06 June 2006

Senyum Frida dan Tarian Bumi Selatan

Frida Kahlo, Kartini, dan Monalisa masih merapat di dinding menghadap barat. Ketiga perempuan anggun dari tiga dunia yang berbeda itu melemparkan senyum dan lirikan mata yang khas, tak awas, apalagi waswas. Padahal di depan mereka, langit-langit rumah dan seisinya menghambur-ambruk oleh tarian bumi dari laut selatan.
Lama saya melihat ketiga perempuan bersih itu dari sudut jendela yang sudut-sudutnya menggelethek dari dinding yang mengapitnya. Saya percaya mereka pasti tahu bagaimana paniknya di pagi akhir pekan (27/5: 5.55). Seniman lukis Galam Zulkifli, istri, dan dua orang anaknya yang kecil-kecil terkurung dan hampir mati di kamar karena tak bisa meraih gagang pintu. Mereka pasti tahu bagaimana langit-langit rumah berjatuhan. Mereka pasti juga mendengarkan debum tembok di sisi kanannya yang jatuh tersungkur ke sawah. Mereka pasti tahu, bagaimana rumah yang belum lama dibangun dengan kepayahan melukis itu harus ditinggalkan pelukisnya untuk batas waktu tak ditentukan.
Ketiga perempuan itu tetap mempertahankan senyum. Tak luntur oleh apa pun. Lama saya gumun. Ataukah ketiganya geli melihat tarian bumi di pagi yang balau itu adalah campuran tari yang tak lazim di panggung Yogyakarta. Hampir setiap tahun Yogyakarta ditapis getaran vulkanik dari bumi utara. Tapi getaran itu sangat halus serupa tari bedhaya yang anggun dan ritmis. Tapi di Sabtu pagi itu, pastilah goyangan yang menghentak itu bukan tari bedhaya. Mungkin percampuran antara tari legong bali yang awas dan lincah dengan hentakan kaki band-band rock ‘n punk undergoround yang garang dan merusak.


SETELAH 24 jam kabar itu meraung-raung di layar televisi, saya dan dua teman lainnya memasuki Yogyakarta dengan kereta malam. Makin dekat dengan Yogya, ujung mata saya kian awas menangkap di mana reruntuhan rumah yang terkabar ngeri itu. Kepala saya tak mau diam. Melirik ke kanan dan ke kiri di sisi jendela kereta. Bahkan ketika memasuki kota, apa yang saya lihat di televisi belum juga tampak. Saya pun terlibat debat dengan teman sepanjang Wates, Kulonprogo, di seputar apakah peristiwa ini nyata atau fiksi. Saya tahu betul Yogyakarta adalah kota seni(man), sastrawan, karena itu berita itu bisa jadi hanya fiksi yang dibikin kolosal. Sebab hampir tak ada kehancuran di lintasan kami lalui, selain mall malioboro yang kami lalui pertama kali retak-retak di atasnya dan jalanan yang dulu akrab dengan taman para tukang syair masih tampak lengang.
“Pastilah mereka semua merancang drama ini jauh-jauh hari bersama seluruh media massa, baik elektronik maupun koran,” kata saya. Saya beritahu mereka, dilihat dari kolosalnya dan cara media menyajikan gambar, pasti mereka membuat studio raksasa dengan gedung-gedung yang seenaknya dihancurkan lewat adegan dramatik seperti di film-film hollywood Amerika. Karena ini kolosal, tokoh figuran luar biasa banyaknya diperlukan. Sekabupaten kalau perlu. Mereka juga membayar sopir-sopir bus dan taksi untuk tidak mengejar setoran di hari Ahad itu. Hanya ingin mengondisikan bahwa kejadian ini benar-benar nyata dan wisatawan lokal seperti kami ini berdecak-decak dan ikut-ikutan menuliskan fiksi buatan mereka.
Teman saya tersenyum-senyum sepanjang rel Wates-Yogya, juga sepanjang jalan kaki Maliobroro-Kraton. Bahkan ketika memasuki perbatasan Bantul-Kota Yogyakarta di Krapyak, saya tak bisa diyakinkan bahwa peristiwa yang menghimpit memori adalah peristiwa nyata. “Oh, ternyata seniman-seniman ini memilih Bantul ya yang jadi studio untuk proyek kolosalnya. Lha, hancur begini,” gumam saya.
Lalu kami naik motor menuju kampus Institut Seni Indonesia. Sepanjang jalan kami melewati rumah-rumah yang terduduk. Gedung Kampus Stikers rontok dan menjadi tontonan. Gedung BPK rubuhnya lebih artistik lagi: tersungkur ke depan dengan serat getah badannya masih menempel di bangunan tengah. Kantor KUA juga luluh. Gerbang Kampus ISI juga tampak gemetar dan cukup goyangan sedikit saja gerbang itu pasti terjungkal. Di dalamnya gedung pertunjukan dan rektorat tersungkur. Tenda-tenda bersulam warna di lapangannya pun seperti muncul dari perut bumi.
“Kalau kalian belum percaya juga dahsyatnya, saya perlihatkan kondisi kampung di Sewon,” ajak Galam yang rumahnya berantakan di belakang kampus ISI.
Pelukis potret-realis ini buyarkan pikiran saya di hadapan Frida, Kartini, dan Monalisa yang masih tersenyum. Bahkan saya masih berkesempatan menengoknya ketika kami kembali melihat rumah-rumah kampung yang berubah menjadi tumpukan sampah raksasa.

“MELIHAT yang hancur jangan ke sini. Ke Sewon sana. Di sini nggak terlalu,” kata Harry “Ong” Wahyu ketika saya dan Ella mengunjunginya di kawasan Nitiprayan, Bugisan, Bantul Utara. Rumah seniman mantel buku dan berkali-kali menjadi pembuat backdrop pementasan itu memang tak ada tanda-tanda kerusakan yang dramatik kecuali bahwa ia masih menyisakan trauma dengan guncangan Sabtu pagi. Seperti tak ada apa-apa. Di atas mejanya masih teronggok ubi rebus. Atap rumah utuh. Loteng bambu masih tampak rapi berbaris. Kursi masih dalam posisi semula setelah sepekan yang lalu saya berkunjung ke sini. Yang berbeda barangkali, ada bantal dan kasur tipis di beranda itu. “Biar pun seniman, saya masih takut je,” katanya tertawa.
Kami mestinya segera berangkat ke Sewon, Imogiri, dan Pleret yang dikabarkan rata dengan tanah, tapi ingatan tertumbuk pada Teater Garasi—satu dari dua teater yang masih eksis di Yogyakarta. “Ada plang tulisan ‘Garasi’ di depan gang. Masuk saja,” kata Ong. Dia lalu memberi kami ancar dan sekira 300 meter ke selatan, kami pun berjumpa dengan kesunyian Garasi. Di beranda kami tercegat seorang lelaki berperawakan kecil yang saya kenal bernama Gunawan Maryanto atau biasa disapa “Cindil”. Sutradara dan penulis cerita itu menyapu sisa-sisa barang yang berantakan. Kami berjalan berkeliling menghindari pendopo tempat mereka latihan rubuh. Di papan pengumuman tertempel macam-macam poster dan juga secarik pesan: ‘Run, k’lo dah balik telp aku ya? Aku ke Galuh –reni– ‘.
“Garasi lagi sepi. Kosong. Teman-teman lagi di Jepang semua. Mementaskan Waktu Batu 3 di Jepang. Itu posternya,” tunjuk Cindil pada poster kuning yang bertuliskan Menemosyne di antara poster-poster pementasan. “Itu legenda di Yunani tentang ingatan.”

TERLETAK 50 meter dari ringroad selatan Yogyakarta, museum itu masih utuh. Namanya Museum dan Tanah Liat. Tapi jangan terkecoh dengan kata “museum”, sebab itu hanya rumah biasa persegi. Dari kejauhan, rumah itu mirip gudang padi atau kandang yang sekujurnya dililiti tanaman rambat. Letaknya tepat di kiblat masjid. Di samping plang nama museum, tergantung piringan CD bertuliskan “bokep”. Di meja sebelah kiri pintu masuk terpacak meja yang di atasnya terhambur dua undangan, cermin mainan anak-anak, mobil-mobilan, kuda-kuda mainan, dan tembakau mole aroma cap bunga matahari yang berbungkus oranye. Di dalamnya beberapa patung berdiri. Itu karya Basrizal Albara yang lima patungnya patah dikipas gempa, seperti Gerbang Surga, Menggigit Lidah, Bunga Betina, dan Alunan Cinta. “Semua patung itu terlempar dan tersudut ke satu arah. Kami sudah memberitahu pelukisnya,” kata Yoyok, penjaga galeri sederhana itu.
Museum dan Tanah Liat itu milik pelukis Ugo Untoro. Dia adalah pelukis yang eksentrik. Bertato sebadan. Muka bertindik. Beranting-anting seperti jin ifrit. Ia terkenal pemabuk berat dan kerap berkelahi di beberapa pameran Jogja akibat pengaruh alkohol. Perawakannya masih tetap: kurus, kucel, dan rapuh. Tapi ia pasti tidak melarat. Sebab selain punya “museum”, Ugo juga sudah tinggal di rumah sendiri bersama istri dan putrinya Tanah Liat di areal persawahan di Kasihan Bantul. Hanya sekitar 300 meter ke utara dari “museum”nya.
Memasuki rumahnya yang berbentuk kotak kami langsung dihadang tiga ekor anjing, dua ekor monyet yang berteriak-teriak di sarang besinya. Dan saya sempat melirik beberapa botol minuman yang berdiri rapi di sudut ruangan. Rumah yang di dindingnya bertuliskan “CafĂ© Ugo Parkir Luasss” tampak sangat kukuh dan tak terlihat bahwa rumah itu juga diremuk tarian bumi. Di atap rumahnya patung mobil merah yang dipamerkan Ugo di Bienalle Jogja 2004 masih nongkrong.
Kami hanya bertemu Ugo di emperan. Beberapa rekan Ugo juga turut di situ yang salah satunya masih memegang botol minuman lalu menenggaknya. Mungkin berpikir: dunia luar boleh panik, tapi minum jalan terus.

“Hati-hati banyak binatang kecil”
Plang peringatan itu mirip rambu lalu lintas ketika memasuki pintu terluar kawasan tinggal mantan pelukis yang tergabung dalam Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) Joko Pekik. Jika tak mendengar berita dan tak melewati Sewon, mungkin mengira tak ada apa-apa di Yogyakarta. Tiga rumah yang berdiri di atas lahan seluas tiga hektar di Dusun Sembungen, Bangunjiwo, Kec Kasihan, Bantul itu seperti surga yang tak bergerak oleh tarian bumi selatan. Memasukinya seperti memasuki fiksi sempurna. Apa pun yang dikabarkan media massa seperti raungan sia-sia. Tak ada jeritan korban yang meraung-raung sakit atau tenda-tenda darurat, melainkan teriakan ayam-ayam mutiara, merak londo, angsa, maupun elang jawa yang bermain terbang-terbangan. Sementara seekor kucing masih tertidur lelap di atas genteng rumah bagian selatan.
Kami terheran-heran ketika dipersilakan menunggu di pinggir sungai rumah surgawi ini. Air sungai bedog masih mengalir tenang. Pohon-pohon masih tegak. Tak ada yang berubah ketika 4 tahun lalu saya ke rumah ini dengan keluarga Pramoedya Ananta Toer. Tak ada yang retak dindingnya kecuali beberapa genteng yang rusak. Dan itu pun sudah ada dua tukang penambal yang nongkrong di atasnya.
“Cuma telpon saja yang banyak masuk ke sini menanyakan keadaan. Apa sudah hancur atau belum,” kata Pekik sambil terbahak. Ia pun kami minta berkisah tentang pengalamannya di pagi itu sambil sesekali bayangan Desa Wisata Kasongan berkelebat di benak saya. Desa itu terletak sekira 2 kilo dari ringroad selatan. Melewati segaris jalan di desa pengekspor kerajinan gerabah terbesar di Indonesia itu seperti melewati desa yang baru saja kalah perang. Kios-kios bersujud ke lumpur sawah. Dan ada juga yang bertekuk lutut di tempat. Kalau pun ada yang utuh, dipastikan semua gerabah di dalamnya pecah.
Sebagaimana di rumah Pekik, Padepokan Bagong Kussudiardja yang cuma 500 meter jauhnya juga tak ada tanda-tanda bahwa kota ini dihantam gempa mematikan. Atap bus kelompok musik yang didirikan Djaduk Ferianto, Sinten Remen, hanya terlihat pucuknya di balik pintu anyaman bambu. Dan tampaknya masih mulus. Begitu juga patung gajah di padepokan lama masih kukuh memegang suling dan naskah. Kaca-kaca nako masih di tempatnya. Siang itu kami ingin bertemu dengan kaka beradik: monolog Butet Kertaredjasa dan pemusik Djaduk Ferianto. “Bukan di Padepokan ini rumah Butet, tapi di depan sana. Mbaknya keluar lagi. Nah, di dekat warung situ ada rumah paling bagus. Di situ itu rumah Butet,” kata seseorang yang kami temui di Padepokan. Dan rumah itu terlihat memang masih bagus. Kokoh. Tergores pun tidak.

SORE hari kami membikin janji dengan pelukis pop-art Dipo Andy. Kami meluncur melewati perempatan Imogiri. Di mulut jalan kami dihadang spanduk putih yang saya yakin pasti bikinan pemerintah: “Ikuti dan saksikan: Bantul Expo 2006”.
Dan memang kami mengikuti dan menyaksikan “Bantul Expo 2006” di kediaman Dipo Andy. Sebuah expo reruntuhan berantai. Tak ada lagi yang utuh di sana. Memasuki gang TK Islam itu yang tersaksi hanya puing. Bahkan kediaman Dipo Andy hanya tertinggal kamar tamu. Dapur, tiga kamar, dan serambi rubuh. Dinding belakang bercat biru itu sobek disodok rumah belakang yang terpelanting. Dinding samping terbanting ke kanan bersama tanaman anggrek. Panggung studio yang biasa penuh dengan cat kini diganti batu bata. Pensil dan kuas berserak bersama botol-botol cat yang terjepit. Satu-satunya gambar yang nempel di dinding studio itu adalah potret Presiden Mesir Husni Mubarak. Di pintu studio yang sobek itu masih terbaca tulisan: “Pasang karyamu di sini. Studio Angker”.
“Buruk sekali rumah saya ini. Kalau dipaku, semuanya terkelupas. Nggak ada semennya sama sekali,” kata Dipo sepekan sebelum gempa itu. Dan rumah buruk itu pun rubuh. Saya keluar dari studio melewati pintu belakang kamar mandi yang bertulis: The Other World: Ladies or Gents Only”. Saya mesti hati-hati menaiki timbunan sampah batu bata yang menghadang. Di halaman beberapa warga hilir mudik. Ada yang mengais benda dalam rumah atau mengangkuti sedikit demi sedikit gunungan tembok dan kayu-kayu kaso yang legam.
Saya pastikan bahwa tetangga pelukis itu tak mendapatkan bantuan relawan di hari ketiga setelah tarian bumi dipentaskan karena kawasannya masih terlalu dekat dengan batas kota Yogyakarta. Dan memang tak tampak kesedihan yang berlebih di wajah mereka. Malah saya dikejutkan suara ibu yang tergopoh-gopoh menemui dua tamu dengan sisiran rambut klimis dan berpakaian rapi di depan puing-puing sambil membopong nampan berisi pisang godok dan dua gelas teh. Rautnya pun tak terlihat mendung, tapi ceria dan senyumnya manis. Seperti Frida, seperti Kartini, seperti Monalisa dalam lukisan Galam Zulkifli. Padahal saya lihat rumahnya rata dengan tanah. Kontan saja yang disuguhi kaget tak kepalang. Mungkin bingung. Begitu juga saya. Dalam pedalaman saya berkata masih sempat juga mereka menyuguhi tamu di tengah reruntuhan itu.
Dan itu bukan peristiwa sekali. Tepatnya sehari sebelumnya di lapangan Masjid Agung Bantul. Di posko utama Palang Merah Indonesia itu mobil ambulans meraung-raung datang pergi seperti tak kehabisan tenaga mengangkuti pasien-pasien dari pelosok kampung Kretek, Bambanglipuro, Samas, dan sebagainya. Namun 50 meter di belakang itu sebuah keluarga dengan ramah melayani “tamu-tamu”nya. Karena di ruang dalam tak bisa dipakai, halaman rumah pun disulap menjadi ruang tamu. Kursi-kursi disusun mengelilingi dua meja yang berbaris memanjang seperti ruang tamu lazimnya. “Ayo minum-minum dulu,” ajaknya. “Duduk-duduk dulu ya. Saya tak ke sana dulu. Bantu-bantu,” ibu itu pun lenyap di balik reruntuhan rumah tetangga setelah meletakkan kaleng berisi biskuit di atas meja.
Di tempat yang sama pada sore harinya, saya masih sempat melihat beberapa orang bermain layangan. Mereka begitu sibuk menarik ulur benang, sementara di samping mereka para petugas medis semuanya memasang tampang serius dan lelah menjahit kulit kepala yang bocor atau menggipsi kaki atau tangan pasien yang patah sebelum dirujuk ke rumah sakit yang layak. Dan pastilah petugas-petugas medis itu bukan orang lokal di situ yang memang mereka umumnya didatangkan dari daerah lain seperti Jakarta.
“Masih mending itu. Ketika ada isu sunami dan jalanan macet total, justru ada yang dengan santainya memancing di sungai. Cah-cah Jogja iki pada gendeng,” kata perancang sampul buku M Bakkar Wibowo.
“Lha kalau saya main karambol. Daripada ke jalan tegang sekali orang dengan sunami. Mending ke kampung main karambol sama bocah-bocah. Nggak terjadi kan sunami,” kata Daddy yang beberapa patung perempuan seksi bertetek 19 yang baru saja diselesaikannya patah.

HAMPIR semua seniman memang tinggal di Kota Bantul. Terutama Sewon. Tak ada alasan yang sahih mengapa Bantul dihuni oleh “kalau nggak seniman ya penjahat di Bantul ini. Cuma dua spesies itu di sini,” seloroh Dipo Andy sebelum Bantul rontok. Mungkin saja karena pergerakan ekonomi atau karena kampus seni ada di kabupaten ini. “Bagaimana lagi, sewa rumah di Bantul masih murah. Dan seniman itu miskin-miskin kan. Jadi udah pas. Di kota sudah nggak bisa terjangkau harganya,” kata sutradara Teater Garasi Gunawan Maryanto.
Itu pula barangkali yang mendorong kelompok seniman Taring Padi memilih tinggal di Dusun Mijo, Sewon, Bantul. Tapi di hari ketiga setelah gempa, seniman-seniman yang selalu berpakaian kucel, seadanya, dan penuh tato di badan itu hanya bisa berkerumun di tenda di depan sekretariat mereka yang hancur. Ada sekira sepuluh orang mengelilingi sepetak meja yang penuh puntung rokok. Beberapa dinding kamar bertempel poster ‘Tragedi 1965’ masih berdiri gemetar, sementara di depannya sudah terawang. Seekor anjing hitam mengais-ngais dari kaki ke kaki dan sesekali melintasi reruntuhan tembok. Di lantai, selebaran-selebaran seni perlawanan melawan kapitalisme berhamburan. Komik-komik underground tampak meringis bersandar di tiang-tiang penyanggah langit-langit. Hanya satu kamar yang tersisa dari amuk tarian bumi selatan.
Dan mereka kini hidup di tenda-tenda. Sama dengan warga-warga yang lain yang meringkuk ditenda-tenda yang kini dilirik dunia. Mereka semua menyaksikan Bantul yang berpose serupa kolase dari sebuah pertempuran yang kalah. Rumah-rumah hancur, nyawa melayang, dan kesedihan menyayat. Semua turun tangan membantu. Dan sudah seharusnya begitu. Tapi warga-warga itu sepertinya tidak mau dikasihani dan kenyataannya mereka tak habis benar, sebagaimana seniman-seniman Bantul itu. Mereka punya cara, sikap, dan mental sendiri menghadapi ambruknya dan kalahnya kota mereka.
Seperti cara Sultan Agung yang tatkala kekuasaannya disusutkan Kumpeni lalu menggali parit pertahanan terakhir. Yakni, membangun mitos Ratu Kidul di laut selatan. Saat ini juga di bawah alam sadar warga Bantul terpupuk keyakinan bahwa ini semua ulah Nyai Kidul yang sedang menari. Masalahnya, tarian Nyai Kidul kali ini tak lazim: campuran tari legong bali dan hentakan kaki anak band rock ‘n punk.

No comments: