07 June 2015

Persatuan Indonesia

“Tua dan muda, yang laki dan yang puteri kaum Muslim, Christian dan Budha, yang beragama atau tidak, insyaflah bahwa hanya persatuan yang kokoh dari bangsa kita semua dapat mendatangkan Indonesia Merdeka” - Persatoean Indonesia, 20 Mei 1930, No 50, h 131-132

Sejak bibit pergerakan politik tertanam di Hindia Belanda pada dekade awal abad 20, tak ada satu pun koran yang terbit di Indonesia yang namanya kemudian ditabalkan dalam asas sebuah negara kecuali Persatoean Indonesia.

Koran yang pertama kali terbit pada 15 Juli 1928 di Jl Pintoe Ketjil 46, Batavia itu menjadi penahbisan Sukarno kepada publik tentang proyek besar dan utamanya bernama “Persatoean Indonesia”.


Dikatakan besar dan utama karena sepanjang hayat kehidupan politik Sukarno seluruhnya bersumbu pada perjuangan sekaligus menjaga bagaimana proyek politik ini tetap tegak.

Benih gagasannya bisa dilacak saat Sukarno di usianya ke-26 memublikasikan salah satu eseinya paling penting tentang “Persatoean Indonesia”, yakni “Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme”. Esei ini pertama kali dimuat di majalah Suluh Indonesia Muda (Bandung) dan menjadi artikel pembuka di Dibawah Bendera Revolusi (1959, Djilid I, hlm 1-22).

Dari sumber bacaan dan pengalaman belajar politik dari Surabaya hingga Bandung, Sukarno dengan yakin tanpa keraguan membagi mataair pergerakan hanya tiga simpul besar kaum: Nasionalis, Islamis, dan Marxis/Komunis. Syarat untuk bisa menjadi tiga pilar persatuan adalah kemauan berbagi.

“Bukannja kita mengharap, jang Nasionalis itu supaja berobah faham djadi Islamis atau Marxis, bukannja maksud kita menjuruh Marxis dan Islamis itu berbalik mendjadi Nasionalis, akan tetapi impian kita jalah kerukunan, persatuan antara tiga golongan itu,” tulis Sukarno. (1959: 5)

Jika ada yang saling mempertentangkan dan saling menghina/ejek pada ketiga kaum itu Sukarno menyebut mereka itu dengan “kusut faham”. Nasionalis yang sejati, kata Sukarno, adalah “jang tjintanja pada tanah-air itu bersendi pada pengetahuan atas susunan ekonomi-dunia dan riwajat, dan bukan semata-mata timbul dari kesombongan bangsa belaka; nasionalis jang bukan chauvinis”.

Demikian pula Islam sejati yang menurut Sukarno: “tidaklah mengandung azas anti-nasionalis;  Islam jang sedjati tidaklah bertabiat anti-sosialistis.  Selama kaum Islamis  memusuhi faham-faham Nasionalisme jang luas-budi dan Marxisme jang benar (antikapitalisme), selama itu kaum Islamis tidak berdiri diatas Sirothol Mustaqim”.

Wabilkhusus kaum Marxis, Sukarno memberitahu: “Marxis sejati mestinja menjokong pergerakan-pergerakan Nasionalis dan Islamis jang sungguh-sungguh. Marxis jang masih sahadja bermusuhan dengan pergerakan Nasionalis (pergerakan jang dengan seterang-terangnja mengedjar kemerdekaan, persamaan dan persaudaraan) dan Islamis (anti-riba dan anti-bunga) jang keras di Asia, Marxis jang demikian itu tak mengikuti aliran zaman, dan tak mengerti akan taktik Marxisme jang berobah”.

Tak pelak, cara Sukarno menyederhanakan simpul perbedaan/persamaan tiga kaum itu mendapat olok-olok pertama dari Hatta yang menyebutnya sebagai “per-sate-an nasional”. Hatta dan sekondannya Sjahrir meragukan efektivitas proyek politik Sukarno untuk masa yang panjang. 

Namun kita tahu, dengan kekuatan dan daya tahannya yang luar biasa, Sukarno memenangkan palagan. Bahkan frase politik terbesarnya, “Persatuan Indonesia”, masuk secara utuh ke dalam asas dasar kebangsaan kita, Pancasila, khususnya sila ke-3.

Pasca asas negara ditetapkan yang menjadi penanda Indonesia sebagai negara lahir, proyek Persatuan Indonesia mengalami ujian berdarah. Sebagai presiden baru Sukarno tak segan-segan menghabisi mereka yang disebutnya “kusut-faham” memahami Persatuan Indonesia.

Marxis “kusut-faham” yang dipimpin sahabatnya sendiri, Musso, dihabisinya di Madiun tanpa lewat pengadilan. Islamis “kusut-faham” yang lagi-lagi dipimpin sahabatnya sejak remaja, Kartosoewirjo, disikatnya di Jawa Barat. 

Bagi Sukarno, kaum Marxis, Islamis, dan bahkan Nasionalis boleh hidup asalkan mau berbagi dalam merawat Peratuan Indonesia. Karena itulah, Sukarno melunak di era 50-an saat Marxis pimpinan Aidit mengubah perangai politiknya dan Masyumi (dan kemudian juga NU) bisa bersikap moderat.

Karena sekali kekuatan politik itu lancung pada “Persatuan Indonesia”, Sukarno tak segan-segan menghukumnya. Masyumi yang bikin gegeran di Sumatera pada tahun 60-an dilibasnya.

Sukarno dengan demikian, bukan hanya penulis esei dan pembikin koran Persatuan Indonesia, melainkan juga penjaga yang keras-kepala atas marwah gagasan eseinya, walau dengan taruhan kekuasaan politiknya hilang dari tangannya. Tahun 1965 adalah trek paling berdarah sejak Persatuan Indonesia masih mewujud dalam bentuk proposal tahun 1926 hingga era Hizbut Tahrir yang pada Mei 2015 secara terang-terangan bertakzim pada khilafah sebagai antitesis persatuan yang dimaui Sukarno. 

Frase “NKRI Harga Mati” yang kita kenal saat ini sejatinya semangat bela-pati Sukarno atas proyek politik besarnya yang “sukses” dijaga Soeharto, BJ Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri, Susilo Bambang Yudhoyono, dan kini Presiden Jokowi.

* Versi cetak dipublikasikan pertama kali Harian Koran Tempo Minggu, 7 Juni 2015