Kita semua diperanjingkan
Gaya rabies klongsongan
Hamka diludahi Pram
Masuk penjara Sukabumi
Jassin dicaci diserapahi
Terbenam daftar hitam
....
-- Taufiq Ismail, “Catatan Tahun 1965”[1]
"Begitu tenarnya Hamka dengan karya-karyanya dibidang kesusasteraan bernafaskan agama (Islam) sehingga di masa lalu beliau tidak luput kena fitnah. Menghebatnya fitnah itu ketika zaman rezim Orde Lama dimana persada budaya dan sastra Indonesia dipengaruhi oleh politik yang sifatnya akan mematikan karya pengarang Islam, termasuk di dalamnya Buya Hamka yang tercinta.” -- Kiagus Adnan[2]
Dua frase pada kutipan di atas, “meludah” dan “fitnah”, bisa mewakili bagaimana stereotipe yang dipundaki Pramoedya Ananta Toer dan laskar-laskar jago laga di palagan sastra Indonesia di kisaran tahun 1962-1964 ketika Hamka ditengarai melakukan plagiasi pada karyanya yang populer dan terjual laris: Tenggelamnya Kapal van der Wijck.
Sama sekali tak ada lagi yang melihat, memberi apresiasi, bahwa yang dilakukan jago dan petarung sastra di masa silam itu adalah usaha melakukan koreksi, koreksi, dan koreksi. Dalam ungkapan Pramoedya yang masyhur: memilih mana yang mestinya yang dibabat dan ditumbuhkan. Mana gulma, mana padi. Mana yang mesti disiangi, mana yang dipupuk. Bisa jadi usaha koreksi yang progresif itu mengalami jalan majal. Namun usaha-usaha itu pernah hadir, pernah berlaga, pernah direkam oleh sejarah; walau sejarah yang lamat-lamat dan temaram.
Di pelbagai forum, para pemakzul, jika menyebut “kejahatan kultural” Pramoedya Ananta Toer dan para penggiat yang terlibat di “Lentera”, maka tak terlupakan suatu peristiwa bahwa, ya itu tadi, bahwa Pram memfitnah Buya Hamka, ulama yang “tawadhu” itu, bahwa Pram meludahi Buya Hamka. Jika Hamka diludahi, ya Islam itu yang diludahi, Islam itu yang difitnah. Karena Buya Hamka adalah ulama terpandang cum sastrawan, maka jika mengganggunya, maka yang diganggu adalah sastrawan Islam. Pandangan SARA[3] semacam itu bahkan sudah muncul ketika polemik “Plagiarisme Hamka” masih berusia mingguan. Yakni, ketika Rusjdi, putera Hamka, mengeluarkan pleidoi panjang yang dikirimkannya kepada H.B. Jassin. Tentu saja pleidoi itu membela habis-habisan hulu batih utama keluarganya.
H.B. Jassin pun, bersama Junus Amir Hamzah, mengeluarkan sebuah buku rekaman polemik selama satu tahun atas isu plagiarisme Hamka yang membikin Pram dan “Lentera” berang bukan main. Mereka yang melemparkan pertama kali isu, mereka pulalah melakukan riset pembuktian atas plagiarisme Hamka dengan kerja tak main-main. Redaksi memberikan ruang di halaman “Lentera” sepenuh-penuhnya (bila perlu isu lain meminggir), juga mengeluarkan dana tak sedikit, eh eh eh, kerja itu diserobot oleh Jassin begitu saja. Padahal, menurut pengakuan Pram, mereka juga tengah menyiapkan buku dan riset tambahan—selain yang sudah dimuat “Lentera”—untuk bakal buku itu.
Dan kemudian kita tahu, tak ada resensi buku yang dibuat oleh Pram dan “Lentera” itu. Yang ada, dan kemudian menjadi rujukan, adalah buku yang disusun Jassin bersama Junus Amir Hamzah, dengan judul: Van der Wijck dalam Polemik. Jika buku yang disusun “Lentera” terbit, Pram sudah menyiapkan judul yang sangat garang dan penuh yakin: Hamka Plagiator.
Buku yang di tangan pembaca ini, boleh jadi, menjadi pengantar ala kadarnya untuk niat Pram dan kawan-kawan “Lentera” yang buru-buru sejarahnya disembelih oleh Gestok 1965 dan di antara mereka di-Buru-kan. Buku ini menyambung niat yang tenggelam bersama kapal sejarah sastra Indonesia yang muda usia oleh politik dan fraksi militer yang kemudian diwariskan dengan perasaan was-was bergenerasi-generasi.
Ya ya ya, ini sejarah sastra Indonesia. Muda usianya. Penuh cadas dan bergelombang-gelombang romantikanya. Keras, gelap, manipulatif, bohong, culas. Memang nyatanya begitu. Mau ditangisi, ya. Mau diratapi, ya. Tapi itu adalah rantai. Suka atau tak suka. Semua-muanya kita terima dengan syarat-syarat dan pertimbangan karena ini sejarah kita, sejarah sastra Indonesia. Mari buka, mari baca. Dan setelah itu, generasi berikutnya akan menimbang mana yang pantas disiangi (karena gulma), mana yang perlu ditumbuhkan (karena padi). Mana yang dibabat, mana yang ditumbuhkan.
Buku ini, oleh karena itu, dipersembahkan untuk generasi sastra yang terbarukan, pasca Pram, pasca Jassin, dan pasca petarung-petarung dalam palagan sastra Indonesia 1960-an yang riuh rendah yang beberapa kepala masih hidup sampai saat ini dengan membawa dendamnya masing-masing.
Mari beramal untuk sastra Indonesia dengan kerja; mari terus mengarit di sawah penciptaan.
Muhidin M Dahlan [17.8.2011]
[1] Taufiq Ismail. Mengakar ke Bumi Menggapai ke Langit 1: Himpunan Puisi 1953-2008, Bab “Puisi-Puisi Menjelang Tirani dan Benteng”. Jakarta: Horison, 2008, hlm 110
[2] Kiagus Adnan, "Mengenang Pujangga Islam Hamka Liwat Karyanya", Berita Buana, 11 Agustus 1981. Ayahnya, Kiagus Muhidin, yang meninggal pada 5 Januari 1965, diakui Adnan pencinta karya Hamka.
[3] Bisa dipahami pandangan yang menguhubungkan “pemakzulan” Islam itu muncul lantaran latar hubungan politik Islam dan ideologi politik yang dominan (Sukarno, PKI, Tentara) memburuk saat Masyumi dinyatakan sebagai partai terlarang bersama Partai Sosialis Indonesia (PSI) pada tahun 1960. Selain dibubarkan, anggota-anggota terasnya terus diburu dan diawasi kegiatan dakwahnya.
Daftar Isi:
Pembuka: Antara Fitnah dan Ludah
Bab I: Van Der Wyck dalam Dua Resensi
Bab 2: Perang Terbuka di Hari Jumat
Bab 3: Plagiat Itu Menjijikkan
Bab 4: Hamka dalam Peta Sastra Indonesia Semasa
Bab 5: Bukti-Bukti Plagiarisme Hamka
Bab 6: “Varia Hamka” dan Pendapat Pembaca
Bab 7: Bersama Membela Hamka
Bab 8: Menguji Pertahanan H.B. Jassin
Bab 9: Magdalena dalam Dua Terjemahan
Bab 10: Saling Serobot di Lintasan Terakhir
Bab 11: Tak Ada Jalan Tengah, Pintu Tertutup
Penutup: Plagiat, Keributan Omong Kosong, dan Kehormatan
No comments:
Post a Comment