Frida Kahlo,
Kartini, dan Monalisa masih merapat di dinding menghadap barat. Ketiga
perempuan anggun dari tiga dunia yang berbeda itu melemparkan senyum dan
lirikan mata yang khas, tak awas, apalagi waswas. Padahal di depan mereka,
langit-langit rumah dan seisinya menghambur-ambruk oleh tarian bumi dari laut
selatan.
Lama saya
melihat ketiga perempuan bersih itu dari sudut jendela yang sudut-sudutnya
menggelethek dari dinding yang mengapitnya. Saya percaya mereka pasti tahu
bagaimana paniknya di pagi akhir pekan (27/5: 5.55). Seniman lukis Galam
Zulkifli, istri, dan dua orang anaknya yang kecil-kecil terkurung dan hampir
mati di kamar karena tak bisa meraih gagang pintu. Mereka pasti tahu bagaimana
langit-langit rumah berjatuhan. Mereka pasti juga mendengarkan debum tembok di
sisi kanannya yang jatuh tersungkur ke sawah. Mereka pasti tahu, bagaimana
rumah yang belum lama dibangun dengan kepayahan melukis itu harus ditinggalkan
pelukisnya untuk batas waktu tak ditentukan.
Ketiga
perempuan itu tetap mempertahankan senyum. Tak luntur oleh apa pun. Lama saya
gumun. Ataukah ketiganya geli melihat tarian bumi di pagi yang balau itu adalah
campuran tari yang tak lazim di panggung Yogyakarta. Hampir setiap tahun
Yogyakarta ditapis getaran vulkanik dari bumi utara. Tapi getaran itu sangat
halus serupa tari bedhaya yang anggun dan ritmis. Tapi di Sabtu pagi itu,
pastilah goyangan yang menghentak itu bukan tari bedhaya. Mungkin percampuran
antara tari legong bali yang awas dan lincah dengan hentakan kaki band-band
rock ‘n punk undergoround yang garang dan merusak.
SETELAH 24 jam
kabar itu meraung-raung di layar televisi, saya dan dua teman lainnya memasuki
Yogyakarta dengan kereta malam. Makin dekat dengan Yogya, ujung mata saya kian awas
menangkap di mana reruntuhan rumah yang terkabar ngeri itu. Kepala saya tak mau
diam. Melirik ke kanan dan ke kiri di sisi jendela kereta. Bahkan ketika
memasuki kota, apa yang saya lihat di televisi belum juga tampak. Saya pun
terlibat debat dengan teman sepanjang Wates, Kulonprogo, di seputar apakah
peristiwa ini nyata atau fiksi. Saya tahu betul Yogyakarta adalah kota
seni(man), sastrawan, karena itu berita itu bisa jadi hanya fiksi yang dibikin
kolosal. Sebab hampir tak ada kehancuran di lintasan kami lalui, selain mall
malioboro yang kami lalui pertama kali retak-retak di atasnya dan jalanan yang
dulu akrab dengan taman para tukang syair masih tampak lengang.
“Pastilah
mereka semua merancang drama ini jauh-jauh hari bersama seluruh media massa,
baik elektronik maupun koran,” kata saya. Saya beritahu mereka, dilihat dari
kolosalnya dan cara media menyajikan gambar, pasti mereka membuat studio
raksasa dengan gedung-gedung yang seenaknya dihancurkan lewat adegan dramatik
seperti di film-film hollywood Amerika. Karena ini kolosal, tokoh figuran luar
biasa banyaknya diperlukan. Sekabupaten kalau perlu. Mereka juga membayar
sopir-sopir bus dan taksi untuk tidak mengejar setoran di hari Ahad itu. Hanya
ingin mengondisikan bahwa kejadian ini benar-benar nyata dan wisatawan lokal
seperti kami ini berdecak-decak dan ikut-ikutan menuliskan fiksi buatan mereka.
Teman saya
tersenyum-senyum sepanjang rel Wates-Yogya, juga sepanjang jalan kaki
Maliobroro-Kraton. Bahkan ketika memasuki perbatasan Bantul-Kota Yogyakarta di
Krapyak, saya tak bisa diyakinkan bahwa peristiwa yang menghimpit memori adalah
peristiwa nyata. “Oh, ternyata seniman-seniman ini memilih Bantul ya yang jadi
studio untuk proyek kolosalnya. Lha, hancur begini,” gumam saya.
Lalu kami naik
motor menuju kampus Institut Seni Indonesia. Sepanjang jalan kami melewati
rumah-rumah yang terduduk. Gedung Kampus Stikers rontok dan menjadi tontonan.
Gedung BPK rubuhnya lebih artistik lagi: tersungkur ke depan dengan serat getah
badannya masih menempel di bangunan tengah. Kantor KUA juga luluh. Gerbang
Kampus ISI juga tampak gemetar dan cukup goyangan sedikit saja gerbang itu
pasti terjungkal. Di dalamnya gedung pertunjukan dan rektorat tersungkur.
Tenda-tenda bersulam warna di lapangannya pun seperti muncul dari perut bumi.
“Kalau kalian
belum percaya juga dahsyatnya, saya perlihatkan kondisi kampung di Sewon,” ajak
Galam yang rumahnya berantakan di belakang kampus ISI.
Pelukis
potret-realis ini buyarkan pikiran saya di hadapan Frida, Kartini, dan Monalisa
yang masih tersenyum. Bahkan saya masih berkesempatan menengoknya ketika kami
kembali melihat rumah-rumah kampung yang berubah menjadi tumpukan sampah
raksasa.
“MELIHAT yang
hancur jangan ke sini. Ke Sewon sana. Di sini nggak terlalu,” kata Harry “Ong”
Wahyu ketika saya dan Ella mengunjunginya di kawasan Nitiprayan, Bugisan,
Bantul Utara. Rumah seniman mantel buku dan berkali-kali menjadi pembuat backdrop pementasan itu memang tak ada
tanda-tanda kerusakan yang dramatik kecuali bahwa ia masih menyisakan trauma dengan
guncangan Sabtu pagi. Seperti tak ada apa-apa. Di atas mejanya masih teronggok
ubi rebus. Atap rumah utuh. Loteng bambu masih tampak rapi berbaris. Kursi
masih dalam posisi semula setelah sepekan yang lalu saya berkunjung ke sini.
Yang berbeda barangkali, ada bantal dan kasur tipis di beranda itu. “Biar pun
seniman, saya masih takut je,”
katanya tertawa.
Kami mestinya
segera berangkat ke Sewon, Imogiri, dan Pleret yang dikabarkan rata dengan
tanah, tapi ingatan tertumbuk pada Teater Garasi—satu dari dua teater yang
masih eksis di Yogyakarta. “Ada plang tulisan ‘Garasi’ di depan gang. Masuk
saja,” kata Ong. Dia lalu memberi kami ancar dan sekira 300 meter ke selatan,
kami pun berjumpa dengan kesunyian Garasi. Di beranda kami tercegat seorang
lelaki berperawakan kecil yang saya kenal bernama Gunawan Maryanto atau biasa
disapa “Cindil”. Sutradara dan penulis cerita itu menyapu sisa-sisa barang yang
berantakan. Kami berjalan berkeliling menghindari pendopo tempat mereka latihan
rubuh. Di papan pengumuman tertempel macam-macam poster dan juga secarik pesan:
‘Run, k’lo dah balik telp aku ya? Aku ke
Galuh –reni– ‘.
“Garasi lagi
sepi. Kosong. Teman-teman lagi di Jepang semua. Mementaskan Waktu Batu 3 di
Jepang. Itu posternya,” tunjuk Cindil pada poster kuning yang bertuliskan
Menemosyne di antara poster-poster pementasan. “Itu legenda di Yunani tentang
ingatan.”
TERLETAK 50
meter dari ringroad selatan Yogyakarta, museum itu masih utuh. Namanya Museum
dan Tanah Liat. Tapi jangan terkecoh dengan kata “museum”, sebab itu hanya
rumah biasa persegi. Dari kejauhan, rumah itu mirip gudang padi atau kandang
yang sekujurnya dililiti tanaman rambat. Letaknya tepat di kiblat masjid. Di
samping plang nama museum, tergantung piringan CD bertuliskan “bokep”. Di meja
sebelah kiri pintu masuk terpacak meja yang di atasnya terhambur dua undangan,
cermin mainan anak-anak, mobil-mobilan, kuda-kuda mainan, dan tembakau mole
aroma cap bunga matahari yang berbungkus oranye. Di dalamnya beberapa patung
berdiri. Itu karya Basrizal Albara yang lima patungnya patah dikipas gempa,
seperti Gerbang Surga, Menggigit Lidah, Bunga Betina, dan Alunan Cinta. “Semua
patung itu terlempar dan tersudut ke satu arah. Kami sudah memberitahu
pelukisnya,” kata Yoyok, penjaga galeri sederhana itu.
Museum dan
Tanah Liat itu milik pelukis Ugo Untoro. Dia adalah pelukis yang eksentrik.
Bertato sebadan. Muka bertindik. Beranting-anting seperti jin ifrit. Ia
terkenal pemabuk berat dan kerap berkelahi di beberapa pameran Jogja akibat
pengaruh alkohol. Perawakannya masih tetap: kurus, kucel, dan rapuh. Tapi ia
pasti tidak melarat. Sebab selain punya “museum”, Ugo juga sudah tinggal di
rumah sendiri bersama istri dan putrinya Tanah Liat di areal persawahan di
Kasihan Bantul. Hanya sekitar 300 meter ke utara dari “museum”nya.
Memasuki
rumahnya yang berbentuk kotak kami langsung dihadang tiga ekor anjing, dua ekor
monyet yang berteriak-teriak di sarang besinya. Dan saya sempat melirik
beberapa botol minuman yang berdiri rapi di sudut ruangan. Rumah yang di
dindingnya bertuliskan “CafĂ© Ugo Parkir Luasss” tampak sangat kukuh dan tak
terlihat bahwa rumah itu juga diremuk tarian bumi. Di atap rumahnya patung
mobil merah yang dipamerkan Ugo di Bienalle Jogja 2004 masih nongkrong.
Kami hanya
bertemu Ugo di emperan. Beberapa rekan Ugo juga turut di situ yang salah
satunya masih memegang botol minuman lalu menenggaknya. Mungkin berpikir: dunia
luar boleh panik, tapi minum jalan terus.
“Hati-hati banyak
binatang kecil”
Plang
peringatan itu mirip rambu lalu lintas ketika memasuki pintu terluar kawasan
tinggal mantan pelukis yang tergabung dalam Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra)
Joko Pekik. Jika tak mendengar berita dan tak melewati Sewon, mungkin mengira
tak ada apa-apa di Yogyakarta. Tiga rumah yang berdiri di atas lahan seluas tiga
hektar di Dusun Sembungen, Bangunjiwo, Kec Kasihan, Bantul itu seperti surga
yang tak bergerak oleh tarian bumi selatan. Memasukinya seperti memasuki fiksi
sempurna. Apa pun yang dikabarkan media massa seperti raungan sia-sia. Tak ada
jeritan korban yang meraung-raung sakit atau tenda-tenda darurat, melainkan
teriakan ayam-ayam mutiara, merak londo, angsa, maupun elang jawa yang bermain
terbang-terbangan. Sementara seekor kucing masih tertidur lelap di atas genteng
rumah bagian selatan.
Kami terheran-heran
ketika dipersilakan menunggu di pinggir sungai rumah surgawi ini. Air sungai
bedog masih mengalir tenang. Pohon-pohon masih tegak. Tak ada yang berubah
ketika 4 tahun lalu saya ke rumah ini dengan keluarga Pramoedya Ananta Toer.
Tak ada yang retak dindingnya kecuali beberapa genteng yang rusak. Dan itu pun
sudah ada dua tukang penambal yang nongkrong di atasnya.
“Cuma telpon
saja yang banyak masuk ke sini menanyakan keadaan. Apa sudah hancur atau
belum,” kata Pekik sambil terbahak. Ia pun kami minta berkisah tentang
pengalamannya di pagi itu sambil sesekali bayangan Desa Wisata Kasongan
berkelebat di benak saya. Desa itu terletak sekira 2 kilo dari ringroad
selatan. Melewati segaris jalan di desa pengekspor kerajinan gerabah terbesar
di Indonesia itu seperti melewati desa yang baru saja kalah perang. Kios-kios
bersujud ke lumpur sawah. Dan ada juga yang bertekuk lutut di tempat. Kalau pun
ada yang utuh, dipastikan semua gerabah di dalamnya pecah.
Sebagaimana di
rumah Pekik, Padepokan Bagong Kussudiardja yang cuma 500 meter jauhnya juga tak
ada tanda-tanda bahwa kota ini dihantam gempa mematikan. Atap bus kelompok
musik yang didirikan Djaduk Ferianto, Sinten Remen, hanya terlihat pucuknya di
balik pintu anyaman bambu. Dan tampaknya masih mulus. Begitu juga patung gajah
di padepokan lama masih kukuh memegang suling dan naskah. Kaca-kaca nako masih
di tempatnya. Siang itu kami ingin bertemu dengan kaka beradik: monolog Butet
Kertaredjasa dan pemusik Djaduk Ferianto. “Bukan di Padepokan ini rumah Butet,
tapi di depan sana. Mbaknya keluar lagi. Nah, di dekat warung situ ada rumah
paling bagus. Di situ itu rumah Butet,” kata seseorang yang kami temui di
Padepokan. Dan rumah itu terlihat memang masih bagus. Kokoh. Tergores pun
tidak.
SORE hari kami
membikin janji dengan pelukis pop-art Dipo Andy. Kami meluncur melewati
perempatan Imogiri. Di mulut jalan kami dihadang spanduk putih yang saya yakin
pasti bikinan pemerintah: “Ikuti dan saksikan: Bantul Expo 2006”.
Dan memang kami
mengikuti dan menyaksikan “Bantul Expo 2006” di kediaman Dipo Andy. Sebuah expo
reruntuhan berantai. Tak ada lagi yang utuh di sana. Memasuki gang TK Islam itu
yang tersaksi hanya puing. Bahkan kediaman Dipo Andy hanya tertinggal kamar
tamu. Dapur, tiga kamar, dan serambi rubuh. Dinding belakang bercat biru itu
sobek disodok rumah belakang yang terpelanting. Dinding samping terbanting ke
kanan bersama tanaman anggrek. Panggung studio yang biasa penuh dengan cat kini
diganti batu bata. Pensil dan kuas berserak bersama botol-botol cat yang terjepit.
Satu-satunya gambar yang nempel di dinding studio itu adalah potret Presiden
Mesir Husni Mubarak. Di pintu studio yang sobek itu masih terbaca tulisan:
“Pasang karyamu di sini. Studio Angker”.
“Buruk sekali
rumah saya ini. Kalau dipaku, semuanya terkelupas. Nggak ada semennya sama
sekali,” kata Dipo sepekan sebelum gempa itu. Dan rumah buruk itu pun rubuh.
Saya keluar dari studio melewati pintu belakang kamar mandi yang bertulis: The
Other World: Ladies or Gents Only”. Saya mesti hati-hati menaiki timbunan
sampah batu bata yang menghadang. Di halaman beberapa warga hilir mudik. Ada
yang mengais benda dalam rumah atau mengangkuti sedikit demi sedikit gunungan
tembok dan kayu-kayu kaso yang legam.
Saya pastikan
bahwa tetangga pelukis itu tak mendapatkan bantuan relawan di hari ketiga
setelah tarian bumi dipentaskan karena kawasannya masih terlalu dekat dengan
batas kota Yogyakarta. Dan memang tak tampak kesedihan yang berlebih di wajah
mereka. Malah saya dikejutkan suara ibu yang tergopoh-gopoh menemui dua tamu
dengan sisiran rambut klimis dan berpakaian rapi di depan puing-puing sambil
membopong nampan berisi pisang godok dan dua gelas teh. Rautnya pun tak
terlihat mendung, tapi ceria dan senyumnya manis. Seperti Frida, seperti
Kartini, seperti Monalisa dalam lukisan Galam Zulkifli. Padahal saya lihat
rumahnya rata dengan tanah. Kontan saja yang disuguhi kaget tak kepalang.
Mungkin bingung. Begitu juga saya. Dalam pedalaman saya berkata masih sempat
juga mereka menyuguhi tamu di tengah reruntuhan itu.
Dan itu bukan
peristiwa sekali. Tepatnya sehari sebelumnya di lapangan Masjid Agung Bantul.
Di posko utama Palang Merah Indonesia itu mobil ambulans meraung-raung datang
pergi seperti tak kehabisan tenaga mengangkuti pasien-pasien dari pelosok
kampung Kretek, Bambanglipuro, Samas, dan sebagainya. Namun 50 meter di
belakang itu sebuah keluarga dengan ramah melayani “tamu-tamu”nya. Karena di
ruang dalam tak bisa dipakai, halaman rumah pun disulap menjadi ruang tamu.
Kursi-kursi disusun mengelilingi dua meja yang berbaris memanjang seperti ruang
tamu lazimnya. “Ayo minum-minum dulu,” ajaknya. “Duduk-duduk dulu ya. Saya tak
ke sana dulu. Bantu-bantu,” ibu itu pun lenyap di balik reruntuhan rumah
tetangga setelah meletakkan kaleng berisi biskuit di atas meja.
Di tempat yang
sama pada sore harinya, saya masih sempat melihat beberapa orang bermain
layangan. Mereka begitu sibuk menarik ulur benang, sementara di samping mereka
para petugas medis semuanya memasang tampang serius dan lelah menjahit kulit
kepala yang bocor atau menggipsi kaki atau tangan pasien yang patah sebelum
dirujuk ke rumah sakit yang layak. Dan pastilah petugas-petugas medis itu bukan
orang lokal di situ yang memang mereka umumnya didatangkan dari daerah lain
seperti Jakarta.
“Masih mending
itu. Ketika ada isu sunami dan jalanan macet total, justru ada yang dengan
santainya memancing di sungai. Cah-cah
Jogja iki pada gendeng,” kata perancang sampul buku M Bakkar Wibowo.
“Lha kalau saya
main karambol. Daripada ke jalan tegang sekali orang dengan sunami. Mending ke
kampung main karambol sama bocah-bocah. Nggak terjadi kan sunami,” kata Daddy
yang beberapa patung perempuan seksi bertetek 19 yang baru saja diselesaikannya
patah.
HAMPIR semua
seniman memang tinggal di Kota Bantul. Terutama Sewon. Tak ada alasan yang
sahih mengapa Bantul dihuni oleh “kalau nggak seniman ya penjahat di Bantul
ini. Cuma dua spesies itu di sini,” seloroh Dipo Andy sebelum Bantul rontok.
Mungkin saja karena pergerakan ekonomi atau karena kampus seni ada di kabupaten
ini. “Bagaimana lagi, sewa rumah di Bantul masih murah. Dan seniman itu
miskin-miskin kan. Jadi udah pas. Di kota sudah nggak bisa terjangkau
harganya,” kata sutradara Teater Garasi Gunawan Maryanto.
Itu pula
barangkali yang mendorong kelompok seniman Taring Padi memilih tinggal di Dusun
Mijo, Sewon, Bantul. Tapi di hari ketiga setelah gempa, seniman-seniman yang
selalu berpakaian kucel, seadanya, dan penuh tato di badan itu hanya bisa
berkerumun di tenda di depan sekretariat mereka yang hancur. Ada sekira sepuluh
orang mengelilingi sepetak meja yang penuh puntung rokok. Beberapa dinding
kamar bertempel poster ‘Tragedi 1965’ masih berdiri gemetar, sementara di
depannya sudah terawang. Seekor anjing hitam mengais-ngais dari kaki ke kaki
dan sesekali melintasi reruntuhan tembok. Di lantai, selebaran-selebaran seni
perlawanan melawan kapitalisme berhamburan. Komik-komik underground tampak meringis bersandar di tiang-tiang penyanggah
langit-langit. Hanya satu kamar yang tersisa dari amuk tarian bumi selatan.
Dan mereka kini
hidup di tenda-tenda. Sama dengan warga-warga yang lain yang meringkuk
ditenda-tenda yang kini dilirik dunia. Mereka semua menyaksikan Bantul yang
berpose serupa kolase dari sebuah pertempuran yang kalah. Rumah-rumah hancur,
nyawa melayang, dan kesedihan menyayat. Semua turun tangan membantu. Dan sudah
seharusnya begitu. Tapi warga-warga itu sepertinya tidak mau dikasihani dan
kenyataannya mereka tak habis benar, sebagaimana seniman-seniman Bantul itu.
Mereka punya cara, sikap, dan mental sendiri menghadapi ambruknya dan kalahnya
kota mereka.
Seperti cara
Sultan Agung yang tatkala kekuasaannya disusutkan Kumpeni lalu menggali parit
pertahanan terakhir. Yakni, membangun mitos Ratu Kidul di laut selatan. Saat
ini juga di bawah alam sadar warga Bantul terpupuk keyakinan bahwa ini semua
ulah Nyai Kidul yang sedang menari. Masalahnya, tarian Nyai Kidul kali ini tak
lazim: campuran tari legong bali dan hentakan kaki anak band rock ‘n punk.
No comments:
Post a Comment