16 November 2014

Parawisata

PRESIDEN Sukarno mengungkapkan kedongkolannya saat berpidato pada upacara penganugerahan penghargaan sayembara rencana Tugu Nasional di Istana Negara Jakarta, 17 November 1960. Pasalnya, jurnalis selalu menamakan kegiatan turisme yang dilakukannya sebagai sebuah “darmawisata”.

Sebelum warsa 60-an, kata “tour” memang sering diterjemahkan menjadi “darmawisata”. Padahal menurut Sukarno itu istilah yang keliru. Yang benar adalah pariwisata. Darmawisata itu mengembara yang diwajibkan, seperti halnya murid-murid sekolah yang melakukan “schoolwandeling” ke pelbagai situs wisata macam Kebun Raya, Cibodas, Gedung Merdeka, Monas, Museum Gajah, Candi Borobudur, dan sebagainya.

Adapun pariwisata, seperti kata Sukarno, adalah seseorang “jang meninggalkan rumah tangga, mengembara, kemana-mana, keliling, all round, mendjalankan 'pariwradjaka'. Pari artinja all araound, keliling, keliling, keliling, keliling jaitu pari. Kalau ada gawe, pari gawe ini, gawe, pari gawe, pekerdjaan gawe disegala lapangan, jaitu bernama parigawe. Dus, perkataan tour sadja sudah menggambarkan keliling, bunder”.

Sejak akhir tahun 1960 itulah -- saat Sukarno mengungkapkan kedongkolannya yang sangat -- kita kemudian akrab menggunakan frase “pariwisata” untuk kegiatan turisme dari satu kota ke kota lain; dari suatu kawasan yang unik ke kawasan unik lainnya. Bahkan pada Kabinet Dwikora II (1966) atau masa senjakala pemerintahan Sukarno untuk pertama kalinya membentuk Departemen Pariwisata yang dipimpin Sultan HB IX.

Artinya, sejak 1966 pemerintah secara serius mengatur kegiatan berkeliling menikmati/menghikmati satu monumen, candi, panorama alam, dan hal-hal materil yang dilakukan karena kesukaan mengembara-tanpa-kewajiban yang menjadi makna utama dari pariwisata.

Dengan anugerah alam yang indah di darat dan di laut dan jejak peninggalan arkeologi yang kaya dari sebuah masa yang lampau, Indonesia menata wisatanya dengan sungguh-sungguh. Candi-candi dipugar, alam ditata, dan monumen-monumen besar dibangun untuk merayakan sebuah tindakan berkeliling yang menyenangkan. Tindakan menikmati ruang semacam itulah lazim kita namakan pariwisata.

Parawisata itu Mindscape 

Pembangunan dan penataan benda-benda yang massif untuk dinikmati secara kolektif adalah jiwa yang dituntunkan pariwisata. Namun wisata bukan hanya modus menikmati visual atas benda-benda, melainkan penciptaan kreativitas, pembelajaran dalam proses, edukasi, penguatan daya budi, serta pengembaraan spiritualitas.

Karena itu kita memiliki istilah selain pariwisata, yakni “parawisata”. Parawisata adalah beyond dari pariwisata. Jika kurikulum pendidikan pariwisata mengutamakan bagaimana melayani para turis dengan strandar-standar tertentu, maka parawisata adalah metode pendidikan yang mengobarkan hasrat siswa menciptakan destinasi wisata dengan cara dan kreativitas yang baru.

Berkunjung ke Museum Sangiran di Kabupaten Sragen, Jawa Tengah, adalah pariwisata. Tapi menyaksikan gerhana bulan total dari Lembah Sangiran yang menjadi tonggak masa silam lahirnya manusia berdaya budi (homo sapiens) adalah parawisata. Menikmati pasir dan panorama ombak Pantai Pangandaran di Jawa Barat adalah pariwisata. Namun hal itu menjadi parawisata bila kita berbaur dalam pagelaran ritus sosio-spiritual “Syukur Pesisiran” dengan warga tepian air Pangandaran.

Parawisata mengutamakan kreativitas pada penciptaan lokus wisata yang tak melulu ruang. Ia bahkan “memanipulasi” ruang itu sendiri untuk memberi makna baru dan sekaligus menjadikan peristiwa wisata sebagai wisata itu sendiri. 

Maka dalam parawisata, festival/karnaval adalah wisata. Kuliner, fesyen, pameran seni dan buku, mural kota, serta pertunjukan musik yang dihelat secara massif atau terbatas adalah parawisata.

Karena sifatnya yang beyond itulah, maka parawisata adalah modus baru dalam postur wisata terkini kita. Kreativitas dan gagasan segar adalah penuntun utama dan bukan destinasi yang terberi seperti panorama alam atau keberadaan sesuatu yang bersifat bendawi seperti yang direpsentasikan museum.

Parawisata memungkinkan kita melakukan penjelajahan yang sifatnya melampaui sesuatu yang bendawi. Jiwa parawisata ada dalam semangat kolektivitas, kebersamaan, penjelajahan individual untuk penciptaan tontonan baru yang menuntun pada kebaruan dalam cara kita melihat ruang.

Jika dalam pariwisata modal utamanya adalah bentangan tanah (landscape), maka parawisata adalah bentangan pikiran (mindscape). Pariwisata mengandalkan pancaran sumber daya alam yang asri. Parawisata bertumpu pada sumber daya budi yang kreatif. [gusmuh]

No comments: