JANGAN membayangkan kerja atau zaken dalam nama kabinet Presiden Joko Widodo (Jokowi) adalah kerja sebagaimana dipahami sehari-hari: datang bekerja seharian, pulang jika waktunya tiba, begitu setepat-tepatnya. Lalu terima upah/gaji.
Kabinet Kerja memiliki jejak historis yang jauh dan bukan sesuatu yang datang ujug-ujug. Sebagaimana frase “nawacita” dan “trisakti”, pemakaian istilah “Kabinet Kerja” menjadikan kita dengan mudah berkesimpulan bahwa Jokowi bersemangat mereaktualisasikan kembali jejak Sukarnoisme dalam manajemen kenegaraan.
Dan kita tahu kabinet kerja adalah nama kabinet Sukarno pasca ia “membereskan” Dewan Kostituante via Dekrit 5 Juli 1959. Dewan Konstituante yang ditugaskan merumuskan dasar negara dianggap Sukarno terlalu cerewet, banyak omong, dan menghasilkan omong-kosong yang tak berkesudahan.
Menjawab omong-kosong parlemen yang berlarut-larut itulah Sukarno membuat antitesis dalam manajemen pemerintahannya di era Demokrasi Terpimpin. Boleh dibilang zaken-kabinet yang dibayangkan Sukarno berlawanan dengan parlemen tukang cerewet dan menghabiskan energi berwacana. Walaupun kita tahu, Sukarno tak lebih banyak omong ketimbang Dewan Konstituante yang dikritiknya.
Makanya Djuanda menjadi tokoh kunci jalannya zaken-kabinet. Posisi Djuanda ini mirip Hatta. Sementara Sukarno menggeber-geber podium di mana-mana, Djuanda ini dengan tekun menenun detail-detail yang mustahil dikerjakan generalis macam Sukarno. Dan terbukti, saat Djuanda wafat di tengah-tengah tugasnya, zaken kabinet ini berjalan limbung.
Subandrio yang ditugaskan sebagai pengganti terbukti tak mampu menjadikan kabinet ini bekerja dengan cakap hingga akhirnya diganti dengan nama yang lebih mirip propaganda untuk konfrontasi: Kabinet Dwikora.
Jokowi ingin memungut semangat zaken kabinet Sukarno yang berlangsung dari 1959-1964 itu dengan sejumlah reaktualisasi. Sukarno membuat Front Nasional yang terdiri dari partai dan ormas sebagai kekuatan bayangan kabinetnya, sementara Jokowi menjadikan Koalisi Indonesia Hebat+ relawan sebagai sayap kekuatan kabinetnya.
Akan tetapi, baik zaken kabinet Sukarno maupun Jokowi sama-sama menjadikan gotong-royong sebagai asas utama. Kita tentu tak menyangsikan lagi betapa Sukarno menjadikan gotong-royong bukan saja sebagai asas dalam bernegara, tapi juga semangat dalam bertindak. Bahkan kata Sukarno, bila Pancasila diperas terus hingga jadi satu sila, maka sila itu bernama gotong-royong.
Kita tahu gotong adalah frase yang merujuk pada tindakan atau kerja memundaki sesuatu secara bersama-sama atau kolektif. Sementara royong adalah kesadaran dan tanggung jawab yang melekat dalam kolektivitas; bahwa ikhtiar memundaki masalah itu memiliki tujuan yang lebih utama dan hakiki.
Tanpa kesadaran dan tanggung jawab, maka sebuah kerja yang dilakukan bersama tinggallah sekadar kerja kerumunan. Kesadaran dan tanggung jawab-lah yang menjadi pembeda apakah sebuah kerja disebut gotong-royong atau bukan. Oleh Soeharto, supaya berbeda dengan Orde Lama yang disumpalnya, frase gotong-royong ini disadur menjadi “kerja padat karya”.
Saya menangkap gotong-royong yang dibayangkan Jokowi adalah praktik sosio-ekonomi yang lebih menitikberatkan pada ekonomi partisipatif. Suatu praktik ekonomi yang melibatkan orang-banyak ketimbang segelintir individu. Pasar tradisional yang menjadi jantung blusukan Jokowi selama ini menjadi simbol pengait utama yang paling bisa dikenali. Kesejahteraan dan indeks kebahagiaan orang banyak itulah yang menjadi titik-tuju zaken kabinet Jokowi.
Jokowi betul-betul mesti belajar dari sejarah amburadulnya kabinet kerja saat ditinggal Djuanda. Berpikir makro boleh saja, tapi tetap cakap menyelesaikan detail. Jokowi tak diragukan lagi sebagai pemimpin terkini yang peka terhadap detail.
Diharapkan, getaran kepekaan pada detail yang sama juga dimiliki pembantu-pembantunya, sebagaimana dress-code yang mereka kenakan: “kemeja putih lengan panjang tergulung dan celana kain hitam”. Mereka melayani dan kerja detail mereka memberi dampak kesejahteraan yang bisa diukur dengan parameter-parameter yang sudah disepakati.
Dengan begitu gotong-royong dalam zaken kabinet Jokowi bukan hanya ikhtiar mereaktualisasikan ideologi temuan leluhur politik dalam pengertian dan praktiknya yang baru, tapi juga memberi kepastian bahwa negara dirasakan kehadirannya dalam kehidupan sehari-hari orang banyak. [gusmuh]
* Versi lebih ringkas dipublikasikan Harian Koran Tempo 3 November 2014
No comments:
Post a Comment