PRESIDEN Sukarno
mengungkapkan kedongkolannya saat berpidato pada upacara penganugerahan
penghargaan sayembara rencana Tugu Nasional di Istana Negara Jakarta, 17
November 1960. Pasalnya, jurnalis selalu menamakan kegiatan turisme
yang dilakukannya sebagai sebuah “darmawisata”.
Sebelum warsa 60-an, kata
“tour” memang sering diterjemahkan menjadi “darmawisata”. Padahal
menurut Sukarno itu istilah yang keliru. Yang benar adalah pariwisata.
Darmawisata itu mengembara yang diwajibkan, seperti halnya murid-murid
sekolah yang melakukan “schoolwandeling” ke pelbagai situs wisata macam
Kebun Raya, Cibodas, Gedung Merdeka, Monas, Museum Gajah, Candi
Borobudur, dan sebagainya.
Adapun pariwisata, seperti
kata Sukarno, adalah seseorang “jang meninggalkan rumah tangga,
mengembara, kemana-mana, keliling, all round, mendjalankan
'pariwradjaka'. Pari artinja all araound, keliling, keliling, keliling,
keliling jaitu pari. Kalau ada gawe, pari gawe ini, gawe, pari gawe,
pekerdjaan gawe disegala lapangan, jaitu bernama parigawe. Dus,
perkataan tour sadja sudah menggambarkan keliling, bunder”.
Sejak akhir tahun 1960
itulah -- saat Sukarno mengungkapkan kedongkolannya yang sangat -- kita
kemudian akrab menggunakan frase “pariwisata” untuk kegiatan turisme
dari satu kota ke kota lain; dari suatu kawasan yang unik ke kawasan
unik lainnya. Bahkan pada Kabinet Dwikora II (1966) atau masa senjakala
pemerintahan Sukarno untuk pertama kalinya membentuk Departemen
Pariwisata yang dipimpin Sultan HB IX.
Artinya, sejak 1966
pemerintah secara serius mengatur kegiatan berkeliling
menikmati/menghikmati satu monumen, candi, panorama alam, dan hal-hal
materil yang dilakukan karena kesukaan mengembara-tanpa-kewajiban yang
menjadi makna utama dari pariwisata.
Dengan anugerah alam yang
indah di darat dan di laut dan jejak peninggalan arkeologi yang kaya
dari sebuah masa yang lampau, Indonesia menata wisatanya dengan
sungguh-sungguh. Candi-candi dipugar, alam ditata, dan monumen-monumen
besar dibangun untuk merayakan sebuah tindakan berkeliling yang
menyenangkan. Tindakan menikmati ruang semacam itulah lazim kita namakan
pariwisata.
Parawisata itu Mindscape
Pembangunan dan penataan
benda-benda yang massif untuk dinikmati secara kolektif adalah jiwa yang
dituntunkan pariwisata. Namun wisata bukan hanya modus menikmati visual
atas benda-benda, melainkan penciptaan kreativitas, pembelajaran dalam
proses, edukasi, penguatan daya budi, serta pengembaraan spiritualitas.
Karena itu kita memiliki
istilah selain pariwisata, yakni “parawisata”. Parawisata adalah beyond
dari pariwisata. Jika kurikulum pendidikan pariwisata mengutamakan
bagaimana melayani para turis dengan strandar-standar tertentu, maka
parawisata adalah metode pendidikan yang mengobarkan hasrat siswa
menciptakan destinasi wisata dengan cara dan kreativitas yang baru.
Berkunjung ke Museum
Sangiran di Kabupaten Sragen, Jawa Tengah, adalah pariwisata. Tapi
menyaksikan gerhana bulan total dari Lembah Sangiran yang menjadi
tonggak masa silam lahirnya manusia berdaya budi (homo sapiens) adalah
parawisata. Menikmati pasir dan panorama ombak Pantai Pangandaran di
Jawa Barat adalah pariwisata. Namun hal itu menjadi parawisata bila kita
berbaur dalam pagelaran ritus sosio-spiritual “Syukur Pesisiran” dengan
warga tepian air Pangandaran.
Parawisata mengutamakan
kreativitas pada penciptaan lokus wisata yang tak melulu ruang. Ia
bahkan “memanipulasi” ruang itu sendiri untuk memberi makna baru dan
sekaligus menjadikan peristiwa wisata sebagai wisata itu sendiri.
Maka dalam parawisata,
festival/karnaval adalah wisata. Kuliner, fesyen, pameran seni dan buku,
mural kota, serta pertunjukan musik yang dihelat secara massif atau
terbatas adalah parawisata.
Karena sifatnya yang beyond
itulah, maka parawisata adalah modus baru dalam postur wisata terkini
kita. Kreativitas dan gagasan segar adalah penuntun utama dan bukan
destinasi yang terberi seperti panorama alam atau keberadaan sesuatu
yang bersifat bendawi seperti yang direpsentasikan museum.
Parawisata memungkinkan
kita melakukan penjelajahan yang sifatnya melampaui sesuatu yang
bendawi. Jiwa parawisata ada dalam semangat kolektivitas, kebersamaan,
penjelajahan individual untuk penciptaan tontonan baru yang menuntun
pada kebaruan dalam cara kita melihat ruang.
Jika dalam pariwisata modal utamanya adalah bentangan tanah (landscape), maka parawisata adalah bentangan pikiran (mindscape). Pariwisata mengandalkan pancaran sumber daya alam yang asri. Parawisata bertumpu pada sumber daya budi yang kreatif. [gusmuh]
No comments:
Post a Comment