KETIKA Hari Guru (Sekolah) lewat dalam linimasa, saya sedang berhadapan dengan buku utama terbitan Departemen Pendidikan Nasional berjudul "Seratus Tahun Perjuangan Guru Indonesia" (1908-2008).
Sekilas judul “Seratus Tahun” itu mengherankan saat kita mengetahui bahwa Hari Guru selalu dinisbahkan pada hari saat Kongres I Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) di Surakarta ditutup dengan pengesahan Anggaran Dasar, 25 November 1945. Sebagaimana jurnalis via PWI, sejak saat itu guru mengenang hari-jadi profesinya lewat kultur organisasi yang menaunginya.
Dalam Anggaran Dasar PGRI pasal IV (tentang anggota) disebut bahwa anggota PGRI adalah guru sekolah dan memiliki ijazah guru. Artinya, guru yang dimaksud adalah guru formal lembaga yang bernama sekolah dan bukan "guru bangsa".
Tafsir luas tentang definisi guru oleh buku Seratus Tahun Perjuangan Guru Indonesia (292 hlm) yang dikeluarkan Departemen Pendidikan merupakan kemajuan dan sekaligus menimbulkan keharuan. Kita menemukan kenyataan baru dalam persepsi pemerintah bahwa guru tak mesti berada di arena bangku sekolah dan kelas, melainkan mereka yang mendidik bangsanya di jalan pergerakan untuk pemerdekaan. Sebut saja “Guru Bangsa”.
Termasuk dalam kerangka guru bangsa ini adalah seluruh penggerak perlawanan baik dari kalangan agama, pemikir nasional, maupun mereka yang disebut kiri-progresif atau komunis. Sampai di sini, dilema kemudian mengemuka.
Kenyataannya, sejarah Indonesia adalah sejarah bertumbukannya aliran ideologi. Perjuangan tak melulu dipikul oleh satu golongan. Termasuk guru, dan bahkan guru sekolah yang bernaung di bawah PGRI.
Padahal PGRI bukanlah organisasi tunggal guru. Sejarah mencatat di dunia pendidikan pernah ada Ikatan Guru Marhaenis, Persatuan Guru NU, Ikatan Guru Muhammadiyah, Persatuan Guru Kristen Indonesia, Ikatan Guru Katolik, Persatuan Guru Islam Indonesia, dan seterusnya.
PGRI mengecam organisasi-organisasi itu yang lebih condong dan sibuk mengurusi ideologi dan partai indukannya ketimbang serius mengurus profesi guru. PGRI mengklaim dirinya sebagai organisasi profesi guru yang bersifat unitaristik, independen, dan nonpartai.
Puncak dari pergolakan guru di tubuh PGRI, sebagaimana terjadi di tubuh organisasi jurnalis PWI, adalah ketika Kongres X PGRI dilangsungkan di Jakarta pada November 1962. Dengan semangat Manifesto Politik 1959, guru-guru yang disokong PKI ini melakukan “pembangkangan” di tubuh PGRI di kongres itu.
Guru-guru yang menjadi keluarga ideologi PKI dan sekaligus menjadi pendukung garis-keras politik Sukarno dalam pendidikan disebut-sebut sebagai monster yang menghitamkan garis putih/bersih sejarah guru Indonesia. Apalagi guru-guru itu melakukan eksodus besar-besaran dan membuat wadah tandingan PGRI Non-Vaksentral (PGRI NV) pada Juni 1964.
Pergolakan keras ini menyeret PGRI ke dalam avonturisme politik baru yang selama ini samar-samar diakui. Menuduh PGRI Non-Vaksentral membawa guru bermain dalam politik praktis justru mengalami deviasi. Sebab PGRI yang kehilangan sandaran politik justru perlahan-lahan merapat ke tentara, sebagaimana secara berjamaah para seniman dan budaya semasa (Manifes Kebudayaan) berlindung di bawah politik serdadu yang menjadi musuh utama PKI dan Sukarno.
PGRI yang dibekingi Tentara ini kita tahu kemudian keluar sebagai pemenang dalam palagan politik berdarah 1965 melawan PGRI NV. Organisasi ini sepanjang 1966-1967 disibukkan dengan upaya pembersihan dan pengganyangan PGRI NV yang menjadi momok hiyong dalam sejarah guru di Indonesia.
Inilah tahun-tahun gelap hidup guru-guru sekolah mengalami penghinaan yang tiada tara. Mereka yang membangun aliansi sebagai guru sekolah yang progresif di luar vak yang digariskan PGRI diciduk, dipenjara/dibuang, dan bahkan ribuan jiwa dibunuh dalam operasi malam yang menakutkan. Sungguh di luar persangkaan si guru bagaimana politik merampas habis hidup mereka.
Kehadiran PGRI NV mulanya adalah pengondisian pada terbentuknya barisan guru yang melakukan transformasi langsung Tujuh Bahan Pokok Indoktrinasi Ajaran Revolusi Sukarno dalam kelas-kelas sekolah.
Pertimbangan Panitia Pembina Jiwa Revolusi yang diawasi langsung Sukarno adalah bahwa tenaga paling efektif dalam transformasi nilai adalah guru. PKI menyiapkan tenaga-tenaga guru yang diinginkan Sukarno itu; tidak saja memiliki kemampuan mengemong, tapi juga memiliki kesadaran politik nasional yang kuat.
Namun arus sejarah berbalik arah. PGRI NV justru semacam alamat sumur kematian dan sekaligus dianggap kutukan bagi sejarah politik guru sekolah yang bernaung dalam organisasi PGRI.
Sebab kita semua kemudian tahu sejak terompet gestok meraung di subuh hari, PGRI tak pernah lagi bisa keluar dari avonturisme politik-gelapnya yang mengabdi pada kepentingan rezim militer Orde Baru.
Prinsip independen dan unitaristik, dan nonpartai yang menjadi Khittah 1945 justru dimajalkan PGRI ketika bersama tentara dalam tiga dekade menjadi paket mesin politik untuk memenangkan konsestan tertentu dalam pemilihan umum.
Selamat Hari Guru (Sekolah)! [gusmuh]
* Edisi cetak dipublikasikan Harian Koran Tempo Minggu 30 November 2014
No comments:
Post a Comment