23 March 2015

Politik Layang-layang Jokowi

Mestinya tak perlu kecewa berlarat-larat kepada Yang Terhormat Presiden Jokowi. Mestinya para pengusungnya yang menyebut diri “relawan” paham sebaik-baiknya karakter kepemimpinan Jokowi. Apalagi dengan terburu-buru mengumumkan penarikan dukungan tatkala Jokowi melewati lima purnama kepemimpinannya mengatur negara.

Mari kembali ke khittah. Momentum kepemimpinan Jokowi dalam “Khittah Surakarta” itu, dan menjadi jualan politik yang menggemparkan seantero, adalah memindahkan pedagang kaki lima Surakarta dari tempat lama ke tempat baru dengan jalan damai. Jalan damai itu popular disebut “win-win solution”.


Tapi ingat, jalan yang ditempuh menuju jalan damai itu melewati proses yang tak pernah terbayangkan oleh pemimpin-pemimpin kota/kabupaten sebelumnya. Padahal kebiasaan umum, keluarkan aturan dan sikat cepat dengan menggunakan pentungan satpol. Jokowi beda. Ia mengajak makan siang para pedagang. Sehari dua hari? Oh tidak. Berbulan-bulan makan bersama. 

Di situ Jokowi memainkan salah satu inti permainan layang-layang: keterampilan mengulur. Layang-layang perlu diulur agar bisa kembali mendarat selamat dan tidak jadi bancakan anak-anak sekampung karena putus. 

Inti politik layang-layang adalah permainan mengulur waktu: kapan mengulur, kapan menarik, dan kapan meretas tali layangan lawan sepermainan. Di udara, kerjasama bukan saja monopoli seorang kawan, bahkan pada saat-saat tertentu "bekerjasama" dengan lawan.

Dari mana Jokowi beroleh politik kepemimpinan pengulur layang-layang yang terampil. 

Dari Sukarno? Tidak! 

Dari Bu Mega? Apalagi. 

Jokowi mengaku, guru politik yang mengajarkannya seni berpolitik adalah Taufiq Kiemas. 

Jokowi mengungkapkan itu secara terbuka pada publik pada tahun 2012. Kata Jokowi, “Saya banyak belajar pada Pak Taufiq, terutama masalah komunikasi politik, pendekatan dalam berkomunikasi.”

Yang dimaksud Jokowi “pendekatan dalam berkomunikasi politik” itu adalah prinsip berpolitik Taufiq Kiemas: “Kalau mau main politik dan membina jaringan politik, sikap apriori sedapat mungkin harus dihilangkan bahkan terhadap lawan politik sekalipun”.

Dan saya menyebut cara berpolitik macam Taufiq Kiemas yang dijadikan suri tauladan Jokowi dalam berpolitik itu adalah khas berpolitik yang sabar, ramah/ceria, dan menunggu momen paling tepat untuk memutuskan. Praktik yang demikian bisa ditemukan saat memainkan layang-layang.

Nah, cara berpolitik damai ala layang-layang itulah pada suatu masa digeber terus-menerus oleh media massa. Jokowi, oleh khittah politik layang-layang itu bukan hanya menjadikannya media darling, tapi juga membuka mata kelas menengah, terutama di Jakarta bahwa Jokowi bisa menyelesaikan masalah mereka yang ruwet di ibukota. Jadilah Jokowi menjadi gubernur DKI separuh jalan.

Dengan modal jalan damai ala layang-layang itu pula masyarakat NKRI ingin mereka diurus sosok seperti Jokowi menyelesaikan masalah PKL di Surakarta. Jadilah Jokowi menjadi Presiden RI "ketu7uh".

Sungguh disayangkan, kalau saat ini dukungan terhadap Jokowi mengalami deapresiasi dari para pengusungnya sendiri yang menamakan diri “relawan” di satu pihak dan di pihak lain politisi-politisi PDIP. Terutama saat Jokowi sedang bermain layang-layang di lima purnama pertama pemerintahannya di lapangan berangin kencang: Polri vs KPK.

Para pendukungnya ingin Jokowi cepet-cepetan. Mereka gregetan betul melihat Jokowi begitu lamban. Mereka lupa dalam soal KPK vs Polri, ia masih satu kali makan bersama di Loji Gandrung bersama para pihak yang berkonflik. Kalau mengikuti garis khittah di mana Jokowi mendapatkan status Raja Media Darling, mestinya makan belasan kali dan berbulan-bulan. Aneh kan.

Di tengah kekhilafan para "relawan" Jokowi pada khittah politik yang menjadi karakter Jokowi, untunglah layang-layang masih bisa didaratkan Jokowi dengan wajah kuyuh. Namun bentuknya sungguh tak terduga: koyak-moyak. 

KPK dan Polri memang bisa berdamai kembali. Namun yang sulit sekali kembali adalah harapan publik kelas menengah yang kadung berserakan saat pertarungan layang-layang Jokowi berhadapan dengan lawan sepermainan yang saling mulet di udara. Pasca permainan layangan itu posisi Jokowi sebagai raja media darling langsung disalip Ahok dan rontok berkeping-keping di hadapan kepopuleran Haji Lulung. Nama yang terakhir itu masuk sebagai trend sosial dunia 3 harmal. Sebuah prestasi yang bahkan Jokowi pun tak pernah bisa menandinginya.

Jadi para "relawan", tak usah terlalu bersedih dan larut dalam kekecewaan yang tiada membawa guna. Khilaf bukan dosa yang terlampu (di)besar(kan). Kembalilah ke "Khittah Surakarta" Bapak Presiden Yang Terhormat Jokowi dari mana ia pertama kali menangguk nama harum.

* Versi cetak dipublikasikan pertama kali Harian Koran Tempo, 23 Maret 2015