20 February 2014

Bengkel Manusia, Bengkel Buku, Bengkel Digital

Manusia sakit memiliki bengkel. Namanya bengkel sakit. Keberadaan bengkel sakit--juga bengkel pemberantas bodoh pikiran--bagi sebuah kota adalah lampu sorot penanda bahwa kota itu modern atau tidak. Tiadanya dua bengkel itu mengabsahkan cap kota itu masih berada dalam wilayah administratif Majapahit atau Mataram.

Di bengkel sakit tubuh manusia direparasi. Di sana montir-montir beruniform putih-putih lalu-lalang berpindah-pindah ruang menemui tubuh-tubuh lunglai, sedih, dan rusak tunadaya. Dengan sederet rekam arsip sakit tubuh-tubuh dinomori untuk mendapatkan peruntukan kamar sesuai kemampuan brankas ekonomi yang disimpannya dalam kantung.

Tubuh-tubuh itu dijejal dalam satuan angka di hall menunggu angka di tangannya dipanggil untuk menentukan di kamar mana ia menyetorkan tubuhnya; berhadapan dengan montir-montir di seberang meja dengan senyum memikat dan suara yang empuk. Di meja itu pula bercarik-carik kertas ditulis untuk menentukan benda kimiawi apa yang memasuki lambung.



Kertas kecil dengan tulisan yang nyaris tak bisa dibaca--hanya montir dan peracik zat kimia di ruang lain yang sudah saling mengerti--menuntun tubuh itu kembali ke hall, menunggu nomor tubuhnya dipanggil lewat pengeras suara yang ditanam di beberapa pojok plafon.

Jika uang cukup menukar racikan zat kimia yang dikonsumsi serupa kuliner berasa hambar dan kerap dijauhi, maka tubuh itu bisa berlalu. Berlalu menjauh sejauhnya dari bengkel sakit.

Demikianlah adikmu, sepupumu, ibumu, bapakmu bahkan kau sendiri menjalani ritual memasuki bengkel sakit itu yang membuatmu menghapal ritualnya sebaik kau menghapal dengan pasti berapa kali kau menggosok anusmu tiap pukul 5.50 pagi di kakus. Dari kanak hingga remaja. Bahkan kau dengan mudah dan lancar menyebut nama bengkel sakit dan juga letak kamar di mana keluargamu pernah menyerahkan dengan terpaksa tubuh-tubuh mereka.

Sejak saat itu, ketika usiamu merambat dewasa kau bersumpah untuk menjauhi sejauh-jauhnya bengkel sakit itu. Bukan lantaran bengkel itu terlalu sering dan banyak mengguncang brankas rumahmu. Bukan juga karena kau begitu jerih melihat ujung suntik yang tajam menyusup di celah-celah bulu halus permukaan kulitmu. Bukan! Kau hanya tak ingin mengenang kekasih dari cinta pertamamu yang keluar dari bengkel itu tinggal tubuh rebah tanpa sukma.

Dan setiap bengkel sakit, bagimu dan bagi yang lain-lain, menyimpan kesan berbeda dengan luka tubuh masing-masing yang tercatat dalam brankas arsip di ruang belakang berpendingin yang bersebelahan dengan kamar tubuh-tubuh anonim tanpa sukma.


* * *

Jika setiap sukma memiliki raga sebagai huniannya; jika tubuh sehat memiliki rumah tembok untuk berteduh dan berkembang biak baik masih kontrak, cicilan KPR, maupun hak milik; jika tubuh sakit memiliki bengkel fabrikasi spesial, maka buku pun mestinya demikian.

Buku, sudah lama sekali kauyakini, adalah organisme hidup. Buku yang sehat, baik kertas, daya ikat lem, maupun muka yang bening tanpa cakaran biasanya berumah dalam perpustakaan, khususnya di rak-rak depan yang isinya siap direngkuh pembaca dengan perantaraan petunjuk katalog daring. Buku yang lanjut usia/lansia memiliki rumah sendiri dengan perlakuan khusus: pendingin dengan suhu terukur, serbuk khusus penghalau makhluk suprakecil yang mengemil kertas-kertas usang, juga usapan jauh lebih lembut ketimbang buku dengan tubuh yang bugar.

Buku yang sakit memiliki rumah sendiri yang dijaga montir-montir buku. Tubuh buku disebut sakit--dengan gradasi kepsrahannya--bila wajahnya robek, lem pengikat terlepas, kertas dalamannya dikunyah rayap, megap-megap dalam tetesan air, hingga kulit dan dagingnya melepuh terbakar.

Bengkel buku sakit berbeda dengan rumah persalinan buku. Rumah yang terakhir menunjuk pada rumah-rumah produksi dengan modal tanpa batas atau rumah kecil di ujung gang sempit yang dikelola dengan senjata utama idealisme dan tak lebih dari itu. Rumah itu menjadi persalinan lahirnya beragam corak buku, terjemahan atau lokal, mutu baik tapi menjauh dari uang atau mutu pas-pasan tapi mendapatkan limpahan kapital, buku yang kehadirannya sudah ditakdirkan sebagai sang terpuji atau buku yang sejak orok sudah mendapatkan makian dan pemenjaraan. Di rumah persalinan buku, puspa wajah buku lahir tanpa bendung. Ada yang beroleh nama besar, kanon, eksklusif, dan diperbincangkan hingga puluhan tahun sejak hari kelahirannya. Ada pula buku yang bernasib malang; diupacarai sekali dua kali saat lahir pertama kali dan setelah itu dilupakan selama-lamanya dalam buana buku dan lenyap dari semua sistem perniagaannya yang kompleks. Bahkan perpustakaan nasional pun sudah lupa bahwa mereka pernah mengeluarkan nomor-lahir atas buku malang ini.

Rumah persalinan buku berbeda dengan bengkel buku. Bengkel buku adalah rumah bagi buku-buku dengan tubuh yang sakit karena kecelakaan dan/atau daya tahan yang sudah payah dan lapuk oleh usia tua. Di bengkel bukulah, setiap buku yang masih dicintai pemiliknya ditentukan nasibnya. Apakah masih kuat berdiri berderet dalam barisan buku-buku dengan fisik yang masih bugar atau saatnya dikremasi dalam dunia yang sama sekali lain, yang nonfisikal; sebuah dunia maya dengan DNA elektronika.

Dan setiap kota selalu menyediakan dokter bedah yang menangani pasien-pasein bengkel buku. Jumlahnya tak banyak karena pekerjaan ini mirip pekerjaan seorang rahib yang nyaris dilupakan oleh sistem niaga yang selalu menuntut kebaruan dan kecepatan. Dan kau, beroleh kesempatan berjumpa dengan rahib buku seperti ini di sebuah gang yang di belokan ketiga dijaga oleh segerombol anak muda yang berkumpul mengelilingi botol-botol separuh isi dengan bungkusan kretek yang tergeletak tak beraturan. Ketika kau membuka pintu pagar halamannya kau dihardik oleh suara parau seekor kirik kampung berusia tua.

Namanya pernah kaubaca di sebuah kolom kecil di halaman "sewa jasa" di sebuah koran yang diburu orang sekota karena mencari-cari jikalau hari itu ada pekerjaan yang cocok buatnya; dan bukan membaca berita-berita pendek tentang kriminal dan seks yang ditulis jurnalisnya yang umumnya berusia lanjut.

Saat kaumasuki ruang praktiknya, Pak Tua dengan rambut putih yang disisir ke samping kanan dan dengan kemeja biru tua yang dimasukkan ke dalam celana kain, ia tengah berhadapan dengan buku yang lahir oleh rumah pesalinan Batavia Genootschap di abad 18. Tepatnya tahun 1778, De Toonkunst van Bali yang ditulis J kunst dan CJA Kunst. Buku tua yang malang itu tinggal serpihan-serpihan; tanpa sampul, tanpa binding. Di tangan Pak Tua yang sabar, lembar demi lembar itu disatukannya berdasarkan nomor halaman yang masih terbaca. Karena kertas yang rapuh, sebelum lem binding, terlebih dahulu dilakukan penjahitan dengan benang kasur dan jarum tangan. Pak Tua menghindari kawat atau steples karena merusak.

Untuk membuatkan selimut baru, Pak Tua tak serta-merta mengambilnya dari kertas keluaran "Sinar Dunia" atau "Tjiwi Kimia" dan sederet pabrik yang mengambil kulit kayu dari hutan-hutan di Kalimantan dan Sumatera. Pak Tua mesti mencari kertas sampul abad 18 atau 17 dengan ciri berwarna putih kekuningan dengan pori-pori besar sehingga tak mudah kusam dan tahan air. Dan dengan sisa-sisa keuletan ia menyusuri kios-kios pedagang buku bekas di perempatan besar kota. Atau kalau perlu ia tertatih menyusuri pinggiran sungai mendatangi beberapa rumah penghancur kertas. Umumnya dengan harga 2000 sekilo, kertas-kertas sampul itu diolahnya kembali untuk menyelimuti buku yang usianya lebih tua satu abad dari dirinya.

Dari ujung jari dam keringat Pak Tua di ujung gang kecil yang dijaga kirik yang hanya menunggu waktu senjanya itu, buku-buku penting yang tak punya lagi daya berdiri kukuh di rak-rak perpustakaan, bisa menunda waktu kematiannya yang abadi untuk hidup seribu tahun lagi.



* * *

Tapi kau bilang setiap buku yang keluar dari mesin bersalin sudah membawa takdir sakitnya yang akut. Secara demografis hanya menyita ruang yang kian hari kian menyempit. Secara genealogis kelahirannya menumbangkan sekian banyak bejana oksigen titipan Tuhan di hutan. Secara medis, bau buku selalu membikin asmamu kumat.

Tapi buku penting. Kau sadar itu. Tapi bukan tubuhnya, melainkan cerminannya dalam cahaya maya. Generasimu bilang, buku maha buku itu hidup dalam DNA elektronika, dalam saraf bit-bit yang kompleks.

Sebagaimana takdir yang tak terelakkan, sehat dan sakit, bisa menghampiri tubuh mana pun. Saat berbicara soal sakit, maka dunia selalu menyediakan bengkelnya. Tak terkecuali dengan buku berDNA elektronika.

seperti otak manusia, data juga bisa mengalami saat-saat hidup mati: koma. Seperti halnya manusia yang tak kalis dari pikun, amnesia, data juga mengalami hal yang membuat sebuah institusi terguncang. Paling tidak si pemilik data yang menyandarkan kreativitasnya di sana.

Dari sosial media facebook ada cerita Gus Mus, kyai cum penulis asal Rembang yang berhenti menulis sesaat. Gus Mus shock. Pasalnya, draft beberapa naskah yang sudah ditulisnya hilang dalam harddisk. Data yang lenyap dan tak bisa lagi dipanggil oleh memori komputer seperti kematian yang datang tiba-tiba ketika semua tinggal bayang-bayang muncul dan lenyap lagi. Ada didekat, intim, tapi sesungguhnya jauh.

Cerita yang lain yang paling dramatis tentu saja Pramoedya Ananta Toer. Hikayat kehilangan data begitu menyayat-nyayat hingga membiakkan dendam yang dipikul Pram sampai mati. Pada 13 Oktober 1965, massa mengepung rumahnya dan membakar kliping-kliping tentang Indonesia yang disusunnya 15 tahun sebelumnya. Pram menghiba-hiba kepada serdadu dan laskar: rampaslah kliping itu, serahkan ke (perpus) negara, tapi jangan dibakar.

Api melenyapkan data-data itu. Pram lima tahun shock di pembuangan. Bukan cuma itu, dirinya juga mengikuti data-data itu. Dihilangkan paksa dari masyarakat. Dan Pram, di ujung usianya masih bergetar suaranya ketika diminta berkisah tentang data yang dibakar pada 13 Oktober itu.

Data adalah nyawa kreatif seorang penulis dan periset. Pram adalah wakil dari data-yang-hilang di abad 20 ketika data masih tercetak di lembar-lembar benda kimiawi yang diproduksi industri-industri kertas, sementara Gus Mus adalah perwakilan transisi generasi abad 20 dan abad 21 yang menjalankan mesin kreativitasnya bersandar pada data ber-DNA elektronika.

Kasus Pram kompleks. Bahkan Pak Tua di gang yang dijaga kirik tua tak pernah bisa mereparasi data karena pekerjaannya disandarkan pada kerja yang sama sekali jauh dari keterlibatan tangan serdadu dan bedilnya. Serdadu dan bedil di luar jangkauan tangan Pak Tua si pemilik bengkel buku. Jeritan dan lolongan parau Pram hanya bisa tersimpan sementara waktu di pori-pori awan dan kemudian tersapu lenyap saat awan bertiup. Lolongan itu tak pernah sampai ke Tuhan jika sudah berkait dengan sidik seragam serdadu dan bedilnya.

Beda halnya dengan soal yang dialami Gus Mus. Malapetaka yang menimpa kyai seperti Gus Mus masih bisa kita deretkan musababnya, seperti kita bisa menderetkan sebab-sebab pikiran dikerat oleh amnesia dan atau lumpuh ingatan yang menimpa pikiran.

Sebagaimana tubuh, khusus penyakit data ber-DNA elektronika sudah tersedia beragam klinik yang menawarkan keahlian mengembalikan data yang moksa dari memori jika amnesia menerjangnya tiada ampun. Tersedia beragam cara yang ditempuh bagi dukun-dukun yang menguasai mantra/kode paling ajaib di abad hipermodern ini untuk mengembalikan momori data pada tempatnya semula. Recovery istilah teknisnya.

Tapi di selalu situ berlaku harga. Makin canggih, terpercaya, dan eksklusif klinik itu, makin tinggi harganya. Seperti halnya hirarki instrumen kesehatan. Tersedia puskesmas yang jika memegang kartu jamkes bisa gratis. Jika instrumen ini tak berhasil, naik tingkat lagi ke RSUD, lalu RSU, lalu antarnegara. Begitu seterusnya.

Menangani data yang lumpuh ingatan juga demikian. Mula-mula dengan mengandalkan teman dekat yang biasa jadi dukun lokal untuk mereparasi seluruh komponen komputer (seperti mantri di puskesmas). Jika tak bisa, dirujuk ke dokter umum di RSUD dengan peralatan yang memadai. Jika tak bisa, ditangani lagi oleh RSU dengan dokter-dokter saraf/memori yang memiliki jam kerja tinggi, dipercaya pasien berduit, dan tentu saja mahalnya menggedor dada komunitas pemilik data yang sejatinya kelasnya setara dengan pemilik jamkesmas.

Dibiarkan lumpuh ingatan seumur hidup? Ada juga pemilik data yang setengah putus asa memasukkan datanya ke RSU bintang gemintang walau tahu tak ada uang. Dan hasilnya: data ditahan untuk jangka waktu tak terkira. Sang Pasien disandera.

Apa boleh buat. Data itu penting. Arsip itu penting. Sangat penting. Tatkala data berada dalam kondisi hidup dan mati, hidup seperti terapung. Hidup seperti kehilangan masa silam yang menjadi acuan untuk mengkreasi masa depan. Data dan arsip mempertajam perspektif.

Dan jika data itu koma, pekerjaan yang dibuat bertahun-tahun dengan peluh tanpa pamrih, seperti memangkas separuh hidup. Yang timbul tenggelam di pikiran adalah kenangan-kenangan.

Untuk penghormatan pada pentingnya "kenang-kenangan" itulah kau dipertemukan oleh takdir pada seorang dukun yang membuka bengkel digital. Namanya "anonim". Dia yang tanpa keterangan nama itu kau dapatkan dari arsip nota belanja ayahmu yang pernah memintai jasa keahliannya untuk melakukan recovery harddisk. Selain bermodalkan alamat di arsip nota itu, kau mencari di mana bengkel digital recovery data paling ternama di kotamu. Dan semua-mua menunjuk pada "nama perusahaan" yang tertera di arsip nota peninggalan ayahmu.

Betapa kagetnya kau setelah sampai di gang di kota bahagian atas itu. Alamat itu bukan menunjuk pada sebuah rumah mewah bertingkat, seperti halnya perusahaan-perusahaan yang mengurusi niaga gajet digital. Rumah bercat putih kusam bertipe 80 itu mirip tempat tinggal mahasiswa yang tak pernah lulus kuliah. Melintasi halaman kecil dengan konblok dari hardisk kamu merasakan seperti berjalan di atas kuburan digital. Melongok ke dalam, kau disambut kabel di mana-mana. Sebuah lemari kaca menaruh puspa ragam jenis penyimpan data milik pasien-pasien sekaligus dijadikan meja pencatat transaksi. Dia menghadapimu hanya dengan berbaju  kaos biru yang warnanya pudar dengan memakai sarung. Kau memperlihatkan kepadanya secarik nota yang pernah dikeluarkannya 23 tahun, 8 bulan, 26 hari silam. Ia hanya manggut-manggut dengan roman muka yang tak berubah dan mulutnya tak henti-hentinya mengepulkan asap bako bikinan pabrik kretek di kota Kediri. Dikembalikannya nota itu kepadamu dan ditanyakannya maksudmu mendatanginya. Kau bertanya, bisakah ia memperbaiki piringan kecil sidi peninggalan orang tuanya yang berisi 6 naskah. Kata dia, jangankan sidi, bahkan isi disket peninggalan teknologi tahun 1980-an dan 1990-an pun masih bisa dialihmediumkan.

Kau tersentak juga. Tapi menyadari kembali reputasi laki-laki paruh baya yang ada di hadapanmu ini, kau pun bisa memberikan pemakluman. Barangkali dialah satu-satunya benteng terakhir dari masyarakat penggila teknologi dunia yang serba digital yang paling berwibawa yang kau ketahui disediakan kota ini. Dia adalah dukun digital dengan latar pendidikan yang absurd: lulusan pesantren dengan bacaan utama kitab-kitab kuning. Di tangannya, aksara arab gundul dan bit-bit program yang menyusun perangkat digital menjadi satu kesatuan mantera. Dan dia dengan caranya sendiri menjadi penafsir mantera-mantera itu yang kemudian diberinya nama "trek nol"; sebuah jalan penyatuan absolut, titik kepenuhan dan sekaligus perhentian total. Ketika manusia berada di jalan nol itu, maka saripati kehidupan tersingkap seluruhnya.

Satu yang tak pernah ia katakan kepadamu saat kunjunganmu kepadanya hampir berakhir ialah dengan cara apa ia memanggil kembali data-data digital yang musykil dipanggil kembali ingatannya. Katanya, jalan ke titik nol adalah jalan yang tak biasa dan dipenuhi oleh rahasia berlapis-lapis. Dengan rahasia berlapis-lapis itulah, keberadaannya masih dibutuhkan masyarakat digital di kota ini.



* * *

Kenangan atas dua jenis penjaga bengkel itu -- Bengkel Buku dan Bengkel Digital -- yang kaubawa masuk serta ke poli gigi di sebuah rumah sakit yang tak jauh dari terminal tua. Di ruang berpendingin dengan bau obat-obatan menyengat, drg. Desi Trimiastuti, Sp.BM mencabut ikatan dua gigi di graham bawahmu dari tanah muasalnya di hari ketika tentara di Republik merayakan hari jadinya, 5 Oktober.

CATATAN: Potongan cerita-cerita bertajuk "Perpustakaan Dua Ubin" bisa disimak di sini

No comments: