::edi sembiring
Orang beragama adalah orang yang mengakui KETERBATASANNYA sebagai manusia dan mempercayai Tuhan sebagai semesta ketakterbatasan. Pengakuan ketidakberdayaan manusia di depan Tuhan adalah MORALITAS keberagamaan.
Sementara Filsafat adalah pergulatan daya pikir dalam melacak jejak kebenaran. Maka filsafat menjunjung tinggi HARKAT manusia sebagai mahluk BERMORAL. Harkat itu terletak pada daya pikirnya.
Dan Sastra adalah jagat cermin. Cermin hidup yang memantulkan bayangan realitas kemanusiaan atau buruk rupa wajah zaman. Sehingga sastrawan bukanlah nabi yang diutus untuk menyampaikan ajaran-ajaran moral dan bukan pula harus berkontemplasi bak filsuf untuk menemukan mata air kebajikan.
Maka pena-pena sastarawan bebas meliuk-liuk, menggambarkan Adam lahir dari ketiak kanan Tuhan (novel Adam Hawa karya Muhidin M Dahlan, Yogyakarta, 2005), atau tafsir bahwa Tuhan lebih sayang pada Adham (nabi Adam) dibanding Gabal (nabi Musa), Rifa'a (Isa Almasih) dan Qasim (Muhammad) seperti kisah tersirat dalam novel Aulad Haratyna (1962) karangan Naguib Mahfouz (berkebangsaan Mesir) pemenang nobel 1988.
Seperti Muhidin M Dahlan yang dianggap sesat (padahal ia seorang santri), Naguib Mahfouz juga dicibir ulama garis keras Mesir dengan mengatakan apabila Naguib Mahfouz tak menulis novel Aulad Haratyna barangkali Salman Rushdie tak akan menulis The Satanic Verses.
Agama bila digunakan dalam mengukur derajat ketersesatan teks sastra hanyalah sebagai jalan merendahkan agama itu sendiri, seperti dikatakan oleh Ribut Wijoto (2002):
"Karena agama bersuara dalam tataran etika sementara sastra bersuara dalam tataran estetika. Agama menciptakan pagar, sastra membongkarnya. Sastra merayakan kerapuhan, Agama memperkokohnya kembali."
Dalam kitab suci dikatakan bahwa Adam begitu dekat dengan Tuhan dan bisa berbicara langsung di sebuah Taman. Sehingga Adam dalam karya Muhidin M Dahlan adalah membongkarnya sebagai bentuk kesombongan keturunannya yang selalu berteriak MEMBELA TUHANNYA dan berhak melakukan KEKERASAN ATAS NAMA TUHAN. Saling bunuh demi Tuhan seperti anak-anak Adam. Bahkan mampu me-nuhankan diri sendiri.
Karena kelahiran Adam itu sendiri adalah sebuah kecerobohan terbesar Tuhan, dalam imaji Muhidin dituliskan sebagai betapa tersiksanya Tuhan sehingga akibat gatal maha gatal yang menjangkiti ketiak penuh bulu itu. Tuhan menggaruknya dengan kasar maha kasar, hingga ketiak-Nya robek, berdarah dan membikin sebuah lubang kecil. Dari lubang itu, bayi yang kelak bernama Adam dilahirkan.
Apakah dua penulis ini (dan lainnya) sesat?
Mereka hanya menunjukkan cermin carut marut kita, pagar-pagar yang telah kita rusak, rubuhkan dan patahkan (sadar atau tidak sadar). Kita selalu berpegang dalam kerapuhan tafsir kita terhadap teks suci. Dalam kemalasan atau mungkin kedunguan dalam menafsirkan teks suci. Dan bersyukurlah ada yang memberi tafsir walau dengan cermin yang penuh retak-retak wajah kita.
Pengakuan ketidak berdayaan kita di depan Tuhan adalah MORALITAS keberagamaan. Sehingga mengapa pula kita harus menyatakan sebagai kaum yang lebih benar, sebagai kaum yang paling suci dihadapan umat agama lainnya?
Karena kesombongan itu akan MEMUAKKAN di hadapan TUHAN.
Sumber: edisantana.blogspot.com
No comments:
Post a Comment