Ada satu yang dilupakan, warga memiliki persepsi sendiri apa makna arsip/dokumentasi dan bagaimana cara mengerjakan dan menghidupkannya. Hal lain yang juga dilupakan adalah bahwa warga memiliki kekuatan sendiri membaca dokumentasi/arsip.
Warga hanya perlu sentuhan teknologi terkini atau penciptaan momentum bersama dalam perayaan. Dan itu, tak membutuhkan sebuah simposium yang spesifik dalam tema, akbar dalam perhelatan, dan bertahun-tahun dalam waktu; cukup dengan mendempet dalam program-program di tingkat desa.
Belum pernah terlihat di pemilu sebelumnya; selain partisipasi politik warga mengalami pasang besar, perhatian terhadap dokumentasi/arsip begitu luas. Perdebatan dan unjuk bahasa yang memenuhi linimasa tentang dokumen C1, DA1, BB1, DC1 dan seterusnya—lihat kode-kode dan atribut yang tak lazim itu—tiba-tiba menjadi lingua franca dalam keseharian politik warga.
Maka dari itulah jargon #kawalpemilu sebetulnya adalah seruan kawal arsip dan dokumen pemilu hingga selamat sampai tujuan akhirnya; memenangkan yang pantas menang dan mengalahkan yang memang seyogianya kalah.
Panggilan menjadi laskar pengawal arsip dan dokumen inilah melahirkan portal-portal bikinan warga seperti kawalpemilu.org. Portal-portal yang mengelola dokumen/arsip yang dibagi secara terbuka komisi penyelenggara pemilu itu adalah fenomena yang membanggakan dari beberapa sisi.
Sisi pertama, pengetahuan teknologi warga tak bisa dianggap remeh oleh negara dalam mengelola dokumentasi/arsip secara terbuka. Ketika di level negara dan pemerintahan belum ada tanda-tanda ujung polemik “kerahasiaan dan keterbukaan informasi publik”, warga secara independen sudah melakukannya dengan teknologi buatannya sendiri tanpa keterlibatan air bah fulus dari negara.
Dengan teknologi portal kawalpemilu, misalnya, warga bisa berpartisipasi terbuka untuk kepentingan publik dalam mengontrol hasil pemilu berbasis dokumentasi/arsip. Sebab sudah menjadi jamak menyurangi dokumentasi/arsip adalah salah satu cara untuk memenangkan konstentasi politik paling penting di Indonesia yang tahun ini menjadi pemilu terbesar kedua di dunia setelah India.
Sisi kedua adalah kegembiraan pemilu kemudian tidak hanya senantiasa diuukur dari pesta arak-arakan di jalanan dan pengumpulan massa di bawah panggung musik dan pidato agitasi; namun juga dari kegembiraan memberitahu sesamanya tentang informasi kampungnya lewat angka-angka yang diperoleh dari dokumentasi/arsip.
Frase “kampungku menang-kampungku kalah”—walau ia tinggal di seberang benua entah—adalah nostalgia yang mendempet dalam pemilu. Nostalgia itu ada lantaran keterlibatan warga yang begitu besar dengan dokumentasi/arsip yang disediakan secara terbuka dan dimamah secara prasmanan.
Saya membayangkan kegembiraan pada keberadaan dokumentasi/arsip ini menjadi momentum untuk mengakarkan bahwa dokumentasi adalah persoalan sehari-hari kita.
Ketika lembaga arsip nasional maupun daerah masih meributkan anggaran yang rendah dan pembuatan proyek diorama, saya sudah sejak lama mendukung gerakan Sistem Informasi Desa yang dilakukan komunitas semacam Combine Resource Institution (CRI). Mereka bereksperimen menyebarkan teknologi portal arsip di desa. Portal itu bertujuan membantu setiap desa untuk mengisi sendiri data statistik apa saja tentang mereka untuk kepentingan apa saja dalam pengertian yang positif.
Artinya, partisipasi warga dalam dokumentasi ini menjadi fenomena yang baik mengembalikan posisi dokumentasi bukan sebagai benda yang dimuseumkan; namun bagian dari napas kehidupan sosial masyarakat yang terus hidup, diperbaharui, dan menjadi linimasa historis penting pertumbuhan sebuah komunitas masyarakat. [gusmuh]
No comments:
Post a Comment