31 January 2005

Jangan Takut Laut, Cucu Pelaut!

Buku ini saya resensi setelah laut menghantam daratan Aceh. Buku ini adalah milik teman saya yang intens menulis tentang laut. Sosoknya hanya segelintir orang yang benar-benar bergairah atas laut. Usianya sepantar dengan saya. Resensi ini adalah penghormatan kepadanya: Ridwan Alimuddin.


KOMPAS - Minggu, 30 Jan 2005 Halaman: 15 Penulis: Dahlan, Muhidin M Ukuran: 8455

JANGAN TAKUT LAUT, CUCU PELAUT!

Judul : Mengapa Kita (Belum) Cinta Laut?
Penulis : Muhammad Ridwan Alimuddin
Penerbit: Ombak, November 2004
Tebal : xix + 277 halaman

"De zee is goed, de zee is groot; zout water geeft het zoetste
brood (Laut itu baik, laut itu besar; air asin memberi roti yang
paling manis)."
(Sepotong sajak Belanda sebagaimana dikutip Prof Dr Adrian B
Lapian).

BELUM lagi benar-benar kita mencintai laut, ketakutan itu keburu
datang. Pada Ahad pagi, 26 Desember 2004, ujung Aceh dan beberapa
kawasan di Asia Selatan dan Afrika Timur diterjang monster laut yang
ganas. Gulungan ombak setinggi pohon kelapa dengan kecepatan setara
pesawat jet itu menggodam daratan dalam sekali sapu. Ketika air
kembali surut, ratusan ribu jasad manusia menggenang, kapal-kapal
terdampar di tengah kota, berton-ton sampah teronggok, dan kampung-
kota pun lenyap dari peta dan silsilah.

YANG tersisa adalah ketidakberdayaan, trauma, dan ketakutan yang
sulit dilukiskan. Ya, tiba-tiba saja kita takut pada laut. Laut itu
garang, laut itu pemarah, laut itu pembunuh. Maka dari itu, hati-hati
dengan laut. Menjauh sejauh-jauhnya darinya.
Menurut M Ridwan Alimuddin, penulis buku Mengapa Kita (Belum)
Cinta Laut?, sebelum ketakutan yang padat itu datang pada pagi yang
cerah, sebetulnya sudah lama bangsa ini mengabaikan laut. Pernyataan
bahwa negara kita terdiri dari 17.000 pulau yang menunjukkan betapa
luasnya laut kita tak lebih hanya hafalan belaka dan membeku dalam
lipatan buku-buku ajar sekolah. Sebab, pada dasarnya kita tak tahu
mau diapakan jumlah ribuan itu. Kata "nusantara" pun yang secara
harfiah berarti di antara laut (nusa=laut; antara=penghubung)
kehilangan padanan realitasnya.
Padahal, siapa pun mengakui Indonesia adalah negeri bahari. Enam
ratus tahun lamanya manusia Indonesia pernah jaya dan kuat dalam peta
struktur politik-ekonomi-budaya dunia, yakni pada masa-masa Sriwijaya
dan Majapahit. Namun, pada abad ke-16 atau akhir kekuasaan Majapahit,
Nusantara yang terkenal karena kemegahan baharinya seperti kena
gulung badai dari semua penjuru laut peradaban. Kemerosotan
menggumpal di mana-mana, menghantam apa saja yang tersisa.
Kemerosotan itu ditandai dengan tergusurnya pemikiran tentang
tradisi "kelautan" sebagai basis kekuatan ekonomi dan politik oleh
armada darat.
Orientasi hidup berbasis laut, tulis Ridwan, adalah orientasi
hidup bersifat terbuka, kosmopolit, dan adaptif terhadap kebaruan,
sementara budaya gunung tertutup dan sulit menyesuaikan diri. Dalam
budaya laut, raja ada atau tak ada bukanlah hal penting karena semua
manusia yang bergulat di dalamnya otonom.
Dalam soal kepemimpinan, budaya laut mensyaratkan adanya
kepemimpinan meritokrasi. Untuk menjadi seorang penggawa atau kapitan
atau nakhoda, yang layak adalah pelaut yang punya pengalaman,
keberanian, dan pengetahuan. Berbeda dari tradisi gunung di mana
seorang raja harus dari seorang yang masih memiliki pertalian darah
sekalipun tidak punya potongan untuk memimpin (hal 24).
Akan tetapi sayang, tradisi laut yang gagah itu semuanya hanya
gugusan cerita silam. Yang kita acu puluhan tahun adalah budaya
gunung yang feodalistis, suatu budaya yang boleh dibilang antilaut.
Dan, itulah sebabnya kenapa kepala kita berabad-abad tersuruk begitu
dalam ke dasar pasir dan sulit melihat kejayaan diri dalam percaturan
dunia.

***

ADA perbandingan menarik yang dipaparkan Ridwan antara Jepang dan
Indonesia. Kita tahu kedua negara ini memiliki banyak kemiripan.
Selain negara kepulauan dan negara langganan gempa dan tsunami, kedua
negara ini juga pengonsumsi ikan yang besar. Namun, jangan keburu
bangga dulu. Apabila Jepang terkenal sebagai pengonsumsi ikan-ikan
terbaik dunia, Indonesia justru sebaliknya, pengonsumsi ikan- ikan
busuk. Seperti inikah?
Kesimpulan itu didapatkan Ridwan ketika mengamati dari dekat
aktivitas pasar ikan di Muara Baru. Ketika ia mengirimkan foto
jepretannya atas profil ikan tuna di Muara Baru kepada seorang
peneliti Jepang, sontak peneliti itu kaget dan tak habis pikir sebab
ikan tuna yang seperti itu berkelas sampah di negara mereka,
sementara di Indonesia justru dikonsumsi oleh mayoritas masyarakat
perkotaan.
Dari sini saja, tulis Ridwan, kampanye makan ikan oleh pemerintah
agar rakyat Indonesia tambah cerdas, kuat, dan sehat tak lebih hanya
angan-angan yang membeku di ujung lidah sebab yang kita konsumsi
ternyata ikan busuk yang kulit dan dagingnya sudah melepuh. Sementara
ikan bersih, segar, dan terbaik hasil pergulatan nelayan-nelayan kita
menantang gelombang, badai, dan terik matahari justru dikirim ke luar
negeri.
Belum lagi soal keterampilan mengolah hasil tangkapan, Indonesia
sungguh ketinggalan jauh dari Jepang. Di Indonesia, pentingnya ikan
hanya berhenti di sebait Hadis Nabi: "Semua ikan laut bisa dimakan."
Namun, di Jepang hadis itu mengubah bentuk menjadi: "Orang Jepang
makan semua." Mau bukti?
Cobalah Anda berkunjung ke pasar ikan Tsukiji, Anda akan
menyaksikan aktivitas perdagangan ikan yang spektakuler (hal 176).
Bahkan, di sana, tulang ikan pun dimakan setelah sebelumnya diolah
menjadi makanan ringan. Bukan hanya itu, ikan buntal yang terkenal
beracun ganas dilahap. Tak terkecuali ikan mentah dan telur ikan,
ludes terlahap di meja makan.
Apa resepnya? Menurut Ridwan, resepnya terletak pada teknologi
pengolahan dan pengemasan. Biarpun tulang ikan, tetapi bila dikemas
dalam bentuk menarik akan membuat orang tergiur memakannya. Apalagi
kalau itu memang enak (hal 177).
Yang terjadi dengan kita sebaliknya. Alih-alih memikirkan
teknologi pengolahan dan pengemasan, terutama sekali media massa kita
justru mengekspos secara masif produksi ikan arwana atau lou han yang
buruk rupa itu untuk dipelihara di akuarium. Dan harganya pun
ueedaaan. Bahkan, ada yang lebih tidak masuk akal lagi: menjadikan
lou han jimat untuk bisa beroleh kekayaan (hal 183).

***

BUKU yang terdiri dari sekitar 60 esai pendek dan dibagi dalam
delapan bagian ini merupakan mosaik kaya yang dalam sebait ungkapan
Nirwan Arsuka di sampul depan buku menyebut: "Sebingkai jendela kecil
buat menatap sisi lain Indonesia yang begitu penting, begitu dekat,
namun sekaligus sering ditelantarkan bahkan ditindas."
Memang, siapa pun yang membaca buku ini pastilah merasakan
seperti tengah terapung di lautan menikmati perahu sandeq (perahu
khas nelayan Mandar) yang sedang mengiris laut; kita seperti
mencicipi asinnya air laut dan menyatu dengan nelayan dan penadah di
pagi hari di tempat pelelangan ikan; atau menyaksikan seekor ikan
tuna menggelepar-gelepar di atas perahu nelayan setelah sekian
hari "berjudi" nasib di lautan lepas; mendengarkan cemara di suatu
senja yang taram; atau suara gelegar dari nelayan-nelayan yang
menangkap ikan dengan bom dan dipersalahkan tanpa ampun sebagai
perusak utama biota laut.
Dengan cara bertuturnya yang sederhana, santun, tetapi lugas
sekaligus menohok dan menggeram melihat ketidakadilan di laut dan di
pantai, buku ini membimbing kita untuk kembali ke laut di tengah
gugusan trauma dan paranoid membekap sanubari masyarakat kita atas
laut akhir-akhir ini. Ia mencoba memperpendek jarak (cinta) kita atas
kesilaman yang menjayakan.
Kehadiran buku ini barangkali menjadi setitik oase dari
sedikitnya buku maritim yang ditulis orang-orang maritim dari yang
katanya negara maritim ini. Ridwan yang masih mahasiswa Fakultas
Perikanan Universitas Gadjah Mada dan putra nelayan Mandar, Makassar,
menahan malu bukan main karena untuk belajar dunia ikan di negeri
pelaut ini harus menenteng dan membolak-balik literatur asing. Apa
boleh buat, 80-90 persen literatur kemaritiman kita impor.
"Cendekiawan Indonesia sungguh ÆmiskinÆ," sergah Mang Usil pada
sebuah pojok Kompas, 7 Oktober 2003 (hal 143). Kalaupun ada tulisan
orang Indonesia, mohon maaf, kebanyakan jenis tulisannya kaku; yang
bukannya menarik masyarakat umum Indonesia yang katanya cucu pelaut,
malah makin menjauhkan mereka dari pengetahuan tentang budaya nenek
moyangnya yang sekali lagi katanya pelaut yang ulung.

Muhidin M Dahlan,
Peminat Buku, Bermukim di
Krapyak, Yogyakarta


1 comment:

Android Borneo said...

benarlah masa cucu pelaut takut hehehe priauda