Di hari kedua wafat Adrian B. Lapian (wafat 19 Juli), nyaris portal berita dot.com mainstream di Indonesia tak memposting sekuplet pun kabar duka. Demikian juga media cetak. Hanya satu dua yang menurunkan berita.
Padahal, ini duka mahabesar dunia riset maritim Indonesia, namun hanya beredar remang-remang antar pesan pendek ponsel. Media massa tersedot oleh gegap-gempita mendengarkan kicauan komplotan penjahat dan lupa bahwa telah berperahu diam-diam ke samudera seorang putera terbaik bangsanya yang memberikan separuh hidupnya untuk kemajuan studi maritim Indonesia.
Saya tak heran. Karena sudah lama maritim mengalami kesunyian panjang dan hanya berhenti pada retorika dan semangat. Prosais Pramoedya Ananta Toer (1995) menyeru-nyeru, Jawa itu, lautnya luas daratannya kecil. Penyair Rendra, dua tahun sebelum wafat, juga mengacungkan kepal untuk mengajak ke laut.
Bahkan, Sultan Hamengkubowono X di Manado pada Maret 2010 mengajak membangun maritim di timur, bukan di barat. Kata-kata yang hanya modifikasi dari janji kampanye di Palembang, Sumatera Selatan (2/3/2009).
Kata Raja Jawa yang belum pernah merasakan bagaimana diayun ombak dalam perahu itu, Indonesia kalah dengan Singapura atau Filipina yang memanfaatkan potensi kelautan. Tahun 1998 Singapura meraih keuntungan 800 juta dollar AS dari bisnis ekonomi maritim. Sementara negeri kepulauan seperti Maladewa mampu menghidupi negeri mereka dari potensi ekonomi kelautannya.
Mayoritas kronik maritim yang saya himpun sesak oleh keluh-kesah dan berita buruk. Perompakan, pencurian ikan, armada penjaga laut yang keropos, lelang harta karun, korupsi departemen kelautan, bencana sunami, kapal dan pesawat terjungkat ke dasar laut, ekosistem pantai yang hancur, orang madura impor garam, rusuh nelayan, sengketa pasir, retribusi, dan sebagainya.
Ada memang berita Sail Bunaken di Manado, Sandeq Race di Sulawesi Barat, Sail Belitong, prestasi dan sayup-sayup naik ke permukaan pribadi-pribadi yang berprestasi melestarikan terumbu karang di bakau-bakau sunyi tanpa kehadiran negara. Juga berita “sekses” penyelenggaraan Konferensi Kelautan Sedunia (WOC) yang diikuti delegasi dari 87 negara di Manado dengan menghasilkan “Deklarasi Manado” pada Mei 2009.
Negara maritim terbesar di dunia ini memang sudah lama menjadi penonton di laut. Mau contoh?
Pada 25 Mei 2010, saat terjadi tabrakan antara kapal tanker berbendera Malaysia, Bunga Kelana 3, dan kapal kargo berbendera St Vincent dan Granada, Waily. Lokasi kejadian berada 3 mil dari Singapura dan 4,2 mil dari Pulau Batam. Sekira 2 ribu ton minyak bumi mentah tumpah di lautan dalam kejadian tersebut.
Anehnya, nakhoda dua kapal itu memanggil Singapore Police Coast Guard milik negara yang besarnya cuma seupil itu. Ke mana patroli air Indonesia milik negara maritim ini? Menurut wartawan, mereka hanya menonton dan ”foto-foto” untuk laporan ke Jakarta. (Kompas 22/8/2010)
Di dunia buku, lebih menyesakkan lagi. Seorang periset laut muda usia, M Ridwan Alimuddin menulis bahwa hingga 2004 ia hanya menemukan 24 buku tentang laut yang terbit untuk merawat ingatan dan menjelaskan negara maritim terbesar di dunia yang panjang pantainya hanya kalah oleh Kanada. Dan satu sama lain punya ciri: bahasanya kaku dan sangat tak menarik!
Maklum, saduran dari hasil penelitian, dan bukan kisah yang ditulis dengan gaya yang renyah dan pelaporan orang pertama. Hingga 2011 ada tambahan beberapa terbitan, namun jumlahnya sangat tak signifikan.
Lalu dari mana mahasiswa-mahasiswa perikanan di IPB, UGM, Unhas, misalnya, belajar ilmu ikan (iktiologi)? Kata Ridwan, dari diktat yang masih terketik manual di masa sebelum micrososft hadir. Itu pun dirangkumkan dari buku bahasa asing berjudul Ichtiologi karya K.F. Lagler et.al. (New York, 1977).
Dari semua kesunyatan maritim itu, A.B. Lapian bersandar. Sejarawan UGM ini dibaptis oleh para koleganya periset sebagai maestro di bidang sejarah maritim, sejarah kelautan, dan sejarah bahari. Tak ada tanding di Asia Tenggara. “Nakhoda pertama sejarawan maritim Asia Teggara,” sanjung Guru Besar University Malaya Shaharial Thalib di Konferensi IAHA ke-15 tahun 1988.
Pertama kali saya membaca sepotong riset Lapian soal maritim di Jurnal Prisma No 11, November, 1984 (hlm. 28-43). Redaksi Prisma sendiri menerjemahkan dari salah satu jurnal berbahasa asing.
Rupanya artikel berjudul “Perebutan Samudera: Laut Sulawesi pada Abad XVI dan XVII” itu adalah saripati dari riset panjang yang kemudian dibukukan menjadi Orang Laut, Bajak Laut, Raja Laut: Sejarah Kawasan Laut Sulawesi Abad XIX. Tapi, buku magnum opus-nya yang membikin Sartono Kartodirdjo memujinya setinggi langit, excellence, terbit setelah 20 tahun riset selesai dituliskan atau hampir 50 tahun sejak pertama kali riset dimulai.
Itu pun biaya cetaknya patungan dua lembaga riset asing: EFEO dan KITLV. Pemerintah? Maaf, sibuk bersolek! Dan senantiasa begitu.
Nasib Lapian mirip penjaga mercusuar laut di pagar-pagar batas Nusantara. Mereka terlupakan di 365 hari masa tugasnya mengarahkan kapal-kapal berlayar agar tak celaka. Mereka jauh dari segalanya. Sangat jauh dari riuh theatre on the sea berjudul “Senja Merah Gunung Samudera” yang dipertontonkan 360 aktor belia di puncak Festival Teluk Jailolo, Halmahera Barat, Maluku Utara, setahun silam.*
Sumber: Kompas, 26 Juli 2011
No comments:
Post a Comment