Showing posts with label Syawal Merah. Show all posts
Showing posts with label Syawal Merah. Show all posts

18 September 2016

Jong Madioner: Bela si Jawa Miskin, Lawan Penjilat Pantat Priyayi (Bagian 02)

Madioner. Frase itu aneh untuk nama samaran penulis di tahun 1914. Kata itu mirip Newyorker untuk menyebut orang-orang New York (Amerika Serikat), Londoner untuk warga kota London (Inggeris), dan Parisian untuk penduduk kota Paris (Perancis). Terkesan ada keinginan menjadikan orang Madiun sebagai kota masa depan yang khas, kosmopolit. Tak usah terlalu wah seperti Newyorker atau Londoner, cukup setara saja dengan Bataviasche, untuk menyebut orang-orang Batavia. Kota Batavia yang kini menjadi ibukota RI, selain sebagai pusat dagang VOC dan pemerintahan kolonial, juga menjadi kota yang diangankan serupa Manhattan di Amerika Serikat.

“Madioner" adalah nama yang diciptakan koran mingguan Doenia Bergerak yang dihelat Mas Marco Kartodikromo dari Surakarta. Nama ini nyaris setiap edisi muncul di Doenia Bergerak bertarikh 1914. Artikel-artikel si Madioner ini umumnya menyangkut hubungan asimetris antara orang Jawa kecil dengan para penjabat pemerintahan, baik penjabat berdarah pribumi maupun kolonial. Tulisannya juga khas "laporan daerah" di seputar Karesidenan Madiun, termasuk Kedu dan bahkan hingga Denpasar dan Malang.

17 September 2016

Madiun, Kota di Pedalaman Jawa yang Berlumur Kutukan (Bagian 01)

18 September 1948. 18 September 2016.

Esai #SyawalMerah dan sekaligus mengenang #68TahunMadiun ini saya susuri dengan melewati rute dari arah timur. Tepatnya dari Kediri. Setelah lolos dari Perlimaan Braan, Jombang, Jawa Timur, yang menjadi simpul kendaraan arah Surabaya, Kediri, Madiun, kendaraan merah saya pacu sekuatnya, semampunya, melewati jalanan lurus Baron-Nganjuk-Caruban. Diiringi kerekan matari pagi dan lagu-lagu dengan nada berderap, saya memasuki Kota Madiun.

Yang menari di kepala saya ketika melakukan perjalanan dari Kediri ke Madiun adalah ingatan turne Mayor S. Mustofa pada 1948 setelah dikalahkan detasemen STD Kediri pimpinan Letkol Suhud. Di Kediri, Mustofa yang memegang simpul pasukan Pesindo dari Brigade ke-29 TNI Masyarakat. Tidak seperti saya yang biasa menempuh jalur arus balik "Syawal Merah", sebagaimana kerap saya lakukan saban bulan Syawal, Mayor Mustofa tur ke Madiun karena dipaksa keadaan: Kiri-Yang-Terdesak, Kiri-Yang-Kuldesak. Dan Madiun, oh kota ini, adalah pangkalan kiri yang masih solid setelah Solo (di)porak-poranda(kan), (di)lemah(kan) oleh Yogyakarta yang menjadi Ibu Kota RI pasca Renville.

27 September 2011

#8 Kediri (Bag 3): Banser, Algojo-Algojo Yang Dikirim Tuhan

30 Agustus 2011 | Gelaran Buku Jambu, Kediri | Km 302 | Pkl 20.35

Gelaran Buku Jambu Kediri ternyata menyimpan sebuah buku kecil karya Hairus Salim HS berjudul “Kelompok Paramiliter NU”. Sebuah buku yang mengulik sejarah lahirnya Banser (Barisan Ansor Serbaguna), dan terutama sekali aksi-aksi fisiknya saat menggelar pembunuhan besar-besaran atas kader dan simpatisan PKI di Kediri.

1 Syawal di bulan September. Saat silaturahmi dengan keluarga Plemahan Kediri rampung, saya bergegas ke Gelaran Jambu. Sebuah perpustakaan komunitas—satu-satunya di Kampung Jambu, Kecamatan Kayen Kidul (sebelumnya masuk dalam Kecamatan Pagu). Letaknya berhadapan dengan masjid. Di komunitas inilah pelbagai kegiatan literasi dalam kampung dihidupkan. Pelatihan menulis sastra, membaca bersama, dan bahkan kegiatan kesenian dihelat di komunitas yang bersekutu dengan sebuah madrasah yang hanya seteriakan jauhnya.

Awalnya saya hanya menumpang mengetik catatan-catatan mudik yang terserak di sepanjang perjalanan sebelumnya dan juga mencari buku sejarah yang ditulis Hermawan Sulistyo (2000) untuk mengonfirmasi ingatan saya sewaktu di Alun-Alun Kota. Saat itulah saya tak sengaja menjumpai buku kecil berwarna hitam yang ditulis Hairus Salim HS berjudul “Kelompok Paramiliter NU”

25 September 2011

#8 Kediri (Bag 2): Teater Pembantaian di Alun-Alun Kediri

29 Agustus 2011 | Masjid Agung, Kediri | Km 280 | Pkl 17.55

Alun-Alun Kediri di seberang selatan Masjid Agung menjadi semacam Ikada kala apel akbar Banser/Ansor NU dan ormas-ormas lainnya yang sokong 100 persen tentara digelar. Kronik penyembelihan besar-besaran terhadap siapa pun yang terkait dengan aktivitas Partai Komunis Indonesia (PKI) dimulai dari sini. Banser adalah nama lain dari Ansor, sayap pemuda dari NU.

Matari sepenuhnya telah jatuh dari cakrawala saat saya memarkir tunggangan di halaman Masjid Agung, sekira 16 kilometer dari Kanigoro. Ekor dari azan baru saja berlalu dan puluhan orang berduyun-duyun menyeberangi jalan utama yang membelahi Alun-Alun Kota dan Masjid Agung.

Di tangga masjid, setelah berwudhu, saya menuang air mineral ke kerongkongan untuk mengibasi haus. Di tangga masjid itu juga pandangan saya bebas berhadapan dengan Alun-Alun Kota. Di Alun-Alun Kota itu, lampu-lampu berkelap-kelip di taman yang mirip “pasar malam” terakhir menjelang lebaran. Lampu-lampu itu menandai kemeriahan, kegembiraan dan sekaligus memungkasi konsumsi besar-besaran di pengujung Ramadan.

24 September 2011

#8 Kediri (Bag 1): Kanigoro Affair

29 Agustus 2011 | Kras, Kediri | Km 264 | Pkl 17.05

Kanigoro adalah dalih Pelajar Islam Indonesia (PII) untuk membunuh anggota dan simpatisan PKI. Dan ini dituturkan dengan penuh kebanggaan. Dari generasi ke generasi. Kanigoro adalah saksi bagaimana PII menjadikannya sebagai mandat pembantaian di bawah komando Banser/Ansor.

Saya memasuki Kanigoro, Kras, Kediri, ketika matahari sudah rebah. Terhalang oleh bangunan Pabrik Gula Ngadirejo dengan dua tabung asap raksasa yang mengular ke langit. Artinya, saya sudah 12 jam di atas jalan raya jika ditarik dari keberangkatan dari Kotagede. 

Bagi saya pribadi, Kanigoro menyimpan memori yang kelam. Ketika menyebut Kediri yang pertama kali terngiang adalah Kanigoro. Sejak 1995, Kanigoro yang saya tahu adalah Kanigoro di mana PKI harus dibasmi. Di tahun itu, di saat-saat ketika saya dipersiapkan menjadi kader militan Pelajar Islam Indonesia di kota Palu. Sebuah buku bersampul merah karya Anis Abiyoso dan Ahmadun Y Herfanda, “Teror Subuh di Kanigoro” (1995), dijadikan kunci cerita saat tutur perjuangan PII melawan kebejatan orang-orang komunis memasuki periode 1965-1966.

23 September 2011

#7 Tulungagung: Interogasi Teluk Brumbun

29 Agustus 2011 | Tulungagung | Km 240 | Pkl 15.36

Di Kebonsari, Punung, Pacitan, hanya karena sering ngrawit gending genjer-genjer, seorang seniman Lekra disembelih.Sebelum eksekusi penyembelihan itu, warga yang merindukan suara sang guru itu meminta didendangkan satu tembang: Dandanggula. Justru dari Tulungagung, saya mengetahui cerita itu.

Saya menuju Tulungagung dengan perasaan bahagia. Selain lurus jalannya dari Trenggalek, juga kota ini lumayan akrab; walau tahun 2008, ketika menuju Kediri, saya dibuangnya ke barat Brantas dengan was-was.

Setahun silam juga saya pernah ke sini melakukan wawancara di rumah serang seniman lulusan ASRI, Moelyono. Perupa yang terkenal dengan slogan “Seni Rupa Penyadaran” ini memang terlahir dan berkesenian di Tulungagung. Tujuan saya: wawancara proses berkeseniannya. Dan tentu saja minta tandatangan pada dua bukunya yang sudah terbit: Seni Rupa Penyadaran dan Pak Moel Guru Nggambar.

Tapi, kedatangan 4 April 2010 waktu itu tak disertai dengan “ritual” menyinggahi Alun-Alun Kota. Karena itu, setelah behenti sejenak di bukit makam Bong Cina Bolo Jl Raya Gondang. Setelah 15 menit berkendara, saya mulai mencari-cari arah memasuki alun-alun.

18 September 2011

#6 Trenggalek: Kesepian di Alun-Alun

29 Agustus 2011 | Trenggalek | Km 207 | Pkl 14.30

Sejak di kecamatan Sawoo, Ponorogo, saya sudah berpikir keras, jejak merah yang seperti apa yang bisa saya tuliskan tentang Trenggalek di seberang bukit itu. Sejak rambu bahwa di hadapan saya ada gundukan bukit yang harus dilalui, saya masih belum bisa mengumpulkan ingatan, potongan-potongan kisah yang tragis macam bagaimana yang menimpa kaum merah di kota dengan pariwisata andalannya adalah pantai ini.

Bahkan setelah melewati desa pertama, Pucanganak, seusai 40 menit memasak sabuk pengaman kewaskitaan melewati puluhan belokan-belokan tajam yang curam dan cadas-cadas yang seperti siap runtuh, saya belum juga bisa menemukan titik terang yang merah. Bahkan dengan cahaya merah kedap-kedip sekalipun.

15 September 2011

#5 Ponorogo (Bag 2): Musso Yang Dibakar di Ponorogo

29 Agustus 2011 | Ponorogo | Km 155 | Pkl 12.45

Ponorogo, 31 Oktober 1948, di sebuah Minggu yang terik, sebuah tragedi mengenaskan terjadi. Musso, Sekertaris Jenderal PKI, ditembak mati di sebuah kamar mandi. Mayatnya lantas dibawa ke Ponorogo. Di sana, mayat yang disimbahi darah dan luka itu dipertontonkan. Dan…. dibakar!

Paragraf pembuka yang tragik itu saya kutipkan dari review kawan Zen RS atas booklet propaganda Jalan Baru Musso. Saya tidak tahu dari mana kutipan itu didapatkannya. Mungkin dari Soe Hok Gie, Orang-orang di Persimpangan Kiri Jalan. Saya belum mengeceknya. Tapi pasti bukan dari Laporan dari Banaran-nya T.B. Simatupang (1980).

Ponorogo adalah jalan paling akhir dari rentetan kegagalan yang dialami manusia merah yang kerap digelari stalinis garis keras. Musso yang lahir dari keluarga alim pada 1897 di Desa Jagung, Kecamatan Pagu, Kabupaten Kediri, Jawa Timur, itu bernama Munawar Musso.

14 September 2011

#5 Ponorogo (Bag 1): Kongres Reog Lekra

29 Agustus 2011 | Ponorogo | Km 155 | Pkl 12.45

Memasuki gerbang selatan Ponorogo, Jawa Timur, disambut pintu terbuka bertartalkan aksara: Ponorogo Bumi Reog. Pintu itu berada dalam barisan kayu-kayu jati yang tumbuh menusuk langit. Di suatu masa, ada keyakinan Lekra dan budayawan merah bahwa kesenian rakyat Reog haruslah abadi. Karena itu rakyat Ponorogo bersatu. Ada sikap dan optimisme kuat dalam Musyawarah Reog pada Februari 1965 Pertemuan pelopor yang dikerjakan dengan sepenuh kesadaran. Jauh sebelum Malaysia obral klaim bahwa reog adalah bagian dari kesenian mereka.

Di benak saya terpacak asumsi yang gawat yang selalu menggoda; bahwa semua laki-laki Ponorogo berkumis tebal. Asumsi banal dan sangat laki itu dipelihara oleh sebuah gambaran yang disodorkan oleh film yang saya nonton di bioskop kampung Ujung Bou, tetangga kampung saya. Judulnya Suromenggolo. Film yang disutradarai Dasri Yacob (1991) itu saya tonton ulang pada 2010. Walau dengan pengetahuan yang sudah jauh berbeda, tetap saja asumsi banal yang laki itu susah dikibaskan.

Buktinya saya masih tergoda di siang bolong ketika saya sudah menempuh jarak perjalanan 155 km dari Kotagede Yogyakarta. Di alun-alun Ponorogo yang masih kuyuh dan kumuh karena baru bangun setelah semalam suntuk menghelat pasar malam, saya masih memperhatikan wajah kaum lelaning jagad reog ini. Dan hasilnya: sedikit sekali yang masih memelihara kumis tebal dengan berpakaian hitam, seperti leluhur-leluhur penjaga tradisi dan jago kelahi di tebing-tebing jurang serta ilmu gaib mahasakti yang tergambar dalam Suromenggolo.

13 September 2011

#4 Wonogiri (Bag 4): Pembuangan Akhir Mayat-mayat Merah

29 Agustus 2011 | Purwantoro | Km 198 | Pkl 12.02

Jika terminal Purwantoro adalah persinggahan “akhir” banyak bus besar dari pelbagai jurusan seperti Solo, Semarang, Bandung, Jakarta, bahkan beberapa kota di Sumatera, maka rumah Mas Yahya Perwita di belakang terminal bus Purwantoro, Wonogiri, itu menjadi persinggahan terlama dalam perjalanan mudik saya yang bertajuk #syawalitumerah.

Dua jam saya beristirahat di belakang gereja jawa itu. Ya, saya datang sekira pukul 10 dan berangkat lagi pukul 12 setelah disuguhi kopi pahit ukuran gelas jumbo dan makan siang dengan opor ayam, tahu, dan daging sapi.

Menurut pendeta yang ditahbiskan pada 1992 ini, memasak makanan lebaran itu sebagai cara menyambut lebaran yang belum jelas jatuh pada hari apa, Selasa atau Rabu, 30 atau 31. Di atas meja ruang tamu di rumah yang masih dikelilingi pohon dan tegalan, terhampar sekira 5 toples berisi kue lebaran dan juga permen. Itu juga untuk menyambut tamu-tamu lebaran yang dirayakan setiap tahun oleh umat Islam itu.

12 September 2011

#4 Wonogiri (Bag 3): Kuburan Merah

29 Agustus 2011 | Purwantoro | Km 198 | Pkl 10.10

Jawa menjadi kuburan bagi PKI dan simpatisannya.Dalam sepotong dialog film propaganda yang terus diputar rezim militer-dagang Suharto, Aidit (Syubah Asa) tampak mengepalkan tangan kiri penuh yakin bahwa pertarungan sejati dan habis-habisan di Jawa, lantaran Jawa adalah kunci. Dan kita tahu kemudian Jawa juga menjadi kuburan bagi keyakinan itu. Yahya Perwita dari belakang terminal bus Purwantoro, Wonogiri, menyimpan cerita dua kuburan yang tertutur oleh Mbah Madi dan Mbah Padmo. Kisah itu tergali dalam sebuah ikhtiar melawan lupa antara tahun 2002-2004.

Cerita Mbah Madi
Suatu malam, semua yang apel disuruh membuat pagar betis di kuburan Kendal (sekira 3 km arah selatan Kec. Girimarto, sebelah barat jalan). Suasana sangat mencekam, dua lubang besar sudah digali di pojok baratlaut kuburan. Ada ratusan orang malam itu.

Akhirnya yang ditunggu datang. Pada pukul 10 malam itu satu truk tentara tiba membawa 6 tawanan. Tangan mereka terikat di belakang. Aku lupa mata mereka ditutup atau tidak, tetapi aku ingat dengan jelas, aku menuntun salah seorang di antara mereka, jalan dari truk sampai kuburan. Katanya 6 orang yang lain sudah ditinggal di Ngledok, belokan irung petruk sebelum Sidoharjo. Jadi hanya 6 orang ini yang dibawa ke kuburan Kendal.

Orang-orang berjejal di sekitar lubang. Jadi aku terhalang melihat langsung apa yang terjadi. Tapi mereka didorong masuk ke lubang, dalamnya lebih dari 2 meter, masing-masing lubang tiga orang. Masih terlalu besar karena sebenarnya tiap lubang disiapkan untuk 6 orang. Selanjutnya orang-orang itu diberi kesempatan untuk berdoa, dan ditembak dengan senapan LE. Satu polisi dari Sidoharjo ngewel, amat sangat gemetar sehingga tak jadi menembak, malah disuruh pergi. Waktu itu semua diam, sama sekali tidak ada sorak.

Di kuburan itu, di lubang-lubang penembakan itu, kedua orangtua dan saudara-saudaraku juga dikubur. Kami memang tinggal tak jauh dari kuburan itu. Sampai sekarang saya selalu memotong dahan kamboja di kuburan itu. Dulu aku yang menanamnya, bibitnya saya bawa dari Wonogiri.

#4 Wonogiri (Bag 2): Kisah-Kisah Perburuan

29 Agustus 2011 | Purwantoro | Km 198 | Pkl 10.10
Kisah-kisah mereka yang dituduh merah, disangkakan PKI, dihimpun Yahya Perwita dari belakang terminal bus antara tahun 2002-2004. Dari Purwantoro, Wonogiri, kisah orang-orang dilumpuhkan suara itu terabadikan. Walau masih samar dengan ketakutan yang masih mengiang. Inilah cerita Mbah Darso, Mbah Kimin, Mbah Sarno, dan Mbah Tiyem.

Cerita Mbah Darso

“Langsung bawa saja ke penjara!”

Dan akhirnya tibalah kami di penjara. Tanpa ba bi bu, kecuali aku dan tiga orang yang lain semua dipukuli, disiksa, dan ditendang, dimasukkan ke dalam sel.

Sel ini normal untuk 7 orang penghuni, akan tetapi sel yang ada sudah penuh sesak, minimal 35 orang. Bahkan sel ukuran besar di sisi barat diisi sampai 80 orang. Semua berdempet, yang kuat berdiri, yang duduk gantian, kepalanya sudah dipepet pantat orang.

Jatah makan hanya satu sendok tiap kali, baik jagung, bulgur atau kadang nasi. Memakai kaleng yang disorongkan di bawah terali. Tetapi lebih dari itu yang paling ditakutkan adalah “bon malam hari”. Selama satu setengah bulan di penjara Wonogiri itu, dari 37 orang sekamar tiap malam ada yang diambil satu dua, sampai akhirnya hanya tinggal enam orang.

Suatu malam ada yang memanggil namaku, pimpinan SD Gondang Purwantoro. Teman-temanku menyuruhku diam saja, karena ternyata salah memanggilnya. Panggilan itu diulang sampai tiga kali, dan karena dianggap tidak ada lalu yang memanggil pergi. Menurut keponakanku yang ajudan inspektur polisi, mereka yang dibon keluar malam hari itu dibunuh, entah di mana kuburnya.

11 September 2011

#4 Wonogiri (Bag 1): Kisah-Kisah Pembunuhan

29 Agustus 2011 | Wonogiri | Km 81 | Pkl 07.40

Kisah-kisah mereka yang dituduh merah, disangkakan PKI. Dari Purwantoro, Wonogiri, kisah orang-orang dilumpuhkan suaranya itu tersiar. Walau masih samar dengan ketakutan yang masih mengiang.

Dari arah kiri, saya memasuki Kota Wonogiri. Sesaat saya ngelangut di depan pasar kota sambil membuka koran “nasional” satu-satunya yang terbit: Jawa Pos. Maklum, Kompas memutuskan libur lebih dahulu.

Apa yang merah di Wonogiri?

06 September 2011

#3 Klaten (Bag 3): Pembangkangan Bayat

29 Agustus 2011 | Bayat | Km 40 | Pkl 6.37

Sebelum sampai di SMP Bayat, Klaten, di pertigaan pohon ringin besar ada sebuah papan penunjuk ke arah kanan: Makam Ki Ageng. Saya hanya melintas. Tidak singgah dan nyekar. Kelak saja jika tema perjalanan adalah nyekar kubur para pesohor. Saya mengonfirmasi makam itu ke budayawan rakyat Bondan Nusantara, benarkah Ki Ageng yang dimaksudkan papan penunjuk itu adalah Panembahan Kajoran? Jawaban penulis roman "Rembulan Ungu" (2011) itu ringkas: betul!

Lengkaplah sudah. Jika Klaten memerah riuh meriah di tahun-tahun 1960-an hingga Gestok 1965 dan Prambanan menjadi pelatuk pertama merancang pemberontakan di akhir tahun 1925, maka jauh berabad-abad sebelumnya, abad 16, Klaten menjadi kawasan pemusatan pembangkangan. Dari Bayat, Raja Mataram Amangkurat I ditumbangkan.

#3 Klaten (Bag 2): Api di Pematang

29 Agustus 2011 | Bayat | Km 40 | Pkl 6.37

“Kabupaten Klaten mulai saya rasakan sebagai kampung kedua saya” – JJ Kusni, Di Tengah Pergolakan: Turba Lekra di Klaten, 2005: 321

Salah satu drama terkemuka diciptakan JJ Kusni atawa Kusni Sulang adalah "Api di Pematang". Drama dua babak yang pernah dimuat di Harian Rakjat itu diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa dengan dua judul: "Sadumuk Batuk Senyari Bumi" dan "Sabuk Galeng Tepung Gelang".

Drama itu ditulis setelah Kusni berbulan-bulan menyaksikan dan hidup dalam masyarakat Tani Klaten dalam periode ketika Aksi Sefihak naik pasang. Kusni sendiri oleh penyair dan pimpinan teras Lekra HR Bandaharo disebut sebagai “penyair kebangkitan petani” lantaran usaha Turba-nya yang mengikuti aksi sepihak dari awal hingga akhir. Jalan kaki dari satu desa ke desa yang lain. Dari sawah hingga ke pengadilan ketika patriot-patriot Aksef dibui.

05 September 2011

#3 Klaten (Bag 1): Aksi Sefihak

Bayat | Km 40 | Pkl 6.37

Saya sempat bingung arah ketika memasuki Kecamatan Gantiwarno sebelum lolos dengan mulus melewati Wedi, Cawas, hingga Bayat. Tidak banyak saya lalui tempat wisata. Di Gantiwarno, papan-papan penunjuk jalan menuntun ke Air Wening Maria. Sementara di Bayat gerbang besar wisata gerabah menghadang dan juga papan penunjuk pager jurug paseban yang sudah pudar terpacak di depan Masjid Agung.

Ada atau tidak adanya tempat wisata di jalur perjalanan itu tak terlalu soal karena konsens perjalanan mudik ini adalah merah. Boleh dibilang, sejarah merah di Indonesia di masa Revolusi Terpimpin tak absah kalau tak memasukkan item Klaten di dalamnya. Sebuah kawasan yang oleh anak tumpah darahnya, Kuncoro Hadi, disebut kawasan yang potensial pertanian di samping penghasil kapur, batu kali dan pasir yang bersumber dari sungai yang berasal dari lereng Merapi. Klaten pada masanya adalah gudang beras untuk Jawa Tengah.

Nama sejarawan muda Kuncoro Hadi ini memang selalu teringat jika melewati tanah-tanah persawahan di Klaten. Maklum saja, sebelum masuk pada goro-goro 1965, skripsi yang dibikinnya pada 2009 berjudul "Penghancuran PKI (Studi Tentang Aksi Kekerasan di Jogonalan Klaten tahun 1965-1971)" itu memetakan tanah-tanah pertanian dan naik pasangnya keberanian petani di berbagai kawasan Klaten yang kemudian menjadi alasan mengapa percontohan Aksi Sefihak (Aksef) dipusatkan di Klaten.

#2 Prambanan: Padam di Hari Ketiga

29 Agustus 2011 | Km 15 | Pkl 06.00

15 kilometer atau 30 menit dari Kotagede, Yogyakarta, saya melewati Prambanan. Sinar matahari agak mengacaukan pandangan yang membikin motor dipacu dengan kecepatan sedang dalam kesunyian jalanan mudik. Pastilah siangnya jalanan ini akan sesak. Saya menepi dibawa gapura tak jauh dari halte bus transjogja, halte terakhir di bagian timur.

Saya berhenti di Prambanan ini bukan sedang menikmati eksotisme yang dipancarkan oleh candi terbesar kedua yang diwariskan leluhur. Saya juga tak tertarik menuliskan ulang lapis demi lapis makna relief candi Prambanan hingga sampai pada kedalaman menangkap kuplet cerita Ramayana yang berlandaskan pada ajaran Hindu. Sudah banyak yang menuliskannya. Sudah banyak yang mengambil alih simbol-simbol utama di dalamnya. Relief pohon Kalpataru yang tengah mengapit singa di Prambanan itu, misalnya, disebut-sebut melatari mengapa nama itu dipakai pemerintah sebagai nama penghargaan kepada penggiat lingkungan. Juga, pohon Kalpataru itu dipakai sebagai lambang Wahana Lingkungan Hidup (Walhi), dan bukan Panda sebagaimana dipakai WWF.

Tidak pula sepagi itu mengeluarkan catatan untuk menuliskan secara cepat Rara Jonggrang yang menipu mentah-mentah Bandung Bandawasa yang membikin ksatria culun itu ngamok pagi-pagi, menghancur dan meleburkan kan ribuan candi bikinannya semalam suntuk.

Ini soal determinasi Prambanan menjadi picu Pemberontakan PKI tahun 1926 yang kemudian digebuk habis-habisan pemerintahan kolonial Belanda. Paling tidak, frase “Prambanan” dalam buku Ruth T. McVey, "Kemunculan Komunisme di Indonesia", disebutkan belasan kali, mulai halaman 534 hingga 600-an.

#1 Kotagede: Dari Bandit hingga Mangir

29 Agustus 2011 | Km 0 | Pukul 05.30

Tak ada alasan khusus saya memulai hitungan panjang perjalanan dan melakukan pencatatan dari Kotagede. Sebuah “kota awal” di mana Mataram dipusatkan dan pemerintahan dibentuk pasca Perjanjian Giyanti disepakati.

Di waktu terang tanah, kota ini masih menampakkan kejayaan masa lalunya. Rumah-rumah tua masih berdiri yang dilintasi jalanan yang sempit. Juga masjid agungnya yang lengang yang belum lama ditinggalkan para pemanjat doa di malam-malam akhir Ramadhan. Setahun silam di bulan Ramadhan, mahasiswa Jurusan Disain dan Komunikasi Visual (Diskomvis) ISI Yogyakarta dilepas turun ke jalan-jalan itu untuk merekam denyut kontemporer kota itu yang dtuangkan dalam buku komik bersama, "Kotagede dalam Komik".

Jika pun ada alasan khusus memulainya dari sini, lantaran di kota inilah Pemberontakan Mangir Wanabaya berakhir dengan tragis. Di tahun 2008, saya ingin sekali membaca babak terakhir dari lakon yang disusun Pramoedya Ananta Toer berjudul "Mangir" di kawasan ini, sebagaimana saya menyelesaikan bagian awal dari lakon itu di kampung perdikan Mangir di selatan kota Bantul, sebelum Wanabaya disertai Baru Klinting menuju Alun-Alun Mataram (Kotagede).

04 September 2011

Syawal itu Merah

Mudik adalah upacara religius tahunan bagi masyarakat dari berbagai kasta. Bahkan terbesar ketimbang upacara haji, baik peminat maupun keterlibatan lembaga negara. Ketimbang haji, upacara mudik juga lebih meriah dan murah. Tak perlu uang 50 juta untuk bisa menunaikannya. Memiliki tenaga yang cukup saja, upacara ini sudah terlaksana, seperti yang dilakukan keluarga Ramadhan yang kisahnya saya baca di Tribun Jogja, 4/9/2011, halaman satu, ketika berteduh di lingkar timur saat memasuki Yogyakarta.

Ramadhan dan keluarganya mudik Semarang-Surabaya dengan becak. Berisi 3 anak dan istri, 8 hari dibutuhkan Ramadhan untuk menggenjot becaknya. Dengan rute yang sama pula, dengan becak yang sama, tapi tertambah muatan satu kepala lagi, Ramadhan mengangkut lagi semua cerita keringatnya di atas becak Surabaya-Semarang.

Mudik membawa kepala masing-masing. Mudik memiliki memori masing-masing. Mudik membawa sukanya sendiri-sendiri, juga serangkaian dukanya. Oleh aparatus negara yang nguri-nguri jalan raya, sukduk itu akan menjadi angka-angka statistik. Tapi bagi saya, mudik saat ini adalah ikhtiar menyambut syawal yang merah.