23 November 2014

Hatta, Bukittinggi, Buku

Perpustakaan Proklamator Bung Hatta - Bukittinggi

SAYA memasuki pelataran Perpustakaan Proklamator Bung Hatta pada pekan ketiga bulan November 2014 ketika warga kota Bukittinggi sedang menata aktivitasnya. Terletak di Gulai Banca, sebuah kawasan asri perbukitan dan satu kompleks dengan bangunan Balaikota, perpustakaan Sang Proklamator ini berdiri megah dan mewah. Semacam monumen bagaimana buku dan Hatta adalah satu kesatuan narasi yang tak terpisah. 

Dari tarikh yang terpatri di sebuah pigura yang dipajang di hall perpus yang berada di sisi kiri balaikota ini memberitahu bahwa saya terlambat datang sewindu untuk melihat bagaimana buku-buku Hatta mendapatkan rumah kembalinya yang pantas. Dengan kembalinya ikon Hatta ke Bukittinggi sekaligus menegaskan kota yang disebut Parisj van Andalas di Sumatera Barat ini menjadi kota bagi lahirnya sang pencinta buku garis-keras.

Memandang dari Bukit Gulai Banca Bukittinggi - Perpus Bung Hatta

Gunung Singgalang dari Bukit Gulai Banca Bukittinggi - Perpus Bung Hatta


Jamak kita tahu, Bukittinggi adalah kawasan pertahanan dan sekaligus simbol dari kedaruratan. Jika Belanda menjuluki Bukittinggi sebagai Fort de Kock di masa Perang Paderi dan Jepang di bawah Mayjend Hirano Toyoji pada masa Perang Pasifik menjadikannya pusat kendali militer untuk kawasan Sumatera, Singapura, dan Thailand, maka kini Bukittinggi adalah oase pengembaraan intelektual Hatta bersama buku-buku.
 

Perpustakaan Hatta -- terletak di perbukitan di mana kita bisa menyaksikan keindahan kota Bukittinggi yang mirip downtown -- adalah pertahanan terakhir dari kedaruratan buku-buku Hatta yang bertahun-tahun tak jelas pengelolaannya di Jakarta maupun di Yogyakarta.
 

Mulanya pemerintah kota Bukittinggi menguluk salam untuk memakai nama Hatta sebagai nama perpustakaan pada tahun 70-an. Namun itulah penantian panjang dan melelahkan. Di rentang waktu itu, bangsa ini membiarkan koleksi Hatta yang semasa hidupnya dijaganya sendiri dengan semangat asketis mirip seorang pertapa menjadi sebatangkara.
 

Di Yogyakarta, misalnya, Perpustakaan Yayasan Hatta meregang nyawa. Buku-buku koleksi Hatta dari pelbagai bahasa seperti Belanda, Perancis, Jerman diambil-alih UGM pada 2007. Namun, buku-buku itu menjadi anarkonisme di sudut perpus utama kampus Bulaksumur itu: berdebu nyaris tak terjamah tangan-tangan manusia.
 

Seperti perjalanan sejarah Indonesia yang tertatih-tatih, begitulah nasib perjalanan buku-buku Hatta. Hatta dan perjalanannya bersama buku tak ubahnya seperti tokoh komik Ganes TH, Badra Si Buta dari Goa Hantu yang menyeret peti mati kekasihnya ke mana pun ia pergi.
 

Peti-peti buku yang dibeli dengan susah payah di Belanda semasa kuliah mesti diseret-seret Hatta dari satu pembuangan ke pembuangan lainnya. Kisah pembuangan Hatta adalah kisah tentang ketertatihan membawa hartanya yang paling berharga dari apa pun: buku.
 

Butuh tiga dekade dan melewati empat pergantian presiden saat Perpustakaan Hatta di bawah kendali Badan Perpustakaan dan Arsip Kota Bukittinggi mendapat perhatian yang penuh. Apalagi, pada awal 2013 wajah Perpustakaan Proklamator Bung Hatta bersulih rupa lebih manusiawi dan menyegarkan ketika resmi dikelola langsung Perpustakaan Nasional saat negara mencanangkan membuat UPT perpustakaan proklamator di Blitar (Sukarno) dan Bukittinggi (Hatta).
 

Namun sangat disayangkan, koleksi-koleksi buku Hatta belum kembali ke Bukittinggi. Dari ratusan rak yang tersedia di dua lantai koleksi, buku yang ditulis Hatta dan atau yang dituliskan orang lain tentang Hatta hanya terdapat di satu rak. Atau dalam katalog hanya tidak lebih 100-an judul. Itu pun banyak dalam bentuk photo copy.
 

Artinya, koleksi puluhan ribuan buku yang dikumpul-koleksi Hatta semasa hidupnya masih ngontrak di perpustakaan UGM maupun di rumah keluarga di Jakarta. Padahal sudah khittahnya bahwa merawat koleksi buku-buku founding father yang bernilai sejarah tinggi itu tak boleh lagi menjadi tugas keluarga atau yayasan.
Ya, tugas itu sudah benar diambil-alih oleh negara via Perpustakaan Nasional karena perjalanan buku-buku Hatta adalah perjalanan sejarah Indonesia membangun batu-bata konsepsinya tentang kebebasan, kesejahteraan, dan amanah mencerdaskan kehidupan bangsa sebagaimana tertulis dalam paragraf preambule konstitusi dasar kita.
 

Tugas negara via Perpustakaan Nasional terdekat tentu saja secara berkesinambungan meminta agar koleksi Hatta yang masih tercecer di beberapa kota disatukan dalam kota lahirnya yang nyaman di Bukittinggi sebagai pusat studi pemikiran Hatta di Indonesia di masa datang.
 

Dengan begitu Bukittinggi bukan saja menabalkan diri sebagai kota yang pernah menjadi ibukota Republik di masa darurat, namun juga kota intelektual yang asri di mana Perpustakaan Proklamator Hatta menjadi ikon pencerahan baru terhadap buku. Sebab dari Hatta kita paling tidak belajar tiga hal dasar udnia literer: semangat yang kuat dan keras menjelajahi dunia pemikiran lewat jalan membaca, kegigihan menulis dan berpolemik lewat kultur pers dan pergerakan, dan kultur pendokumentasian dan merawat buku yang dilakukan dengan disiplin yang nyaris tanpa cela. [gusmuh]

Presiden SBY Meresmikan Perpus Bung Hatta Bukittinggi

Ruang Koran/Majalah Perpus Bung Hatta Bukittinggi

Photocopy Buku Hatta di Perpus Bung Hatta Bukittinggi

Seri Biografi Hatta di Perpus Bung Hatta Bukittinggi

Rak Buku Hatta (bukan buku-buku koleksi Hatta)
di Perpus Bung Hatta Bukittinggi








1 comment:

Life-Travel-Nature said...

Salam kenal bg