22 February 2014

Mas Marco Kartodikromo - Student Hidjo 4

Perempuan Jawa bukanlah budak seks bagi kolonial. Mereka bukanlah makhluk lemah yang secara sewenang-wenang dijadikan gundik pejabat-pejabat pemerintah Belanda dan kemudian dibuang begitu saja setelah bosan memakainya. Perempuan Jawa dan Hindia memiliki martabat sebagai manusia yang sama yang mesti diberi tempat selayaknya dalam pergaulan kemasyarakatan.
 

Suara-suara perempuan Hindia di Student Hidjo adalah suara perempuan yang pikirannya ingin didengarkan. Sosok Biroe dan Woengoe adalah suara perempuan Hindia yang ingin maju. Walaupun jodoh masih dipilihkan, toh pilihan orangtua mereka masih padu dengan keinginan hati mereka. Hidjo mulanya ditunangkan dengan Biroe yang kemudian karena waktu berjalan disepakati Hidjo menikah dengan Woengoe. Adapun Biroe berkenan berpasangan dengan kakak sulung Wongoe, Raden Mas Wardojo.


Marco tak memperlihatkan sedikit pun perempuan-perempuan dalam romannya menjadi manusia yang lemah. Seperti ini Woengoe dan Biroe menanggapi Raden Mas Wardojo ketika ia mengatakan sebagai lid SI, perempuan-perempuan akan di-boycot-nya:
 

“Ah, tidak takut… nanti kita orang perempuan akan bikin perkumpulan sendiri. En, dan kita orang perempuan dan lelaki sama boycott-boycotan. Biar orang-orang lelaki sama masak sendiri dan mengatur rumah tangga sendiri.” (SH, 173-174)
 

Dialog Woengoe dan Biroe di hari ketika bestuur Sarekat Islam untuk pertama kalinya menggelar kongres di Surakarta pada Maret 1913 itu sederak dengan esai Marco di Doenia Bergerak No 3, Tahun 1914 yang menegaskan pentingnya “contract” untuk melindungi perempuan dari kenistaan.
 

Dus! kalau begitoe gadis-gadis dan djejaka bangsa Djawa jang ter-peladjar ta’ soeka poela berkawinan tjara madjapait. Seharoesnjalah si gadis dan si djejaka itoe mentjari kebangasaanja batin lebih doeloe alias tonangan of verloofd.
 

Saja mengerti kedoa patah perkataan: tonangan dan verloofd itoe ta disoekai didalem Djaman madjapait. tetapi kalau menilik geraknja doenia kita ini, itoe perkara misti kedjadian.
Saja lebih terlaloe amat moefakatsekali apabila bangsa kita jang hendak berkawinan memakai contract, jaitoe si laki dan si istri tidak boleh main gila seperti keadaan ini masa jang soedah lazim kita la-koekan. tjobalah toean-toean pembatja soedi memikirkan, betapa baiknja itoe contract.
 

Disinilah saja (saja sendiri lo!) berseroe seroe kepada fihak peram-poean, berdirikanlah perkoempolan jang bermaksoed: a. soepaja di-merdikakan oleh fihak laki-laki; b. mentjari kepandaian jang sepadan dengan kepandaiannja fiha laki-laki; c. menoeloeng maksoednja fihak laki-laki jang baik, enz.
 

Pembayangan Marco tentang kesetaraan jender itu bisa dibaca secara mandiri di noveletnya yang lain, Matahariah. Di novelet yang terdiri dari 54 bagian ini, protagonis yang bernama Matahariah adalah perempuan aktivis berkebangsaan Belanda dengan kecakapan di atas rata-rata, penulis yang kritis, serta bertualang untuk mewujudkan cita-citanya membuat perhimpunan yang kuat untuk perjuangan kaum boemipoetra.
 

“Betul, tuan, saya seorang Hollandshe sejati, orang Hindia mengatakan: Londo totok, juga kidjoe atau gading, tetapi saya turut merasakan nasibnya anak Hindia yang ini waktu baru menanggung tindasan dari kanan kiri. Barangkali kalau menurut ilmu Budha, saya ini menjelmaanya orang Hindia atau orang Asia. Juga saya menimbang, bila ilmunya orang Asia ada lebih dalam dari pada ilmunya orang Eropa. Saya sendiri heran, mengapa saya berhati Asia, dari itu tidak jarang kalau saya gemar sekali bercampur gaul dengan orang Asia, lebih-lebih Bumiputera di Hindia Belanda. Sampai saya senang sekali meniru adat, tingkah laku, makanan, dan pakaiannya orang Asia.”
 

Ke-54 bagian novelet Matahariah itu bisa dibaca di Karya-Karya Lengkap Marco Kartodikromo yang disusun Agung Dwi Hartanto dan diterbitkan IBOEKOE tahun 2008.


Mas Marco Kartodikromo - Student Hidjo 1


Mas Marco Kartodikromo - Student Hidjo 2

Mas Marco Kartodikromo - Student Hidjo 3

Mas Marco Kartodikromo - Student Hidjo 5

No comments: