::an ismanto, penyair bantul
Spiritualitas manusia bukan hal yang remeh. Umurnya setua manusia sendiri. Sejak jaman yang tak sanggup Sejarah memetakannya, spiritualitas sudah ada. Pada mulanya, catat Mircea Eliade, adalah animisme dan dinamisme. Manusia dibikin takjub oleh penyelenggaraan Alam: guntur, laut, gunung, badai, daur lahir-hidup-mati, dan keberadaan serta segala sesuatu yang tak-terjelaskan. Lantas, entah manusia sendiri atau kekuatan selain manusia yang menyusun, muncul serangkaian tata cara yang membantu manusia memahami kekuatan-kekuatan alam itu. Hal terakhir inilah yang sampai kepada anak cucu manusia sebagai agama, yang pada gilirannya memberi keyakinan dan pedoman dalam berhadapan dengan Alam maupun dengan diri sendiri.
Namun, manusia tak pernah benar-benar terpuaskan oleh pedoman-pedoman dan keyakinan itu. Ada rasa kekurangan dan tidak aman yang membikin manusia tak pernah merasa benar-benar mapan dan penuh dalam dirinya. Tatkala keragu-raguan mulai muncul di dalam batin, manusia mulai merasa asing pada pedoman, pada Alam, dan bahkan pada dirinya sendiri.
Keterasingan dari pedoman yang sudah ada pernah pula dipindai oleh pasal 8 Injil Yohanes. Suatu kali, ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi menangkap seorang perempuan yang kedapatan berzina. Mereka meminta Yesus menghukum peremuan itu. Para penangkap perempuan itu adalah orang-orang Yahudi, yang pilar keyakinannya sudah tegak sejak jaman Musa. Mereka, tentu saja, merasa harus melakukan perbuatan-perbuatan yang saleh. Seorang pezina adalah duri bagi kesalehan mereka. Maka mereka menangkap si pendosa. Ketika diserahi daulat buat menghukum perempuan itu, Yesus tak langsung menghukum sebagaimana yang diharapkan para penangkapnya. Justru, Yesus meminta orang yang merasa tidak berdosa untuk melemparkan batu kepada si pezina. Tak ada yang berani melakukannya, dan Yesus membiarkan perempuan itu pergi. Parabel ini mengisyaratkan betapa keyakinan setua Yahudi tak sanggup memberikan kepastian kesucian manusia—yang ingin dicapai para penangkap pezina itu—kepada para pemeluknya.
Kenapa rasa terasing selalu ada pada manusia? Dan bagaimana menyelamatkan diri darinya?
Eksistensialisme Sartre-an punya penjelasan yang cukup terang buat memahami keterasingan manusia. Memang penjelasan itu sudah agak kuno, dan bahkan sudah ditimbuni kritik, namun asumsi-asumsi dasarnya masih relevan dan cukup adekuat sampai sekarang. Sartre menjelaskan manusia sebagai Ada-untuk-diri (being-for-itself) yang senantiasa terasing, karena selalu saja tak pernah mencapai kondisi yang diinginkannya, yaitu Ada-dalam-diri (being-in-itself). Manusia selalu makhluk yang akan-ada-untuk-diri (to-be-being-to-be). Lebih jauh, Sartre menyatakan bahwa entitas yang sudah penuh dalam dirinya sendiri sekaligus sedang akan menjadi dirinya sendiri tidak pernah ada. Hanya Tuhan yang sudah sempurna sekaligus masih berkepentingan dengan keberadaan yang-lain yang bersifat seperti itu. Itupun kalau Dia ada.
Celakanya, lanjut Sartre, kondisi seperti Tuhan itu merupakan salah satu dari dua jalan keluar, yang keduanya sama-sama sulit, yang mesti dipilih bila manusia mau bebas dari keterasingannya. Manusia punya kehendak buat memilih apa yang ia inginkan dan lakukan. Sayangnya, tidak ada yang menjamin bahwa pilihannya bakal bermanfaat buat dirinya, dan karenanya manusia hidup bersama ketidakpastian. Ini memunculkan angst (anguish=kecemasan). Sepanjang keberadaannya, manusia tak bisa melepaskan diri dari kecemasan ini. Dan ini merupakan kondisi yang tak dapat diubah maupun ditolak oleh keberadaan manusia.
Jalan keluar kedua, yang sama sulitnya dengan yang pertama, ialah menerapkan kehendak bebas manusia untuk memilih dengan menerima “kutukan” keberadaan manusia, dan itu berarti menerima kondisi keterasingan dan konsekuensi psikologis-filosofis yang mengikutinya. Sialnya, kutukan itu terlampau besar untuk ditanggung, dan dalam ketidakpastiannya, manusia pun berusaha melupakan keterasingannya (atau, seturut Erich Fromm, melarikan diri dari kebebasannya), mengubur keterasingan itu dalam kesadaran pra-refleksif dan mengalihkan kesadaran refleksifnya pada hal-hal lain. Namun, pada suatu saat nanti, manusia akan merasakan lagi keterasingannya itu. Dan pada saat itu ia harus memilih antara melupakan kutukan keterasingan itu atau menghadapinya. Sartre dan Fromm yakin bahwa kebanyakan manusia memilih untuk melarikan diri kutukan keberadaannya itu dengan mencari perlindungan pada negara dan otoritas institusional lain. Tak banyak orang yang memilih untuk menghadapi keterasingannya dengan gagah berani.
Keterasingan senantiasa ada pada setiap jaman, dan senantiasa ada tawaran untuk menjelaskan, dan memadamkan, keterasingan itu. Namun, karena sejak awalnya manusia selalu berusaha melupakan dan melarikan diri dari kerkahan keterasingan itu, maka setiap apa yang berusaha menolongnya malah kerap ia sisihkan. Alhasil, selalu ada yang terlupakan. Namun selalu ada pula yang mengingatkan. Bila agama dan sains tak sanggup, dan tak mau, mengingatkan, seni dan sastra yang bakal melakukannya: seni dan sastra kerap dianggap sebagai tawaran buat mengingatkan, menjelaskan, dan membantu manusia menghadapi keterasingannya. Dalam konteks ini, Kabar Buruk dari Langit, sebuah novel tambun karya Muhidin M. Dahlan, menemukan perannya.
Kabar Buruk: Perseteruan “Beragama Rupa-Bentuk” dan "Beragama Isi-Substansi”
Kabar Buruk dari Langit menyergap pembaca dengan cerita jatuhnya Jibril dari langit di dekat “kau” yang sedang duduk-duduk di tepian Abiseka, mengaso dari “zikir yang membosankan”, tepat pada malam 17 Ramadhan, malam sakral ketika wahyu diturunkan untuk pertama kalinya kepada Nabi Muhammad Al-Amin. Jibril jatuh, terhempas ke Bumi dan bukannya mendarat dengan mulus seperti burung pipit.
Sejak malam itu, “kau” adalah seseorang yang merasa asing pada agama yang ia anut dan sebrakan. Padahal, bertahun-tahun silam, “kau” adalah seorang pemuda cerdas yang digadang-gadang menjadi pemuka agama idaman Kudus, dan diberi kesempatan untuk belajar agama langsung di negeri para nabi. Sepulangnya dari sana, ia memang menjadi pemuka agama pilih tanding di kampung halaman. Tapi, pada malam yang sakral itu, Jibril datang kepadanya, bukan membawa wahyu, melainkan rempah mulia bernama ganja Atjeh. Sang malaikat yang tugasnya mirip Hermes mengajarinya menghisap ganja itu dan memberinya banyak pelajaran dan teka-teki. Setelah berpisah dengan Jibril, ia merasa ada yang kurang dalam hidupnya. Ia memutuskan untuk meninggalkan istri dan tugas-tugasnya sebagai pemuka agama, lantas mencari Tuhan.
Ia mengalami mimpi-mimpi ganjil, melakukan perjalanan ke banyak tempat dan bertemu dengan manusia-manusia tak lazim yang memberinya petunjuk-petunjuk. Lantas ia merasa yakin bahwa yang sedang ia cari sejatinya dapat ditemukan dalam dirinya sendiri. Setelah itu, ia mendirikan Bukit Makrifat. Orang-orang mendengar kabar tentang keberhasilannya, lalu mereka berduyun-duyun ingin menjadi pengikutnya. Karena mewajibkan para pengikutnya menjalankan cara-cara yang bertentangan dengan syariah, seperti melakukan senggama dengan bebas di kaki Bukit Makrifat dan menyatakan bahwa ibadah haji tak perlu ke Makkah, elit agama Kudus menuduhnya sebagai pelaku bidah dan berusaha menangkapnya. Namun upaya itu selalu gagal. Dan ia sendiri kian harum di kalangan pengikutnya, hingga ia mereka panggil Begawan Suci, meski ia bersikeras menolak panggilan itu.
Ia sendiri tetap gusar, karena masih ingin bertemu dengan Jibril lagi, yang diyakininya akan memberitahukan kepadanya rahasia hakikat. Kemudian ada petunjuk yang menyatakan bahwa kebenaran sejati dapat ditemukan di Kota Cinta, yang harus ditempuh melewati tujuh lautan maha dalam. Ia menaati petunjuk itu, sampai di Pulau Rempah dan jatuh cinta pada seorang gadis biara. Untuk mendapatkan gadis itu, ia disyaratkan berpindah agama, membakar Quran, dan memelihara babi di biara. Akhirnya ia dinikahkan dengan gadis itu. Sepasang suami istri itu lantas pulang ke Bukit Makrifat. Elit agama Kudus menangkapnya dengan tuduhan bidah dan menjatuhkan vonis mati kepadanya. Ia tak berontak, malahan menerima kematiannya dengan riang, karena ia yakin yang dicari-carinya datang bersama kematian. Orang-orang yang diam-diam kagum kepadanya menyaksikan kematiannya yang mengenaskan, dan langit pun “menitipkan kabar teramat buruk di pedalaman hati mereka masing-masing, yang bakal mereka bawa serta ke mana pun kaki melangkah” (hlm. 549). Dan pencarian “kau” pun usai bersama kematiannya.
Kabar Buruk dari Langit menyeret pembaca untuk mengait-ngaitkan tanda, kata, frase, kalimat, nama tokoh dan peristiwa di dalamnya dengan hal-hal yang sama yang tak termaktub dalam novel bertebal 562 halaman itu. Seakan-akan ia mengingatkan pembaca pada hal-hal yang pernah, atau barangkali masih, ada dalam catatan sejarah maupun yang ada di sekeliling. Misalnya, perjalanan pencarian spiritual portagonis mengingatkan kita pada satu tokoh esoterisme Jawa yang dihukum pancung oleh elit agama: Syekh Siti Jenar. Selain itu, juga beberapa fakta historis yang terabaikan (dan menghentak). Salah satunya ialah uraian Jibril perihal ganja: “setiap kota Islam dianugerahi tanaman-tanaman lezat dan nikmat agar masyarakatnya bisa bekerja dan berkegiatan lebih santai .... di Arab ada hishas (hashis?—penulis) .... di Afgan dan di pulau ini (Jawa—penulis) ada madat. Di Atjeh pun demikian, dengan nama yang lebih khas: ganja” (hlm. 16).
Sejak awal, Kabar Buruk dari Langit telah menunjukkan tanda-tanda keterasingan protagonis. Bahkan sebelum berdialog dengan Jibril, “kau” telah memandang zikir dengan kacamata yang berbeda, meski sebab keterasingan dari zikir itu tak tersurat. Seusai berdialog dengan Jibril, rasa terasingnya membesar, tak terbatas pada zikir saja, tetapi juga pada seluruh fondasi agama dan dengan semua yang mengelilingi dirinya. Ia mulai memandang kedua hal terakhir secara berbeda. Pedoman agama (syariah) dan norma-norma sosial tak dapat lagi ia kukuhi dengan iman selayaknya seorang pemeluk dan anggota masyarakat. Ada kerisauan tak terjelaskan yang menjadikan protagonis tak puas pada kedua hal itu.
Pola ragu-mencari-menemukan-mati mengenaskan juga dialami persona-persona sufistik dalam realitas faktual. Protagonis mengalami proses mental dan spiritual yang kemudian menimbulkan akibat pada tataran eksoteris yang mirip dengan yang dialami Yesus Kristus. Seolah-olah “kau” mengikuti takdir Yesus yang harus mengakhiri hidup denga nista dan salib. Bedanya, eksekusi Kristus bertujuan untuk menebus dosa-dosa umat manusia, sementara “kau” melakukannya demi memenuhi dorongan cintanya kepada Tuhan.
Bila kita cermati, tindakan yang berseberangan dengan moralitas khalayak, yang berakhir dengan kematian protagonis, mendapatkan porsi yang sangat dominan dalam novel ini. Perseteruan lama esoterisme-eksoterisme inilah yang tampaknya menjadi bidikan utama Kabar Buruk dari Langit.
Sebagaimana kita tahu, kedua cara pemahaman keberagamaan ini sudah sejak lama tak akur. Esoterisme dan eksoterisme sama-sama mengklaim memegang kunci penghayatan akan Penyelenggaraan Ilahi yang lebih dalam ketimbang seterunya. Padahal, keduanya berangkat dari asumsi dasar yang berbeda. Esoterisme merujuk pada hal-hal yang hanya boleh diketahui dan dilakukan oleh sebagian anggota saja dari suatu kelompok penganut paham tertentu, yang termanifestasi dalam wacana tentang semua yang batiniah.
Sedangkan eksoterisme menyaran pada hal-hal yang boleh diketahui oleh semua anggota kelompok itu, mewujud dalam semua wacana yang bersangkutan dengan yang lahiriah, seperti ritual dan syariah (Schuon, 1987: 18). Inti esoterisme ialah kemungkinan bagi makhluk untuk partisipasi dalam Penyelenggaraan Ilahi. Mistikus masyhur Meister Eckhart menyatakan bahwa dalam seorang mistikus tidak diciptakan. Ini sepaham dengan keyakinan para pelaku tasawuf bahwa makhluk tak bisa berusaha dari dirinya sendiri untuk menghayati Yang Ilahi.
Dasar asumsi ini ialah bahwa manusia memiliki potensi penghayatan yang terdapat dalam dirinya, yang disebut Intelek. Intelek, dalam pandangan esoterisme, melampau akal, nalar, intuisi dan moral. Lewat Intelek inilah Yang Ilahi melakukan kontak satu arah dengan makhluk. Yang Ilahi sendiri yang menentukan siapa atau apa yang boleh turut serta dalam proses itu, sekaligus menentukan akibat-akibat yang mungkin dari partisipasi itu (Schuon, 1987:37).
Kesan permisif esoterisme, seperti yang tampak pada perilaku protagonis Kabar Buruk dari Langit, menjadi afirmasi pernyataan esoteris bahwa kejahatan tidak ada (Schuon, 1987:97). Karena, tindakan atau ucapan yang tampaknya bertentangan dengan standar moral yang disepakati bersama di tataran eksoteris merupakan keniscayaan esoteris. Seorang ulama setaraf wali menghisap ganja bersama Jibril, mewajibkan calon pengikutnya melakukan seks bebas, menghalalkan daging anjing, membakar al-Quran, memelihara babi di biara Kristen, berpindah agama demi mendapatkan gadis yang diidam-idamkannya. Dari semua hal itu, mana yang tak bakal membakar mata dan telinga seorang pembaca yang percaya pada hal-ihwal yang berkebalikan dari yang diajarkan dan dilakukan sang ulama? Kematian tampaknya setimpal dengan “kejahatan” dan kesesatannya. Namun bagi sorang esoteris kategori moral “kejahatan” tak dapat diterapkan pada protagonis, karena Yang Ilahi sendiri yang menghendakinya.
Itulah sebabnya kenapa Nietzche, dalam Ecce Homo, mengatakan bahwa kalaupun ia harus menyalahkan penyebab terjadinya kejahatan, ia bakal menyalahkan Tuhan saja. Dengan nalar ini, maka kebebasnilaian esoteris dibuktikan dengan sangat terang. Penyelenggaraan Ilahi sendiri tetap tak terusik dan kejahatan-eksoteris tetap ada. Maka, meski penghukuman protagonis menjadi kabar buruk dari langit, eksekusi itu sama sekali tak menjadi kabar buruk buat langit (bila langit dibaca dengan pengertian yang sama dengan yang dipakai dalam wacana religius eksoteris, yaitu sebagai simbol untuk Yang Ilahi).
Sayangnya, Kabar Buruk dari Langit tak menggali lebih dalam masalah “kejahatan” protagonis. Stimulan abstrak semacam “cinta”, sebagaimana “keadilan”, “kerukunan”, “tanggung jawab”, tampaknya kurang dapat diterima dalam dunia kita yang tak sepenuhnya mencampakkan rasionalisme dan empirisisme. Bila memang “cinta” menjadi satu-satunya elan vital protagonis, Kabar buruk dari Langit nampaknya sedang mengampanyekan individualisme kelas kakap, karena cinta merupakan wacana yang sangat subyektif. Jadinya, rasa terasing manusia pada standar moral tak didasari penjelasan yang kukuh.
Sikap novel ini terhadap keterasingan eksistensial cukup terang. Protagonis ditunjukkan sebagai subyek terasing yang memilih menghadapi keterasingannya dengan cara yang berbeda dari yang dipilih kebanyakan orang. Ia tak memilih berlindung di bawah negara dan otoritas institusional lain seperti agama dan pernikahan. Ia justru menuruti kehendak bebasnya untuk mencari sendiri pemadam keterasingannya itu. Barangkali pilihan terakhir itu yang hendak ditawarkan novel ini: sebuah jalan keluar yang gagah berani, meski bakal dipandang sinis oleh Sartre karena individualisme protagonis tak disandarkan pada kebebasan manusia yang absolut dan bakal berakhir dengan kematian yang tak menyenangkan.
Kabar Buruk: Dari Gus Muh ke Gus Gao
Dalam bercerita, Kabar Buruk dari Langit menggunakan dua sudut pandang, yaitu sudut pandang orang pertama dan orang kedua. Sudut pandang orang pertama hanya dipakai pada bab kedua, ketiga, dan terakhir saja, yang dikisahkan oleh dua orang yang berbeda. Sedangkan perjalanan protagonis sendiri, yang mendominasi penceritaan, diceritakan dengan sudut pandang orang kedua. Sudut pandang orang kedua pernah digunakan oleh nobelis Gao XinJiang dalam beberapa bagian Lingshan (Soul Mountain—Gunung Jiwa, edisi Bahasa Indonesia oleh Jalasutra, 2003).
Pemilihan sudut pandang orang kedua nampaknya bukan tanpa maksud. Bisa jadi, sudut pandang orang kedua dimanfaatkan untuk membentuk suasana membaca. Dengan “kau” yang menjadi pelaku cerita, seolah-olah pembaca sendirilah, dan bukannya orang lain, yang diajak berbicara oleh narator. Pembaca diyakinkan bahwa narator sedang berbicara atau bercerita tentang diri pembaca, seolah-olah narator tahu persis segala sesuatu tentang pembaca. Bila sejak awal pembaca sudah mengidentifikasi dirinya sebagai protagonis, pembaca bakal cepat terhanyut ke dalam arus cerita. Pembaca diajak terlibat dalam penceritaan, meski tanpa boleh berkilah, menjelaskan, atau menjawab. Namun, bila pembaca masih ragu-ragu untuk mengidentifikasi diri sebagai tokoh utama, maka pembaca akan terjebak ke dalam kondisi yang selalu berubah-ubah: bila peristiwa yang menimpa protagonis bersesuaian dengan harapan pembaca, maka pembaca bersedia menerima identifikasi dirinya sebagai protagonis, dan sebaliknya. Ini tentu menjadi pembacaan yang mengasyikkan: pembaca diajak untuk bersabar menunggu terjadinya peristiwa yang menimpa protagonis sebelum menentukan identitasya sendiri.
Meski begitu, pembaca tidak dimatikan. Narator novel ini seperti seorang pendakwa di pengadilan yang mendedahkan rekonstruksi kejahatan seorang terdakwa (pembaca), dan sepanjang rekonstruksi itu sang terdakwa tak berhak untuk menyela. Seperti lazimnya pengadilan, terdakwa pun berhak untuk mengajukan pembelaan, tentunya setelah sang pendakwa menyelesaikan dakwaannya. Dengan begitu, pembaca-terdakwa telah dipancing oleh narator-pendakwa untuk mempekerjakan potensi-potensi intelektualnya agar bisa memberikan tanggapan atas dakwaan padanya. Maka, pembaca menemukan perannya sebagai pihak yang berhak menyangkal atau malah membenarkan rekonstruksi dan dakwaan yang telah dituduhkan sang pendakwa (narator). Dan cerita-cerita yang partisipatif-memancing seperti inilah yang bakal membangun publik-pembaca (dan pada gilirannya publik secara luas) yang kritis dan komunikatif.
Pemakaian sudut pandang orang kedua juga bisa mengisyaratkan makna lain. Protagonis Lingshan, yang diceritakan dengan sudut pandang yang berganti-ganti, kadang orang pertama, kadang orang kedua, dan pada saat lain orang ketiga, adalah persona yang mengalami perasaan terasing dari lingkungannya dan sedang mencari jati diri. Sudut pandang yang berganti-ganti seakan-akan menunjukkan bahwa narator-utama sendiri tak yakin bahwa tokoh yang sedang ia ceritakan adalah tokoh yang sudah lengkap, utuh, dan final. Seolah-olah narator mempersilahkan banyak orang dengan sudut pandang yang berbeda-beda untuk bersaksi atau mengungkapkan pencerapan masing-masing atas tokoh itu, lalu sang narator-utama sendiri mengumpulkan serpihan-serpihan kesaksian dan pencerapan itu untuk menyusun struktur cerita sekaligus untuk menentukan anti-klimaks cerita (yang berarti memberitahukan kepada sang tokoh, dan pembaca, jati diri si tokoh).
Bila mengingat subjudulnya (Luka Cinta Pencari Tuhan) maka sudut pandang orang kedua yang digunakan dalam Kabar Buruk dari Langit sekaligus mengisyaratkan maksud lain, yang tak bakal terpahami bila sekadar membaca rangkaian ceritanya saja. Bisa jadi, bukan pencarian (jati diri) Tuhan itu yang sebenarnya dibidik oleh narator, melainkan jati diri manusia yang melakukan pencarian itu sendiri.
Bila narator dalam Lingshan tak yakin pada identitas tokoh (yang bisa jadi adalah dirinya sendiri) dan merasa terasing dari lingkungannya, maka narator dalam Kabar Buruk dari Langit seolah-olah sudah tahu persis jati diri, pikiran, perasaan, intuisi, Intelek, dan kejadian-kejadian yang menimpa protagonis, dan lalu memberitahukan pengetahuan itu kepada protagonis—yang hanya bisa mendengarkan (membaca) tanpa boleh menanggapi.
Meski begitu, karena narator hanya memberitahukan apa yang ia ketahui itu kepada protagonis (dan pembaca), maka tercipta jarak antara narator dan protagonis, dan pengisahan narator tentang jati diri protagonis (“kau”) tak mungkin benar secara mutlak. Ada lubang-lubang dalam pengisahan itu. Ada yang tetap tak diceritakan, menjadi rahasia. Protagonis tetap memiliki pernik-pernik jati diri yang tersimpan aman dari jangkauan pengetahuan narator dan pembaca. Dengan begitu, jati diri protagonis tak pernah benar-benar diketahui sepenuhnya. Ia, dan kebenaran tentangnya, masih ada di luar sana.
Alih-alih mengenal dan mengabarkan jati diri protagonis kepada pembaca dan protagonis, narator sendiri sebenarnya tak pernah benar-benar mengerti dan memahami protagonis. Lebih parah, narator sendiri asing pada dirinya sendiri dalam hubungannya dengan protagonis. Seluruh penceritaan dalam Kabar Buruk dari Langit adalah pencarian jati diri narator lewat pencarian jati diri protagonis. Di satu sisi, ini malah menegaskan keberadaan narator: tanpa narator, protagonis (“kau”) tak bakal ada. Di sisi lain, ini sekaligus menegaskan keterasingan narator.
Boleh jadi ada kemungkinan lain. Novel ini bisa dibaca dengan anggapan bahwa narator adalah protagonis sendiri, yang sedang melakukan dialog batin dengan dirinya sendiri, dan untuk memudahkan dialog itu ia mengambil jarak dari dirinya sendiri, sehingga ada diri-yang-merenungkan-apa-yang-sudah-dialami (narator) dengan diri-yang-sedang-mengalami (protagonis). Ini benar, sejauh tak diterapkan pada bab-bab yang menggunakan sudut pandang orang pertama. Sayangnya, novel ini harus dibaca secara menyeluruh.
Di titik ini, ruapan aroma keterasingan tak terbendung dan menjadi keniscayaan yang melibatkan protagonis-narator-pembaca. Jikalau diandaikan bahwa narator dan protagonis sudah mencapai tujuan keberadaan mereka, atau sudah mencapai kondisi Ada-dalam-diri mereka masing-masing—dengan berada dalam “kodrat” mereka sebagai penyusun teks Kabar Buruk dari Langit—, maka yang masih harus melepaskan diri dari cengkeraman keterasingan itu ialah pembaca, karena pembaca belum sampai pada kondisi yang dialami narator dan protagonis. Salah satu caranya adalah dengan “melanjutkan” atau “mengubah” teks Kabar Buruk dari Langit—yang bagaimanapun tak bakal mengubah apa yang sudah dicapai oleh teks itu pada ruang dan waktu yang spesifik.
Novel ini rawan disalahtafsirkan. Ceritanya tentang perselisihan esoterisme-eksoterisme membuka lagi luka lama esoteris, atau kemenangan esoteris, yang mengisi sejarah Jawa. Dan spiritual (baca: keberagamaan) bukan hal remeh. Bagi seorang eksoteris, Kabar Buruk dari Langit menjadi kabar buruk buat langit. Namun bagi seorang esoteris, novel ini tidak begitu, karena justru ia menguatkan klaim esoterisme (Islam) dengan upayanya untuk menjernihkan lanksap sejarah esoterisme yang disaput kanon sejarah yang memihak. Analisis yang memihak atasnya juga bakal mengundang kontroversi, karena dengan menyebut perjalanan protagonisnya sebagai suatu keniscayaan (kodrat) bakal menyinggung paham keberagamaan eksoteris. Menyebutnya sebagai gejala psikologis semata bakal menyinggung pelaku esoteris.
Namun, mengingat sifat sastra sebagai teks persepsional yang subyektif, sikap Kabar buruk dari Langit yang “memihak” esoterisme tentu sah-sah saja. Pesan saya, janganlah novel ini disalahtafsirkan. Tapi, kelak, bila ada yang salah menafsir bentuk dan isi Kabar Buruk dari Langit, dan tampaknya Muhidin M. Dahlan memang penulis yang piawai membidik potensi-potensi kontroversi dalam masyarakat kita, itu adalah keniscayaan. Tak ada sesiapa bisa mencegah selisih-tafsir ini. Sebagaimana dinyatakan oleh Frithjorf Schuon, dan saya yakin diamini oleh para pelaku tasawuf dan mistisisme, Kebenaran hanya bisa dipahami, dihayati, dan dirasakan oleh mereka yang memunyai kemauan, kapasitas dan potensi untuk itu. Mereka yang tak punya kapasitas dan potensi itu bakal salah paham, salah tafsir, tersinggung dan tak bakal memahami.
Tapi, saya berdoa agar salah paham-salah tafsir itu tak menambahkan luka baru pada paras cantik ibu pertiwi yang sekarang ini sudah nyaris remuk dihajar anak-anaknya sendiri. Amin.
Bantul, 2005
No comments:
Post a Comment