TAK ada seorang pun
yang bisa membantah bahwa Megawati Soekarnoputri adalah politisi paling
senior di Indonesia saat ini. SBY masih mengejar karir militernya di
negeri Balkan saat Mega sudah beradu nyali melawan arus keyakinan Orde
Baru yang mabuk-kepayang menikmati masa-masa puncak kejayaannya.
Lima tahun menjadi pusat
dari narasi gravitasi politik oposan (1993-1998) tak juga menarik banyak
peneliti untuk serius menuliskan kiprah Megawati. Kecuali buku tipis
kumpulan liputan jurnalis Santoso dkk Megawati Soekarnoputri: Pantang Surut Langkah
(ISAI, 1996, 176 hlm). Buku itu merekam dua episode paling genting dan
penting dalam sejarah politik Megawati, yakni kisruh Kongres IV PDI di
Medan pada Juli 1993 dan penyerbuan kantor PDI pada Juli 1996.
Tak ada yang menyangsikan
bagaimana keberanian Mega maju untuk menunjukkan martabat trah
politiknya yang dilalimi Orde Baru. Namun keberanian itu sepertinya tak
menggerakkan hasrat kuat dan menggebu dari penulis-penulis politik
kenamaan untuk menjadikan kisah sang pejuang ini sebagai bahan dasar
untuk menghasilkan sebuah biografi politik yang bermutu dan kredibel.
Kita hanya menemukan buku-buku yang teramat tipis dan dibuat ala
kadarnya dengan foto Mega sedang mengepalkan tangan di atas mimbar.
Apalagi, semua buku tentang
Mega yang terbit dari tahun 1996 hingga 2013 tak ada yang secara khusus
mengisahkan hubungan intim Mega, buku, dan dunia literasi. Maka tak
mengherankan kemudian muncul spekulasi bahwa Mega dan buku seperti bukan
sahabat baik.
Sebagai manusia politik
yang menjadi saksi dari tumbuh dan bangkrutnya rezim revolusi yang
dihelat Sukarno, Mega tentu memiliki pengalaman yang istimewa lebih dari
tokoh yang lain.
Mega adalah pemimpin yang
lahir dari sebuah perjuangan dan kisah panjang tentang penderitaan dan
pengucilan. Lahir dari mega-mega hitam Republik dalam ancaman agresi
militer Belanda, hidup dalam kekangan dan pingitan sosial setelah
ayahnya tersingkir secara tragis dari politik 1965.
Ketika suara-suara lain
terbungkam pada tahun-tahun awal 90-an, Mega mengajukan tuntutan politik
yang tak biasa. Sejak itu, ia menjadi ikon bagi suara orang biasa,
perempuan yang merasakan secara langsung tindasan politik.
Semua jalan terjal politik
yang berbatu cadas yang dilalui Mega sudah jauh di atas rata-rata untuk
menjadikannya tokoh sentral lahirnya biografi utama yang keren. Namun
yang muncul hanya buku kompilasi tulisan dari banyak pihak, seperti
kebanyakan buku-buku yang tak layak dijadikan sandaran untuk menimba
pengalaman-pengalaman yang berharga dari Mega sebagai manusia politik
paling senior dan masih aktif di atas panggung.
Tanpa mesti melihat dengan
lensa mikroskop, sudah tampak terang-benderang bahwa puncak dari semua
jalan politik Mega adalah saat ia diangkat menjadi presiden RI setelah
Abdurrahman Wahid dijatuhkan parlemen. Pengangkatan ini menjadikan Mega
sebagai presiden perempuan pertama di Republik Indonesia. Kenyataan yang
gigantik dan sekaligus mengharukan ini, rupa-rupanya belum menggerakkan
penulis-penulis biografi paling berpengalaman untuk menjadikan Mega
sebagai sumur pengetahuan politik dalam sebuah buku biografi par excellence.
Bagaimana mungkin mempercayakan pada buku yang ditulis anonim ini, Megawati Membangun Negeri
(Komunitas Peduli Komunikasi, Jakarta, 2004; 21 cm, 250 hlm), misalnya,
untuk menjelaskan babakan-babakan penting perjalanan pemerintahan di
bawah kendali mantan oposan paling berani di masa Presiden Soeharto ini.
Sebagai bekas Presiden RI,
Mega adalah warga senior; dan sebagai manusia politik, Mega adalah
politisi utama yang paling senior dari siapa pun saat ini. Dan di
rentang waktu pasca kedudukannya sebagai presiden direbut Susilo Bambang
Yudhoyono, buku utama tentang sosok Megawati yang ditulis secara utuh,
mendalam, dan komprehensif tak juga muncul.
Justru yang muncul buku
yang “biasa-biasa saja” dibandingkan jalan politik berbatu yang
menyandung-nyandung telapan kaki politik Mega yang berdarah-darah. Sebut
saja buku keroyokan yang dieditori August Parengkuan, Megawati: Anak Putra Sang Fajar
(2012, 463 hlm). Dari sisi jumlah halaman, bolehlah disebut inilah
biografi Mega yang paling gemuk. Namun dari sisi isi, ini adalah
gado-gado dan lebih banyak berisi testimoni orang lain atas kiprah
Megawati di jalan politik. Sama sekali tak sepadan.
Dan ini tahun sudah 2014.
Artinya sudah 21 tahun sejak Mega naik ke pentas politik nasional. Namun
dua dekade dengan dentuman-dentuman besar perubahan politik di mana
Mega menjadi saksi dan pelaku, buku biografi utama yang merekamnya belum
juga lahir. [gusmuh]
No comments:
Post a Comment