18 September 2014

Buku-Ajar

Buku-ajar bisa pula disebut buku teks, buku pokok, atau buku paket yang digunakan di sekolah (SD-SMA). Buku ini disediakan pemerintah dan diorganisasikan Pusat Perbukuan (Pusbuk) yang penulisan dan kontrolnya melibatkan pakar perguruan tinggi dan guru-guru di sekolah.

Buku-ajar Kurikulum 2013 (K-13) inilah yang menghebohkan publik perbukuan 2013-2014; bukan saja dari sisi konten, tapi juga distribusi. Enam triliun dana APBN yang dikucurkan untuk penggodokan K-13, pelatihan guru, penulisan buku, pencetakan, dan distribusi.
 

Dari segi konten buku, muncul letupan-letupan dari masyarakat; mulai dari isi yang vulgar, rasial, dan asal comot cerita tanpa izin dari penulis-asal. Letupan ini muncul mengindikasikan bahwa kontrol awal dan akhir buku-ajar ini tak berjalan semestinya. Kontrol awal dari penulis rendah barangkali karena dikejar target yang pada akhirnya mengambil jalan pintas; asal comot dari internet.


Karena  asal comot maka materi yang misalnya cocok untuk siswa SMA diberikan kepada siswa SMP/Mts sebagaimana pengambilan cerita pendek Komang Ira Puspitaningsih untuk buku Bahasa Indonesia: Wahana Pengetahuan (2013: 144-147) yang mendapat protes dari penulisnya.
 

Yang lebih sial lagi, materi-materi yang disajikan penulis lolos begitu saja dari kontrol akhir yang mestinya lebih ketat dari "pakar". Maka jangan heran muncul protes dari masyarakat yang menjadi konsumen akhir buku. Yang paling banyak tentu saja protes atas konten yang terlampau vulgar untuk siswa.
 

Soal distribusi buku yang karut-marut itu sebetulnya lagu lama kaset baru. Sudah beragam eksperimen yang dilakukan pemerintah; mulai dari distribusi lewat mesin birokrasi (Pusbuk, Kanwil, Kandep, Kancam, sekolah); dilakukan oleh penerbit swasta yang menerbitkan buku langsung ke sekolah; hingga kini didistribusikan pencetak yang memenangkan tender yang dibagi dalam beberapa kawasan.
 

Hasilnya, keluhannya sama. Buku terlambat datang. Bayangkan saja sudah tiga bulan kalender belajar berjalan zonder buku-ajar. Separuh dari enam triliun anggaran buku-ajar tak menghidupkan sama sekali kecepatan dan ketepatan distribusi. Saling lempar tanggung-jawab menjadi jalan keluar paling mudah. Pemerintah menyalahkan percetakan yang menyalahi perjanjian, sementara percetakan mengeluhkan dana yang cekak. Dan ini tahun 2014.
 

Saya perlu memberitahu Anda, keluhan distribusi ini sudah ada sejak hampir empat dekade silam. Ingat-ingatlah bagaimana Menteri Ekuin Widjodjo Nitisastro sebagai penyedia dana menuding Menteri P&K Sjarif Thajeb sebagai biang-kerok distribusi.
 

Bahkan Presiden Soeharto yang berkunjung secara incognito ke desa-desa menyaksikan sendiri bagaimana amburadulnya buku-ajar. Kalaupun buku sudah datang, itu pun datangnya tak satu paket. Alhasil, untuk menghemat biaya distribusi ke sekolah, pihak kabupaten memilih menunggu semua judul lengkap barulah dikirimkan. Sudah terlambat, pembagiannya pun menyalahi ketentuan: satu buku-ajar mestinya dibagikan untuk satu bangku, namun nyatanya dibagikan untuk tiga bangku.
 

Bukan itu saja, kekacauan distribusi buku-ajar gratis ini melahirkan soal baru: makelar. Separuh dari judul buku yang dicap "Milik Departemen P&K. Tidak Diperdagangkan" ini pun muncul di toko buku dengan status: mau dapat ya beli. Bahkan jumlah eksemplar yang beredar di toko buku luar biasa banyaknya.
 

Pihak P&K menurunkan "analisis"-nya bagaimana mungkin buku-ajar itu jatuh bebas ke makelar yang berumah di toko buku: bocor di percetakan, bocor di perjalanan, dan tersebab karena pencurian.
 

Situasi sengkarut buku-ajar tahun 1976 dan 1977 itu melahirkan kebijakan baru. Distribusi tidak lagi dimonopoli birokrasi, melainkan pihak swasta. Dan hasilnya, Anda tahu semua pada kasus distribusi buku-ajar K-13 di tahun 2014 ini. Karena soalnya bukan siapa yang mendistribusikan, tapi konsistensi waktu buku-ajar kapan disayembarakan, ditulis, dievaluasi, didesain, dicetak, dan distribusi. Semuanya dikerjakan tergesa-gesa dan bekerja di titian garis tenggat.
 

Untunglah guru di Indonesia tak pernah kehabisan stok "kreativitas" mengakali keterlambatan distribusi buku-ajar itu: downdload materi buku dan fotocopy walau dananya dibebankan kepada orangtua siswa. Karena kalender-belajar tak pernah bisa diundur pelaksanaannya; bahkan oleh proyek besar menggiurkan yang bernama pengadaan buku-ajar.
 

Pada akhirnya buku-ajar tidak hanya menghajar anggaran, menghajar siswa, tapi juga menghajar cara kita bagaimana bekerja yang efektif dalam mempersiapkan buku-ajar yang berkualitas dan disebarkan dengan manajemen yang sangkil dan mangkus.

No comments: