24 July 2016

Sukarno dan Olimpiade: Sumbangan Kiri Indonesia untuk Dunia

Tak ada gelora apa-apa saat atlet-atlet Indonesia berangkat atas nama negara ke gelanggang Olimpiade Rio de Jeneiro, Brasil. Berlaga di pentas olahraga internasional yang menjadi induk dari seluruh arena adalah sebuah kebanggaan. Bukan hanya atlet dengan target mendapatkan panggung dan medali, tapi juga memundaki kehormatan bangsa dan negara. Olimpiade adalah perjumpaan seluruh bangsa yang mendiami planet bumi dalam satu momentum bersama yang bernama olahraga.

Memang, menjadi aneh ketika ingar-bingar dan harapan mencucuk langit tak pernah lagi kita temui saat atlet-atlet terbaik nasional di pelbagai cabang olahraga keluar dari pintu keberangkatan bandar udara Soekarno-Hatta untuk mengambil peran di panggung olimpiade. Ketiadaan prestasi dan olahraga yang dimaknai sebagai rutinitas belaka sebagai bangsa menjadikan keberangkatan ke olimpiade tak ubahnya sekadar menggugurkan hak berpartisipasi.

Di gelanggang olimpiade, bukan saja minim prestasi, tapi kita tunasemangat sebagai bangsa besar yang pernah mengagendakan sebagai negara yang disegani di bidang keolahragaan, sejajar dengan Tiongkok, Korea, Rusia, hingga Amerika Serikat.
Izinkan saya "mendongengkan" sebuah masa di mana Indonesia, tak hanya menebal-nebalkan mimpi dengan memperpanjang tidur di gelanggang olahraga dunia, tapi juga menyusun langkah-langkah taktis dan mendasar yang dimulai dari mental yang disebut Presiden Sukarno "sport-minded".


Dalam sebuah rapat akbar yang dihadiri seluruh olahragawan nasional, ofisial, pelatih, hingga utusan-utusan negara di Asia, Afrika, dan Eropa, Sukarno menabalkan keyakinannya itu. Di Markas Besar Ganefo (Gedung DPR/MPR saat ini), 25 November 1964, Sukarno berteriak: “Hai Rakyat Indonesia, tua-muda, terutama sekali yang muda-muda, latih kau-punya diri sehebat-hebatnya, agar supaya didalam waktu sepuluh tahun paling banyak, sepuluh tahun, Indonesia, Rakyat Indonesia menduduki tempat yang paling tinggi dilapangan olahraga!”

Sepuluh tahun, Saudara! 10 tahun! Artinya, jika diukur dari saat pernyataan itu dikeluarkan pada 1964, maka di tahun 1974, Indonesia menjadi salah satu penguasa olahraga yang disegani di planet ini.

Saya tak melihat ajakan yang disampaikan dengan setengah berteriak itu sekadar "olah-cangkem". Sebab, ajakan itu berangkat dari pemadatan pengalaman sebelumnya saat Indonesia bukan saja menjadi peserta dalam olahraga dunia, tapi bisa menjadi pelaksana yang baik dan sukses untuk pentas olahraga dunia yang diikuti 53 negara. Ganefo atau Games of New Emerging Forces menempatkan Indonesia sebagai inisiator dari alternatif gelanggang olahraga dunia yang dihelat Olympic Games atau International Olympic Committee (IOC).

Sebelum Ganefo diselenggarakan di Jakarta pada 10 November 1963, IOC menggertak Indonesia untuk “menghanguskan” haknya sebagai peserta olimpiade. Tak dinyana, gertak yang dijual badan olahraga dunia itu "dibeli" Presiden Sukarno dengan merancang olahraga dengan level serupa. Yang di luar perkiraan banyak orang, Ganefo berhasil menarik 53 negara, bahkan Jepang, Amerika, Belanda, Perancis, dan Rusia mengirimkan beberapa atletnya. Ganefo juga mesti diperhitungkan karena delapan rekor dunia terpecahkan di arena yang diselenggarakan di seantero Jakarta ini.

Indonesia memang “hanya” berada di urutan ketiga dalam pengumpulan medali yang jauh di bawah perolehan Tiongkok dan Rusia, tapi kemampuannya menyediakan fasilitas, logistik, dan menggerakkan seluruh elemen kota dan ragam potensi budaya lewat jalan festival/karnaval selama sepuluh hari menabalkan keyakinan Sukarno bahwa Indonesia bukanlah bangsa paria di bidang olahraga. Kemampuan "sport" itu ada dalam otot belikat orang Indonesia, namun bagaimana menatanya secara baik dan menaikannya hingga ke level prestasi dunia, itulah tugas pemerintah untuk mengorganisasikannya secara terarah dan terpimpimpin.

Inilah komando Presiden Sukarno kepada Menteri Olahraga Maladi selaku sosok yang paling bertanggung jawab di balik pelaksanaan Ganefo: “Maladi, engkau aku jadikan Menteri Olahraga dan perintahku kepadamu ialah buatlah seluruh bangsa Indonesia ini sport-minded. Dari orang Indonesia yang sudah kakek-kakek, nenek-nenek sampai kepada anak-anak yang masih kecil, jadikanlah seluruh Rakyat Indonesia sport-minded. Kuperintahkan: gerakkan, gerakkan, gerakkan seluruh bangsa Indonesia dan seluruh bangsa New Emerging Forces ini, dengan cara yang sehebat-hebatnya.”

Sukarno memulai “sport-minded” dari regulator utama keolahragaan, yakni pemerintah itu sendiri. Sebagai Menteri Olahraga, Maladi nyaris habis waktu rehatnya untuk membuktikan Indonesia tak bisa diatur-atur dalam bidang olahraga dan sekaligus bisa membuktikan kekuatan Indonesia sebagai pengorganisasi yang baik. Tak salah Sukarno mempercayakan kepada Maladi yang mampu mengurus hampir 10 ribu orang peserta “olimpiade kiri pertama” bernama Ganefo saat gelanggang ini dihelat.

Kiblat Indonesia dalam “sport-minded” jelas adalah Tiongkok, Korea, dan Rusia. Dua negara pertama adalah penghasil atlet-atlet paling berbakat di bidang atletik. Nyaris semua medali emas di cabang olahraga atletik disapu oleh Tiongkok dan Korea. Bahkan, empat rekor dunia di cabang atletik berhasil dipecahkan atlet-atlet dari Korea Utara.

Di negara-negara ini, olahraga adalah bagian dari keseharian. Fisik dan intelejensia sudah dipantau oleh tim yang bertingkat-tingkat dari dusun hingga kota/kabupaten, sejak sang “calon olahragawan” masih berusia sekolah dasar. Dan itu memungkinkan ketika lembaga-lembaga olahraga dan segenap pendanaannya berdiri kuat dengan satu tujuan: menyatukan bangsa, memperkuat negara. “Sport-minded” menjadi gerakan nasional karena negara hadir dan berdiri kokoh untuk menopangnya.

Sukarno berani sesumbar sepuluh tahun Indonesia bisa menjadi mercusuar di bidang keolahragaan karena memiliki pemutar turbin negara semacam Maladi. Jika Maladi bisa mengumpulkan 53 negara dalam waktu tujuh bulan untuk berlaga di Jakarta yang berlangsung lancar dan sukses, maka tak mustahil ia bisa membuat cetak-biru dan mengorkestrasinya menjadi kekuatan baru dalam rentang waktu satu dekade.

Di mata Sukarno, olahraga sama membanggakannya dengan politik. Olahraga adalah cara wicara lewat kekuatan raga untuk menarasikan kekuatan negara. Di negara yang olahraganya kuat biasanya kekuatan negara dan soliditas bangsanya juga kuat. Sukarno memiliki modal besar soliditas suku-bangsa dengan kemampuan tempaan alam. Negara lewat tangan pemerintah mesti menjadikan bakat alam dari ragam bangsa itu menjadi tanah pembibitan yang kaya. Di masa Sukarno, semua ras bangsa bersatu padu berlempangkan merah putih. Jika Anda membaca daftar nama 400 atlet dan ofisial tim Indonesia yang berlaga di Ganefo, maka Anda bisa temukan suku bangsa Tionghoa, Arab, Jawa, Batak, Maluku, Menado.

Artinya, olahraga bisa menyatukan bangsa yang berbeda. “Sport-minded”, oleh karena itu, tak hanya memperkuat negara, tapi juga sebuah etos tentang penghormatan pada keragaman suku-bangsa.

Dan seperti saya sebutkan di paragraf di atas, semua itu hanyalah dongengan. Sebab, jangankan memulai sebuah gerakan (pendidikan) olahraga yang masif dari daerah, rupanya “kehebatan” Indonesia yang berhasil menyelenggarakan “olimpiade-kiri” atau olimpide alternatif dunia justru mempercepat kematiannya dengan jalan diincar untuk dihabisi.
Kliping yang dirilis Bintang Timur 19 November 1963 dari Ta Kung Pao (Peking) menjadi nubuat, sebagaimana terbaca dari judul berita: “Amerika Serikat lakukan usaha2 penggulingan Pemerintah Indonesia: GANEFO salahsatu sasaran sabotase AS”.

Anda tahu, saat Federasi Ganefo dibentuk dan 53 utusan negara berkumpul dalam perjamuan terakhir dan pengumuman medali pada 25 November 1963, dunia digegerkan oleh berita kematian Presiden John F. Kennedy.

Dunia memang sedang dilanda krisis kemanan yang besar. Nubuat Ta Kung Pao itu pun berlaku dua tahun setelah itu ketika gelombang genosida itu benar-benar datang dan kemudian menenggelamkan olahraga Indonesia serta menghancurkan seluruh impian-impiannya menjadi mercusuar olahraga dunia.

Markas Besar Ganefo yang dijadikan Sukarno sebagai tonggak dari mana olahraga nasional kita menata diri memang tak turut dibakar, namun diganti peruntukannya sebagai Gedung DPR/MPR RI. Sejak saat itu, cerita olahraga Indonesia berjalan tertatih dan parsial dimulai hingga kita memperingati Ulang Tahun RI yang ke-71 di tahun ini. [Muhidin M. Dahlan]

* Edisi cetak dipublikasikan pertama kali Harian Jawa Pos Minggu, 24 Juli 2016