28 June 2014

Politik Kutipan


:: gusmuh

Warisan pemikiran sesungguhnya adalah serangkaian kutipan. Yang dimaksud kutipan di sini adalah pernyataan pendek yang diambil dari sebarisan panjang paragraf dari tulisan atau sekian panjang tuturan yang dinarasikan.


Kutipan adalah mata rantai pembentukan peradaban di mana kita terus-menerus tersambung oleh masa silam yang merupakan tali pusar asali. Lewat kutipan, pemikiran masa silam diwariskan, dikuatkan, diinovasikan. Kalimat-kalimat kunci penting dalam inovasi yang pernah ada terus hidup tatkala ia dijadikan kutipan bagi generasi terkini untuk membantunya memperkuat agumentasi.


Demikianlah kutipan menjadi salah satu memetika. Jika gen atau genetika disebut-sebut sebagai kunci pembentuk pertumbuhan fisik kita, maka meme (mim)/memetika adalah virus pembangun pemikiran/ide. Meme/mim, oleh karena itu, bukan cuma soal gambar-gambar yang lucu yang kita baca nyaris tiap detak waktu di lini masa media sosial.



Penulis-penulis macam Richard Dawkins dan Richard Brodie percaya betul kehidupan manusia tak hanya sekadar genetika yang mempengaruhi faal manusia, namun juga manusia tersusun oleh abstraksi dalam pemikirannya. Dan itu virus mim. Gagasan, ide, kreativitas adalah jejak-jejak bekerjanya mim dalam kehidupan manusia.


Tapi ide/gagasan adalah bentukan dari satu kutipan ke kutipan lain yang sudah berlangsung bergenerasi-generasi. Ia tak pernah hidup sendiri di pulau terpencil. Mim dalam bentuk kutipan adalah legitimasi dan sekaligus tambang penguat argumentasi dari sebuah ide atau gagasan.


Dari sinilah mengutip adalah tindakan politik ketika kita membangun posisi dan langgam politik dari mim kutipan. Untuk mengonstruksi bangunan ide/argumentasi nasionalisme dan gotong-royong (persatuan nasional), Sukarno perlu mengutip puluhan pemikir dunia dari beragam aliran ideologi yang diserapnya dari bacaan dan diujinya dalam tindakan selama puluhan tahun.


Untuk melegitimasi kekuasaannya, Seharto terus-menerus memproduksi kutipan dari kesatria-kesatria jebolan Revolusi 1945 dan mereka yang terlibat berjasa dalam penjatuhan Sukarno dan pengganyangan PKI dalam bentuk film, pidato, monumen, diorama, museum, cerita, dan kurikulum pendidikan.


Peristiwa-peristiwa yang menyertai senjakala dan kejatuhan Soeharto pada 1998 juga menjadi legitimasi siapa yang "paling patut, sahih, dan berhak" berada di arus kekuasaan saat ini. Pahlawan-pahlawan massa(l) saling sikut untuk mendapat kalungan medali. Dan yang paling apes nasibnya tentu saja kalangan militer yang belasan tahun kemudian naik ke panggung politik utama, namun terlibat dalam aksi penculikan dan penembakan aksi demonstrasi mahasiswa di kurun 1997-1998.


Nah, tiga sumur warisan politik itu yang kita lihat mengarus dalam politik hari ini, terutama menyangkut mim kutipan. Lini masa media sosial menunjukkan bagaimana mim kutipan politik itu berseliweran merebut pengaruh dan kepercayaan. Seperti virus akal budi -- pinjam istilah pemikir memetika Richard Brodie -- kutipan-kutipan menjadi senjata mematikan mengunci arus suara politik.


Untuk meraih suara kaum nasionalis dan menunjukkan bahwa sang calon presiden pewaris kemegahan dan karisma pribadi Sukarno, sang kandidat dengan atraktif mengutip cara bicara (termasuk mikropon), cara berpakaian, dan kutipan pikiran besarnya.


Bahkan pada bulan Mei-Juni 2014 produksi mim kutipan untuk dukungan kepada sang kandidat tertentu bekerja sangat massif yang kemudian menjadi trendsetter.


Sebagaimana alat peraga kampanye, mim kutipan politik itu disebar secara sadar seperti virus akal budi untuk membangun gugus kepercayaan. Tapi kepercayaan itu bisa melempem oleh kontradiksi dalam kutipan itu sendiri.


Ketika selapisan orang secara terus-menerus membagi kutipan Gus Dur tentang kelayakan seseorang menjadi presiden, orang kemudian percaya bahwa demikianlah adanya. Tapi ada yang terlupa bahwa ada kutipan tandingan yang terkubur pada suatu masa yang belum terlalu jauh di mana sang kandidat pernah menghina secara kasar si pemilik kutipan yang saat ini namanya dicatut dan dijadikan bantalan untuk meraih simpati menggapai kuasa.


Sampai di sini mim kutipan menjadi banal justru karena ada kontradiksi. Menunjukkan kontradiksi adalah salah satu cara mencegah dan memfilter bahwa virus yang menyebar bukan virus sampah akal budi. Dan pencegahan itu menjadi budaya bila tradisi mendokumentasi kutipan (lisan/tulisan) menjadi kebiasaan sehari-hari kita. Dan praktik tradisi itu kita temukan bentuk awalnya justru pada Pemilihan Presiden 2014 ini. Sebelumnya tak seatraktif ini.

* Versi Cetak di Harian Koran Tempo, Kamis 3 Juli 2014

No comments: