Setelah kasus KPK vs BG dua bulan silam itu, "kesan baik" Presiden Jokowi mengalami turbulensi yang hebat. Bukan saja guncangan itu terjadi dengan PDIP, pegiat antikorupsi, relawan pendukung, namun guncangan
itu merembet tergerusnya "kesan baik" Jokowi dengan pers.
Puncak retaknya hubungan itu disimbolkan dengan
ketakhadiran Presiden Jokowi di Hari Pers Nasional (HPN) di Batam, 9 Februari.
Ketakhadiran itu simpul, Jokowi mengalami retak yang mendalam dengan media.
Jokowi yang selama ini dikenal sebagai "media
darling" tiba-tiba saja terjun bebas dari batu mulia menjadi besi
kehilangan pamor. Senyumnya kecut di depan layar televisi. Ucapan-ucapan
pendeknya yang biasanya disambut dengan "tafsir positif" menjadi
tawar.
Pelan-pelan kesan itu menjadi kenyataan: Jokowi yang setengah
mati mengumpulkan dukungan dan menjadi sandaran harapan publik secuil demi
secuil dengan mudah mengobralnya.
Jokowi yang mulanya menjadi sahabat pers tiba-tiba menjadi
sosok kesepian di hadapan mesin rekam jurnalis. Semuanya mesti Jokowi
menjelaskannya: mulai dari soal pengembalian traktor hingga salah teken yang
fatal; dari Proton, Harvard, hingga diamnya di Kongres IV PDIP.
Untuk peristiwa Kongres IV PDIP yang baru saja berlalu, posisi
Presiden Jokowi makin runyam. Wajahnya memang berada satu frame dengan Ketua Umum Megawati Soekarnoputri di frontpage pers, namun kalah pamor.
Bahkan kehadirannya di arena kongres bukannya memberi inspirasi politik kiwari,
malah dijadikan amunisi olok-olok di media sosial.
Kesan yang muncul adalah diamnya Jokowi di hadapan Ibu Mega
adalah pembenaran dari kampanye musuh-musuh politiknya bahwa Jokowi tak lebih
dari sekadar “petugas partai”.
Bentangkanlah koran-koran yang terbit di hari Jumat, 10
April 2015. Dan baca judul berita utama di halaman depannya. “Mega: Presiden
Jalankan Garis Partai” (Koran Tempo);
“Mega Ingatkan Jokowi” (Media Indonesia);
“Diingatkan Mega: Janji Kampanye Ikatan Suci dengan Rakyat” (Jawa Pos); “Megawati Sentil Jokowi” (Suara Merdeka); “Megawati: Presiden
Harus Nurut Partai (Harian Jogja); “Mega
Minta Jokowi Jalankan Kebijakan Partai” (KR);
“Megawati Ingatkan Janji Suci Jokowi” (Koran
Sindo).
Sulit menampik kesan yang timbul dari judul-judul utama frontpage koran itu; selain Jokowi
benar-benar sekadar “petugas partai” yang tak memberi imajinasi baru dalam
kepemimpinan; Jokowi juga dianggap lelaki pikun belum waktunya terhadap nawacita-nya sendiri. Bahkan belumlah lebih 200 hari ia menjalankan
pemerintahan kerja-nya.
Tak perlu diulang-ulang bahwa Jokowi memang sibuk bekerja. Tapi
ia barangkali khilaf bahwa “seni berkomunikasi”-lah yang membuatnya dipilih dan
dicintai oleh lebih kurang dipilih 60 persen suara untuk menjadi Presiden RI
pada 2014.
“Seni komunikasi” itulah yang amblas kini. Sialnya, nyaris
tak ada upaya memperbaikinya. Ketiadaan juru bicara kepresidenan, PDI-P yang
belum move on sebagai partai oposisi,
posisi sekab dan staf kepresidenan yang gagap di hadapan publik, dan
Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) yang payah membuat Jokowi terlihat
seperti protagonis yang membosankan dan kehilangan imajinasi.
Mari membahas Kemkominfo. Dalam salah satu survei popularitas, kementerian ini
menjadi salah satu yang terpuruk di hadapan publik. Menterinya tidak dikenal,
kerjanya apalagi.
Mungkin untuk menjawab persepsi negatif itulah, Kemkominfo
tancap gas. Hasilnya: blokir web! Bukannya menuai simpati, “program hebat” ini
malah memperlebar persepsi negatif. Karena tekanan publik, hanya dalam hitungan
hari, sebagaimana kasus teken-buta tunjangan mobil, blokir “web radikal” berakhir
antiklimaks.
Sebagai kementerian yang hidup dari nisan Kementerian
Penerangan RI yang bubar pada 1999, mestinya kementerian ini menunjukkan
karakternya sebagai kementerian komunikasi. Frase “komunikasi” yang inheren
dalam namanya justru menjadi kebutuhan vitas Jokowi saat ini di tengah
lubang-lubang komunikasi yang berpotensi menghabisi “energi harapan positif”
yang dengan susah-payah dibangun Jokowi dalam tiga tahun belakangan.
Ketimbang mengeluarkan kebijakan-kebijakan kontraproduktif
saat berhadapan langsung dengan publik, Kemkominfo mestinya bekerja lebih keras
bagaimana mencari solusi menambal lubang-lubang komunikasi Jokowi yang kian ke
sini kian bertambah banyak.
Kerja, kerja, kerja tanpa diperkokoh komunikasi yang baik
hanya melahirkan lelah. Ingat, jabatan Presiden RI tetap sebagai jabatan
politik, bukan jabatan professional yang hanya sekadar kerja dan kerja. Karena
jabatan politik, maka ia berada dalam domain persepsi.
* Edisi cetak dipublikasikan pertama kali Koran Tempo, 15 April 2015
* Edisi cetak dipublikasikan pertama kali Koran Tempo, 15 April 2015
No comments:
Post a Comment