JIKA Joko Widodo (Jokowi) adalah buku, maka ia adalah buku representasi dari massa. Menyebut frase "massa" kita memperhadapkannya secara vis a vis dengan bangsawan asali, bangsawan pemikir, dan sekaligus elite militer. Tiga jenis kelas itulah yang secara bergantian menjadi piranti utama kepemimpinan politik nasional dan menguasai birokrasi pemerintahan.
Sukarno menjadikan massa sebagai habitat politiknya, namun ia sendiri sesungguhnya tidak lahir dari massa. Ia terbentuk sebagai bangsawan pemikir yang berpihak pada massa. Di ranah inilah ia berseberangan dengan Hatta ketika pergerakan mengalami pasang pasca 1928. Sukarno bersikukuh menjadikan Partai Nasional Indonesia sebagai partai massa, sementara Hatta menginginkan sebagai partai kader (bangsawan pemikir).
Soeharto lain kasus lagi. Ia bersikukuh disebut sebagai anak desa, wong kampung, dan tidak yang lain. Demikianlah yang terjadi pada sejarah perubahan judul biografi pertamanya yang ditulis O.G. Roeder, Soeharto: Dari Pradjurit sampai Presiden pada 1969. Ketika kekuasaannya sudah stabil, pada 1976 Soeharto meminta judul buku itu diganti menjadi Anak Desa: Biografi Presiden Soeharto. Namun semua orang yang mengikuti sejarah politik tahu ia adalah manusia yang besar dengan kultur bangsawan dan angkatan bersenjata atau secara verbal ditunjukkan oleh judul asli buku Roeder tersebut: The Smiling General.
Presiden Abdurrahman Wahid, Megawati, dan SBY juga berasal dari arsiran bangsawan asali, bangsawan pemikir, dan serdadu.
Tapi Jokowi lain. Ia lahir dan besar di kampung yang miskin dan kumuh di Surakarta. Mobilitas vertikalnya ia dapatkan justru dari berjualan mebel. Ia tak punya persentuhan darah dengan bangsawan asali maupun pergaulan yang intens dengan bangsawan pemikir, apalagi elite militer. Bahkan Jokowi juga bukan termasuk elite partai karena ia sesungguhnya hanya direkrut PDIP saat partai itu butuh figur "lain dari yang lain" untuk maju sebagai kandidat walikota.
Sebagai orang yang lahir dari massa, hidup dalam gaya hidup massa, Jokowi tahu betul bagaimana bersikap di alam pikir massa. Alam pikir massa adalah alam pikir harian yang terus bekerja, bekerja, dan bekerja. Liburan dan ngaso yang tertata jadwalnya bukan bagian yang inheren dari kehidupan massa. Menantang hidup harian adalah etos bawaan massa yang tak akan kita dapatkan dalam alam kehidupan bangsawan asali (priyayi, darah biru), bangsawan pemikir (cendekia), dan elite militer.
Menyelesaikan masalah dengan cepat, mengambil alih tanggung jawab dan tidak melemparkannya ke pihak lain, tidak mengeksploitasi habis-habisan sumber daya alam yang menghidupinya, peka terhadap detail, dan solider kepada sesama yang bernasib malang adalah sedikit dari banyak ciri etos manusia harian.
Sebagai anak kandung manusia harian, Jokowi paham betul bagaimana berhubungan dan menjalin komunikasi dengan medium-medium yang juga memiliki sifat harian. Dan jurnalis kita tahu bersama adalah agensi utama yang paling mengerti bagaimana semangat harian terus berdegup.
Kaum jurnalis dalam sejarah pergerakan Indonesia yang sudah berumur satu abad lebih adalah entitas yang nyaris dilupakan perannya dalam menyusun batubata negara-bangsa. Padahal kita juga tahu barangkali hanya Indonesia di Asia Tenggara ini sejarah modernnya dibangun secara sadar dan penuh semangat lewat piranti jurnalistik yang oleh sejarawan Ben Anderson disebut “print revolution”.
Fakta yang menunjukkan semua itu adalah pernyataan bahwa nyaris semua aktor kunci pergerakan adalah juga jurnalis; mulai dari Tirto Adhi Soerjo, Soetomo, Douwes Dekker, Tjipto Mangunkusumo, HOS Tjokroaminoto, Ahmad Dahlan, Semaun, Ki Hadjar Dewantara, Agoes Salim, Kartosoewirjo, Sukarno, Hatta, Sjahrir, Natsir, hingga Aidit.
Jurnalis dan sosok massa yang mendiami sejarah sosial macam tokoh Jokowi ini adalah dua entitas harian yang berada di lapis terbawah kasta pergerakan. Mereka penting dalam demokrasi angka, tapi sekaligus peran mereka tidak dianggap hanya karena mereka adalah massa. Di masa Orde Baru, mereka bahkan mendapatkan sebutan buruk dari bangsawan pemikir: massa mengambang. Dan sebutan itu bermakna buih.
Persekutuan jurnalis dan Jokowi dalam satu dekade terakhir kita bisa baca sebagai persekutuan kesadaran tentang pengabaian satu abad lamanya bagaimana posisi kelas ini terlupa dan menjadi buih dalam sejarah bangsa. Nyaris tak ada celah bagi kelas ini untuk bisa meniti tangga panggung politik hingga demokrasi dengan pemilihan langsung diselenggarakan pada 2004 atau setelah melewati empat kali proses amandemen konstitusi.
Karena itulah kehadiran Jokowi kemudian menjadi simpul penanda satu babakan sejarah politik penting naiknya massa di puncak kekuasaan. Dengan argumentasi itu pula kita bisa memahami mengapa jurnalis dan Jokowi seperti berada dalam getaran gelombang yang sama.
Tak hanya berhenti di situ saja. Jokowi juga adalah wali bagi teknologi komunikasi berbasis massa yang diciptakan generasi alaf ketiga dengan semangat utama komunikasi egaliter. Tak mengherankan bila CEO Facebook Mark Zuckerberg saat berkunjung ke Indonesia lebih memilih berjumpa secara intens dengan Jokowi dan bukannya SBY yang notabene masih de facto sebagai Presiden RI. Mark tahu bahwa Jokowi adalah imam bagi massa di Indonesia yang juga menjadi ruh utama media sosial semacam facebook, twitter, instagram, web blog, dan seluruh peramban yang tumbuh dalam kultur (teknologi) massa.
Selamat menantang hidup harian yang keras Bapak Presiden (Massa) Indonesia RI ke-7, Bapak Joko Widodo! [gusmuh]
* Edisi cetak dipublikasikan Harian Jawa Pos Minggu edisi 19 Oktober 2014
No comments:
Post a Comment