasikan Harian Koran Tempo, 14 Juli 2014
No comments:
Post a Comment