10 September 2014

SBY dan Buku

Bagi Presiden SBY, buku itu penting. Termasuk rumah buku, yakni perpustakaan. Maka itu, Ibu Negara via Solidaritas Istri Kabinet Indonesia Bersatu (Sikib) ditugaskan membuat Rumah Pintar di pelbagai penjuru Nusantara. Jumlahnya sudah lebih dari setengah juta unit. Terkadang, dari segi bangunan, Rumah Pintar jauh lebih kinclong ketimbang gedung Perpusda yang tampak kusam dan kelelahan berhadapan dengan zaman.

Bagi Presiden SBY, buku itu mahkota seorang pemimpin. Maka ketika pulang dari muhibah keluar negeri mewakili negara dan bangsa, ia kerap singgah di toko untuk membeli beberapa buku penting tentang politik, manajamen kepemimpinan, dan biografi.


Bagi Presiden SBY, buku itu mengayakan gagasan dan menambah perbendaharaan istilah dan lema. Karena itu dalam berpidato, SBY betul-betul mengecek draft pidato yang dibuat staf khusus untuk melihat gagasan, alur, dan bahkan pilihan diksi. Maka jangan heran, dalam pidato SBY, terlalu banyak paragraf atau kalimat yang layak kutip, atau meminjam istilah generasi terbaru medsos, "layak twit".

Bagi Presiden SBY, buku itu sahabat inspirasi. Dengan buku, SBY menjadi pencipta dan penulis lirik-lirik lagu yang selalu menjadi tophits di acara-acara kenegaraan, dan terutama sekali di ritus 17 Agustus Istana Negara. 

Menulis bait-bait lagu, bagi SBY, seperti kerja seorang penyair. Ia membutuhkan waktu tapa dan hening. Maka jangan kaget kalau beberapa kali menemukan foto Presiden SBY duduk sendiri berhadapan dengan kertas kosong dengan latar alam kehijauan dan sunyi. Di dalam situasi yang hening itu ia menulis syair lagu sebagai resultante puncak dari refleksi kesehariannya sebagai pemimpin negeri. Mungkin juga ia sedang menulis dan mengedit pidatonya. 

Bagi Presiden SBY, buku itu warisan pemikiran. Maka dari itu dalam beberapa kali kesempatan di tahun-tahun pamungkas kekuasaannya selama 10 tahun ini ia dengan lirih berkata bahwa ia membuat suatu lembaga dengan perpustakaan kaya koleksi/terpilih yang menjadi tempat para pemimpin muda masa depan Republik mengasah gagasan. Ia juga merancang Museum Presiden jauh-jauh hari di mana koleksi kepustakaan dan bibliografi tentang kepresidenan dan politik di dalamnya bisa ditemui. Perpus dari Museum Presiden itu kemudian kelak menjadi sandaran warisan untuk tahu bagaimana lini masa pemikiran presiden-presiden Republik dalam waktu kebangsaan dan ruang kenegaraan kita. 

Bagi Presiden SBY, buku itu mengabadikan. Maka ia menulis apa saja tentang dirinya. Jelang menjadi Presiden RI lewat pemilihan langsung oleh Rakyat pada 2004, buku biografinya SBY Sang Demokrat terbit. Separuh dari biografi tebal itu adalah foto-fotonya yang sekaligus menjadi epik karena inilah buku biografi presiden dengan kuantitas foto terbanyak yang mengalahkan dengan telak biografi Sukarno. 

Untuk menanamkan bahwa buku itu mengabadikan cerita tentang presiden, maka biografi Bapak SBY itu setelah dipecah-pecah dalam satuan kecil, Lebih Dekat dengan SBY. Kesembilan buku itu kemudian dimasukkan dalam buku pengayaan di sekolah pada 2011. Hasilnya, protes masyarakat. Tapi pusbuk berdalih, buku itu layak diketahui siswa karena berisi ihwal kepemimpinan. Baiklah.

Dan di akhir kekuasaannya biografi harian SBY terbit dengan judul Selalu Ada Pilihan. Ia merefleksikan isu-isu terpilih selama 10 tahun, termasuk gosip panas tentang dirinya. Dan seperti seorang resi, tentu saja buku itu berisi banyak nasehat bijak untuk presiden berikutnya.

Bagi Presiden SBY, buku itu adalah cerminan sikap politik. Dalam buku, dialog yang intim adalah keharusan. Maka dari itu, dalam kebijakan politik, terutama sengketa kawasan atau isu sadap-menyadap dengan tetangga, SBY yang berlatar militer selalu menomorwahidkan dialog yang menjadi jantung diplomasi. Tak ada opsi pamer senjata dalam kamus kebijakan SBY. Karena itulah pemerintahan SBY selamat meniti demokrasi yang konstitusional dalam kurun 10 tahun; sebuah transisi kepemimpinan politik paling sukses dalam sejarah RI.

Namun cerita soal buku dari "cerita alternatif" yang bukan melulu soal personal dan pemberi motivasi di studio televisi juga ada di panggung literasi SBY. Saya mencatat pada masa Presiden SBY terjadi pembakaran buku secara terbuka yang disaksikan publik dengan jumlah gigantik. Pembakaran buku ajar-sekolah di seantero Jawa itu tak hanya mendulang protes dan petisi, tapi juga pemandu untuk menilai bahwa buku masih menjadi ancaman di sebuah negara kepulauan dengan praktik demokrasi yang ciamik.

Cerita “alternatif” yang lain di masa ketika Presiden SBY mengampanyekan cinta buku dan literasi, tentu saja pelarangan buku di akhir tahun 2009 serta drama selama setahun para pegiat buku melakukan Judical Review di Mahkamah Konstitusi. Hasil dari duel buku yang seru dan pertama kali dalam sejarah perbukuan itu, pegiat buku menang. Pejabat Bapak Presiden SBY (Kejagung) kalah. Kekalahan pertama pemerintah di panggung sejarah Indonesia sejak masa Hindia Belanda dalam soal pemberangusan bacaan. [gusmuh]

* Versi ringkas dipublikasikan Harian Koran Tempo, 13 September 2014

No comments: