SEHARI setelah Joko Widodo (Jokowi) diambil sumpahnya sebagai presiden ke-7 RI, halaman depan media cetak menabalkan sebesar-besarnya judul-kepala dengan frase “kerja”.
Solo Pos (“Ayo Bekerja!”), Suara Merdeka (“Selamat Bekerja, Presiden Rakyat!”), Pikiran Rakyat (“Lupakan Pesta, Saatnya Bekerja”), Kedaulatan Rakyat (“Bekerja, Bekerja, Bekerja!”), Koran Merapi (“Kerja, Kerja, Kerja”), dan Tempo (“Kerja, Kerja, Kerja!”) adalah sekian media cetak yang secara verbal memilih frase “kerja” untuk menunjukkan bagaimana karakter pemerintahan Jokowi periode 2014-2019.
Frase “kerja” adalah cara Jokowi menyorongkan apa yang menjadi ciri khasnya. Tapi banyak yang salah paham kemudian bahwa mereka yang bekerja adalah antiwacana dan pemikiran yang sifatnya reflektif. Kerja adalah pasase yang kerap dianggap menjauh dari kultur ilmiah.
Kultur kerja Jokowi ini mengingatkan pada Maurice Maeterlinck, nobelis sastra 1911 asal Belgia yang menulis buku legendaris: The Life of the Bee (1954, 168 hlm). Buku tipis yang aslinya terbit dalam bahasa Perancis pada 1928 ini adalah salah satu buku klasik yang membedah secara menarik bagaimana kultur kerja lebah yang disebutnya sebagai “the foundation of the city”.
Kultur kerja lebah inilah, kata Maeterlinck, yang menjadi cetak-biru bagi masyarakat masa silam untuk membangun kotanya, seperti Babilonia, Inca di Peru, Madinah di Timur Tengah, dan Peradaban Nil di Mesir.
Madu sebagai produk akhir dari kultur kerja lebah bermula dari kerja perbengkelan yang dilakukan madu-pekerja. Tugas mereka bukan hanya menentukan di mana sumber daya madu berada (bunga terbaik), tapi juga bagaimana menyiapkan sarang yang oleh para saintis (arsitektur, kimia, fisika, matematika), disebut cara kerja jenius dan menjadi gambaran kehadiran “tangan-tangan tak kasat-mata” (invisible hand).
Bahkan sarang lebah yang terdiri dari ribuan sel heksagon itu menjadi sumber inspirasi riset fisika pelajar asal Papua Septianus George Sah saat menyusun hambatan resitor tak terhingga dalam makalah “Infinite Triangle and Hexagonal Lattice Networks of Identical Resistor”. Anda tahu, pada 2004, sekira 30 ahli fisika dari 25 negara memutuskan Oge menjadi pemenang “First Step to Nobel Prize in Physics”. Kata Oge, sarang-sarang lebah yang banyak di hutan Papua yang berjasa mengantarkannya menjadi pemenang dalam kompetisi fisika yang diikuti 73 negara itu.
Rumah lebah adalah karya jenius kaum pekerja dalam struktur kelas dalam peradaban lebah. Dan ritus kerja mereka adalah cerminan bagaimana sebuah peradaban dikelola, dan sekaligus bagaimana dasar-dasar utama semangat membangun kota dipraktikkan.
Ciri lebah-pekerja adalah kerendahan-hatinya berbakti dan berkorban kepada ibu-ratu tanpa pamrih. Apa pun yang dilakukannya dalam kultur-bengkel adalah menjaga pasokan makanan agar tersedia bagi semua masyarakat lebah dan terutama menjaga keberlangsungan hidup ibu-ratu dalam suatu kurun waktu yang telah ditentukan secara presisi dalam manajemen yang terukur.
Arsitektural sarang yang rumit dan sekaligus indah yang dibuat lebah-pekerja bukan sekadar adu kelihaian dan kesombongan membangun gedung, tapi dibuat dengan asas kemanfaatan besar. Sarang adalah lumbung/laboratori bagi berlangsungnya pengolahan seluruh sari mentah yang diubah menjadi madu dengan umur kadaluwarsa yang panjang. Maeterlinck menyebut kerja pengolahan ini sebagai kerja agrikultur berbasis pengetahuan. Sarang juga sekaligus benteng kokoh yang dibuat lebah-pekerja dengan dinding berlapis-lapis demi keselamatan dan kesentausaan kehidupan sang lebah ratu.
Demikianlah, sains mempermudah pengelolaan kehidupan, dan bukan memperumitnya. Dari kerja lebah membangun peradabannya, kita diberitahu mestinya anugerah sains memperpanjang usia peradaban, dan bukan menghancurkannya lebih cepat.
Apalagi ciri lain dari lebah-pekerja adalah kesadaran untuk tidak mengeksploitasi habis-habisan sumber daya bunga yang menghidupi sarangnya. Alih-alih menghabiskan, mereka justru terlibat aktif melakukan “reboisasi” dengan mengantar serbuk, mengawinkannya dengan putik, dan kehidupan bunga pun tetap berlangsung. Lebah tahu mereka bakal kembali ke area itu di waktu-kelak saat bunga-bunga kembali bermekaran.
Jokowi adalah kepala lebah pekerja bagi sarang mahabesar yang terdiri dari 17 ribu sel heksagon yang terbentang dari Sabang hingga Merauke dan dari Miangas hingga Rote. Adapun ibu-ratu lebah adalah ibu pertiwi. Transendensi pengabdian dan kultur kerja Jokowi tanpa pamrih adalah sepenuh-penuhnya pengabdian pada keberlangsungan sang ibu-pertiwi lewat pemanfaatan sumber daya bunga (alam) yang kaya. [gusmuh]
* Versi cetak dipublikasikan Harian Koran Tempo edisi 24 Oktober 2014
No comments:
Post a Comment