02 December 2013

Memuliakan Buku

:: gus muh

Setiap masa memiliki penanda khas pameran buku. Di era pemerintahan Sukarno, pameran buku berpanglimakan politik. Karena itu namanya "Gelanggang Buku". Sejak digelar pertama kali pada 1958, partai-partai yang memiliki keluarga penerbitan mendapatkan panggung untuk memperlihatkan serangkaian buku-buku yang menjadi wacana ideologisnya. Sebut saja PKI, Masyumi, dan PSI. Ketiganya bertarung keras dan adu "kehebatan" produk pemikiran.
 

Ketika masa Sukarno digulung oleh sejarah, wajah pameran buku berubah. Pameran buku menjadi book fair di mana perniagaan menjadi panglima. Buku adalah semata urusan bisnis dan cash flow. Niaga yang menjadi tujuan utama, sementara yang lain-lain sekadar ikutan.

Fajar reformasi datang, tapi semangat pameran buku tak berubah. Buku tetap sekadar benda niaga, sementara peristiwa pemuliaan buku hanyalah sampingan belaka.

Komunitas, penulis, dan pembaca yang diundang mengisi slot run down sepekan acara pameran buku hanyalah makmum dari perniagaan besar. Karena itu, label best seller yang menjadi sirkuit paling digandrungi oleh penerbit-penerbit pemuja laba ketimbang melakukan pencarian yang intens tentang pikiran-pikiran besar.

Wajah penerbit yang tampil kemudian di pameran buku nyaris seragam dan menurut saya sangat menakutkan. Kalaupun ada yang berbeda pastilah penerbit tua yang hidup di zaman yang tak tepat.
 

Ritualnya nyaris sama tiap tahun. Buka lapak, gelar dagangan, memanggil penulis dan pembaca untuk cuap ala kadarnya di panggung, dan kemudian mengepak kembali dagangan.
Situasi seperti itu sudah berjalan begitu sistematis, rutin, dan bahkan menjadi sangat wajar. 


Mereka yang memuliakan buku tentu sangat terganggu oleh semangat niaga yang sudah bekerja puluhan tahun ini. Karena pameran buku tak dianggap sebagai ruang pemuliaan buku, komunitas-komunitas literasi mencoba membuka perhelatan baru.
 

Tak selalu besar memang. Tapi ritual dilakukan dengan semangat mandiri mencari pola untuk "menegur" secara perlahan pameran buku yang baku dan kini sudah mengalami stagnasi itu.
Maka dalam lini masa perbukuan kita dapatkan Festival Pembaca Indonesia yang merupakan acara tahunan khusus untuk pembaca buku dari pelbagai selera. Festival yang digelar pertama kali oleh Goodreads Indonesia pada 2010 di Plaza Area Pasar Festival Kuningan Jakarta itu pembaca merayakan bacaannya secara gembira. Baca saja temanya: “Rayakan Hidup Dengan Membaca”. Di situ, perniagaan menjadi anomali.
 

Sebelum festival ini muncul, lahir festival pembaca dan penulis dengan mengambil skala yang luas, yakni internasional. Namanya Ubud Writers and Readers Fest yang diselenggarakan pertama kali pada 2004 di Ubud, Bali. Penulis dan pembaca yang berbeda-beda berjumpa tiap tahun dalam satu tujuan untuk udar gagasan, dialog, dan bertukar pengalaman antarnegara.
 

Dalam UWRF buku kemudian adalah sebuah rekreasi. Buku adalah "parawisata", sebuah wisata baru yang dibentuk dan diciptakan secara kontemporer. Karena itu "parawisata" adalah bentuk wisata yang sangat lain dari "pariwisata".
 

Di Magelang dan Yogyakarta, pemuliaan buku serupa digelar lewat musyawarah yang diikat oleh tema tertentu. Borobudur Writers and Cultural Fest (BWCF) mengambil skup yang lain dengan UWRF di Bali yang lebih dahulu diselenggarakan. BWCF fokus dengan gagasan besar tentang Nusantara seperti Cerita Silat, Budaya Maritim, maupun Ratu Adil. Di tema-tema khusus itulah penulis-penulis Indonesia maupun peneliti asing dari pelbagai studi dipanggil untuk mendedah kajiannya di hadapan penulis lain maupun pembaca dari pelbagai selera secara intim dan intens.
 

Di BWCF niaga buku nyaris tak terjadi. Jika pun perlu, hanya penerbit-penerbit tertentu yang sekiranya tema terbitannya memiliki korelasi dengan tema besar musyawarah yang berhak menggelar bukunya.
 

Di simpang pencarian ini kita menemukan buku perlahan-lahan dijadikan kembali sebagai subjek dari mana gagasan dieram dan tersimpan. Buku bukan lagi objek dalam sirkuit laba di pameran-pameran buku yang diselenggarakan rutin dengan pamor yang hampir habis itu.

No comments: