11 June 2010

Korea Utara: Patriot Terakhir Komunisme dalam Sepak Bola

Karena II Sung, Chullima itu pekerdja
Menjala disetiap desa
Laksana baru membakar mendjalar
Utara ke selatan, bulat
Berkobar
Rintang dan lintang, diterdjang
Kuda sembrani merah...
(Ngatmin Kartoatmodjo, "Salam Buat Korea", Bintang Timur, 8 November 1964)

Di Asia Raya, satu-satunya negara komunis yang tetap mempertahankan garis komunisme dalam praktik berbangsa dan bernegara tinggallah Korea Utara. Sangat berbeda dengan Cina di mana komunisme tinggal nama dan panji. Adapun di Amerika Serikat, sudah lama sekali komunisme menjadi iblis. Di Eropa, komunisme tinggal hantu yang gentayangan setelah Soviet bangkrut. Di Amerika Latin, komunisme makin memudar dengan pertahanan tersisa di Kuba yang seiring waktu perlahan makin toleran dengan kapitalisme.


Korea Utara adalah negara paling misterius lantaran isolasi dirinya yang ekstrem. Nyaris tak ada yang tahu sisi melik kehidupan macam apa yang sedang dijalankan di sana. Yang umumnya dikenal bahwa negara ini berternak nuklir, selain diketahui bahwa di sini siaran televisi dikontrol, jaringan internet difilterisasi, kebebasan dipangkas, dan semua warga adalah barisan kader merah. 

Di luar itu semua, warga negara komunis terakhir di dunia ini adalah penggila bola dalam pengertiannya yang denotatif. Nyaris tak terekspos, bahwa timnas sepak bola perempuan U-20 Korea Utara pada 2006 keluar sebagai juara dunia. Dua tahun kemudian, gelar juara dunia diraih tim U-17. Sebelum-belumnya tiga kali Korea Utara memuncaki Asia Cup. Dan yang tak terlupa bagaimana pada Piala Dunia 1966 mereka menghukum Italia dengan skor 1-0  dan meloloskannya ke perempat final sebelum dihentikan Portugal 5-3 (sebelumnya unggul 3-0).

Sebagaimana politiknya, demikian juga model sepakbolanya. Politik ala Korea Utara dikecam habis-habisan sebagai politik usang, kaku, totaliter dan lantas itu beralasan dipariakan. Namun isolasi itu tak bikin Korea Utara keder dan bahkan membuatnya makin imun, disiplin, dan sekaligus percaya diri. 

Walau kita tahu, dunia kerap berlaku tak adil pada negara ini: di politik digencet raksasa Amerika dan kakitangannya, sementara di lapangan bola langsung berhadapan kaki dengan raksasa Brazil. 

Tapi, makin diremehkan, sembrani merah dari utara itu makin, pinjam sebaris puisi penyair Lekra Ngatmin, “berkobar/ rintang dan lintang, diterdjang”

Dalam sistem sepak bolanya, gaya politik itu dipraktikkan nyaris presisi. Umumnya pemain-pemain Korea Utara dan sekaligus pelatihnya adalah produk gemblengan dalam negeri. Hanya tiga nama yang merumput di liga di luar Korea Utara. Sebut saja Ahn Young-Hak yang bermain di klub Suwon Samsung Bluewings Korea Selatan, penyerang Jong Tae-Se yang bermain di klub Kawasaki Frontale Jepang, dan Hong Yong-Jo yang bermain di klub FC Rostov Rusia.

Mereka juga jarang bermain di kancah internasional yang membuat lawan-lawannya nirreferensi dalam menilai tim ini. Sama kagetnya ketika umat sepak bola sedunia terperangah mendengar pertama kali saat “kuda merah sembrani dari utara” ini menjadi satu dari empat wakil Asia dalam perjamuan akbar di bulan suci sepak bola 2010 di Afrika Selatan itu. Juga satu-satunya wakil dari negara komunis. Kuba, Cina, dan Rusia, bukan hanya out dari komunisme, tapi juga out dari Piala Dunia.

PSSI dan Kutukan Korea 

Bagi warga dunia, Korea Utara mungkin dianggap negara “antah-berantah” dengan kehidupan (politik dan sepak bola)nya yang misterius. Namun, itu tak berlaku untuk Indonesia. 

Kita pernah memiliki hubungan dengan Korea yang bukan hanya dekat, tapi juga intim. Di masa pemerintahan Soekarno, Korea adalah sahabat sejati. Di kepala berita halaman muka Harian Rakjat edisi 29 Juni 1963, keyakinan akan kesetiakawanan terhadap Korea Utara (RRDK) ditabalkan. PKI, seperti dalam referat M.H. Lukman, tanpa reserve membantu perjuangan RRDK, sebagaimana bantuan yang sama diberikan kepada Pakistan.

Bahkan, Njoto di editorial koran yang sama edisi 25 Juni 1959 menegaskan, memusuhi RRDK berarti membakar kesetiakawanan Asia Afrika. Empat tahun kemudian, Njoto mempertegas keyakinan itu: "ja, harinja akan tiba dimana 30 djuta Rakjat Korea akan bersatu kembali. Dan bagi imperialis AS dan kakitangan2nja sudah tidak ada djalan lain lagi, ketjuali harus angkat kaki untuk selama2nja keluar dari Korea".

Eratnya hubungan itu dibuktikan sendiri oleh maestro lagu keroncong Gesang: "Lagu2 seperti Hallo2 Bandung, Rajuan Pulau Kelapa, Bengawan Solo sudah mendjadi lagu Rakjat di Korea..." (Harian Rakjat, 2 Januari 1964)

Tapi kesetiakawanan itu patah setelah Gestok. PKI dihancurkan. Soekarno ditekuk. Hubungan dengan Korea pun lumat. Arah politik Indonesia berbalik arus. 

Satu dekade+1 kemudian, RRDK datang lagi ke Jakarta. Bukan untuk muhibah kebudayaan sebagaimana yang terjadi di Gedung Serikat Buruh Kereta Api (SBKA) Jakarta pada 18 April 1963 di mana seniman koor RRDK menyanyikan dengan semangat lagu "Kim Il Sung Jang Goon Eu Norai", "Hallo-Hallo Bandung", "Nasakom Bersatu", "Ala Tipang", "Mande-Mande", "Ajo Mamma", "A Sin Sin So", dan "Bengawan Solo.

Mereka datang sebagai "kuda sembrani merah" dengan membawa kutukan bertuah, sebagaimana pada 1966 mereka mengutuki Italia.

Kalender menujuk Kamis malam, 26 Febrari 1976, di Stadion Utama Senayan (Gelora Bung Karno). Di hadapan 120 ribu penonton (angka maksimum untuk kapasitas stadion terbesar di dunia setelah Brazil), Korea memuramkan sepak bola Indonesia untuk selama-lamanya dalam percaturan dunia.

Malam Jumat yang menyakitkan itu, kesebelasan PSSI Pre Olimpik yang dikapteni Iswadi gagal menuju Montreal (Kanada) setelah tendangan Suaib melenceng dari gawang Korea dalam adu penalti. Suaib adalah penendang ketiga yang gagal setelah berturut-turut tendangan Oyong Liza, Anjas Asmara berhasil dipalang Jin In Chol.

Sejak malam jahanam itu, kronik sepak bola kita kemudian mengenal kata "seandainya". Seandainya pengakuan Anjas Asmara bahwa ia tak siap jadi algojo karena bekas kaki kirinya yang bekas terkilir kurang kuat menopang tendangan penalti didengar pelatih Coerver. 

Seandainya bukan Suaib penendang terakhir, tapi Risdianto yang sukses sebagai algojo kedua. Seandainya Indonesia tidak memakai kostum sial (baju hijau celana putih) yang sebelumnya ditolak pemain ketika berhadapan dengan Korea dalam pertandingan pertama (dan kalah 2-1). Seandainya Waskito tidak sial terus sampai tua. 

Seandainya tendangan Risdianto tak membentur tiang di pertandingan waktu normal. Seandainya rezim PSSI pimpinan Bardosono dan aparatusnya tidak ugal-ugalan dan becus membina sepak bola Indonesia. 

Dan seterusnya, kutukan kesebelasan komunis paling akhir (the last of “mohicomm”) itu terus membayangi prestasi sepak bola Indonesia yang tak pernah bisa lagi bangun dari mimpi “seandainya”-nya yang muram dan tak pasti.

Barangkali yang pasti adalah nubuat Njoto bahwa “30 djuta Rakjat Korea akan bersatu kembali”—namun bukan secara geopolitik—melainkan semangat kesetiakawanan tatkala Korea Utara berlaga di Piala Dunia 2010. 

Kita menunggu kini. Setelah Italia pada 1996 dan Indonesia pada 1976, kutukan komunis terakhir ini akan menimpa negara mana lagi. [gusmuh]

No comments: