16 September 2014

Dari Ali Hingga Ahok: Politik Galak Jakarta

Basuki Tjahaja Purnama atau biasa dipanggil Ahok itu galak: galak kepada pegawainya, galak kepada DPRD, galak kepada preman pasar, dan galak kepada partai pencuil kedaulatan rakyat. 

Tapi soal pemimpin dengan politik galak, DKI Jakarta punya pengalaman. Tidak banyak. Hampir lima dekade silam Jakarta diperintah dengan cara yang galak oleh Ali Sadikin. Itu bukan sekadar kesan warga dan aparatus birokrasi. Bahkan Presiden Sukarno pun mengakui karakter bawaan Ali itu tahun 1966 ketika ditanya apa yang ditakuti dari Ali Sadikin: "Ali itu orang keras!"


Politik dengan cara yang galak itulah Jakarta berbenah dan membangun. Ia menciptakan budaya tertib birokrasi dengan cara blak-blakan, dengan cara keras. Ali tak pernah ragu mengakui kebrengsekan pegawainya yang memang brengsek kinerjanya. Mulutnya yang ceplas-ceplos mengundang banyak sekali musuh. Selain melokalisasi praktik judi, bahkan Ali mengusung gagasan gila: pembakaran mayat untuk antisipasi kelangkaan tanah. Kontroversi soal bakar mayat ini mereda setelah Ali Sadikin pamit untuk naik haji.
 

Selama menjadi gubernur Jakarta, Ali bukan hanya sekali duakali baku hantam mulut dengan anggota DPRD. Ketika anggota DPRD dari PPP menyerang Ali soal terminal bus Rawamangun, Ali Sadikin melayani kritik-kritik yang masuk dengan hantaman balik langsung lewat podium sidang pleno yang resmi.
 

Walau galak, Gubernur Ali dicintai warganya. Untuk mencairkan hubungannya dengan warga, ia membuat program keliling bersama. Menginap di rumah warga di bantaran kali. Minum kopi dan omong-omong bebas adalah cara Ali untuk mendengarkan suara batin warganya.
 

Tak cuma itu, Ali juga dicintai seniman. Bukan karena Ali membuatkan Taman Ismail Marzuki (TIM) buat pekerja seni lintas bidang ini. Ali itu kerap adu argumentasi yang seru dan sengit kepada seniman yang membuat mereka ada kecocokan sikap.
 

Karena ceplas-ceplosnya inilah Ali bukan orang pendendam dan berwajah ganda. Dia los stang dan tidak sakit hati dalam urusan kritik mengkritik dalam politik. Yang penting semuanya terbuka. Semuanya bisa dibicarakan.
 

Politik galak yang diperlihatkan Ali Sadikin hampir lima dekade silam dan Ahok akhir-akhir ini berbeda dengan politik lagak. Ali tahu apa yang diperbuatnya. Hampir seluruh informasi di koran yang berbicara soal Jakarta dilahap Ali -- juga diklipingnya -- untuk sangu menentukan kebijakan.
 

Politik lagak yang disandang pemimpin hanya menyenangkan segelintir orang. Berlagak santun-kata dalam berbicara, tapi inginnya dilayani dan selalu diberi karpet merah ketika berpergian. Dia yang berlagak lebih sibuk mengurusi naik kendaraan jenis apa ketimbang melakukan kerja produktif apa sesampainya di kantor.
 

Ali beda. Ia menghidupkan karakter berpolitik yang sebaliknya: galak, bukan lagak. Karena politik galak-anti-lagak itulah Ali Sadikin dikenal dengan gubernur yang ingin dilihat dari perbuatannya: dit heeft Ali Sadikin.
 

Lima dekade setelah Ali, politik galak betul-betul menghilang dari bumi Jakarta. Medan Merdeka Selatan adem-adem ayem hingga Ahok datang. Sebagaimana Ali, Ahok juga suka menggebrak di mana warga melihatnya dengan gamblang via video sosial. Dulu, Ali melontarkan kata "goblok" untuk pegawainya, kini Ahok mendamprat aparaturnya dengan frase "bajingan".
 

Tentu saja wargalah yang bersorak dengan cara Gubernur Ali-Ahok "mendidik" mental pegawainya untuk kembali ke fungsi utama birokrasi: mesin pelayan masyarakat yang terbuka dan akuntabel.
 

Terkadang untuk kota sekeras Jakarta, politik yang dijalankan dengan cara yang galak -- dan tentu saja berani/benar untuk mengorbankan apa saja demi kepentingan publik -- kadang lebih manjur. Meminjam istilah Gubernur Jakarta Henk Ngantung (1964-1965), Ali -- dan semoga juga Ahok -- bukan saja the right man in the right place, tapi juga the right mind in the right time. [gusmuh]

No comments: