22 September 2014

Kantor Pos dan Distribusi Buku Ajar

Ini solusi Wakil Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Bidang Pendidikan Musliar Kasim untuk menyelesaikan urusan distribusi buku ajar Kurikulum 2013 (K-13): gandeng Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan, Kementerian Dalam Negeri, dan Kementerian Keuangan. 


Sekilas terlihat solusi yang komprehensif, namun justru tidak menyelesaikan masalah secara cepat yang dibutuhkan oleh sekolah yang mesti harus fotocopy untuk mengisi kelas dengan buku-ajar yang tak jelas kapan sampainya. Kalau masalahnya soal distribusi buku yang tidak tepat waktu sesuai dengan kalender belajar sekolah, maka selesaikan dulu pusat masalahnya. 

Pangkal soal dari distribusi buku ajar adalah rantai pengiriman barang. Mestinya hal pertama yang dilakukan pemerintah setelah percetakan menyelesaikan tugasnya adalah menunjuk lembaga yang kompeten dalam menyebarkan buku di seluruh kawasan Indonesia. 

Ketimbang bekerjasama dengan Kementerian Dalam Negeri dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan untuk menekan percetakan dan pemerintah daerah, mengapa tidak menghadirkan PT Pos Indonesia sebagai mitra kerja distribusi buku. Apalagi Pos adalah BUMN milik pemerintah.

Menekan percetakan untuk mengirim buku ke seluruh pelosok daerah hanya mengulangi kesalahan-kesalahan distribusi masa lalu yang berujung pada keluhan tahunan yang akut. 
Mula-mula distribusi buku ajar ini lewat rantai birokrasi, lalu diganti dengan distribusi berbasis penerbit swasta dan toko buku. Setelah dievaluasi, distribusi buku ajar diugubah dan dilakukan via online dan sekaligus menandai hadirnya e-book di Indonesia. Karena tak efektif lantaran infrastruktur internet di Indonesia masih timpang, diputuskan bahwa percetakan buku ajar itu sendirilah yang mengirimkan buku. 

Hasilnya: heboh buku ajar tak tepat waktu datang ke sekolah pada 1976 sama dengan kehebohan tahun 2014 ini. Bayangkan, hampir empat dekade kita tak punya solusi apa-apa tentang distribusi massal buku-ajar.

Dan selama hampir empat dekade itu pula kita melupakan bahwa ada armada distribusi barang milik pemerintah paling luas jangkauan dan cakupannya. Perkenalkan PT Pos Indonesia. Saya kira, menunjuk Pos sebagai distribusi buku-ajar K-13 sekaligus menyelesaikan banyak masalah.

Pertama, menghidupkan kegiatan bisnis pengiriman Pos Indonesia yang tengah lesu darah karena berhadapan dengan teknologi komunikasi yang makin canggih. Kedua, menghidupkan fungsi baru kantor Pos Indonesia yang ada di hampir seluruh kecamatan di seluruh Indonesia; bukan hanya sebagai halte surat, tapi juga pusat informasi dan buku di kecamatan.

Ketiga, karena Pos Indonesia memiliki infrastruktur dan sumber daya manusia yang terlatih, unit kerjanya bukan hanya mendistribusikan buku ajar K-13, tapi menjadi distributor terdepan buku-buku dari lembaga penerbitan swasta di Indonesia untuk kebutuhan sekolah di desa-desa terpencil yang jauh dari akses literasi.

Warga di daerah yang mengeluhkan ketiadaan akses bacaan yang berkualitas bisa diselesaikan pemerintah dengan mengikat kerjasama dengan Pos Indonesia untuk membuka lini baru: toko buku. Kehadiran toko buku di tingkat kecamatan ala Pos Indonesia mengurai kutukan lama; warga tak mesti ke kota besar hanya untuk mendapatkan buku cerita berkualitas atau buku ilmu pengetahuan yang bagus. Soal kemampuan beli, jangan pernah remehkan warga di kampung.

Fungsi yang ketiga inilah membawa angin baru bagi Pos Indonesia sebagai bagian penting agen literasi Indonesia dan sekaligus menyelesaikan masalah distribusi buku yang sejak empat dekade silam tak pernah serius ditangani.

Runyamnya distribusi buku hari ini kemudian menjadi cerminan bagaimana kita menyelesaikan masalah dengan malas. [gusmuh]

* Versi cetak dipublikasikan Harian Koran Tempo, 25 September 2014

No comments: